A. Pendahuluan
Setiap wahyu yang turun kepada Nabi
Muhammad saw tidak datang begitu saja tanpa makna, melainkan hadir sebagai jawaban
terhadap kebutuhan manusia dan dinamika sosial. Al-Qur’an bukan teks statis,
melainkan firman Allah yang hidup dan berdialog dengan realitas. Dalam konteks
inilah, kita mengenal konsep Asbāb an-Nuzūl - sebab-sebab turunnya ayat -
yang menjadi kunci penting dalam memahami makna dan konteks Al-Qur’an.
Al-Qur’an menegaskan bahwa wahyu
diturunkan secara bertahap, sesuai kebutuhan dan situasi umat pada masa itu:
“Dan Al-Qur’an itu Kami turunkan
dengan berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya perlahan-lahan
kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isrā’:
106)
Ayat ini menunjukkan bahwa proses
turunnya wahyu bersifat gradual (tadarruj), bukan sekaligus, dan memiliki
konteks sosial-spiritual yang mendalam. Proses ini bukan hanya menyampaikan
hukum, tetapi juga mendidik kesadaran manusia tentang Tuhan, moralitas, dan
kemanusiaan.
B. Pengertian Asbāb
an-Nuzūl
Secara etimologis, asbāb
berarti “sebab” atau “latar belakang”, sedangkan nuzūl berarti “turun”.
Jadi, asbāb an-nuzūl berarti sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Secara
terminologis, ulama seperti al-Wāhidī dalam Asbāb an-Nuzūl
mendefinisikan: "Tidak mungkin memahami tafsir suatu ayat tanpa mengetahui
kisah dan sebab turunnya."
(Al-Wāhidī, Asbāb an-Nuzūl, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991).
Maknanya, pemahaman Al-Qur’an akan lebih utuh bila diketahui konteks sosial, peristiwa, atau pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya ayat. Contoh klasiknya adalah turunnya QS. Al-Mujādalah ayat 1:
قَدۡ سَمِعَ اللّٰهُ
قَوۡلَ الَّتِىۡ تُجَادِلُكَ فِىۡ زَوۡجِهَا وَ تَشۡتَكِىۡۤ اِلَى اللّٰهِ ۖ
وَاللّٰهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ؕ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيۡعٌ ۢ بَصِيۡرٌ ١
“Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang
mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan
(halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Mujādalah: 1)
Al-Hakim meriwayatkan hadis dan
mensahihkannya dari Aisyah, ia berkata, “Mahatinggi Dzat yang
pendengarannya-Nya mencakup segala sesuatu. Sesungguhnya aku mendengar ucapan
Khaulah binti Tsa’labah dan perkataan itu tidak diketahui oleh sebagian orang.
Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah saw dan mengatakan, “Wahai Rasulullah,
suamiku telah memakan masa mudaku dan aku menyayangi anaknya sampai ketika aku
sudah tua dan sudah tidak bisa lagi memiliki anak, ia pun menziharku. Ya Allah,
sungguh aku mengadukan hal ini kepada-Mu.” Khaulah binti Tsa’labah terus
menerus mengatakan demikian hingga Jibril turun dengan membawa ayat-ayat
berikut, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan
gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya.” Suaminya adalah Aus bin
Shamit.”
Ayat ini turun ketika Khaulah binti
Tsa‘labah datang mengadu kepada Rasulullah saw tentang suaminya yang
menziharnya (menyerupakannya dengan ibunya). Dari sini tampak bahwa ayat turun
sebagai respons terhadap persoalan nyata masyarakat.
C. Pentingnya
Memahami Asbāb an-Nuzūl
- Menjelaskan konteks hukum dan
makna ayat.
Banyak ayat hukum dalam Al-Qur’an
turun karena peristiwa tertentu. Misalnya, ayat tentang khamr (QS. Al-Māidah:
90–91) turun secara bertahap agar masyarakat tidak kaget meninggalkan kebiasaan
lama.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَـٰمُ
رِجْسٌۭ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَـٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ٩٠
Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi
nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.
إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَـٰنُ
أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
Dengan minuman keras dan judi itu,
setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu,
dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka
tidakkah kamu mau berhenti?
Asbabun Nuzul ayat 90–91
Ibnu ‘Abbâs ra. menuturkan, bahwa
kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang menimpa dua suku
(kabilah) kaum Anshar yang hidup damai. Namun, jika mereka dalam keadaan mabuk
karena minuman keras, mereka saling mengganggu dan berkelahi. Ini membuat
dendam kesumat antara mereka. (Hadis sahih, riwayat Nasâ’î dan Baihaqî).
- Menghindari kesalahan tafsir.
Tanpa memahami sebab turunnya,
seseorang bisa salah memahami maksud ayat. Misalnya, QS. Al-Baqarah: 115 (“Milik
Allah timur dan barat…”) bisa disalahpahami mendukung relativisme agama,
padahal turun menjelaskan arah kiblat sementara bagi umat Islam di Madinah.
وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ
وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ
وَٰسِعٌ عَلِيمٌۭ ١١٥
Dan milik Allah timur dan barat. Ke
manapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha
Mengetahui.
Asbabun Nuzul ayat 115
Ibnu ‘Umar ra. berkata, “Saat dalam
perjalanan dari Makkah menuju Madinah, Rasul saw. shalat sunnah di atas untanya
ke mana pun arah unta itu, meskipun tidak menghadap kiblat. Lalu, turunlah ayat
ini.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).
- Menumbuhkan kedekatan
emosional dengan Al-Qur’an.
- Mahasiswa akan lebih mudah
“merasakan” pesan wahyu jika memahami bahwa ayat-ayat itu turun untuk
menjawab problem kemanusiaan konkret, bukan sekadar perintah normatif.
D. Proses Turunnya
Wahyu
1. Wahyu Sebagai Komunikasi Ilahi
Dalam filsafat Islam, wahyu (al-waḥy) adalah komunikasi transenden
antara Tuhan dan manusia pilihan-Nya. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ
اَنۡ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحۡيًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآىٴِ حِجَابٍ اَوۡ
يُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَيُوۡحِىَ بِاِذۡنِهٖ مَا يَشَآءُؕ اِنَّهٗ عَلِىٌّ
حَكِيۡمٌ ٥١
“Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan
berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir
atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahatinggi, Mahabijaksana” (QS. Asy-Syūrā: 51)
Ayat ini menjelaskan tiga bentuk
komunikasi wahyu:
a) Isyarat
langsung dalam hati (ilham).
b) Melalui suara
dari balik tabir (seperti pada Nabi Musa).
c) Melalui
malaikat Jibril.
Bentuk ketiga inilah yang paling
sering terjadi pada Nabi Muhammad saw.
2.
Tahapan Turunnya Wahyu
Proses trunnya wahyu berlangsung
dalam tiga lapisan besar:
a. Dari Lauḥ al-Maḥfūẓ ke langit
dunia.
Allah menurunkan Al-Qur’an secara
keseluruhan ke langit dunia (bayt al-‘izzah) pada malam Lailatul Qadr:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya
(Al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr).” (QS. Al-Qadr:
1)
b. Dari langit
dunia ke bumi secara bertahap.
Selama ±23 tahun, wahyu turun
sesuai kebutuhan dakwah Nabi:
13 tahun di Makkah (ayat-ayat
makkiyyah): fokus pada tauhid, iman, dan akhlak.
10 tahun di Madinah (ayat-ayat
madaniyyah): fokus pada hukum, sosial, dan pemerintahan.
c. Melalui
Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Proses ini kadang disertai getaran
spiritual yang sangat kuat. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:
“Sesungguhnya wahyu yang paling
berat bagi Rasulullah adalah ketika turun dalam keadaan sangat dingin, keringat
beliau menetes deras.” (HR. Bukhari, no. 2)
Kondisi ini menunjukkan intensitas
pengalaman transendental, bukan sekadar komunikasi biasa, melainkan perjumpaan
ruhaniah yang mengguncang kesadaran manusia.
E. Filosofi
Turunnya Wahyu Secara Bertahap
Pertanyaannya, mengapa wahyu tidak
diturunkan sekaligus seperti kitab sebelumnya?
Allah menjawab langsung dalam QS. Al-Furqān: 32:
وَقَالَ الَّذِينَ
كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ
لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
“Berkatalah orang-orang yang
kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar).”
Ayat ini mengandung tiga hikmah
besar:
- Meneguhkan hati Nabi dan para sahabat.: Setiap kali mereka menghadapi ujian, wahyu turun sebagai penguat iman. Contohnya, ketika perang Uhud, turun QS. Āli ‘Imrān: 139 (“Janganlah kamu bersedih dan jangan (pula) kamu berduka cita...”
- Mendidik umat secara bertahap: Manusia tidak bisa langsung menerima seluruh hukum sekaligus. Dengan cara bertahap, wahyu melatih kesadaran moral dan spiritual.
- Mengokohkan interaksi antara wahyu dan realitas: Al-Qur’an menjadi kitab yang “hidup” karena berdialog dengan peristiwa-peristiwa nyata.
F. Contoh-Contoh Asbāb
an-Nuzūl dalam Kehidupan Sosial
- Ayat
tentang hijab (QS. Al-Ahzāb: 59).
Turun setelah beberapa perempuan
Muslimah diganggu oleh kaum munafik di Madinah. Maka Allah menurunkan perintah
untuk berpakaian sopan agar mereka dikenal dan dihormati. Pesan moralnya: hijab
bukan sekadar simbol, melainkan proteksi kehormatan dan identitas sosial.
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا ٥٩
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Asbabun Nuzul ayat
‘Aisyah ra. memaparkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat hijab. Suatu saat, Saudah ra., salah satu istri Rasulullah saw., keluar rumah untuk suatu urusan. ‘Umar bin Khaththâb ra. melihat Saudah ra. dan bertanya, “Mengapa kau keluar rumah?” Saudah ra. bergegas pulang. Ia menemui Rasul saw dan berkata, “Rasulullah, aku keluar rumah untuk suatu urusan. Namun, ‘Umar menegurku.” Atas hal itu, turunlah ayat ini. Lalu, Rasul saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kamu keluar rumah untuk suatu urusan.” (HR. Bukhârî).
- Ayat
tentang larangan riba (QS. Al-Baqarah: 278–279).
Turun setelah umat Islam masih
mempraktikkan riba pada masa transisi ekonomi Madinah. Pesan filosofisnya: keadilan
ekonomi tidak boleh didasarkan pada eksploitasi.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم
مُّؤْمِنِينَ ٢٧٨
Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang beriman.
فَإِن لَّمْ
تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ ٢٧٩
Jika kamu tidak melaksanakannya,
maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat,
maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan
tidak dizalimi (dirugikan).
Asbabun Nuzul ayat 278–279
Ibnu ‘Abbâs ra. berkata, “Suatu
saat, Bani Mughîrah mengadu pada Gubernur Makkah, ‘Atâb bin Usaid ra., bahwa
mereka mengutangkan harta pada Bani Amr bin ‘Auf dari penduduk Tsaqif. Lalu,
Bani Amr bin ‘Auf meminta penyelesaian tagihan riba mereka. Atas konflik ini,
‘Atâb mengirim surat laporan kepada Rasulullah saw. Sebagai jawaban, maka
turunlah kedua ayat ini.” (HR. Abû Ya’lâ dan Ibnu Mandah. Lihat Ibnu Katsir:
1/442–443).
- Ayat
tentang larangan mengolok-olok (QS. Al-Hujurāt: 11).
Turun karena sebagian sahabat
mengejek orang lain dengan panggilan masa lalunya. Pesan sosialnya: Islam
menegakkan martabat manusia melalui adab sosial yang mulia.
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌۭ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟
خَيْرًۭا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌۭ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًۭا
مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَـٰبِ
ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَـٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ
فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ١١
Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan
jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena)
boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang
mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah
saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Empat penulis kitab-kitab Sunan meriwayatkan
dari Abu Jubairah bin Dhahhak, ia berkata, “Dulu seseorang di antara kami ada
yang memiliki dua dan tiga nama lalu ia dipanggil dengan salah satu namanya
agar tidak menyukainya sehingga turunlah ayat, “dan janganlah saling
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” At-Tirmidzi berkata, “Hasan.”
Al-Hakim dan lainnya meriwayatkan
hadisnya juga. Ia berkata, “Dulu pada masa jahiliyah, julukan-julukan sudah
biasa sehingga Nabi saw pernah memanggil seorang lelaki dengan julukannya.
Lantas seseorang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia
tidak menyukai gelar itu.” Allah pun menurunkan firman-Nya, “dan
janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”
Redaksi Ahmad darinya, ia berkata,
“Ayat berikut turun kepada kami di kalangan Bani Salamah, “dan
janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” Bahwa Nabi saw
datang ke Madinah dan saat itu orang-orang di antara kami memiliki dua atau
tiga julukan. Jika beliau memanggil salah seorang dari mereka dengan satu
julukannya maka orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia tidak
menyukai gelar itu.” Lantas turunlah ayat tersebut.”
G. Dimensi
Spiritualitas Wahyu
Turunnya wahyu tidak hanya
mengandung informasi, tetapi juga transformasi batin. Nabi Muhammad saw
mengalami proses tazkiyah (penyucian jiwa) melalui wahyu, sehingga
menjadi model spiritual bagi umat.
إِنَّ هَٰذَا
الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ
يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya Al Quran ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira
kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar,” (QS. Al-Isrā’: 9)
Dalam konteks ini, wahyu berfungsi
sebagai cermin jiwa, bukan hanya bacaan ritual. Ketika mahasiswa membaca
Al-Qur’an dengan kesadaran asbāb an-nuzūl, mereka belajar bahwa setiap ayat
berbicara kepada manusia di zamannya masing-masing.
- Asbāb an-Nuzūl membantu memahami konteks
turunnya ayat dan mencegah kesalahan tafsir.
- Proses turunnya wahyu
berlangsung bertahap sebagai pendidikan spiritual dan moral umat.
- Wahyu bersifat dialogis — ia
berdialog dengan realitas dan menumbuhkan kesadaran etis manusia.
- Mahasiswa perlu mendekati
Al-Qur’an bukan hanya sebagai teks hukum, tetapi juga sebagai pengalaman
spiritual dan reflektif yang menuntun perilaku sosial dan moral.
I. Referensi
- Al-Wāhidī, Abū al-Ḥasan.
Asbāb an-Nuzūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991.
- Al-Suyūṭī,
Jalāluddīn. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Ḥadīth,
2008.
- Al-Zarqānī, Muḥammad
‘Abdul ‘Aẓīm. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān.
Beirut: Dār al-Fikr, 1988.
- Nasr, Seyyed Hossein. The
Study Quran: A New Translation and Commentary. HarperOne, 2015.
- M. Quraish Shihab. Membumikan
Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
- Fazlur Rahman. Major Themes
of the Qur’an. Chicago: University of Chicago Press, 2009.
Hadir Buk
BalasHapusBaik
Hapus