1.1 Definisi dan Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci
umat Islam yang memuat wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Malaikat Jibril. Secara etimologis, kata Al-Qur’an berasal dari
bahasa Arab “qara’a,” yang berarti “membaca” atau “mengumpulkan” (Junaedi,
2015). Istilah ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang dibaca,
dipahami, dan mengumpulkan ajaran-ajaran yang menjadi pedoman hidup. Secara
terminologis, Al-Qur’an dipahami sebagai kalam Allah yang abadi, tidak
mengandung keraguan, dan berfungsi sebagai petunjuk utama umat Islam dalam
menjalani kehidupan (Yusuf & Isnawati, 2023).
Di dalam Al-Qur’an terdapat
petunjuk, hukum, dan kisah-kisah yang mengarahkan manusia menuju kebenaran
serta menjauhkan mereka dari kesesatan. Keunikannya juga tampak pada keindahan
bahasa dan struktur yang teratur, yang tidak tertandingi oleh karya manusia
mana pun (Isgandi, 2022). Keindahan sastra ini menjadikan Al-Qur’an sebagai
sumber inspirasi yang terus dikaji dari perspektif teologi, hukum, sastra, dan
ilmu pengetahuan. Dalam konteks sejarah, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap
selama 23 tahun (610–632 M) agar ajarannya dapat dipahami dan diamalkan secara
bertahap. Setiap ayat yang turun memiliki latar belakang tertentu (asbābun
nuzūl), yang membantu penafsir memahami pesan-pesan wahyu secara lebih
mendalam (Yusuf & Isnawati, 2023).
Al-Qur’an memiliki kemurnian teks
yang terjaga sejak pertama kali diturunkan hingga kini. Tradisi hafalan (tahfiz)
dan penulisan yang ketat telah memastikan tidak ada perubahan sedikit pun dalam
teksnya (Isgandi, 2022). Penyusunan Al-Qur’an menjadi mushaf standar dilakukan
pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan tetap digunakan hingga saat ini.
Susunan Al-Qur’an terdiri dari 114 surah dengan jumlah ayat yang bervariasi,
disusun secara tematik dan didaktik, bukan berdasarkan urutan kronologis
turunnya (Junaedi, 2015). Hubungan tematik antar-surah memperlihatkan keutuhan
pesan Ilahi dan menuntut pendekatan holistik dalam penafsirannya (Isgandi,
2022).
Keindahan bahasanya diakui oleh
para ahli sastra, Muslim maupun non-Muslim. Bahasa Arab klasik yang digunakan
menyajikan pilihan kata, struktur kalimat, ritme, dan aliran bunyi yang
harmonis, menciptakan efek emosional yang mendalam (Isgandi, 2022). Karena itu,
banyak ulama menyebut Al-Qur’an sebagai mukjizat sastra yang tak tertandingi
(Yusuf & Isnawati, 2023). Fleksibilitas makna ayat-ayatnya memungkinkan
penerapan hukum Islam dalam berbagai konteks budaya dan sosial, sehingga
relevan untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an
tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hidup spiritual, tetapi juga sebagai
sumber hukum, moral, dan pengetahuan yang abadi (Yusuf & Isnawati, 2023;
Isgandi, 2022).
1.2 Urgensi Mempelajari
Al-Qur’an dalam Kehidupan Umat Islam
Mempelajari Al-Qur’an merupakan
kewajiban utama bagi setiap Muslim karena posisinya sebagai sumber hukum dan
pedoman hidup paling fundamental. Al-Qur’an tidak hanya memuat ajaran agama,
tetapi juga memberikan petunjuk praktis dalam kehidupan sehari-hari (Hasyim,
2019). Pemahaman mendalam terhadap Al-Qur’an membantu seorang Muslim hidup
sesuai ajaran Islam, memperkuat keyakinan, dan menenangkan batin.
Ajaran-ajarannya mencakup nilai-nilai universal yang relevan bagi etika,
sosial, ekonomi, dan politik (Zamzami, 2020).
Al-Qur’an juga membentuk landasan
moral umat Islam. Ajarannya memandu perilaku dalam hubungan dengan Allah maupun
sesama manusia. Pemahaman konsep tauhid, akhlak, dan ibadah melalui Al-Qur’an
memperkuat karakter moral yang etis dan bertanggung jawab (Nashir, 2021).
Ajaran tentang kejujuran, keadilan, dan kebaikan kepada sesama menjadi pedoman
sosial yang abadi (Hasyim, 2019). Selain itu, Al-Qur’an memberikan motivasi
dalam menghadapi kesulitan hidup. Ia mengajarkan kesabaran, tawakal, dan
semangat belajar serta meneliti alam semesta untuk memahami kebesaran Allah
(Zamzami, 2020).
Urgensi mempelajari Al-Qur’an
juga berkaitan dengan pembentukan masyarakat yang adil. Pemimpin dan pembuat
kebijakan yang memahami Al-Qur’an dapat mengambil keputusan berdasarkan
nilai-nilai Islam yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan sosial (Nashir,
2021). Al-Qur’an bahkan memberi inspirasi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Banyak ilmuwan Muslim terdorong untuk melakukan penelitian atas
dasar isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an, yang kemudian melahirkan kontribusi
penting bagi peradaban manusia (Hasyim, 2019).
Di era globalisasi, tantangan
seperti sekularisme, materialisme, dan konflik sosial menuntut umat Islam untuk
memperkuat pemahaman terhadap Al-Qur’an. Kitab suci ini mengajarkan toleransi
dan penghormatan terhadap perbedaan, yang relevan dalam menghadapi pluralitas
budaya (Zamzami, 2020). Dengan demikian, mempelajari Al-Qur’an bukan hanya
kewajiban religius, tetapi juga kebutuhan spiritual, intelektual, dan sosial
bagi keberlanjutan umat Islam (Hasyim, 2019; Nashir, 2021; Zamzami, 2020).
1.3 Sejarah Penurunan
Al-Qur’an
Sejarah penurunan Al-Qur’an
merupakan bagian penting dalam studi Islam karena menyangkut aspek spiritual
dan konteks historis. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun,
sejak wahyu pertama pada tahun 610 M hingga wafatnya Nabi Muhammad SAW pada
tahun 632 M (Rahman, 2018). Wahyu pertama, Surah Al-‘Alaq ayat 1–5, menandai
misi kenabian Nabi dan menegaskan pentingnya membaca serta menuntut ilmu (Ali,
2020).
Wahyu-wahyu Makkiyah, yang turun
sebelum hijrah ke Madinah, umumnya singkat, berbahasa kuat dan emosional,
menekankan tauhid, akhlak, dan hari kiamat. Ayat-ayat ini bertujuan menggugah
hati masyarakat Quraisy yang menolak Islam dan memberi keteguhan kepada Nabi
dan para pengikutnya (Ali, 2020). Setelah hijrah, ayat-ayat Madaniyah lebih
banyak mengatur hukum, sosial, politik, dan ekonomi, memberikan panduan rinci
bagi komunitas Muslim yang mandiri (Rahman, 2018).
Penurunan Al-Qur’an juga terkait
erat dengan peristiwa besar dalam sejarah Islam, seperti Perang Badar, Perang
Uhud, dan Perjanjian Hudaibiyah. Wahyu-wahyu yang turun pada momen-momen
tersebut berfungsi sebagai arahan dan penghiburan bagi umat Islam. Misalnya,
setelah kekalahan di Perang Uhud, turun ayat yang memotivasi umat agar tetap
sabar dan teguh dalam perjuangan (Mustafa, 2021).
Pada masa itu, tradisi hafalan
menjadi cara utama menjaga kemurnian wahyu karena kemampuan menulis belum
merata. Sebagian ayat ditulis di media sederhana seperti pelepah kurma dan
kulit hewan. Setelah banyak penghafal Al-Qur’an gugur, Khalifah Abu Bakar memprakarsai
pengumpulan wahyu menjadi mushaf. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, mushaf
ini disalin dan disebarkan sebagai standar yang kita kenal sekarang (Rahman,
2018).
Proses kodifikasi ini menegaskan pemeliharaan Allah atas keaslian wahyu-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hijr ayat 9. Sejarah penurunan dan kodifikasi Al-Qur’an bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga pelajaran tentang kebijaksanaan Ilahi dan tanggung jawab umat Islam untuk menjaga kemurnian kitab suci sepanjang zaman (Rahman, 2018; Ali, 2020; Mustafa, 2021).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar