Pendahuluan
Perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bukanlah
sekadar pelengkap narasi heroisme kaum laki-laki. Dalam berbagai fase
perjalanan bangsa, perempuan—khususnya perempuan Muslimah—telah menunjukkan
ketangguhan, kecerdasan, dan integritas dalam menghadapi berbagai tantangan
sosial, politik, dan spiritual. Di tengah era kemerdekaan yang telah dicapai,
pemaknaan ulang terhadap peran perempuan, terutama dalam konteks keislaman dan
kebangsaan, menjadi penting. Bimbingan ini bertujuan mengajak mahasiswa perempuan
untuk merefleksikan peran mereka melalui kerangka berpikir filsafat, yakni
ontologi (hakikat), epistemologi (pengetahuan), dan aksiologi (nilai dan
tindakan).
I. ONTOLOGI: HAKIKAT PEREMPUAN DALAM KEMERDEKAAN DAN
PERJUANGAN
1. Hakikat Perempuan Muslimah: Antara Citra dan Realitas
Dalam pandangan Islam, perempuan adalah makhluk mulia yang
memiliki potensi intelektual, spiritual, dan sosial yang setara dengan
laki-laki. Al-Qur'an menegaskan bahwa keutamaan manusia tidak ditentukan oleh
jenis kelamin, tetapi oleh ketakwaan (QS. Al-Hujurat: 13). Namun, dalam sejarah
yang patriarkal, perempuan sering kali direduksi perannya dalam ruang privat.
Ontologi perempuan Muslimah dalam sejarah Indonesia membuktikan bahwa mereka
adalah aktor aktif perjuangan bangsa.
2. Perempuan dalam Sejarah Kemerdekaan: Realitas Historis
yang Terlupakan
Figur seperti Cut Nyak Dien, Rasuna Said, dan Siti
Walidah Dahlan merepresentasikan hakikat perempuan yang tidak hanya
berperan di domestik, tetapi juga di medan tempur, pendidikan, dan politik.
Mereka tidak berjuang sebagai ‘istri dari’, melainkan sebagai pribadi yang
independen secara moral dan politik. Pemahaman hakikat ini mendesak kita untuk
menolak narasi subordinatif yang masih mengikat perempuan hari ini.
3. Makna Kemerdekaan bagi Perempuan
Kemerdekaan bagi perempuan bukan hanya soal pembebasan dari
kolonialisme, tetapi juga pembebasan dari struktur budaya yang menindas. Dalam
konteks Islam, kemerdekaan dimaknai sebagai tahrir al-insan—pembebasan
manusia dari kebodohan, penindasan, dan kezaliman. Dengan demikian, perempuan
Muslimah dipanggil untuk menjadi subjek perubahan, bukan objek kebijakan.
II. EPISTEMOLOGI: SUMBER PENGETAHUAN TENTANG PEREMPUAN,
KEMERDEKAAN, DAN ISLAM
1. Sumber Historis: Menyibak Lembar Perempuan dalam
Narasi Kemerdekaan
Pengetahuan tentang peran perempuan dalam sejarah seringkali
terabaikan dalam buku teks utama. Mahasiswa perempuan perlu didorong untuk
menggali sumber sejarah alternatif—biografi, arsip surat kabar, dokumen
organisasi perempuan, dan narasi lokal. Dari sumber-sumber ini kita mengetahui
bahwa Rasuna Said, tokoh dari Minangkabau, adalah anggota parlemen
pertama yang menyuarakan pendidikan untuk perempuan dan perlawanan terhadap
kolonialisme melalui pena dan pidato.
2. Sumber Keislaman: Al-Qur’an, Hadis, dan Tafsir
Emansipatoris
Pengetahuan tentang perempuan dalam Islam perlu didalami
secara kritis. Banyak ayat Al-Qur’an yang memberikan ruang partisipasi
perempuan dalam ruang publik: Ummu Waraqah memimpin shalat di kalangannya,
Aisyah menjadi perawi hadis, dan para sahabiyah ikut dalam medan perang.
Epistemologi Islam tidak monolitik—ada tafsir yang membebaskan dan ada pula
yang membatasi. Mahasiswa perlu mengembangkan kecakapan literasi keislaman
dengan pendekatan tafsir yang kontekstual dan progresif.
3. Pendidikan sebagai Media Kritis dan Transformasi
Siti Walidah Dahlan, pendiri Aisyiyah, menyadari pentingnya
pendidikan sebagai cara membebaskan perempuan dari belenggu kebodohan dan
penindasan budaya. Epistemologi pendidikan perempuan harus mengarah pada
pembentukan kesadaran kritis (critical consciousness) agar mampu membaca
realitas sosial, mengidentifikasi ketimpangan, dan berperan aktif dalam
transformasi masyarakat.
III. AKSIOLOGI: IMPLEMENTASI NILAI PERJUANGAN DAN
KEMERDEKAAN DALAM PERAN SOSIAL PEREMPUAN MASA KINI
1. Perempuan sebagai Penjaga Nilai Kebangsaan dan
Moralitas
Di era pascakolonial, tantangan perempuan berubah wujud
menjadi moralitas publik yang terdegradasi, objektifikasi perempuan di media,
dan marginalisasi dalam pengambilan kebijakan publik. Aksiologi perempuan
Muslimah hari ini harus diarahkan pada penguatan nilai-nilai
kebangsaan—nasionalisme yang beradab, toleransi, dan etika sosial. Mahasiswa
perempuan adalah agen yang berperan dalam merawat ruang publik dari praktik
yang merusak moral bangsa.
2. Strategi Peran Muslimah di Era Kontemporer
Perempuan Muslimah masa kini dapat mengimplementasikan nilai
perjuangan melalui beberapa cara:
- Aktif
di organisasi sosial-keagamaan seperti Aisyiyah, IPPNU, Fatayat, atau
komunitas independen perempuan.
- Menjadi
intelektual kritis yang terlibat dalam diskusi publik dan penulisan.
- Berperan
dalam kebijakan publik, baik sebagai politisi, birokrat, atau aktivis.
- Menjadi
teladan dalam keluarga dan komunitas, menanamkan nilai-nilai
kebangsaan sejak dini.
3. Refleksi Tokoh Inspiratif
- Rasuna
Said: pejuang pena dan pidato, menunjukkan bahwa keberanian
intelektual adalah bentuk jihad.
- Cut
Nyak Dien: komandan perempuan yang melawan Belanda sampai akhir hayat.
- Siti Walidah: mendobrak tradisi lewat pendidikan dan pencerahan perempuan.Mereka adalah model aksiologi perjuangan perempuan: berani, cerdas, dan bermoral.
4. Penerapan Nilai-nilai Kemerdekaan dalam Kehidupan
Mahasiswa
Kemerdekaan sejati bagi mahasiswa perempuan adalah mampu
berpikir merdeka, berpendirian, dan bertindak berdasarkan nilai luhur.
Implementasi nilai kemerdekaan bisa dilakukan dengan:
- Melawan
budaya instan dan hedonistik.
- Menghidupkan
budaya baca dan diskusi.
- Mengembangkan
literasi digital yang sehat.
- Menjadi
motor perubahan di kampus dan masyarakat.
Penutup: Menghidupkan Kembali Spirit Perjuangan dalam
Diri Muslimah Muda
Dalam narasi sejarah, kita menemukan bahwa perempuan
Muslimah tidak pernah menjadi pihak yang pasif. Mereka adalah penjaga moral
bangsa, penggerak pendidikan, dan penentu arah peradaban. Hari ini, mahasiswa
perempuan dihadapkan pada medan perjuangan baru: degradasi moral, intoleransi,
dan ketimpangan sosial. Melalui pendekatan filsafat—ontologi, epistemologi, dan
aksiologi—kita diajak untuk tidak hanya memahami hakikat dan sumber pengetahuan
tentang perempuan dan kemerdekaan, tetapi juga untuk mengimplementasikannya
dalam aksi nyata.
Mahasiswa perempuan bukan hanya penonton sejarah, tetapi
pencipta sejarah baru. Perjuangan belum selesai, karena kemerdekaan bukan hanya
warisan, melainkan amanah yang harus diperjuangkan kembali dalam konteks zaman.
Referensi
- Azra,
Azyumardi. (2013). Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
- Rachman,
Budiman. (2008). Rasuna Said: Pejuang Politik dan Pendidikan.
Jakarta: Balai Pustaka.
- Suryanegara,
Ahmad Mansur. (2010). Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan
Santri. Bandung: Salamadani.
- Dahlan,
Ahmad. (2020). Siti Walidah: Jejak Emansipasi Muslimah Awal Abad 20.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
- Quraish
Shihab. (2005). Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah
sampai Nikah Sunah. Jakarta: Lentera Hati.
- Mufidah,
Chusnul. (2019). “Perempuan dalam Perspektif Islam dan Tantangan
Kekinian.” Jurnal Pemikiran Islam, 15(2): 129-146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar