Sabtu, 30 Agustus 2025

Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak: Peran Mahasiswa Muslim dalam Revolusi Mental Bangsa


 

Pendahuluan

Mahasiswa perempuan Muslim adalah garda terdepan dalam membangun peradaban bangsa melalui ilmu dan akhlak. Di tengah dinamika globalisasi dan transformasi digital, konsep “Merdeka Belajar” yang digagas pemerintah sejalan dengan semangat Islam yang mendorong kebebasan berpikir, kreativitas, dan inovasi. Namun, kebebasan belajar tidak dapat dipisahkan dari dimensi akhlak. Tanpa akhlak, kebebasan akan kehilangan arah, bahkan dapat menjadi destruktif. Oleh karena itu, gagasan “Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak” menjadi penting sebagai paradigma baru mahasiswa Muslim dalam mengaktualisasikan revolusi mental bangsa.

Revolusi mental yang dicanangkan pemerintah bertujuan membentuk masyarakat Indonesia yang berintegritas, etos kerja tinggi, dan gotong royong. Namun, revolusi mental tidak dapat berhasil hanya dengan regulasi formal, melainkan harus dihidupi oleh generasi muda, khususnya mahasiswa Muslim. Dengan bekal iman, ilmu, dan akhlak, mahasiswa perempuan memiliki kapasitas besar untuk melahirkan perubahan mentalitas bangsa, mulai dari lingkup kampus hingga masyarakat luas.

Dalam perspektif filsafat, gagasan ini dapat dianalisis melalui tiga kerangka: ontologi (hakikat merdeka belajar dan berakhlak), epistemologi (sumber pengetahuan dan cara mencapai kebebasan belajar yang berakhlak), dan aksiologi (nilai dan manfaat implementasi bagi mahasiswa Muslim serta bangsa). Dengan alur berpikir ini, mahasiswa perempuan diharapkan memahami secara mendalam dan mampu mengimplementasikan peran strategisnya dalam revolusi mental bangsa.

 

Ontologi: Hakikat Merdeka Belajar dan Merdeka Berakhlak

Ontologi menanyakan hakikat sesuatu. Apa hakikat merdeka belajar? Dalam konteks filsafat pendidikan, merdeka belajar adalah kebebasan akademik yang memungkinkan mahasiswa mencari, mengembangkan, dan mengaplikasikan ilmu sesuai potensi tanpa belenggu birokrasi kaku. Hakikatnya adalah ruang otonomi untuk mengaktualisasi potensi manusia seutuhnya. Namun, kebebasan ini bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Dalam perspektif Islam, belajar adalah kewajiban sepanjang hayat (thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin). Belajar berarti ibadah, sehingga kebebasan belajar tidak boleh tercerabut dari nilai akhlak. Inilah hakikat merdeka berakhlak, yakni kemampuan menjaga kebebasan intelektual dengan bimbingan iman dan moralitas. Tanpa akhlak, merdeka belajar hanya akan melahirkan intelektual yang cerdas tetapi kehilangan arah moral.

Hakikat revolusi mental, bila ditinjau secara ontologis, adalah transformasi mendasar dalam cara berpikir, merasa, dan bertindak bangsa. Mahasiswa Muslim sebagai agen perubahan memiliki eksistensi ganda: sebagai hamba Allah dan warga bangsa. Eksistensi ini melahirkan tanggung jawab ganda pula: menjaga iman sekaligus membangun peradaban bangsa. Dengan demikian, ontologi “Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak” menekankan keseimbangan antara kebebasan intelektual dan kedisiplinan moral.

 

Epistemologi: Sumber Pengetahuan dan Jalan Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak

Epistemologi menyoal bagaimana pengetahuan diperoleh dan divalidasi. Dalam konteks ini, merdeka belajar dan merdeka berakhlak memiliki fondasi epistemologis yang bersumber dari tiga hal: wahyu, akal, dan pengalaman sejarah.

Pertama, wahyu. Al-Qur’an berulang kali mendorong umat Islam untuk belajar, menalar, dan mengembangkan ilmu. QS. Al-‘Alaq [96]:1-5 menegaskan pentingnya membaca dan menulis sebagai pintu ilmu. QS. Luqman [31]:17-19 menekankan pentingnya akhlak dalam menegakkan kebenaran. Wahyu menjadi sumber primer yang menyeimbangkan kebebasan belajar dengan akhlak.

Kedua, akal. Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap akal. Rasionalitas mendorong mahasiswa untuk kritis, kreatif, dan inovatif. Namun, akal tidak berdiri sendiri. Akal harus dituntun iman agar tidak tersesat dalam hedonisme intelektual. Epistemologi Islam menegaskan bahwa kebenaran diperoleh melalui integrasi antara wahyu dan akal.

Ketiga, pengalaman sejarah. Sejarah peradaban Islam menunjukkan betapa kebebasan belajar yang diiringi akhlak menghasilkan kemajuan besar. Peradaban Baghdad, Kairo, dan Andalusia menjadi saksi lahirnya ilmuwan Muslim yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak. Di Indonesia, sejarah pergerakan nasional membuktikan bahwa mahasiswa Muslim berperan besar dalam perjuangan bangsa, dari Sumpah Pemuda 1928, pendirian organisasi Islam, hingga perjuangan kemerdekaan.

Epistemologi modern pun menguatkan paradigma merdeka belajar. Kurikulum Kampus Merdeka memberikan keleluasaan mahasiswa untuk belajar lintas disiplin dan terjun langsung ke masyarakat. Bagi mahasiswa Muslim, kesempatan ini harus ditopang akhlak, agar pengalaman belajar tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memperkuat nilai iman dan kepedulian sosial.

 

Aksiologi: Implementasi Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak dalam Revolusi Mental

Aksiologi membicarakan nilai, tujuan, dan manfaat pengetahuan. Pertanyaannya: untuk apa mahasiswa Muslim belajar dengan merdeka dan berakhlak? Jawabannya adalah untuk merealisasikan revolusi mental bangsa yang bermartabat. Implementasi aksiologi ini dapat dilihat dari tiga ranah utama: pribadi, akademik, dan sosial.

1. Ranah Pribadi

Merdeka belajar memberi ruang bagi mahasiswa perempuan untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi dirinya. Namun, hal ini harus sejalan dengan merdeka berakhlak, yaitu menjaga identitas sebagai Muslimah. Implementasi pribadi meliputi: menjaga kesalehan individu, konsistensi ibadah, kedisiplinan belajar, serta integritas moral. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya pintar, tetapi juga berkarakter.

2. Ranah Akademik

Mahasiswa Muslim dituntut menghasilkan karya ilmiah, inovasi, dan solusi bagi masalah bangsa. Merdeka belajar membuka akses ke berbagai sumber ilmu, baik melalui riset, program pertukaran, maupun pengabdian masyarakat. Namun, semua itu harus dilandasi etika akademik: jujur, kritis, dan bermanfaat. Seorang mahasiswa yang merdeka berakhlak tidak akan melakukan plagiarisme, tidak menempuh jalan pintas, dan selalu mengedepankan integritas.

3. Ranah Sosial

Revolusi mental bangsa tidak akan berhasil tanpa peran sosial mahasiswa. Mahasiswa Muslim harus hadir di tengah masyarakat sebagai agen perubahan, pendidik, dan advokat moral. Implementasi nyata bisa berupa: program literasi, pemberdayaan perempuan, advokasi lingkungan, hingga gerakan sosial berbasis nilai Islam. Akhlak menjadi fondasi utama agar kontribusi ini tidak sekadar formalitas, tetapi benar-benar membawa maslahat bagi umat dan bangsa.

Dalam konteks gender, merdeka belajar dan berakhlak memberi peluang besar bagi mahasiswa perempuan untuk membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pelengkap, tetapi motor penggerak revolusi mental bangsa. Mahasiswi Muslim dapat tampil sebagai pemimpin organisasi, peneliti unggul, pendidik masyarakat, sekaligus penjaga moralitas bangsa.

 

Implikasi Bimbingan Penyuluhan

Penyuluhan dengan tema ini memiliki implikasi penting:

  1. Implikasi Personal

Mahasiswa perempuan Muslim akan memiliki kesadaran diri bahwa belajar adalah ibadah dan akhlak adalah kompas hidup.

  1. Implikasi Akademik

Mahasiswa terdorong untuk belajar lintas disiplin, kreatif, dan berinovasi, sekaligus menjaga etika akademik yang kuat.

  1. Implikasi Sosial

Mahasiswa Muslim menjadi agen revolusi mental melalui kegiatan sosial yang membangun kesadaran kebangsaan, toleransi, dan keadilan.

  1. Implikasi Kebangsaan

Konsep merdeka belajar, merdeka berakhlak akan memperkuat visi revolusi mental Indonesia: membangun bangsa yang berintegritas, beretos kerja, dan bergotong royong.

Metode penyuluhan yang tepat adalah partisipatif: diskusi kelompok, simulasi, studi kasus, dan refleksi filosofis. Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga menginternalisasi nilai dan menerjemahkannya dalam tindakan.

 

Kesimpulan

Merdeka belajar dan merdeka berakhlak adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Merdeka belajar menekankan kebebasan intelektual, sementara merdeka berakhlak menekankan integritas moral. Dalam perspektif filsafat, ontologi menegaskan hakikat kebebasan yang bertanggung jawab; epistemologi menjelaskan bahwa pengetahuan bersumber dari wahyu, akal, dan sejarah; aksiologi menunjukkan nilai dan manfaat implementasi untuk pribadi, akademik, sosial, dan bangsa.

Mahasiswa Muslim, khususnya perempuan, memiliki peran strategis dalam merealisasikan revolusi mental bangsa. Dengan iman, ilmu, dan akhlak, mereka dapat menjadi agen perubahan yang melahirkan peradaban berkemajuan. Revolusi mental sejati bukanlah perubahan superfisial, melainkan transformasi mendasar dalam pola pikir, sikap, dan tindakan yang berlandaskan iman dan akhlak.

Pesan utama:

Merdeka belajar akan kehilangan arah tanpa merdeka berakhlak. Revolusi mental bangsa hanya akan berhasil jika mahasiswa Muslim hadir sebagai pelaku utama, dengan iman sebagai fondasi, ilmu sebagai jalan, dan akhlak sebagai tujuan.

 

Referensi

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Hadis Nabi Muhammad
  • Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
  • Madjid, Nurcholish. (1992). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
  • Azra, Azyumardi. (2013). Indonesia, Islam, and Democracy. Jakarta: Equinox.
  • Nashir, Haedar. (2015). Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Mizan.
  • Tilaar, H.A.R. (2015). Revolusi Mental dan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Kompas.
  • Zuhdi, Muhammad Harfin. (2019). “Nasionalisme dalam Perspektif Islam.” Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, 11(2).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ekoteologi dalam Keteladanan Nabi Muhammad SAW

  Pendahuluan Maulid Nabi Muhammad SAW bukan hanya momen historis memperingati kelahiran Rasulullah, tetapi juga momentum reflektif bagi u...