Kamis, 07 Agustus 2025

Perempuan, Kemerdekaan, dan Perjuangan: Refleksi Peran Muslimah dalam Sejarah dan Masa Kini

 


Pendahuluan

Perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bukanlah sekadar pelengkap narasi heroisme kaum laki-laki. Dalam berbagai fase perjalanan bangsa, perempuan—khususnya perempuan Muslimah—telah menunjukkan ketangguhan, kecerdasan, dan integritas dalam menghadapi berbagai tantangan sosial, politik, dan spiritual. Di tengah era kemerdekaan yang telah dicapai, pemaknaan ulang terhadap peran perempuan, terutama dalam konteks keislaman dan kebangsaan, menjadi penting. Bimbingan ini bertujuan mengajak mahasiswa perempuan untuk merefleksikan peran mereka melalui kerangka berpikir filsafat, yakni ontologi (hakikat), epistemologi (pengetahuan), dan aksiologi (nilai dan tindakan).

 

I. ONTOLOGI: HAKIKAT PEREMPUAN DALAM KEMERDEKAAN DAN PERJUANGAN

1. Hakikat Perempuan Muslimah: Antara Citra dan Realitas

Dalam pandangan Islam, perempuan adalah makhluk mulia yang memiliki potensi intelektual, spiritual, dan sosial yang setara dengan laki-laki. Al-Qur'an menegaskan bahwa keutamaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh ketakwaan (QS. Al-Hujurat: 13). Namun, dalam sejarah yang patriarkal, perempuan sering kali direduksi perannya dalam ruang privat. Ontologi perempuan Muslimah dalam sejarah Indonesia membuktikan bahwa mereka adalah aktor aktif perjuangan bangsa.

2. Perempuan dalam Sejarah Kemerdekaan: Realitas Historis yang Terlupakan

Figur seperti Cut Nyak Dien, Rasuna Said, dan Siti Walidah Dahlan merepresentasikan hakikat perempuan yang tidak hanya berperan di domestik, tetapi juga di medan tempur, pendidikan, dan politik. Mereka tidak berjuang sebagai ‘istri dari’, melainkan sebagai pribadi yang independen secara moral dan politik. Pemahaman hakikat ini mendesak kita untuk menolak narasi subordinatif yang masih mengikat perempuan hari ini.

3. Makna Kemerdekaan bagi Perempuan

Kemerdekaan bagi perempuan bukan hanya soal pembebasan dari kolonialisme, tetapi juga pembebasan dari struktur budaya yang menindas. Dalam konteks Islam, kemerdekaan dimaknai sebagai tahrir al-insan—pembebasan manusia dari kebodohan, penindasan, dan kezaliman. Dengan demikian, perempuan Muslimah dipanggil untuk menjadi subjek perubahan, bukan objek kebijakan.

 

II. EPISTEMOLOGI: SUMBER PENGETAHUAN TENTANG PEREMPUAN, KEMERDEKAAN, DAN ISLAM

1. Sumber Historis: Menyibak Lembar Perempuan dalam Narasi Kemerdekaan

Pengetahuan tentang peran perempuan dalam sejarah seringkali terabaikan dalam buku teks utama. Mahasiswa perempuan perlu didorong untuk menggali sumber sejarah alternatif—biografi, arsip surat kabar, dokumen organisasi perempuan, dan narasi lokal. Dari sumber-sumber ini kita mengetahui bahwa Rasuna Said, tokoh dari Minangkabau, adalah anggota parlemen pertama yang menyuarakan pendidikan untuk perempuan dan perlawanan terhadap kolonialisme melalui pena dan pidato.

2. Sumber Keislaman: Al-Qur’an, Hadis, dan Tafsir Emansipatoris

Pengetahuan tentang perempuan dalam Islam perlu didalami secara kritis. Banyak ayat Al-Qur’an yang memberikan ruang partisipasi perempuan dalam ruang publik: Ummu Waraqah memimpin shalat di kalangannya, Aisyah menjadi perawi hadis, dan para sahabiyah ikut dalam medan perang. Epistemologi Islam tidak monolitik—ada tafsir yang membebaskan dan ada pula yang membatasi. Mahasiswa perlu mengembangkan kecakapan literasi keislaman dengan pendekatan tafsir yang kontekstual dan progresif.

3. Pendidikan sebagai Media Kritis dan Transformasi

Siti Walidah Dahlan, pendiri Aisyiyah, menyadari pentingnya pendidikan sebagai cara membebaskan perempuan dari belenggu kebodohan dan penindasan budaya. Epistemologi pendidikan perempuan harus mengarah pada pembentukan kesadaran kritis (critical consciousness) agar mampu membaca realitas sosial, mengidentifikasi ketimpangan, dan berperan aktif dalam transformasi masyarakat.

 

III. AKSIOLOGI: IMPLEMENTASI NILAI PERJUANGAN DAN KEMERDEKAAN DALAM PERAN SOSIAL PEREMPUAN MASA KINI

1. Perempuan sebagai Penjaga Nilai Kebangsaan dan Moralitas

Di era pascakolonial, tantangan perempuan berubah wujud menjadi moralitas publik yang terdegradasi, objektifikasi perempuan di media, dan marginalisasi dalam pengambilan kebijakan publik. Aksiologi perempuan Muslimah hari ini harus diarahkan pada penguatan nilai-nilai kebangsaan—nasionalisme yang beradab, toleransi, dan etika sosial. Mahasiswa perempuan adalah agen yang berperan dalam merawat ruang publik dari praktik yang merusak moral bangsa.

2. Strategi Peran Muslimah di Era Kontemporer

Perempuan Muslimah masa kini dapat mengimplementasikan nilai perjuangan melalui beberapa cara:

  • Aktif di organisasi sosial-keagamaan seperti Aisyiyah, IPPNU, Fatayat, atau komunitas independen perempuan.
  • Menjadi intelektual kritis yang terlibat dalam diskusi publik dan penulisan.
  • Berperan dalam kebijakan publik, baik sebagai politisi, birokrat, atau aktivis.
  • Menjadi teladan dalam keluarga dan komunitas, menanamkan nilai-nilai kebangsaan sejak dini.

3. Refleksi Tokoh Inspiratif

  • Rasuna Said: pejuang pena dan pidato, menunjukkan bahwa keberanian intelektual adalah bentuk jihad.
  • Cut Nyak Dien: komandan perempuan yang melawan Belanda sampai akhir hayat.
  • Siti Walidah: mendobrak tradisi lewat pendidikan dan pencerahan perempuan.
    Mereka adalah model aksiologi perjuangan perempuan: berani, cerdas, dan bermoral.

4. Penerapan Nilai-nilai Kemerdekaan dalam Kehidupan Mahasiswa

Kemerdekaan sejati bagi mahasiswa perempuan adalah mampu berpikir merdeka, berpendirian, dan bertindak berdasarkan nilai luhur. Implementasi nilai kemerdekaan bisa dilakukan dengan:

  • Melawan budaya instan dan hedonistik.
  • Menghidupkan budaya baca dan diskusi.
  • Mengembangkan literasi digital yang sehat.
  • Menjadi motor perubahan di kampus dan masyarakat.

 

Penutup: Menghidupkan Kembali Spirit Perjuangan dalam Diri Muslimah Muda

Dalam narasi sejarah, kita menemukan bahwa perempuan Muslimah tidak pernah menjadi pihak yang pasif. Mereka adalah penjaga moral bangsa, penggerak pendidikan, dan penentu arah peradaban. Hari ini, mahasiswa perempuan dihadapkan pada medan perjuangan baru: degradasi moral, intoleransi, dan ketimpangan sosial. Melalui pendekatan filsafat—ontologi, epistemologi, dan aksiologi—kita diajak untuk tidak hanya memahami hakikat dan sumber pengetahuan tentang perempuan dan kemerdekaan, tetapi juga untuk mengimplementasikannya dalam aksi nyata.

Mahasiswa perempuan bukan hanya penonton sejarah, tetapi pencipta sejarah baru. Perjuangan belum selesai, karena kemerdekaan bukan hanya warisan, melainkan amanah yang harus diperjuangkan kembali dalam konteks zaman.

 

Referensi

  1. Azra, Azyumardi. (2013). Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
  2. Rachman, Budiman. (2008). Rasuna Said: Pejuang Politik dan Pendidikan. Jakarta: Balai Pustaka.
  3. Suryanegara, Ahmad Mansur. (2010). Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri. Bandung: Salamadani.
  4. Dahlan, Ahmad. (2020). Siti Walidah: Jejak Emansipasi Muslimah Awal Abad 20. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
  5. Quraish Shihab. (2005). Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunah. Jakarta: Lentera Hati.
  6. Mufidah, Chusnul. (2019). “Perempuan dalam Perspektif Islam dan Tantangan Kekinian.” Jurnal Pemikiran Islam, 15(2): 129-146.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan, Kemerdekaan, dan Perjuangan: Refleksi Peran Muslimah dalam Sejarah dan Masa Kini

  Pendahuluan Perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bukanlah sekadar pelengkap narasi heroisme kaum laki-laki. Dalam berbaga...