Sabtu, 30 Agustus 2025

Cinta Tanah Air Bagian dari Iman - Perspektif Islam tentang Nasionalisme

Pendahuluan

Mahasiswa perempuan sebagai bagian dari generasi intelektual bangsa memiliki tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial dalam menjaga keberlangsungan nilai-nilai keislaman serta kebangsaan. Dalam konteks keindonesiaan, kesadaran cinta tanah air menjadi fondasi penting yang menopang nasionalisme sekaligus membentuk karakter religius yang berintegritas. Nasionalisme dalam Islam bukanlah sekadar ideologi politik, melainkan bagian dari nilai iman yang menuntun umat untuk menjaga keamanan, persatuan, dan martabat bangsa. Ungkapan “Hubbul Wathan minal Iman” atau “cinta tanah air sebagian dari iman” telah menjadi spirit yang menghubungkan dimensi religiusitas dengan tanggung jawab kebangsaan.

Untuk memperdalam pemahaman mahasiswa perempuan mengenai tema ini, diperlukan kajian dengan pendekatan filsafat yang sistematis. Pendekatan ontologi membantu kita memahami hakikat cinta tanah air dalam perspektif Islam; epistemologi menguraikan sumber pengetahuan yang melandasi nasionalisme Islami; sedangkan aksiologi menuntun pada implementasi nyata cinta tanah air dalam kehidupan sosial, akademik, dan keperempuanan. Dengan alur ini, mahasiswa perempuan diharapkan mampu menginternalisasi nilai-nilai nasionalisme Islami yang kokoh, bukan hanya dalam tataran wacana, tetapi juga dalam tindakan nyata.

 

Hakikat Cinta Tanah Air dalam Islam

Ontologi membicarakan tentang hakikat suatu konsep. Dalam konteks ini, hakikat cinta tanah air adalah kesadaran akan keterikatan eksistensial manusia dengan lingkungan, budaya, bangsa, dan negara tempat ia dilahirkan. Dalam pandangan Islam, manusia adalah khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]:30), yang berarti memiliki tanggung jawab menjaga dan memakmurkan bumi, termasuk wilayah tempat tinggalnya. Tanah air bukan sekadar ruang geografis, melainkan amanah Tuhan yang wajib dipelihara.

Hakikat cinta tanah air dalam Islam dapat dipahami melalui tiga dimensi. Pertama, dimensi spiritual, yaitu kesadaran bahwa tanah air adalah karunia Allah yang harus disyukuri. Nabi Muhammad menunjukkan rasa cinta kepada Makkah dengan berkata, “Engkau adalah negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaummu tidak mengusirku darimu, aku tidak akan meninggalkanmu” (HR. Tirmidzi). Kedua, dimensi sosial, yaitu tanah air menjadi wadah interaksi manusia yang membentuk identitas kolektif, kebudayaan, dan solidaritas. Ketiga, dimensi politik, yaitu tanah air merupakan arena kedaulatan umat yang harus dijaga dari segala bentuk penjajahan dan perpecahan.

Dalam perspektif ontologi feminis, cinta tanah air juga terkait dengan posisi perempuan sebagai penjaga kehidupan. Perempuan bukan hanya berperan domestik, tetapi juga sebagai agen kebudayaan, pendidik generasi, dan penggerak kebangsaan. Di Indonesia, tokoh perempuan seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan RA Kartini menjadi bukti historis bahwa cinta tanah air telah menjadi energi perjuangan perempuan. Dengan demikian, hakikat cinta tanah air dalam Islam bukanlah konsep abstrak, tetapi realitas yang menyatu dengan iman, sejarah, dan peran sosial perempuan.

 

Sumber Pengetahuan Nasionalisme Islami

Epistemologi membicarakan asal-usul, sumber, dan validitas pengetahuan. Pemahaman tentang cinta tanah air dalam perspektif Islam bersumber dari tiga landasan utama: wahyu, akal, dan pengalaman sejarah.

Pertama, wahyu. Al-Qur’an dan hadis memberikan fondasi teologis tentang kewajiban menjaga negeri. QS. An-Nisa [4]:59 menegaskan pentingnya taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri (pemimpin). Prinsip ini menjadi dasar bahwa ketaatan kepada pemerintah yang sah adalah bagian dari ibadah, selama tidak bertentangan dengan syariat. Hadis Nabi juga menegaskan pentingnya membela tanah air: “Barangsiapa mati dalam mempertahankan hartanya, maka ia syahid; barangsiapa mati dalam mempertahankan keluarganya, maka ia syahid; barangsiapa mati dalam mempertahankan agamanya, maka ia syahid; dan barangsiapa mati dalam mempertahankan darahnya, maka ia syahid” (HR. Abu Daud). Dalil ini menunjukkan legitimasi Islam terhadap perjuangan menjaga kedaulatan bangsa.

Kedua, akal. Nasionalisme Islami dapat dipahami melalui analisis rasional bahwa tanpa tanah air yang aman dan damai, ibadah dan kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik. Kaidah fiqh menyebutkan, “Ad-dharuriyat muqaddam ‘ala al-hajiyat” (kepentingan yang mendesak lebih didahulukan daripada kebutuhan). Dalam hal ini, menjaga tanah air merupakan dharuriyat (primer) karena menyangkut keselamatan jiwa dan agama.

Ketiga, pengalaman sejarah. Sejarah Islam mencatat perjuangan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah yang membangun negara berbasis kesepakatan bersama berbagai komunitas, menunjukkan bahwa nasionalisme Islami bersifat inklusif. Di Indonesia, perjuangan ulama dan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Sarekat Islam menjadi bukti bahwa nasionalisme berakar kuat dalam iman. Pidato KH. Hasyim Asy’ari tentang Resolusi Jihad (1945) yang menyerukan kewajiban mempertahankan tanah air dari penjajah menjadi epistemologi praktis bahwa nasionalisme dalam Islam bersifat jihad fi sabilillah.

Bagi mahasiswa perempuan, epistemologi ini harus diinternalisasi dalam paradigma berpikir kritis. Mereka harus mampu menyatukan nalar keislaman dengan realitas kebangsaan sehingga nasionalisme tidak hanya menjadi jargon, tetapi menjadi kerangka berpikir yang memandu perilaku sosial, akademik, dan spiritual.

 

Implementasi Cinta Tanah Air dalam Kehidupan Mahasiswa Perempuan

Aksiologi menekankan aspek nilai dan manfaat suatu pengetahuan. Dalam konteks bimbingan penyuluhan, penting bagi mahasiswa perempuan untuk memahami bagaimana cinta tanah air diwujudkan dalam tindakan nyata. Ada tiga ranah utama implementasi: spiritual, intelektual, dan sosial.

  1. Ranah Spiritual

Mahasiswa perempuan dapat mengekspresikan cinta tanah air dengan meningkatkan doa dan syukur kepada Allah atas karunia negeri yang aman. Bentuk spiritualitas cinta tanah air juga tercermin melalui pengamalan ibadah yang konsisten, menjaga akhlak, serta menjauhi perbuatan yang merusak kehormatan bangsa.

  1. Ranah Intelektual

Mahasiswa perempuan harus mengisi kecintaan pada tanah air dengan prestasi akademik. Belajar dengan sungguh-sungguh, menghasilkan karya ilmiah, dan berkontribusi dalam penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat adalah wujud nasionalisme intelektual. Dalam standar KKNI Level 9, mahasiswa perempuan tidak hanya dituntut memahami teori, tetapi juga mampu mengembangkan gagasan orisinal yang relevan dengan kebutuhan bangsa.

  1. Ranah Sosial

Nasionalisme Islami menuntut kepedulian sosial. Mahasiswa perempuan dapat terlibat aktif dalam kegiatan sosial seperti pemberdayaan masyarakat, literasi kesehatan, advokasi perempuan, hingga gerakan lingkungan. Aksi kecil seperti menjaga kebersihan kampus, mendukung produk lokal, dan menghormati keberagaman adalah wujud praktis cinta tanah air.

Dalam aksiologi feminis, cinta tanah air juga diwujudkan dalam pemberdayaan perempuan. Mahasiswa perempuan tidak boleh terjebak pada stereotip bahwa perannya hanya domestik. Justru, melalui pendidikan tinggi, mereka memiliki tanggung jawab melahirkan gagasan baru, kepemimpinan moral, dan kontribusi nyata untuk bangsa. Dengan demikian, nasionalisme Islami menjadi landasan aksiologi yang memadukan iman, ilmu, dan amal.

 

Implikasi Penyuluhan

Penyuluhan bagi mahasiswa perempuan dengan tema cinta tanah air bagian dari iman memiliki beberapa implikasi strategis. Pertama, implikasi personal, yaitu membentuk karakter mahasiswa perempuan yang religius, kritis, dan nasionalis. Kedua, implikasi akademik, yaitu menumbuhkan tradisi keilmuan yang berorientasi pada pembangunan bangsa. Ketiga, implikasi sosial, yaitu memperkuat peran mahasiswa perempuan sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

Metode penyuluhan dapat dilakukan melalui pendekatan dialogis, studi kasus, dan refleksi filosofis. Mahasiswa diajak untuk berdiskusi mengenai isu-isu aktual seperti intoleransi, radikalisme, ketidakadilan gender, dan degradasi lingkungan, lalu merelevansikannya dengan nilai cinta tanah air. Dengan demikian, penyuluhan tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga transformatif.

 

Kesimpulan

Cinta tanah air sebagai bagian dari iman adalah prinsip fundamental dalam Islam yang memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ontologinya menegaskan bahwa tanah air adalah amanah Allah yang harus dijaga; epistemologinya menyatakan bahwa nasionalisme Islami bersumber dari wahyu, akal, dan sejarah; aksiologinya mengarahkan pada implementasi nyata melalui spiritualitas, intelektualitas, dan kepedulian sosial.

Bagi mahasiswa perempuan, cinta tanah air bukan hanya kesadaran pasif, tetapi komitmen aktif yang diwujudkan dalam belajar, berkarya, dan mengabdi untuk masyarakat. Melalui pendekatan filsafat, mereka dapat memahami secara mendalam dan holistik bagaimana nasionalisme Islami menjadi bagian dari iman sekaligus energi kebangsaan. Dengan begitu, penyuluhan ini diharapkan melahirkan generasi perempuan muslimah yang beriman, cerdas, berdaya, dan nasionalis.

 

Referensi

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Hadis Nabi Muhammad (HR. Tirmidzi, HR. Abu Daud)
  • Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
  • Madjid, Nurcholish. (1992). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
  • Azra, Azyumardi. (2013). Indonesia, Islam, and Democracy. Jakarta: Equinox.
  • Hasyim, Syafiq. (2015). Islam, Politik, dan Kebangsaan. Jakarta: Pustaka Alvabet.
  • Nashir, Haedar. (2015). Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Mizan.
  • Zuhdi, Muhammad Harfin. (2019). “Nasionalisme dalam Perspektif Islam.” Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, 11(2).

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ekoteologi dalam Keteladanan Nabi Muhammad SAW

  Pendahuluan Maulid Nabi Muhammad SAW bukan hanya momen historis memperingati kelahiran Rasulullah, tetapi juga momentum reflektif bagi u...