1. Pendahuluan: Filosofi Pewarisan Wahyu
Al-Qur’an bukan sekadar kitab
suci, melainkan simbol kesinambungan wahyu, ilmu, dan peradaban. Ia diturunkan
secara bertahap selama 23 tahun kepada Nabi Muhammad saw, untuk menuntun
manusia dari kegelapan menuju cahaya (QS. Ibrahim [14]:1). Penurunan
secara berangsur-angsur ini memiliki hikmah yang sangat dalam: agar umat
memahami, menghayati, dan mengamalkan kandungannya secara bertahap sesuai
perkembangan iman dan masyarakat Arab kala itu.
وَقُرْآنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Al-Qur’an itu Kami turunkan
dengan berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya perlahan-lahan
kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra’
[17]:106)
Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an
bukan sekadar teks, tetapi proses pembentukan kesadaran. Oleh sebab
itu, sejarah kodifikasi mushaf bukan hanya kisah teknis penulisan, tetapi juga
perjalanan spiritual dan intelektual umat Islam menjaga otentisitas wahyu
Allah.
2. Masa Nabi Muhammad saw: Era Transmisi Lisan dan
Tulisan Parsial
Pada masa Nabi, Al-Qur’an belum
dibukukan dalam satu mushaf utuh seperti sekarang. Namun, Nabi saw telah
menempuh dua mekanisme pewarisan wahyu, yaitu melalui hafalan (tahfizh) dan
tulisan (kitabah).
Setiap kali wahyu turun,
Rasulullah saw memanggil para penulis wahyu (kuttāb al-wahy) seperti
Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ubay bin
Ka‘ab. Mereka menuliskan wahyu di media sederhana: pelepah kurma, kulit
binatang, tulang belulang, atau batu tipis.
Rasulullah juga memastikan
keteraturan susunan ayat. Setiap kali turun ayat baru, beliau langsung
menginstruksikan:
“Tempatkan ayat ini pada surah
yang disebut di dalamnya ini dan itu.” (HR. Ahmad)
Selain itu, para sahabat
menghafal Al-Qur’an dengan disiplin tinggi. Di antara mereka yang dikenal
sebagai qurrā’ (para penghafal Al-Qur’an) adalah Abdullah bin Mas‘ud,
Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy‘ari, dan Abu Darda’. Dalam
hadis riwayat Bukhari disebutkan:
“Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang: dari Abdullah
bin Mas‘ud, Salim, Mu‘adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka‘ab.” (HR. Bukhari)
Filosofinya: transmisi
Al-Qur’an bukan hanya melalui pena, tetapi juga melalui dada. Hal ini
menunjukkan betapa Al-Qur’an dijaga dengan dua cara yang saling melengkapi hafalan
dan tulisan yang menjamin otentisitas wahyu tanpa cela hingga hari ini (QS. Al-Hijr
[15]:9).
Sebagai refleksi bagi mahasiswa, tradisi menghafal ayat bukan sekadar kegiatan ritual, tetapi latihan intelektual dan spiritual untuk menyatukan teks wahyu dengan kesadaran diri.
3. Masa Abu Bakar ash-Shiddiq: Kodifikasi Pertama (Jam‘
al-Qur’an)
Setelah wafatnya Rasulullah saw,
tantangan baru muncul. Dalam Perang Yamamah (12 H/633 M) melawan
Musailamah al-Kadzdzab, banyak huffaz (penghafal Al-Qur’an) gugur. Umar
bin Khattab yang melihat bahaya besar ini segera mengusulkan kepada Khalifah
Abu Bakar agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf.
Awalnya Abu Bakar ragu karena
khawatir melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Nabi saw. Namun, setelah
diskusi panjang dan istikharah, beliau menyetujui. Zaid bin Tsabit ditunjuk
sebagai ketua tim kodifikasi karena ia dikenal cerdas, muda, dan terpercaya.
Zaid sendiri menggambarkan betapa
berat tugas itu:
“Demi Allah, seandainya mereka
memerintahkanku untuk memindahkan sebuah gunung, itu tidak lebih berat daripada
memerintahkanku mengumpulkan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari)
Tim ini mengumpulkan seluruh
ayat berdasarkan dua sumber otentik: hafalan para sahabat dan catatan tertulis
di masa Nabi. Tidak satu ayat pun ditulis kecuali setelah diverifikasi oleh
dua saksi. Proyek ini selesai, dan hasilnya disimpan oleh Abu Bakar, kemudian
Umar, dan akhirnya Hafsah binti Umar.
Proses ini bukan hanya teknis,
tetapi juga manifestasi kesadaran epistemologis umat Islam: menjaga
wahyu dengan ilmu dan tanggung jawab kolektif.
Sebagai contoh konkret, mahasiswa dapat membayangkan betapa sulitnya menyatukan tulisan dari berbagai media primitif menjadi satu kitab tanpa kesalahan itulah bentuk integritas ilmiah yang luar biasa dari generasi awal Islam.
4. Masa Utsman bin Affan: Standarisasi dan Penyebaran
Mushaf
Perkembangan Islam ke berbagai
wilayah (Irak, Syam, Mesir, dan Persia) membawa dampak linguistik: berbedanya
dialek Arab menyebabkan perbedaan bacaan (qira’at). Di Kufah dan Basrah,
misalnya, masyarakat membaca Al-Qur’an dengan cara berbeda dari yang ada di
Madinah. Situasi ini berpotensi memicu perpecahan.
Sahabat Hudzaifah bin al-Yaman,
yang baru kembali dari front perang di Armenia dan Azerbaijan, menyaksikan
perbedaan bacaan ini dan segera melapor kepada Khalifah Utsman bin Affan. Ia
berkata:
“Selamatkan umat ini sebelum
mereka berselisih tentang kitab mereka sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani
berselisih tentang kitab mereka.” (HR. Bukhari)
Utsman kemudian membentuk tim
yang dipimpin lagi oleh Zaid bin Tsabit dengan tiga anggota tambahan dari
Quraisy: Abdullah bin az-Zubair, Sa‘id bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin
al-Harits bin Hisyam. Tim ini menggunakan mushaf Abu Bakar (yang disimpan
oleh Hafsah) sebagai sumber utama dan menyusun kembali mushaf dengan
ejaan dan dialek Quraisy, sebab wahyu pertama kali diturunkan dalam bahasa
Quraisy.
Utsman menyalin beberapa
mushaf standar (dikenal dengan Mushaf Utsmani) dan mengirimkannya ke
pusat-pusat wilayah Islam: Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. Ia juga
memerintahkan untuk membakar semua salinan pribadi yang berbeda dari mushaf
standar. Tindakan ini bukan penghancuran ilmu, melainkan strategi
penyelamatan integritas teks wahyu.
Inilah awal mula standarisasi
mushaf sebagaimana kita kenal hari ini. Mushaf Utsmani menjadi dasar rasm
(penulisan) Al-Qur’an hingga kini.
“Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum dengan kitab ini, dan merendahkan kaum lain karenanya.” (HR. Muslim)
5. Nilai Filosofis: Menjaga Wahyu adalah Menjaga Akal dan
Peradaban
Jika direnungkan secara
filosofis, kodifikasi mushaf bukan sekadar upaya material, tetapi proses
epistemologis menjaga kebenaran absolut dalam ruang dan waktu manusia.
Al-Qur’an adalah wahyu yang turun dalam sejarah, tetapi tidak terpenjara oleh
sejarah. Ia hadir untuk menjadi pedoman bagi peradaban rasional, moral, dan
spiritual manusia.
Dalam pandangan filosof Muslim
seperti Al-Farabi dan Al-Ghazali, wahyu adalah puncak pengetahuan yang
mengintegrasikan akal dan hati. Maka, tindakan para sahabat mengumpulkan
Al-Qur’an menunjukkan kesadaran rasional (taḥqīq al-‘aql) sekaligus pengabdian
spiritual (ta‘abbud al-qalb).
Dalam konteks pendidikan,
mahasiswa perlu memahami bahwa setiap tulisan Al-Qur’an yang mereka baca
hari ini adalah hasil perjuangan intelektual dan spiritual generasi terdahulu.
Ini mengajarkan pentingnya integritas ilmiah, disiplin, dan tanggung jawab
dalam menjaga ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh reflektif,
bandingkan dengan dunia modern: dokumen digital bisa berubah hanya dengan satu
klik. Namun, Al-Qur’an tetap otentik selama 14 abad. Ini bukan kebetulan,
melainkan realisasi janji Allah:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. Al-Hijr [15]:9)
6. Kodifikasi Ilmu Qira’at dan Penulisan Ilmiah
Selanjutnya
Setelah masa Utsman, muncul
kebutuhan untuk memahami perbedaan qira’at (bacaan). Para ulama kemudian
mengembangkan ilmu qira’at sab‘ah (tujuh bacaan mutawatir) yang semuanya
kembali ke Mushaf Utsmani. Imam Nafi‘, Ibn Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Ashim,
Hamzah, dan Kisai adalah di antara imam qira’at terkenal.
Ilmu rasm al-mushaf dan dhabt
al-qira’at berkembang pesat di masa berikutnya. Bahkan pada abad ke-4 H,
Abu al-Aswad ad-Du’ali memperkenalkan tanda titik (i‘rab) untuk
membedakan harakat, yang kemudian disempurnakan oleh Al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidi. Inovasi ini memudahkan umat non-Arab membaca Al-Qur’an dengan
benar.
Mahasiswa dapat diajak melakukan
simulasi kecil di kelas: Cobalah membaca
ayat مَلِكِ
يَوْمِ الدِّينِ (QS. Al-Fatihah:
4) dengan dua bacaan, Maliki dan Māliki. Lalu diskusikan
maknanya: satu berarti “Pemilik Hari Pembalasan,” satu lagi berarti “Raja Hari
Pembalasan.” Keduanya benar dan memperkaya pemahaman teologis tentang kekuasaan
Allah.
Interaktivitas seperti ini membantu mahasiswa memahami bahwa perbedaan qira’at bukan bentuk kontradiksi, tetapi kekayaan ekspresi bahasa wahyu.
7. Dimensi Akademik dan Kontemporer Kodifikasi Mushaf
Dalam kajian modern, para sarjana
Muslim maupun orientalis meneliti sejarah kodifikasi ini secara filologis.
Arthur Jeffery misalnya, meneliti “Materials for the History of the Text of the
Qur’an,” sementara ulama Muslim seperti M.M. Azami menulis bantahan ilmiah
dalam “The History of the Qur’anic Text.” Kajian ini menunjukkan bahwa transmisi
Al-Qur’an memiliki metodologi ilmiah yang jauh mendahului sistem dokumentasi
modern.
Selain itu, di era digital, Mushaf Utsmani kini hadir dalam bentuk mushaf digital, aplikasi Al-Qur’an, dan perangkat AI tahfizh. Namun, hakikatnya tetap sama: menjaga keotentikan wahyu Allah. Dalam konteks ini, mahasiswa perlu memahami pentingnya etika digital dalam menjaga keaslian teks suci, sebagaimana para sahabat menjaga tulisan di masa lampau.
8. Penutup: Al-Qur’an Sebagai Amanah Ilmiah dan Spiritual
Sejarah kodifikasi dan
standarisasi mushaf menunjukkan betapa seriusnya umat Islam dalam menjaga
wahyu. Dari masa Nabi saw hingga Khalifah Utsman, setiap tahap menunjukkan
perpaduan antara iman, ilmu, dan tanggung jawab sosial.
Bagi mahasiswa, memahami sejarah
ini bukan hanya menambah pengetahuan sejarah Islam, tetapi juga menumbuhkan
kesadaran bahwa menjaga Al-Qur’an berarti menjaga akal, moral, dan kemanusiaan.
Sebagaimana pesan Rasulullah saw:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR.
Bukhari)
Maka, perkuliahan ini bukan sekadar mengulas sejarah
tulisan, tetapi mengajak kita meneladani semangat para sahabat dalam menjaga
wahyu Allah dengan sepenuh hati dan nalar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar