Pertanyaan: Bagaimana status hukum pernikahan dan hak-hak anak menurut hukum keluarga Islam dan peraturan perundang-undangan?
Jawaban:
Bapak dan Ibu yang saya hormati, terima kasih telah datang dan menyampaikan persoalan ini dengan jujur. Saya memahami bahwa pernikahan yang telah dijalani selama bertahun-tahun, apalagi telah dikaruniai anak, tentu bukan hal yang ringan untuk dibicarakan. Karena itu, izinkan saya menjelaskan persoalan ini secara utuh dan perlahan, agar Bapak dan Ibu memperoleh kejelasan, ketenangan, dan jalan keluar yang maslahat.
1. Sisi
Keagamaan (Normatif–Teologis)
Dalam Islam, perkawinan adalah akad yang sakral dan mulia, yang
bertujuan menjaga kehormatan, keturunan, dan ketenteraman hidup. Allah SWT
berfirman:
وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu …” (QS. An-Nur: 32)
Secara fiqh,
apabila pernikahan siri telah memenuhi rukun dan syarat nikah (ada calon
suami-istri, wali, dua saksi, ijab kabul), maka akad nikahnya sah secara
agama.
Namun Islam juga mengajarkan agar pernikahan tidak disembunyikan,
melainkan diumumkan demi menghindari mudarat. Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ ـ رضى
الله عنه ـ قَالَ رَأَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ فَقَالَ " مَهْيَمْ ". أَوْ "
مَهْ ". قَالَ تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ
ذَهَبٍ. فَقَالَ " بَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
".
Diriwayatkan dari Anas: Nabi saw melihat tanda kuning (minyak wangi)
di pakaian `Abdur-Rahman bin `Auf, lalu berkata, "Apa yang terjadi
denganmu?" `Abdur-Rahman menjawab, "Saya telah menikahi seorang
wanita dengan mahar emas seberat biji kurma." Nabi saw berkata,
"Semoga Allah memberkahi kamu (dalam pernikahanmu). Adakanlah walimah,
meskipun hanya dengan seekor domba." (Hadits Shahih Al-Bukhari No.
6386)
وَعَنْ عَامِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَعْلِنُوا
النِّكَاحَ». رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ.
Diceritakan hadis dari Amir bin Abdullāh bin Zubair dari bapaknya bahwa Rasulullah Saw. berkata: “Umumkanlah sebuah pernikahan”. (HR. Ahmad dan dianggap hadis sahih oleh imam Hākim)[i]
Artinya, meskipun sah secara agama, menyembunyikan pernikahan dalam
waktu lama bukanlah praktik yang dianjurkan, karena berpotensi menimbulkan
ketidakadilan, terutama bagi perempuan dan anak.
قَاعِدَةٌ:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
“Menolak kerusakan (mafasid) lebih diutamakan dari pada
memperhitungkan kebaikan (maslahah)”
Kaidah fiqh ini merupakan prinsip dasar jurisprudensial yang konotasinya searah dengan aplikasi sadd aldzarī‘ah itu sendiri. al-Suyuthi mengatakan bila kebaikan dan kerusakan keduanya sama-sama bertentangan maka yang didahukuan adalah menolak kerusakan tersebut[ii] . Menolak hal negatif sebagai dampak dari adanya nikah bawah tangan hukumnya adalah wajib, status pernikahannya sah namun haram ketika terjadi hal mudharat.
2. Sisi
Hukum (Yuridis–Formal)
Menurut hukum negara di Indonesia, pernikahan yang tidak
dicatatkan di KUA belum diakui secara administratif.
Merujuk:
- UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 2
(1) Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya
itu.
(2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada bagian
Penjelasan Umum nomor 4
(b) Dalam
Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Suratsurat keterangan, suatu
akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
- Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
· Fatwa MUI No 10 Tahun 2008 tentang Nikah
dibawah Tangan (Nikah Siri)
MUI
mengeluarkan fatwa pernikahan bawah tangan adalah sah, dan wajib dicatatakan. Perkawinan
siri dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan sering
kali menimbulkan dampak negatif (madarat) terhadap istri atau anak yang
dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka; seperti nafakah, hak waris, dan
lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa
akan sulit dipenuhi, akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang
sah. Dalam Ketentuan Hukum Fatwa tersebut ditetapkan:
1) Peserta ijtima’ sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan
secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak
dampak negatif / madarat (saddan lidz-dzarī‘ah)
2) Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madarat.
Ketetapan tersebut melandaskan pada Dasar Hukum :
|
· Dan
taatilah Rasul serta ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu |
· وَاَطِيْعُوا
الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ… |
|
· Tidak
boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan Setiap perbuatan yang berpotensi
menimbulkan mudarat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, harus
dicegah. |
·
لاَ ضَرَرَ
وَلاَضِرَارَ |
|
·
Apabila
imam (pemerintah) mewajibkan sesuatu yang memang wajib, maka kewajibannya
menjadi semakin kuat. Apabila ia mewajibkan sesuatu yang sunnah, maka ia
menjadi wajib. Dan apabila ia mewajibkan sesuatu yang asalnya mubah, maka hal
itu menjadi wajib apabila di dalamnya terdapat kemaslahatan umum, seperti
meninggalkan kebiasaan merokok. Pernyataan ini menegaskan prinsip fikih
siyasah bahwa kebijakan penguasa dapat menaikkan status hukum demi kemaslahatan
umum. |
· إذا وجب
الإمام بواجب تأكد وجوبه , وإذا وجب بمستحب وجب, و إذا وجب بجائز إن كانت فيه
مصلحة عامة كترك شرب الدخان وجب (قول الشيخ نووي البنتني) |
|
·
Umumkanlah
pernikahan Pernikahan harus bersifat terbuka dan
diketahui masyarakat, sebagai pembeda yang tegas antara nikah yang sah
dan perzinaan, serta untuk menjaga hak-hak sosial dan hukum. |
·
أعلنوا النكاح
… |
Konsekuensi
Hukum Negara:
Tidak Ada Pengakuan Negara: Nikah siri tidak memiliki
kekuatan hukum publik dan perdata.
Masalah Perlindungan dan Hak: Pihak perempuan dan anak
kesulitan mendapatkan hak-hak seperti KTP, KK, warisan, dan status hukum anak.
Potensi Pidana: Pelaku bisa dijerat Pasal 279 KUHP
(jika poligami tanpa izin)
Pasal 279:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1.
barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2.
barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Pasal 280:
Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan tidak sah
Pasal
284 KUHP (zina):
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
l. a. seorang pria yang telah kawin yang
melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku
baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang
melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2. a. seorang pria yang turut serta
melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah
kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang
turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut
bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan
suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja
dan ranjang karena alasan itu juga.
Pasal
411 UU 1/2023 (Perzinaan):
Ayat 1: “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan
orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Terutama jika melibatkan pihak yang sudah menikah atau ada penghalang sah.
Karena belum
dicatatkan, maka terdapat beberapa bahaya:
- Bahaya
bagi istri, seperti tidak adanya perlindungan
hukum terhadap nafkah, hak waris, dan status hukum ketika terjadi
perceraian.
- Bahaya
bagi anak, terutama terkait status hukum,
akta kelahiran, hak waris, dan perlindungan sosial.
- Bahaya
sosial, berupa konflik keluarga, stigma
sosial, serta ketidakpastian tanggung jawab suami.
- Bahaya
hukum, karena tidak tercatatnya
pernikahan menyulitkan negara dalam menjamin hak-hak warga.
Namun negara menyediakan solusi, yaitu melalui isbat nikah di Pengadilan Agama, agar pernikahan tersebut diakui secara hukum.
3. Sisi Psikologis dan Emosional
Hidup dalam pernikahan siri bertahun-tahun sering menimbulkan beban
psikologis, terutama bagi istri dan anak:
- Perasaan tidak aman
- Kekhawatiran akan
masa depan
- Kecemasan terkait
status hukum
Sebagai konselor, saya ingin menegaskan bahwa: Perasaan tidak tenang
itu wajar, dan mencari kepastian hukum adalah bentuk tanggung jawab, bukan
kesalahan.
4. Sisi Sosial dan Kultural
Dalam masyarakat kita, nikah siri sering dianggap cukup “secara agama”,
namun dalam realitas sosial:
- Istri sering
mengalami stigma
- Anak menghadapi
kesulitan administrasi
- Keluarga tidak
memperoleh pengakuan sosial yang layak
Padahal Islam sangat menekankan perlindungan martabat perempuan dan
anak. Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا
أَبُو بِشْرٍ، بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالاَ حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ يَحْيَى بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ عَمِّهِ،
عُمَارَةَ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ ـ
صلى الله عليه وسلم ـ قَالَ " خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا
خَيْرُكُمْ لأَهْلِي " .
Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa Nabi saw bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku adalah
yang terbaik di antara kalian terhadap istriku." (Hadits Sunan Ibnu
Majah No. 1977)
Menjaga kehormatan keluarga bukan hanya urusan agama, tetapi juga
tanggung jawab sosial.
5. Sisi Edukatif (Pencerahan dan Literasi)
Kasus ini
menjadi pelajaran penting bahwa:
- Nikah siri bukan solusi jangka panjang
- Pencatatan nikah adalah bentuk ikhtiar syar’i dan
legal
- Hukum negara hadir untuk melindungi, bukan
mempersulit
Allah SWT
berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ ۖ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di
antara kamu.”
(QS. An-Nisa: 59)
Mencatatkan pernikahan adalah bagian dari ketaatan pada aturan yang
membawa kemaslahatan bersama.
6. Sisi Preventif dan Solutif
Langkah solusi
yang dapat ditempuh:
- Membangun kesepahaman suami-istri
- Mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama
- Mendaftarkan pernikahan ke KUA setelah putusan
- Mengurus administrasi anak (akta lahir, KK, dsb.)
Langkah ini bukan membuka aib, tetapi menutup mudarat dan membuka
kemaslahatan.
Kaidah fiqh menyebutkan:
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”
7. Sisi Etika dan Profesionalitas Konselor
Sebagai
konselor, saya tidak menyalahkan pilihan masa lalu Bapak dan Ibu, tetapi:
- Menghormati keputusan yang telah terjadi
- Memberikan pemahaman yang objektif
- Mengarahkan pada solusi yang sah dan aman
Konseling bukan
untuk menghakimi, melainkan mendampingi menuju perbaikan.
8. Sisi Keteladanan dan Dakwah Bil Hikmah
Islam adalah
agama yang solutif dan penuh kasih. Allah SWT berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 185)
Mencatatkan pernikahan dan memperjuangkan hak anak adalah bagian
dari dakwah bil hikmah, karena menjaga keturunan (hifz an-nasl)
adalah tujuan utama syariat.
Penutup
Bapak dan Ibu yang saya hormati, secara agama pernikahan Bapak dan
Ibu sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Namun secara hukum negara,
pernikahan tersebut belum memiliki kekuatan hukum. Anak-anak tetap harus
dilindungi hak-haknya, dan negara menyediakan jalan yang sah melalui isbat
nikah.
Langkah yang Bapak dan Ibu tempuh hari ini adalah langkah yang
bertanggung jawab dan bermartabat. InsyaAllah, dengan niat baik dan ikhtiar
yang benar, Allah akan membuka jalan kebaikan bagi keluarga ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar