Pendahuluan
Mahasiswa perempuan Muslim adalah
garda terdepan dalam membangun peradaban bangsa melalui ilmu dan akhlak. Di
tengah dinamika globalisasi dan transformasi digital, konsep “Merdeka
Belajar” yang digagas pemerintah sejalan dengan semangat Islam yang
mendorong kebebasan berpikir, kreativitas, dan inovasi. Namun, kebebasan
belajar tidak dapat dipisahkan dari dimensi akhlak. Tanpa akhlak, kebebasan
akan kehilangan arah, bahkan dapat menjadi destruktif. Oleh karena itu, gagasan
“Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak” menjadi penting sebagai paradigma
baru mahasiswa Muslim dalam mengaktualisasikan revolusi mental bangsa.
Revolusi mental yang dicanangkan
pemerintah bertujuan membentuk masyarakat Indonesia yang berintegritas, etos
kerja tinggi, dan gotong royong. Namun, revolusi mental tidak dapat berhasil
hanya dengan regulasi formal, melainkan harus dihidupi oleh generasi muda,
khususnya mahasiswa Muslim. Dengan bekal iman, ilmu, dan akhlak, mahasiswa
perempuan memiliki kapasitas besar untuk melahirkan perubahan mentalitas
bangsa, mulai dari lingkup kampus hingga masyarakat luas.
Dalam perspektif filsafat,
gagasan ini dapat dianalisis melalui tiga kerangka: ontologi (hakikat
merdeka belajar dan berakhlak), epistemologi (sumber pengetahuan dan
cara mencapai kebebasan belajar yang berakhlak), dan aksiologi (nilai
dan manfaat implementasi bagi mahasiswa Muslim serta bangsa). Dengan alur
berpikir ini, mahasiswa perempuan diharapkan memahami secara mendalam dan mampu
mengimplementasikan peran strategisnya dalam revolusi mental bangsa.
Ontologi: Hakikat Merdeka
Belajar dan Merdeka Berakhlak
Ontologi menanyakan hakikat
sesuatu. Apa hakikat merdeka belajar? Dalam konteks filsafat pendidikan,
merdeka belajar adalah kebebasan akademik yang memungkinkan mahasiswa mencari,
mengembangkan, dan mengaplikasikan ilmu sesuai potensi tanpa belenggu birokrasi
kaku. Hakikatnya adalah ruang otonomi untuk mengaktualisasi potensi manusia
seutuhnya. Namun, kebebasan ini bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan
kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam perspektif Islam, belajar
adalah kewajiban sepanjang hayat (thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli
muslimin wa muslimatin). Belajar berarti ibadah, sehingga kebebasan belajar
tidak boleh tercerabut dari nilai akhlak. Inilah hakikat merdeka berakhlak,
yakni kemampuan menjaga kebebasan intelektual dengan bimbingan iman dan
moralitas. Tanpa akhlak, merdeka belajar hanya akan melahirkan intelektual yang
cerdas tetapi kehilangan arah moral.
Hakikat revolusi mental, bila
ditinjau secara ontologis, adalah transformasi mendasar dalam cara berpikir,
merasa, dan bertindak bangsa. Mahasiswa Muslim sebagai agen perubahan memiliki
eksistensi ganda: sebagai hamba Allah dan warga bangsa. Eksistensi ini
melahirkan tanggung jawab ganda pula: menjaga iman sekaligus membangun
peradaban bangsa. Dengan demikian, ontologi “Merdeka Belajar, Merdeka
Berakhlak” menekankan keseimbangan antara kebebasan intelektual dan
kedisiplinan moral.
Epistemologi: Sumber
Pengetahuan dan Jalan Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak
Epistemologi menyoal bagaimana
pengetahuan diperoleh dan divalidasi. Dalam konteks ini, merdeka belajar dan
merdeka berakhlak memiliki fondasi epistemologis yang bersumber dari tiga hal: wahyu,
akal, dan pengalaman sejarah.
Pertama, wahyu. Al-Qur’an
berulang kali mendorong umat Islam untuk belajar, menalar, dan mengembangkan
ilmu. QS. Al-‘Alaq [96]:1-5 menegaskan pentingnya membaca dan menulis sebagai
pintu ilmu. QS. Luqman [31]:17-19 menekankan pentingnya akhlak dalam menegakkan
kebenaran. Wahyu menjadi sumber primer yang menyeimbangkan kebebasan belajar
dengan akhlak.
Kedua, akal. Islam
memberikan penghargaan tinggi terhadap akal. Rasionalitas mendorong mahasiswa
untuk kritis, kreatif, dan inovatif. Namun, akal tidak berdiri sendiri. Akal
harus dituntun iman agar tidak tersesat dalam hedonisme intelektual.
Epistemologi Islam menegaskan bahwa kebenaran diperoleh melalui integrasi
antara wahyu dan akal.
Ketiga, pengalaman sejarah.
Sejarah peradaban Islam menunjukkan betapa kebebasan belajar yang diiringi
akhlak menghasilkan kemajuan besar. Peradaban Baghdad, Kairo, dan Andalusia
menjadi saksi lahirnya ilmuwan Muslim yang tidak hanya cerdas, tetapi juga
berakhlak. Di Indonesia, sejarah pergerakan nasional membuktikan bahwa
mahasiswa Muslim berperan besar dalam perjuangan bangsa, dari Sumpah Pemuda
1928, pendirian organisasi Islam, hingga perjuangan kemerdekaan.
Epistemologi modern pun
menguatkan paradigma merdeka belajar. Kurikulum Kampus Merdeka memberikan
keleluasaan mahasiswa untuk belajar lintas disiplin dan terjun langsung ke
masyarakat. Bagi mahasiswa Muslim, kesempatan ini harus ditopang akhlak, agar
pengalaman belajar tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memperkuat
nilai iman dan kepedulian sosial.
Aksiologi: Implementasi
Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak dalam Revolusi Mental
Aksiologi membicarakan nilai,
tujuan, dan manfaat pengetahuan. Pertanyaannya: untuk apa mahasiswa Muslim
belajar dengan merdeka dan berakhlak? Jawabannya adalah untuk merealisasikan
revolusi mental bangsa yang bermartabat. Implementasi aksiologi ini dapat
dilihat dari tiga ranah utama: pribadi, akademik, dan sosial.
1. Ranah Pribadi
Merdeka belajar memberi ruang
bagi mahasiswa perempuan untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi dirinya.
Namun, hal ini harus sejalan dengan merdeka berakhlak, yaitu menjaga identitas
sebagai Muslimah. Implementasi pribadi meliputi: menjaga kesalehan individu,
konsistensi ibadah, kedisiplinan belajar, serta integritas moral. Dengan
demikian, mahasiswa tidak hanya pintar, tetapi juga berkarakter.
2. Ranah Akademik
Mahasiswa Muslim dituntut
menghasilkan karya ilmiah, inovasi, dan solusi bagi masalah bangsa. Merdeka
belajar membuka akses ke berbagai sumber ilmu, baik melalui riset, program
pertukaran, maupun pengabdian masyarakat. Namun, semua itu harus dilandasi etika
akademik: jujur, kritis, dan bermanfaat. Seorang mahasiswa yang merdeka
berakhlak tidak akan melakukan plagiarisme, tidak menempuh jalan pintas, dan
selalu mengedepankan integritas.
3. Ranah Sosial
Revolusi mental bangsa tidak akan
berhasil tanpa peran sosial mahasiswa. Mahasiswa Muslim harus hadir di tengah
masyarakat sebagai agen perubahan, pendidik, dan advokat moral. Implementasi
nyata bisa berupa: program literasi, pemberdayaan perempuan, advokasi
lingkungan, hingga gerakan sosial berbasis nilai Islam. Akhlak menjadi fondasi
utama agar kontribusi ini tidak sekadar formalitas, tetapi benar-benar membawa
maslahat bagi umat dan bangsa.
Dalam konteks gender, merdeka
belajar dan berakhlak memberi peluang besar bagi mahasiswa perempuan untuk
membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pelengkap, tetapi motor penggerak
revolusi mental bangsa. Mahasiswi Muslim dapat tampil sebagai pemimpin organisasi,
peneliti unggul, pendidik masyarakat, sekaligus penjaga moralitas bangsa.
Implikasi Bimbingan Penyuluhan
Penyuluhan dengan tema ini
memiliki implikasi penting:
- Implikasi Personal
Mahasiswa
perempuan Muslim akan memiliki kesadaran diri bahwa belajar adalah ibadah dan
akhlak adalah kompas hidup.
- Implikasi Akademik
Mahasiswa
terdorong untuk belajar lintas disiplin, kreatif, dan berinovasi, sekaligus
menjaga etika akademik yang kuat.
- Implikasi Sosial
Mahasiswa
Muslim menjadi agen revolusi mental melalui kegiatan sosial yang membangun
kesadaran kebangsaan, toleransi, dan keadilan.
- Implikasi Kebangsaan
Konsep merdeka
belajar, merdeka berakhlak akan memperkuat visi revolusi mental Indonesia:
membangun bangsa yang berintegritas, beretos kerja, dan bergotong royong.
Metode penyuluhan yang tepat
adalah partisipatif: diskusi kelompok, simulasi, studi kasus, dan refleksi
filosofis. Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga
menginternalisasi nilai dan menerjemahkannya dalam tindakan.
Kesimpulan
Merdeka belajar dan merdeka
berakhlak adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Merdeka belajar
menekankan kebebasan intelektual, sementara merdeka berakhlak menekankan
integritas moral. Dalam perspektif filsafat, ontologi menegaskan hakikat
kebebasan yang bertanggung jawab; epistemologi menjelaskan bahwa pengetahuan
bersumber dari wahyu, akal, dan sejarah; aksiologi menunjukkan nilai dan
manfaat implementasi untuk pribadi, akademik, sosial, dan bangsa.
Mahasiswa Muslim, khususnya
perempuan, memiliki peran strategis dalam merealisasikan revolusi mental
bangsa. Dengan iman, ilmu, dan akhlak, mereka dapat menjadi agen perubahan yang
melahirkan peradaban berkemajuan. Revolusi mental sejati bukanlah perubahan
superfisial, melainkan transformasi mendasar dalam pola pikir, sikap, dan
tindakan yang berlandaskan iman dan akhlak.
Pesan utama:
Merdeka belajar akan
kehilangan arah tanpa merdeka berakhlak. Revolusi mental bangsa hanya akan
berhasil jika mahasiswa Muslim hadir sebagai pelaku utama, dengan iman sebagai
fondasi, ilmu sebagai jalan, dan akhlak sebagai tujuan.
Referensi
- Al-Qur’an al-Karim
- Hadis Nabi Muhammad ﷺ
- Al-Attas, Syed
Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
- Madjid, Nurcholish.
(1992). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
- Azra, Azyumardi.
(2013). Indonesia, Islam, and Democracy. Jakarta: Equinox.
- Nashir, Haedar.
(2015). Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.
Bandung: Mizan.
- Tilaar, H.A.R.
(2015). Revolusi Mental dan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Kompas.
- Zuhdi, Muhammad
Harfin. (2019). “Nasionalisme dalam Perspektif Islam.” Jurnal Studi
Islam dan Kemasyarakatan, 11(2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar