Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam Mausuu’atul Aadaab
al-Islamiyah, memaparkan adab-adab berkendaraan yang perlu dipatuhi oleh
seorang Muslim.
Pertama, niat yang baik
Seorang Muslim ketika naik kendaraan atau menggunakan alat
transportasi harus meniatkan diri untuk mencapai tujuan yang benar. ‘’Di
antaranya untuk menyambung tali silaturahim, mencari nafkah, ziarah karena
Allah. Selain itu, juga berniat akan berlaku baik terhadap kendaraan yang
dinaiaki sesuai dengan syariat Allah SWT,’’ tutur Syek as-Sayyid Nada.
Kedua, mengakui nikmat Allah
Menurut ulama terkemuka itu, ketika sedang mengendarai kendaraan
ataupun setelahnya hendaknya seorang hamba mengakui limpahan nikmat yang
diberikan kepadanya. Sebab, berkat kendaraan yang dianugerahkan Allah SWT itu,
seseorang bisa menghemat waktu dan tenaga untuk sampai di tujuan.
Ketiga, memilih kendaraan yang cocok untuk perjalanan
Ajaran Islam sangat memperhatikan keselamatan dan kenyamanan.
Karena itu, menurut Syekh as-Sayyid Nada,
seorang Muslim hendaknya memilih kendaraan yang paling bermanfaat dan
cocok untuk mencapai tujuan.
Keempat, mempersiapkan alat transportasi
Setiap Muslim yang hendak bepergian hendaknya mempersiapkan alat
transportasi yang akan digunakannya, jika kendaraan tersebut milik pribadi.
Syekh as-Sayyid Nada menganjurkan agar sebelum digunakan, kendaraan diperiksa
mesinnya, bahan bakarnya, onderdil-onderdilnya. ‘’Jika kendaraan itu berupa
hewan tunggangan, hendaknya diperiksa kesehatan dan kekuatannya,’’ tuturnya.
Kelima, doa berkendaraan
Saat akan menaiki kendaraan, seorang Muslim tak boleh lupa berdoa.
‘’Hendaknya seseorang berdoa dengan zikir yang sahih dari Nabi SAW ketika
menaiki kendaraan,’’ ungkap Syekh Sayyid Nada. ‘’Segala puji bagi Allah,
Maha Suci Zat yang telah menundukkan bagi kami kendaraan ini padahal sebelumnya
kami tak dapat menguasainya. Sesungguhnya kepada Rabb-lah kami akan kembali….’’
Keenam, tak membebani kendaraan dengan beban yang melampaui kapasitas
Seringkali kita melihat, saat mudik lebaran begitu banyak orang
yang mudik dengan sepeda motor membawa beban yang melampaui batas. Syekh
as-Sayyid Nada menyarankan agar seseorang tak membebani kendaraannya melebihi
kapasitas, karena bisa mengakibatkan kendaraan mogok atau bahkan kecelakaan.
Kendaraan adalah nikmat dari Allah, maka hendaklah kita merawatnya dengan baik dan bukan sekedar hanya memakainya sesuka hati. Sebagaimana binatang ternak yang kita miliki, kita tak boleh membebaninya lebih dari kemampuannya. Diantara wujud kesyukuran kita kepada Allah, kita harus menyayangi kendaraan –apakah berupa hewan atau bukan-, dan tidak membebaninya lebih kemampuannya.
Seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, “Beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi saw melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi saw mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”. Maka Nabi saw bersabda,
أَفَلَا تَتَّقِي اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ
الَّتِى مَلَكَّكَ اللهُ إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَى إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيْعُهُ وَتُدْئِبُهُ
“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR.Muslim dalam Shohih-nya (342),dan Abu Dawud dalam As-Sunan ( 2549 ).
Jadi, seorang muslim tidak boleh membebani kendaraan lebih dari kemampuannya, sehingga ia letih atau rusak. Kita juga harus memperhatikan bensinnya, dan olie-nya sebagaimana halnya jika kendaraan berupa hewan, maka kita harus memperhatikan makanan, dan perawatannya. Kendaraan yang kita miliki harus kita rawat dengan baik; jangan dibiarkan terparkir di bawah terik matahari, tapi carilah naungan baginya. Jangan kalian bebani melebihi kapasitas kemampuan yang telah ditetapkan baginya.
Memperlambat Laju Kendaraan ketika Berjalan di Jalan yang Sempit (Lorong) dan Mempercepat ketika Berjalan di Jalan yang Lapang
Nabi saw bersabda ketika menegur seorang sahabat yang cepat dan tergesa-gesa dalam menuntun perjalanan para wanita yang menyertai Nabi saw berhaji,
وَيْحَكَ يَا أَنْجَشَةُ رُوَيْدَكَ سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيْرِ
"Wahai Anjasyah, celaka engkau ! Pelanlah engkau dalam menuntun para wanita". [HR. Al-Bukhoriy (6149, 6161, 6202, & 6209), dan Muslim (2323)]
Al Imam An-Nawawiy ra berkata saat menyebutkan penafsiran ulama tentang makna hadits ini, “Sesungguhnya yang dimaksudkan hadits ini adalah pelan dalam berjalan, karena jika onta mendengar al-hida’ (nyanyian hewan), maka ia akan cepat dalam berjalan; onta akan merasa senang, dan membuat penumpangnya kaget, dan penat. Maka Nabi saw melarangnya dari hal itu (al-hida’), karena para wanita akan lemah saat kerasnya gerakan, dan beliau khawatir tersakitinya para wanita dan jatuhnya mereka”. (Syarh Shohih Muslim 15/81)
Maka sepantasnya ketika berkendaraan, kita tenang dan tidak terburu-buru, karena terburu-buru itu datangnya dari setan. Boleh mempercepat kendaraan jika tidak melampaui batas sehingga ia dianggap terburu-buru, jika ada kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya.
Ketujuh, zikir safar
Saat berkendaraan hendaknya seorang Muslim tetap ingat kepada Allah
dengan cara berzikir. Saat kendaraan melaju, tutur Syekh as-Sayyid Nada
menyarankan agar seorang Muslim membacakan doa yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
‘’Ya Allah sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan dan takwa dalam
perjalanan ini. Kami memohon kepada-Mu perbuatan yang membuat-Mu ridha. Ya,
Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini dan jadikanlah perjalan yang jauh ini
seolah-olah dekat. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan yang menjaga
keluargaku. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perjalanan yang berat,
pemandangan yang buruk, serta musibah yang menimpa harta dan keluarga.’’
(HR Muslim (1342) dari Ibnu Umar).
Kedelapan, memperhatikan rambu-rambu keselamatan
Keselamatan merupakan hal yang perlu diperhatikan. Saat
berkendaraan penting untuk mengikuti aturan dan rambu-rambu keselamatan.
Misalnya mengenakan sabuk pengaman, menggunakan helm bagi pengendara sepeda
motor.
Wajib bagi kita untuk metaati semua peraturan yang berlaku ketika berkendaraan, seperti memakai helm pada tempat-tempat yang diwajibkan memakai helm, mempunyai surat-surat yang diperlukan ketika berkendaraan (SIM & STNK), berhenti ketika melihat lampu merah, dan lain-lain. Semua hal tersebut adalah kewajiban kita sebagai pengendara dan sebagai bentuk ketaatan kepada penguasa. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa’: 56).
Jika penguasa memerintahkan pakai helm atau SIM dan STNK, maka wajib bagi seorang muslim untuk mentaatinya, walaupun memakai helm, membuat SIM, dan STNK pada asalnya adalah mubah. Namun ketika penguasa memerintahkannya, maka hukumnya berubah menjadi wajib. Jadi, memakai helm, atau SIM dan STNK saat berkendaraan adalah perkara yang wajib.
Seorang ulama kota Madinah dan mantan Rektor Islamic University of Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah dalam suatu majelisnya pernah menjelaskan bahwa mentaati lampu merah dan rambu-rambu yang dibuat oleh pemerintah di jalan-jalan adalah wajib, sekalipun hukum asalnya adalah mubah. Tapi hukumnya berubah karena ada perintah dari penguasa. Sedang jika penguasa memerintahkan sesuatu yang mubah atau sunnah, maka hukum perkara itu jadi wajib berdasarkan ayat dan hadits di atas !!
Kesembilan, memberi hak kendaraan untuk berisitirahat
Kendaraan baik dari hewan maupun kendaraan biasa membutuhkan waktu
untuk beristirahat ketika menempuh perjalanan yang jauh. Hewan tunggangan perlu istirahat untuk minum
serta makan dan menambatkannya di tempat yang teduh. ‘’Bahkan mobil sekalipun,
membutuhkan istirahat setiap beberapa jam untuk memeriksa bahan bakar, air,
mendinginkan mesin dan lainnya. Sehingga, kendaraan bisa mengantarkan kita ke
tempat tujuan,’’ papar Syekh as-Sayyid Nada.
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Al-Imam Abul ‘Ula Al-Mubarokfuriy ra berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika penguasa memerintahkan perkara yang mandub (sunnah), dan mubah (boleh), maka wajib (ditaati).
Al-Muthohhar berkata, “Maksudnya, mendengarkan dan mentaati ucapan
penguasa adalah perkara wajib atas setiap muslim, sama saja apakah penguasa
memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya
ataukah tidak. Tapi dengan syarat penguasa tidak memerintahkannya untuk berbuat
maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh taat kepadanya
( Tuhfah Al-Ahwadziy 5/298).
Kesepuluh, berzikir ketika melewati jalan mendaki dan menurun
Diriwayatkan dari Jabir RA, ia berkata: ‘’Apabila melewati jalan
mendaki, kami bertakbir dan apabila melewati jalan menurun, kami bertasbih.’’
(HR Bukhari).
Kesebelas, Memberi Hak kepada Jalanan
Jalanan juga mempunyai hak-hak untuk kita penuhi. Karena itu, Rasulullah saw berwasiat kepada para sahabatnya ketika seseorang duduk di pinggir jalan, “Waspadalah kalian ketika duduk di jalan-jalan”. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami harus berbicara di jalan-jalan. Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian enggan, kecuali harus duduk, maka berikanlah haknya jalan”. Mereka bertanya, “Apa haknya jalan?” Rasulullah saw bersabda:
غَضُّ الْبَصَرِ
وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
الْمُنْكَرِ
“(Haknya jalan adalah) menundukkan pandangan, menghilangkan
gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mugkar“.
[HR. Al-Bukhoriy (6229), dan Muslim (2121)]
Jadi, haknya jalanan ada 5: menundukkan pandangan dari melihat perkara haram (seperti melihat kecantikan wanita yang bukan mahram), menghilangkan gangguan apa saja (misalnya, tidak buang sampah & kotoran di jalan, tidak menggoda wanita, tidak menyakiti orang lain, dan lainnya); demikian pula menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepada kita dari kalangan kaum muslimin; memerintahkan yang ma’ruf (misalnya, mengingatkan waktu sholat, mengajak bersedekah, dan lainnya); mencegah yang mungkar (misalnya, melarang para pemuda balapan liar, melarang orang bermaksiat di jalan, dan lainnya).
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar