Kamis, 31 Juli 2025

Hijrah Merdeka: Menjadi Mahasiswa Muslim yang Bebas dari Dosa, Malas, dan Overthinking


Pendahuluan

Di tengah gegap gempita peringatan kemerdekaan bangsa, kita sering kali terjebak pada seremoni, tanpa melakukan kontemplasi. Padahal, hakikat kemerdekaan bukan hanya tentang terbebas dari penjajahan eksternal, melainkan juga pembebasan dari penindasan internal: hawa nafsu, kebodohan, kemalasan, dan berbagai belenggu jiwa. Dalam konteks ini, mahasiswa Muslim memerlukan sebuah perenungan baru: apa makna merdeka dalam kacamata spiritual dan keilmuan? Bagaimana kemerdekaan nasional dapat menjadi momentum untuk hijrah pribadi?

 

Spirit Kemerdekaan sebagai Momen Hijrah Pribadi

Kemerdekaan adalah peristiwa politik dan sejarah, tetapi ia juga memiliki makna psikologis dan teologis. Sejarah Islam mencatat bahwa hijrah Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah bukan hanya mobilitas fisik, tetapi transformasi nilai dan visi. Dalam konteks mahasiswa, hijrah bisa dimaknai sebagai transisi dari zona nyaman menuju zona tanggung jawab dan pertumbuhan.

Secara dialektik, kita dapat bertanya: Apakah kemerdekaan hari ini mencerminkan kebebasan sejati, atau hanya kebebasan semu? Seorang mahasiswa yang merdeka secara formal bisa jadi belum bebas secara eksistensial—masih terjebak dalam kemalasan ibadah, ketakutan sosial (insecure), dan overthinking. Maka, spirit kemerdekaan harus diletakkan sebagai panggilan untuk hijrah, dari kondisi stagnan menuju kondisi progresif secara spiritual dan intelektual.

Sejalan dengan itu, Al-Qur’an menyatakan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ 

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra’d: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa transformasi sosial, termasuk dalam dunia kemahasiswaan, harus diawali dari dalam diri: spiritual self-liberation.

 

Melawan Belenggu Diri: Malas Ibadah, Insecure, dan Kecanduan Media Sosial

Dalam psikologi Islam, kemalasan bukan sekadar sikap pasif, melainkan penyakit ruhani yang dapat melumpuhkan semangat amal. Rasulullah saw bahkan berlindung dari rasa malas dalam doanya:


اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ،


 وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ،


 وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ،

 وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ  غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan sedih, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, serta aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan manusia. (HR. Bukhari & Muslim).

Kemalasan ibadah di kalangan mahasiswa biasanya berawal dari gaya hidup akademik yang tidak teratur. Ketika waktu tidur kacau, kuliah diikuti setengah hati, dan aktivitas dominan hanya scrolling media sosial, maka siklus kemalasan menjadi sistemik. Kemerdekaan justru berarti pengendalian waktu dan prioritas, bukan sekadar kebebasan untuk mengabaikan tanggung jawab.

Insecure, atau perasaan tidak percaya diri, juga menjadi beban mental besar di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa Muslimah, misalnya, merasa ragu untuk tampil Islami karena takut dianggap konservatif. Mahasiswa Muslim juga sering merasa tidak mampu bersaing karena tekanan sosial dan akademik. Padahal, Islam mengajarkan bahwa setiap individu adalah ciptaan Allah yang unik dan berpotensi:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4)

Kecanduan media sosial adalah bentuk lain dari penjajahan digital. Mahasiswa yang menghabiskan 4–6 jam per hari untuk konten hiburan, tanpa kontrol diri, sedang mengalami bentuk perbudakan baru. Dalam konteks ini, kemerdekaan digital adalah bentuk hijrah modern—mampu menjadikan teknologi sebagai alat dakwah dan pencapaian akademik, bukan sekadar konsumsi pasif.

 

Islam dan Strategi Pembebasan dari Hawa Nafsu dan Kebodohan

Islam adalah agama yang menghadirkan misi pembebasan, bukan hanya dalam konteks sosial-politik, tetapi terutama dalam ranah spiritual dan intelektual. Di awal turunnya wahyu, pesan utama yang disampaikan adalah perintah membaca (Iqra’!), yang secara simbolik menunjukkan bahwa kebodohan adalah belenggu pertama yang harus dirobohkan.

اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَۚ‏ ١

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." (QS. Al-‘Alaq: 1)

Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, hawa nafsu adalah musuh utama dalam perjalanan menuju Allah. Nafsu tidak selalu tampak jahat, tetapi sering membelokkan niat dan melemahkan komitmen. Mahasiswa yang tampak sibuk organisasi, tetapi motivasinya hanya pencitraan, sejatinya masih diperbudak oleh nafsu riya’. Maka, pembebasan dalam Islam selalu bermula dari tazkiyah an-nafs—penyucian jiwa.

Ada tiga jalan utama dalam Islam untuk membebaskan diri dari belenggu:

  1. Ilmu – sebagai cahaya yang mengusir kebodohan
  2. Ibadah – sebagai penguat ruhani melawan hawa nafsu
  3. Komunitas shalih – sebagai ruang sosial yang menjaga arah hijrah

Dengan ilmu, mahasiswa mengenali masalah dan akar belenggu dirinya. Dengan ibadah, mahasiswa menguatkan kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya tentang "aku", tapi tentang "amanah". Dan dengan komunitas, mahasiswa tidak merasa sendiri dalam proses hijrahnya.

 


Kemerdekaan Jiwa Menurut Al-Qur’an dan Teladan Nabi

Kemerdekaan dalam Islam tidak identik dengan kebebasan mutlak (absolute freedom), tetapi lebih pada kebebasan yang bertanggung jawab (responsible freedom). Dalam kerangka ini, kemerdekaan sejati adalah ketika jiwa manusia tunduk secara sadar kepada Allah, bukan kepada nafsunya.

Al-Qur’an menyatakan:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ 

وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً 

فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Ayat ini menggambarkan bahwa seseorang bisa saja hidup di negara merdeka, namun tetap menjadi budak hawa nafsunya. Sebaliknya, Rasulullah menunjukkan bahwa meski beliau menghadapi tekanan fisik dan politik selama di Mekkah, jiwanya tetap merdeka karena hatinya penuh dengan tauhid dan keyakinan pada kebenaran.

Konsep ini disebut kemerdekaan tauhidi: bebas dari ketergantungan pada selain Allah, dan hanya bergantung kepada-Nya. Inilah inti dari kemerdekaan jiwa.


Penutup: Menuju Mahasiswa Muslim yang Merdeka Seutuhnya

Maka, hijrah merdeka bukanlah slogan kosong. Ia adalah ajakan reflektif bagi mahasiswa Muslim untuk membebaskan diri dari:

  • Belenggu dosa yang menggelapkan hati
  • Belenggu malas yang melumpuhkan potensi
  • Belenggu overthinking yang membatasi langkah
  • Belenggu gadget yang mencuri waktu dan energi
  • Belenggu insecure yang mengaburkan kepercayaan diri

Kemerdekaan sejati dimulai dari jiwa. Ia tidak bisa diberikan, tapi harus diperjuangkan. Mahasiswa Muslim tidak cukup hanya cerdas akademik, tetapi juga harus cerdas ruhani. Tidak cukup hanya aktif organisasi, tetapi juga aktif memperbaiki diri.

Di bulan kemerdekaan ini, marilah kita hijrah menuju diri yang merdeka: merdeka dari keluh, merdeka dari lalai, dan merdeka dari dunia yang fana.

Sebagaimana pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib:

“Jadilah kamu manusia merdeka, karena Allah menciptakanmu sebagai orang merdeka.”

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hijrah Merdeka: Menjadi Mahasiswa Muslim yang Bebas dari Dosa, Malas, dan Overthinking

Pendahuluan Di tengah gegap gempita peringatan kemerdekaan bangsa, kita sering kali terjebak pada seremoni, tanpa melakukan kontemplasi....