Kamis, 18 Desember 2025

METODOLOGI TAFSIR (Tahlīlī, Ijmālī, Muqāran, dan Maudhū‘ī)

  


Pengantar

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. bukan sekadar untuk dibaca, dilantunkan, atau dihafalkan, melainkan untuk dipahami, direnungi, dan dijadikan pedoman hidup. Hal ini secara tegas ditegaskan Allah Swt. dalam firman-Nya:

“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.”
(QS. Shād [38]: 29)

Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah agar manusia melakukan tadabbur, yakni proses berpikir mendalam terhadap makna, pesan, dan hikmah ayat-ayat-Nya. Bahkan dalam ayat lain, Allah Swt. memberikan teguran keras kepada mereka yang enggan melakukan proses tersebut:

“Maka tidakkah mereka mentadabburi al-Qur’an, ataukah hati mereka telah terkunci?”
(QS. Muhammad [47]: 24)

Dua ayat ini secara filosofis menegaskan bahwa membaca al-Qur’an tanpa pemahaman adalah sebuah keterputusan antara teks wahyu dan kesadaran manusia. Padahal, seseorang tidak mungkin dapat melakukan tadabbur secara benar tanpa memahami maksud lafaz, struktur bahasa, konteks turunnya ayat, serta pesan yang dikandungnya. Dari sinilah urgensi tafsir al-Qur’an menjadi sangat jelas.

Tafsir berfungsi sebagai jembatan antara wahyu Ilahi dan akal manusia, antara teks suci dan realitas kehidupan. Namun, penafsiran al-Qur’an tidak dapat dilakukan secara sembarangan, apalagi hanya berdasarkan selera pribadi. Oleh karena itu, para ulama sejak masa klasik hingga kontemporer telah merumuskan berbagai metode tafsir sebagai panduan agar penafsiran tetap terarah, sistematis, dan tidak menyimpang dari maksud Allah Swt. Metode-metode inilah yang menjadi fondasi keilmuan dalam memahami al-Qur’an secara bertanggung jawab dan moderat.

Pengertian Metodologi Tafsir

Secara etimologis, istilah metodologi berasal dari bahasa Inggris methodology, yang berakar dari bahasa Yunani methodos (cara atau jalan) dan logos (ilmu atau kajian). Dengan demikian, metodologi dapat dipahami sebagai ilmu tentang cara atau prosedur yang sistematis dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam bahasa Arab, istilah metodologi sering dipadankan dengan kata manhaj atau minhāj, yang berarti jalan yang jelas dan terang, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Mā’idah [5]: 48.

Dalam konteks keilmuan, metodologi tidak sekadar menunjuk pada teknik, tetapi mencakup prinsip, pendekatan, dan kerangka berpikir yang digunakan dalam memahami suatu persoalan. Robert Bogdan dan Steven J. Taylor menjelaskan bahwa metodologi mencakup proses, prinsip, dan prosedur dalam mendekati masalah serta menemukan jawabannya secara ilmiah.

Adapun tafsir, secara bahasa berasal dari kata fassara yang berarti menjelaskan, menguraikan, dan menyingkap makna. Tafsir juga bermakna al-īā wa al-tabyīn (penjelasan dan pemaparan), yakni usaha menampakkan makna yang tersembunyi dari suatu lafaz. Para ulama tafsir mendefinisikan tafsir dengan redaksi yang beragam, namun memiliki substansi yang sama. Abu ayyān menyebut tafsir sebagai ilmu yang membahas cara membaca lafaz al-Qur’an, memahami maknanya, menjelaskan hukum-hukumnya, serta mengungkap pesan yang terkandung di dalam struktur bahasanya. Az-Zarqānī menegaskan bahwa tafsir adalah ilmu untuk memahami kandungan al-Qur’an sesuai dengan kehendak Allah Swt. berdasarkan kemampuan manusia.

Dengan demikian, metodologi tafsir dapat disimpulkan sebagai serangkaian langkah dan pendekatan sistematis yang digunakan oleh mufasir untuk memahami, menjelaskan, dan menyampaikan makna al-Qur’an secara benar dan bertanggung jawab.

 

B. Metode-Metode Penafsiran al-Qur’an

Dalam tradisi keilmuan Islam, berkembang empat metode utama penafsiran al-Qur’an, yaitu tahlīlī, ijmālī, muqāran, dan maudhū‘ī. Keempat metode ini lahir dari kebutuhan yang berbeda dan saling melengkapi satu sama lain.

 

1. Metode Tafsir Tahlīlī (Analisis Ayat demi Ayat)

Metode tafsir tahlīlī adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan secara ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf. Kata tahlīlī sendiri bermakna mengurai dan membuka sesuatu secara rinci. Dalam praktiknya, mufasir menjelaskan ayat dari berbagai aspek, mulai dari makna kata, struktur bahasa, munāsabah antarayat, sebab turunnya ayat (asbāb al-nuzūl), hingga kandungan hukum, akidah, dan pesan moral.

Metode ini mencerminkan pendekatan analitis dalam filsafat ilmu, di mana suatu teks dipahami dengan membedah unsur-unsur pembentuknya. Karena itu, tafsir tahlīlī banyak digunakan dalam karya-karya tafsir klasik dan ensiklopedis. Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini antara lain Jāmi‘ al-Bayān karya al-abarī dan Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aīm karya Ibn Katsīr.

Contoh Tafsir Tahlīlī (Analitis)

Contoh Ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

 (QS. al-Baqarah [2]: 183)

Contoh Pendekatan Tahlīlī:

  • Makna mufradat:
    • Kutiba diwajibkan
    • Ṣiyām menahan diri
    • La‘allakum tattaqūn tujuan puasa adalah ketakwaan
  • Asbāb al-nuzūl: Ayat ini turun sebagai penegasan kewajiban puasa Ramadan bagi umat Islam, sebagaimana umat terdahulu.
  • Munāsabah ayat: Ayat ini berkaitan dengan pembinaan spiritual umat setelah pembahasan hukum-hukum sosial.
  • Hukum: Puasa Ramadan wajib bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat.
  • Hikmah: Puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi sarana pendidikan moral dan spiritual menuju ketakwaan.

Penekanan metode: Ayat dibedah secara rinci dari berbagai sisi (bahasa, hukum, tujuan syariat).

Kelebihan metode ini terletak pada kedalaman dan kelengkapan pembahasannya, sedangkan kekurangannya adalah potensi subjektivitas mufasir serta kesan pengulangan pembahasan pada tema-tema tertentu.

 

2. Metode Tafsir Ijmālī (Pemahaman Global dan Ringkas)

Metode ijmālī adalah metode penafsiran yang menjelaskan makna al-Qur’an secara ringkas, padat, dan menyeluruh, tanpa analisis yang panjang. Metode ini banyak digunakan pada masa awal Islam, ketika para sahabat telah menguasai bahasa Arab dan memahami konteks turunnya ayat.

Bahasa yang digunakan dalam tafsir ijmālī biasanya dekat dengan redaksi al-Qur’an, sehingga pembaca merasakan kesederhanaan dan keindahan pesan wahyu. Metode ini sangat efektif untuk pembelajaran dasar dan dakwah, namun kurang memberikan ruang analisis kritis dan dialog dengan persoalan kontemporer.

Contoh Ayat:

وَالْعَصْرِ ۝ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

(QS. al-‘Aṣr [103]: 1–2)

Contoh Tafsir Ijmālī:

Allah bersumpah demi waktu bahwa seluruh manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Penekanan metode: Tidak ada pembahasan gramatika atau perdebatan ulama, tetapi langsung pada pesan utama ayat.

 

3. Metode Tafsir Muqāran (Perbandingan untuk Kedalaman Makna)

Metode muqāran menekankan pendekatan komparatif, yaitu membandingkan ayat dengan ayat lain, ayat dengan hadis, atau pendapat para mufasir. Tujuannya bukan untuk mencari pertentangan, melainkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh dan mendalam.

Metode ini melatih sikap ilmiah, toleran, dan terbuka terhadap perbedaan pendapat. Namun, metode muqāran kurang cocok bagi pemula karena menuntut penguasaan literatur tafsir yang luas.

Contoh Tafsir Muqāran (Perbandingan)

Contoh Ayat 1:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
(QS. ar-Ra‘d [13]: 11)

Contoh Ayat 2:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ
(QS. al-Anfāl [8]: 53)

Analisis Muqāran:

  • Kedua ayat sama-sama membahas perubahan sosial.
  • QS. ar-Ra‘d menekankan inisiatif manusia.
  • QS. al-Anfāl menekankan konsekuensi moral dari perilaku manusia.
  • Kesimpulan: Perubahan dalam Islam bersifat interaksi antara kehendak Allah dan ikhtiar manusia.

Penekanan metode: Membandingkan ayat dengan ayat untuk memperjelas makna.

 

4. Metode Tafsir Maudhū‘ī (Pendekatan Tematik dan Kontekstual)

Metode maudhū‘ī adalah penafsiran al-Qur’an berdasarkan tema tertentu dengan menghimpun seluruh ayat yang berkaitan dengan tema tersebut. Metode ini berkembang pesat di era modern karena dianggap mampu menjawab problematika kehidupan aktual.

Langkah-langkah metode ini meliputi penentuan tema, pengumpulan ayat terkait, analisis kronologis, pengkajian munāsabah, serta penarikan kesimpulan komprehensif. Metode ini dinilai paling relevan untuk mengaitkan al-Qur’an dengan isu-isu sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Contoh Tafsir Maudhū‘ī (Tematik)

Tema: Keadilan dalam Al-Qur’an

Ayat-ayat terkait:

  1. QS. an-Nisā’ [4]: 135
  2. QS. al-Mā’idah [5]: 8
  3. QS. al-Nal [16]: 90

Kesimpulan Tematik: Al-Qur’an menempatkan keadilan sebagai nilai fundamental yang harus ditegakkan tanpa diskriminasi, bahkan terhadap diri sendiri dan kelompok yang dibenci.

Penekanan metode: Ayat-ayat dikumpulkan berdasarkan tema, bukan urutan mushaf.

 

Integrasi Metode Tafsir dalam Pembelajaran

Dalam praktik pembelajaran, keempat metode tafsir ini tidak berdiri secara terpisah, melainkan saling melengkapi. Tafsir tahlīlī memberikan kedalaman, ijmālī menawarkan kemudahan, muqāran menumbuhkan sikap kritis, dan maudhū‘ī menghadirkan relevansi kontekstual. Pendekatan interaktif dapat dilakukan dengan meminta mahasiswa membandingkan hasil tafsir tahlīlī dan ijmālī terhadap satu ayat, atau menyusun kajian tematik sederhana sebagai latihan tafsir maudhū‘ī. Dengan demikian, pembelajaran tafsir tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga aplikatif dan menyenangkan. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. al-Bukhārī), hadis ini menegaskan bahwa proses belajar tafsir adalah bagian dari ibadah intelektual.

“Metode tafsir bukan sekadar alat akademik, tetapi jalan untuk berdialog dengan wahyu secara sadar dan bertanggung jawab.”

Melalui latihan ini, mahasiswa diharapkan tidak hanya memahami teori metodologi tafsir, tetapi juga mengalami langsung proses menafsirkan, sehingga al-Qur’an terasa hidup, dekat, dan relevan dengan realitas mereka.

 

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penafsiran al-Qur’an memiliki beragam metode, yakni tahlīlī, ijmālī, muqāran, dan maudhū‘ī, yang masing-masing memiliki karakteristik, kelebihan, dan keterbatasan. Tidak ada satu metode pun yang paling benar secara mutlak, karena semuanya saling melengkapi sesuai kebutuhan dan konteks.

Mempelajari tafsir al-Qur’an merupakan kebutuhan mendasar bagi umat Islam, terutama dalam menghadirkan pemahaman keagamaan yang moderat, kontekstual, dan berkeadaban. Namun, proses ini harus dilakukan dengan bekal keilmuan yang memadai, termasuk penguasaan bahasa Arab, agar tidak terjebak pada penafsiran yang keliru dan menyesatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

METODOLOGI TAFSIR (Tahlīlī, Ijmālī, Muqāran, dan Maudhū‘ī)

    Pengantar Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. bukan sekadar untuk dibaca, dilantunkan, atau dihafalkan, melainkan untuk dipahami, d...