Pendahuluan
Di tengah gegap gempita peringatan kemerdekaan bangsa, kita sering
kali terjebak pada seremoni, tanpa melakukan kontemplasi. Padahal, hakikat
kemerdekaan bukan hanya tentang terbebas dari penjajahan eksternal, melainkan
juga pembebasan dari penindasan internal: hawa nafsu, kebodohan, kemalasan, dan
berbagai belenggu jiwa. Dalam konteks ini, mahasiswa Muslim memerlukan sebuah
perenungan baru: apa makna merdeka dalam kacamata spiritual dan keilmuan?
Bagaimana kemerdekaan nasional dapat menjadi momentum untuk hijrah
pribadi?
Spirit Kemerdekaan sebagai Momen Hijrah Pribadi
Kemerdekaan adalah peristiwa politik dan sejarah, tetapi ia juga
memiliki makna psikologis dan teologis. Sejarah Islam mencatat bahwa hijrah
Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah bukan hanya mobilitas fisik, tetapi transformasi
nilai dan visi. Dalam konteks mahasiswa, hijrah bisa dimaknai sebagai transisi
dari zona nyaman menuju zona tanggung jawab dan pertumbuhan.
Secara dialektik, kita dapat bertanya: Apakah kemerdekaan hari
ini mencerminkan kebebasan sejati, atau hanya kebebasan semu? Seorang
mahasiswa yang merdeka secara formal bisa jadi belum bebas secara
eksistensial—masih terjebak dalam kemalasan ibadah, ketakutan sosial
(insecure), dan overthinking. Maka, spirit kemerdekaan harus diletakkan
sebagai panggilan untuk hijrah, dari kondisi stagnan menuju kondisi progresif
secara spiritual dan intelektual.
Sejalan dengan itu, Al-Qur’an menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ
"Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa transformasi sosial, termasuk dalam dunia
kemahasiswaan, harus diawali dari dalam diri: spiritual self-liberation.
Melawan Belenggu Diri: Malas Ibadah, Insecure, dan Kecanduan
Media Sosial
Dalam psikologi Islam, kemalasan bukan sekadar sikap pasif,
melainkan penyakit ruhani yang dapat melumpuhkan semangat amal. Rasulullah saw
bahkan berlindung dari rasa malas dalam doanya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْهَمِّ وَالْحَزَنِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan
sedih, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung
kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, serta aku berlindung kepada-Mu dari
lilitan utang dan tekanan manusia.“ (HR. Bukhari & Muslim).
Kemalasan ibadah di kalangan mahasiswa biasanya berawal dari gaya
hidup akademik yang tidak teratur. Ketika waktu tidur kacau, kuliah diikuti
setengah hati, dan aktivitas dominan hanya scrolling media sosial, maka siklus
kemalasan menjadi sistemik. Kemerdekaan justru berarti pengendalian waktu
dan prioritas, bukan sekadar kebebasan untuk mengabaikan tanggung jawab.
Insecure, atau perasaan tidak percaya diri, juga menjadi beban mental besar
di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa Muslimah, misalnya, merasa ragu untuk
tampil Islami karena takut dianggap konservatif. Mahasiswa Muslim juga sering
merasa tidak mampu bersaing karena tekanan sosial dan akademik. Padahal, Islam
mengajarkan bahwa setiap individu adalah ciptaan Allah yang unik dan
berpotensi:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4)
Kecanduan media sosial adalah bentuk lain dari penjajahan digital.
Mahasiswa yang menghabiskan 4–6 jam per hari untuk konten hiburan, tanpa
kontrol diri, sedang mengalami bentuk perbudakan baru. Dalam konteks ini, kemerdekaan
digital adalah bentuk hijrah modern—mampu menjadikan teknologi
sebagai alat dakwah dan pencapaian akademik, bukan sekadar konsumsi pasif.
Islam dan Strategi Pembebasan dari Hawa Nafsu dan Kebodohan
Islam adalah agama yang menghadirkan misi pembebasan, bukan hanya
dalam konteks sosial-politik, tetapi terutama dalam ranah spiritual dan
intelektual. Di awal turunnya wahyu, pesan utama yang disampaikan adalah
perintah membaca (Iqra’!), yang secara simbolik menunjukkan bahwa
kebodohan adalah belenggu pertama yang harus dirobohkan.
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَۚ
١
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan." (QS. Al-‘Alaq: 1)
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, hawa nafsu adalah musuh utama
dalam perjalanan menuju Allah. Nafsu tidak selalu tampak jahat, tetapi sering
membelokkan niat dan melemahkan komitmen. Mahasiswa yang tampak sibuk
organisasi, tetapi motivasinya hanya pencitraan, sejatinya masih diperbudak
oleh nafsu riya’. Maka, pembebasan dalam Islam selalu bermula dari tazkiyah
an-nafs—penyucian jiwa.
Ada tiga jalan utama dalam Islam untuk membebaskan diri dari
belenggu:
- Ilmu – sebagai cahaya yang mengusir
kebodohan
- Ibadah – sebagai penguat ruhani
melawan hawa nafsu
- Komunitas shalih – sebagai
ruang sosial yang menjaga arah hijrah
Dengan ilmu, mahasiswa mengenali masalah dan akar belenggu dirinya.
Dengan ibadah, mahasiswa menguatkan kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya
tentang "aku", tapi tentang "amanah". Dan dengan komunitas,
mahasiswa tidak merasa sendiri dalam proses hijrahnya.
Kemerdekaan Jiwa Menurut Al-Qur’an dan Teladan Nabi
Kemerdekaan dalam Islam tidak identik dengan kebebasan mutlak (absolute
freedom), tetapi lebih pada kebebasan yang bertanggung jawab (responsible
freedom). Dalam kerangka ini, kemerdekaan sejati adalah ketika jiwa manusia
tunduk secara sadar kepada Allah, bukan kepada nafsunya.
Al-Qur’an menyatakan:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ
وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً
فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Ayat ini menggambarkan bahwa seseorang bisa saja hidup di negara
merdeka, namun tetap menjadi budak hawa nafsunya. Sebaliknya, Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa meski beliau menghadapi
tekanan fisik dan politik selama di Mekkah, jiwanya tetap merdeka karena
hatinya penuh dengan tauhid dan keyakinan pada kebenaran.
Konsep ini disebut kemerdekaan tauhidi: bebas dari
ketergantungan pada selain Allah, dan hanya bergantung kepada-Nya. Inilah inti
dari kemerdekaan jiwa.
Penutup: Menuju Mahasiswa Muslim yang Merdeka Seutuhnya
Maka, hijrah merdeka bukanlah slogan kosong. Ia adalah ajakan
reflektif bagi mahasiswa Muslim untuk membebaskan diri dari:
- Belenggu dosa yang menggelapkan
hati
- Belenggu malas yang melumpuhkan
potensi
- Belenggu overthinking yang
membatasi langkah
- Belenggu gadget yang mencuri waktu
dan energi
- Belenggu insecure yang mengaburkan
kepercayaan diri
Kemerdekaan sejati dimulai dari jiwa. Ia tidak bisa diberikan, tapi
harus diperjuangkan. Mahasiswa Muslim tidak cukup hanya cerdas akademik, tetapi
juga harus cerdas ruhani. Tidak cukup hanya aktif organisasi, tetapi juga aktif
memperbaiki diri.
Di bulan kemerdekaan ini, marilah kita hijrah menuju diri yang
merdeka: merdeka dari keluh, merdeka dari lalai, dan merdeka dari dunia yang
fana.
Sebagaimana pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib:
“Jadilah kamu manusia merdeka, karena Allah menciptakanmu sebagai
orang merdeka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar