Selasa, 30 Desember 2025

Sejarah Kodifikasi dan Standarisasi Mushaf Al-Qur’an: Dari Lisan Nabi hingga Mushaf Utsmani

 


1. Pendahuluan: Filosofi Pewarisan Wahyu

Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci, melainkan simbol kesinambungan wahyu, ilmu, dan peradaban. Ia diturunkan secara bertahap selama 23 tahun kepada Nabi Muhammad saw, untuk menuntun manusia dari kegelapan menuju cahaya (QS. Ibrahim [14]:1). Penurunan secara berangsur-angsur ini memiliki hikmah yang sangat dalam: agar umat memahami, menghayati, dan mengamalkan kandungannya secara bertahap sesuai perkembangan iman dan masyarakat Arab kala itu.

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

Dan Al-Qur’an itu Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra’ [17]:106)

 

Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar teks, tetapi proses pembentukan kesadaran. Oleh sebab itu, sejarah kodifikasi mushaf bukan hanya kisah teknis penulisan, tetapi juga perjalanan spiritual dan intelektual umat Islam menjaga otentisitas wahyu Allah.

 

2. Masa Nabi Muhammad saw: Era Transmisi Lisan dan Tulisan Parsial

Pada masa Nabi, Al-Qur’an belum dibukukan dalam satu mushaf utuh seperti sekarang. Namun, Nabi saw telah menempuh dua mekanisme pewarisan wahyu, yaitu melalui hafalan (tahfizh) dan tulisan (kitabah).

Setiap kali wahyu turun, Rasulullah saw memanggil para penulis wahyu (kuttāb al-wahy) seperti Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ubay bin Ka‘ab. Mereka menuliskan wahyu di media sederhana: pelepah kurma, kulit binatang, tulang belulang, atau batu tipis.

Rasulullah juga memastikan keteraturan susunan ayat. Setiap kali turun ayat baru, beliau langsung menginstruksikan:

“Tempatkan ayat ini pada surah yang disebut di dalamnya ini dan itu.” (HR. Ahmad)

Selain itu, para sahabat menghafal Al-Qur’an dengan disiplin tinggi. Di antara mereka yang dikenal sebagai qurrā’ (para penghafal Al-Qur’an) adalah Abdullah bin Mas‘ud, Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy‘ari, dan Abu Darda’. Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan:

“Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang: dari Abdullah bin Mas‘ud, Salim, Mu‘adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka‘ab.” (HR. Bukhari)

Filosofinya: transmisi Al-Qur’an bukan hanya melalui pena, tetapi juga melalui dada. Hal ini menunjukkan betapa Al-Qur’an dijaga dengan dua cara yang saling melengkapi hafalan dan tulisan yang menjamin otentisitas wahyu tanpa cela hingga hari ini (QS. Al-Hijr [15]:9).

Sebagai refleksi bagi mahasiswa, tradisi menghafal ayat bukan sekadar kegiatan ritual, tetapi latihan intelektual dan spiritual untuk menyatukan teks wahyu dengan kesadaran diri. 

3. Masa Abu Bakar ash-Shiddiq: Kodifikasi Pertama (Jam‘ al-Qur’an)

Setelah wafatnya Rasulullah saw, tantangan baru muncul. Dalam Perang Yamamah (12 H/633 M) melawan Musailamah al-Kadzdzab, banyak huffaz (penghafal Al-Qur’an) gugur. Umar bin Khattab yang melihat bahaya besar ini segera mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf.

Awalnya Abu Bakar ragu karena khawatir melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Nabi saw. Namun, setelah diskusi panjang dan istikharah, beliau menyetujui. Zaid bin Tsabit ditunjuk sebagai ketua tim kodifikasi karena ia dikenal cerdas, muda, dan terpercaya.

Zaid sendiri menggambarkan betapa berat tugas itu:

“Demi Allah, seandainya mereka memerintahkanku untuk memindahkan sebuah gunung, itu tidak lebih berat daripada memerintahkanku mengumpulkan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari)

Tim ini mengumpulkan seluruh ayat berdasarkan dua sumber otentik: hafalan para sahabat dan catatan tertulis di masa Nabi. Tidak satu ayat pun ditulis kecuali setelah diverifikasi oleh dua saksi. Proyek ini selesai, dan hasilnya disimpan oleh Abu Bakar, kemudian Umar, dan akhirnya Hafsah binti Umar.

Proses ini bukan hanya teknis, tetapi juga manifestasi kesadaran epistemologis umat Islam: menjaga wahyu dengan ilmu dan tanggung jawab kolektif.

Sebagai contoh konkret, mahasiswa dapat membayangkan betapa sulitnya menyatukan tulisan dari berbagai media primitif menjadi satu kitab tanpa kesalahan itulah bentuk integritas ilmiah yang luar biasa dari generasi awal Islam. 

4. Masa Utsman bin Affan: Standarisasi dan Penyebaran Mushaf

Perkembangan Islam ke berbagai wilayah (Irak, Syam, Mesir, dan Persia) membawa dampak linguistik: berbedanya dialek Arab menyebabkan perbedaan bacaan (qira’at). Di Kufah dan Basrah, misalnya, masyarakat membaca Al-Qur’an dengan cara berbeda dari yang ada di Madinah. Situasi ini berpotensi memicu perpecahan.

Sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, yang baru kembali dari front perang di Armenia dan Azerbaijan, menyaksikan perbedaan bacaan ini dan segera melapor kepada Khalifah Utsman bin Affan. Ia berkata:

“Selamatkan umat ini sebelum mereka berselisih tentang kitab mereka sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani berselisih tentang kitab mereka.” (HR. Bukhari)

Utsman kemudian membentuk tim yang dipimpin lagi oleh Zaid bin Tsabit dengan tiga anggota tambahan dari Quraisy: Abdullah bin az-Zubair, Sa‘id bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam. Tim ini menggunakan mushaf Abu Bakar (yang disimpan oleh Hafsah) sebagai sumber utama dan menyusun kembali mushaf dengan ejaan dan dialek Quraisy, sebab wahyu pertama kali diturunkan dalam bahasa Quraisy.

Utsman menyalin beberapa mushaf standar (dikenal dengan Mushaf Utsmani) dan mengirimkannya ke pusat-pusat wilayah Islam: Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. Ia juga memerintahkan untuk membakar semua salinan pribadi yang berbeda dari mushaf standar. Tindakan ini bukan penghancuran ilmu, melainkan strategi penyelamatan integritas teks wahyu.

Inilah awal mula standarisasi mushaf sebagaimana kita kenal hari ini. Mushaf Utsmani menjadi dasar rasm (penulisan) Al-Qur’an hingga kini.

“Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum dengan kitab ini, dan merendahkan kaum lain karenanya.” (HR. Muslim) 

5. Nilai Filosofis: Menjaga Wahyu adalah Menjaga Akal dan Peradaban

Jika direnungkan secara filosofis, kodifikasi mushaf bukan sekadar upaya material, tetapi proses epistemologis menjaga kebenaran absolut dalam ruang dan waktu manusia. Al-Qur’an adalah wahyu yang turun dalam sejarah, tetapi tidak terpenjara oleh sejarah. Ia hadir untuk menjadi pedoman bagi peradaban rasional, moral, dan spiritual manusia.

Dalam pandangan filosof Muslim seperti Al-Farabi dan Al-Ghazali, wahyu adalah puncak pengetahuan yang mengintegrasikan akal dan hati. Maka, tindakan para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an menunjukkan kesadaran rasional (taḥqīq al-‘aql) sekaligus pengabdian spiritual (ta‘abbud al-qalb).

Dalam konteks pendidikan, mahasiswa perlu memahami bahwa setiap tulisan Al-Qur’an yang mereka baca hari ini adalah hasil perjuangan intelektual dan spiritual generasi terdahulu. Ini mengajarkan pentingnya integritas ilmiah, disiplin, dan tanggung jawab dalam menjaga ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh reflektif, bandingkan dengan dunia modern: dokumen digital bisa berubah hanya dengan satu klik. Namun, Al-Qur’an tetap otentik selama 14 abad. Ini bukan kebetulan, melainkan realisasi janji Allah:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. Al-Hijr [15]:9) 

6. Kodifikasi Ilmu Qira’at dan Penulisan Ilmiah Selanjutnya

Setelah masa Utsman, muncul kebutuhan untuk memahami perbedaan qira’at (bacaan). Para ulama kemudian mengembangkan ilmu qira’at sab‘ah (tujuh bacaan mutawatir) yang semuanya kembali ke Mushaf Utsmani. Imam Nafi‘, Ibn Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Ashim, Hamzah, dan Kisai adalah di antara imam qira’at terkenal.

Ilmu rasm al-mushaf dan dhabt al-qira’at berkembang pesat di masa berikutnya. Bahkan pada abad ke-4 H, Abu al-Aswad ad-Du’ali memperkenalkan tanda titik (i‘rab) untuk membedakan harakat, yang kemudian disempurnakan oleh Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Inovasi ini memudahkan umat non-Arab membaca Al-Qur’an dengan benar.

Mahasiswa dapat diajak melakukan simulasi kecil di kelas:  Cobalah membaca ayat مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ  (QS. Al-Fatihah: 4) dengan dua bacaan, Maliki dan Māliki. Lalu diskusikan maknanya: satu berarti “Pemilik Hari Pembalasan,” satu lagi berarti “Raja Hari Pembalasan.” Keduanya benar dan memperkaya pemahaman teologis tentang kekuasaan Allah.

Interaktivitas seperti ini membantu mahasiswa memahami bahwa perbedaan qira’at bukan bentuk kontradiksi, tetapi kekayaan ekspresi bahasa wahyu. 

7. Dimensi Akademik dan Kontemporer Kodifikasi Mushaf

Dalam kajian modern, para sarjana Muslim maupun orientalis meneliti sejarah kodifikasi ini secara filologis. Arthur Jeffery misalnya, meneliti “Materials for the History of the Text of the Qur’an,” sementara ulama Muslim seperti M.M. Azami menulis bantahan ilmiah dalam “The History of the Qur’anic Text.” Kajian ini menunjukkan bahwa transmisi Al-Qur’an memiliki metodologi ilmiah yang jauh mendahului sistem dokumentasi modern.

Selain itu, di era digital, Mushaf Utsmani kini hadir dalam bentuk mushaf digital, aplikasi Al-Qur’an, dan perangkat AI tahfizh. Namun, hakikatnya tetap sama: menjaga keotentikan wahyu Allah. Dalam konteks ini, mahasiswa perlu memahami pentingnya etika digital dalam menjaga keaslian teks suci, sebagaimana para sahabat menjaga tulisan di masa lampau. 

8. Penutup: Al-Qur’an Sebagai Amanah Ilmiah dan Spiritual

Sejarah kodifikasi dan standarisasi mushaf menunjukkan betapa seriusnya umat Islam dalam menjaga wahyu. Dari masa Nabi saw hingga Khalifah Utsman, setiap tahap menunjukkan perpaduan antara iman, ilmu, dan tanggung jawab sosial.

Bagi mahasiswa, memahami sejarah ini bukan hanya menambah pengetahuan sejarah Islam, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa menjaga Al-Qur’an berarti menjaga akal, moral, dan kemanusiaan.

Sebagaimana pesan Rasulullah saw: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Maka, perkuliahan ini bukan sekadar mengulas sejarah tulisan, tetapi mengajak kita meneladani semangat para sahabat dalam menjaga wahyu Allah dengan sepenuh hati dan nalar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an

  Pendahuluan Dalam ilmu tafsir, metode paling utama, paling otoritatif, dan paling selamat dari kesalahan adalah tafsir al-Qur’an dengan ...