Pendahuluan
Mahasiswa perempuan sebagai
bagian dari generasi intelektual bangsa memiliki tanggung jawab moral,
spiritual, dan sosial dalam menjaga keberlangsungan nilai-nilai keislaman serta
kebangsaan. Dalam konteks keindonesiaan, kesadaran cinta tanah air menjadi fondasi
penting yang menopang nasionalisme sekaligus membentuk karakter religius yang
berintegritas. Nasionalisme dalam Islam bukanlah sekadar ideologi politik,
melainkan bagian dari nilai iman yang menuntun umat untuk menjaga keamanan,
persatuan, dan martabat bangsa. Ungkapan “Hubbul Wathan minal Iman” atau “cinta
tanah air sebagian dari iman” telah menjadi spirit yang menghubungkan dimensi
religiusitas dengan tanggung jawab kebangsaan.
Untuk memperdalam pemahaman
mahasiswa perempuan mengenai tema ini, diperlukan kajian dengan pendekatan
filsafat yang sistematis. Pendekatan ontologi membantu kita memahami hakikat
cinta tanah air dalam perspektif Islam; epistemologi menguraikan sumber pengetahuan
yang melandasi nasionalisme Islami; sedangkan aksiologi menuntun pada
implementasi nyata cinta tanah air dalam kehidupan sosial, akademik, dan
keperempuanan. Dengan alur ini, mahasiswa perempuan diharapkan mampu
menginternalisasi nilai-nilai nasionalisme Islami yang kokoh, bukan hanya dalam
tataran wacana, tetapi juga dalam tindakan nyata.
Hakikat Cinta Tanah Air dalam
Islam
Ontologi membicarakan tentang
hakikat suatu konsep. Dalam konteks ini, hakikat cinta tanah air adalah
kesadaran akan keterikatan eksistensial manusia dengan lingkungan, budaya,
bangsa, dan negara tempat ia dilahirkan. Dalam pandangan Islam, manusia adalah
khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]:30), yang berarti memiliki tanggung
jawab menjaga dan memakmurkan bumi, termasuk wilayah tempat tinggalnya. Tanah
air bukan sekadar ruang geografis, melainkan amanah Tuhan yang wajib
dipelihara.
Hakikat cinta tanah air dalam
Islam dapat dipahami melalui tiga dimensi. Pertama, dimensi spiritual, yaitu
kesadaran bahwa tanah air adalah karunia Allah yang harus disyukuri. Nabi
Muhammad ﷺ
menunjukkan rasa cinta kepada Makkah dengan berkata, “Engkau adalah negeri yang
paling aku cintai. Seandainya kaummu tidak mengusirku darimu, aku tidak akan
meninggalkanmu” (HR. Tirmidzi). Kedua, dimensi sosial, yaitu tanah air menjadi
wadah interaksi manusia yang membentuk identitas kolektif, kebudayaan, dan
solidaritas. Ketiga, dimensi politik, yaitu tanah air merupakan arena
kedaulatan umat yang harus dijaga dari segala bentuk penjajahan dan perpecahan.
Dalam perspektif ontologi
feminis, cinta tanah air juga terkait dengan posisi perempuan sebagai penjaga
kehidupan. Perempuan bukan hanya berperan domestik, tetapi juga sebagai agen
kebudayaan, pendidik generasi, dan penggerak kebangsaan. Di Indonesia, tokoh
perempuan seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan RA Kartini
menjadi bukti historis bahwa cinta tanah air telah menjadi energi perjuangan
perempuan. Dengan demikian, hakikat cinta tanah air dalam Islam bukanlah konsep
abstrak, tetapi realitas yang menyatu dengan iman, sejarah, dan peran sosial
perempuan.
Sumber Pengetahuan
Nasionalisme Islami
Epistemologi membicarakan
asal-usul, sumber, dan validitas pengetahuan. Pemahaman tentang cinta tanah air
dalam perspektif Islam bersumber dari tiga landasan utama: wahyu, akal, dan
pengalaman sejarah.
Pertama, wahyu. Al-Qur’an dan
hadis memberikan fondasi teologis tentang kewajiban menjaga negeri. QS. An-Nisa
[4]:59 menegaskan pentingnya taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri
(pemimpin). Prinsip ini menjadi dasar bahwa ketaatan kepada pemerintah yang sah
adalah bagian dari ibadah, selama tidak bertentangan dengan syariat. Hadis Nabi
ﷺ
juga menegaskan pentingnya membela tanah air: “Barangsiapa mati dalam
mempertahankan hartanya, maka ia syahid; barangsiapa mati dalam mempertahankan
keluarganya, maka ia syahid; barangsiapa mati dalam mempertahankan agamanya,
maka ia syahid; dan barangsiapa mati dalam mempertahankan darahnya, maka ia
syahid” (HR. Abu Daud). Dalil ini menunjukkan legitimasi Islam terhadap
perjuangan menjaga kedaulatan bangsa.
Kedua, akal. Nasionalisme Islami
dapat dipahami melalui analisis rasional bahwa tanpa tanah air yang aman dan
damai, ibadah dan kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik. Kaidah
fiqh menyebutkan, “Ad-dharuriyat muqaddam ‘ala al-hajiyat” (kepentingan
yang mendesak lebih didahulukan daripada kebutuhan). Dalam hal ini, menjaga
tanah air merupakan dharuriyat (primer) karena menyangkut keselamatan jiwa dan
agama.
Ketiga, pengalaman sejarah.
Sejarah Islam mencatat perjuangan Nabi Muhammad ﷺ dalam Piagam Madinah yang membangun negara
berbasis kesepakatan bersama berbagai komunitas, menunjukkan bahwa nasionalisme
Islami bersifat inklusif. Di Indonesia, perjuangan ulama dan organisasi Islam
seperti Muhammadiyah, NU, dan Sarekat Islam menjadi bukti bahwa nasionalisme
berakar kuat dalam iman. Pidato KH. Hasyim Asy’ari tentang Resolusi Jihad
(1945) yang menyerukan kewajiban mempertahankan tanah air dari penjajah menjadi
epistemologi praktis bahwa nasionalisme dalam Islam bersifat jihad fi
sabilillah.
Bagi mahasiswa perempuan,
epistemologi ini harus diinternalisasi dalam paradigma berpikir kritis. Mereka
harus mampu menyatukan nalar keislaman dengan realitas kebangsaan sehingga
nasionalisme tidak hanya menjadi jargon, tetapi menjadi kerangka berpikir yang
memandu perilaku sosial, akademik, dan spiritual.
Implementasi Cinta Tanah Air
dalam Kehidupan Mahasiswa Perempuan
Aksiologi menekankan aspek nilai
dan manfaat suatu pengetahuan. Dalam konteks bimbingan penyuluhan, penting bagi
mahasiswa perempuan untuk memahami bagaimana cinta tanah air diwujudkan dalam
tindakan nyata. Ada tiga ranah utama implementasi: spiritual, intelektual, dan
sosial.
- Ranah Spiritual
Mahasiswa
perempuan dapat mengekspresikan cinta tanah air dengan meningkatkan doa dan
syukur kepada Allah atas karunia negeri yang aman. Bentuk spiritualitas cinta
tanah air juga tercermin melalui pengamalan ibadah yang konsisten, menjaga
akhlak, serta menjauhi perbuatan yang merusak kehormatan bangsa.
- Ranah Intelektual
Mahasiswa
perempuan harus mengisi kecintaan pada tanah air dengan prestasi akademik.
Belajar dengan sungguh-sungguh, menghasilkan karya ilmiah, dan berkontribusi
dalam penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat adalah wujud nasionalisme
intelektual. Dalam standar KKNI Level 9, mahasiswa perempuan tidak hanya
dituntut memahami teori, tetapi juga mampu mengembangkan gagasan orisinal yang
relevan dengan kebutuhan bangsa.
- Ranah Sosial
Nasionalisme
Islami menuntut kepedulian sosial. Mahasiswa perempuan dapat terlibat aktif
dalam kegiatan sosial seperti pemberdayaan masyarakat, literasi kesehatan,
advokasi perempuan, hingga gerakan lingkungan. Aksi kecil seperti menjaga
kebersihan kampus, mendukung produk lokal, dan menghormati keberagaman adalah
wujud praktis cinta tanah air.
Dalam aksiologi feminis, cinta
tanah air juga diwujudkan dalam pemberdayaan perempuan. Mahasiswa perempuan
tidak boleh terjebak pada stereotip bahwa perannya hanya domestik. Justru,
melalui pendidikan tinggi, mereka memiliki tanggung jawab melahirkan gagasan
baru, kepemimpinan moral, dan kontribusi nyata untuk bangsa. Dengan demikian,
nasionalisme Islami menjadi landasan aksiologi yang memadukan iman, ilmu, dan
amal.
Implikasi Penyuluhan
Penyuluhan bagi mahasiswa
perempuan dengan tema cinta tanah air bagian dari iman memiliki beberapa
implikasi strategis. Pertama, implikasi personal, yaitu membentuk karakter
mahasiswa perempuan yang religius, kritis, dan nasionalis. Kedua, implikasi
akademik, yaitu menumbuhkan tradisi keilmuan yang berorientasi pada pembangunan
bangsa. Ketiga, implikasi sosial, yaitu memperkuat peran mahasiswa perempuan
sebagai agen perubahan dalam masyarakat.
Metode penyuluhan dapat dilakukan
melalui pendekatan dialogis, studi kasus, dan refleksi filosofis. Mahasiswa
diajak untuk berdiskusi mengenai isu-isu aktual seperti intoleransi,
radikalisme, ketidakadilan gender, dan degradasi lingkungan, lalu merelevansikannya
dengan nilai cinta tanah air. Dengan demikian, penyuluhan tidak hanya bersifat
normatif, tetapi juga transformatif.
Kesimpulan
Cinta tanah air sebagai bagian
dari iman adalah prinsip fundamental dalam Islam yang memiliki dimensi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ontologinya menegaskan bahwa tanah
air adalah amanah Allah yang harus dijaga; epistemologinya menyatakan bahwa
nasionalisme Islami bersumber dari wahyu, akal, dan sejarah; aksiologinya
mengarahkan pada implementasi nyata melalui spiritualitas, intelektualitas, dan
kepedulian sosial.
Bagi mahasiswa perempuan, cinta
tanah air bukan hanya kesadaran pasif, tetapi komitmen aktif yang diwujudkan
dalam belajar, berkarya, dan mengabdi untuk masyarakat. Melalui pendekatan
filsafat, mereka dapat memahami secara mendalam dan holistik bagaimana
nasionalisme Islami menjadi bagian dari iman sekaligus energi kebangsaan.
Dengan begitu, penyuluhan ini diharapkan melahirkan generasi perempuan muslimah
yang beriman, cerdas, berdaya, dan nasionalis.
Referensi
- Al-Qur’an al-Karim
- Hadis Nabi Muhammad ﷺ
(HR. Tirmidzi, HR. Abu Daud)
- Al-Attas, Syed
Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
- Madjid, Nurcholish.
(1992). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
- Azra, Azyumardi.
(2013). Indonesia, Islam, and Democracy. Jakarta: Equinox.
- Hasyim, Syafiq.
(2015). Islam, Politik, dan Kebangsaan. Jakarta: Pustaka Alvabet.
- Nashir, Haedar.
(2015). Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.
Bandung: Mizan.
- Zuhdi, Muhammad
Harfin. (2019). “Nasionalisme dalam Perspektif Islam.” Jurnal Studi
Islam dan Kemasyarakatan, 11(2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar