Pendahuluan: Menyelami Hakikat Ontologis Ulum al-Qur’an
Ontologi Ulum
al-Qur’an merupakan pembahasan yang menyingkap hakikat, asal-usul, dan
keberadaan ilmu-ilmu yang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber kebenaran mutlak.
Secara filosofis, ontologi berhubungan dengan pertanyaan paling dasar: “Apa
yang sebenarnya dipelajari?” Dalam konteks Ulum al-Qur’an,
pertanyaan ini menuntun kita memahami bahwa objek kajiannya bukan hanya teks
Al-Qur’an, tetapi juga dimensi makna, konteks turunnya, struktur bahasanya,
hingga pesan spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya (al-Zarqani, Manāhil
al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 1996).
Para ulama klasik, seperti al-Suyuthi dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, menegaskan bahwa Ulum al-Qur’an adalah “ilmu yang membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari segi turunnya, penulisannya, tafsirnya, dan hukum-hukum yang diambil darinya.” Ontologi dari ilmu ini adalah untuk menjaga otentisitas wahyu dan memfasilitasi manusia agar dapat memahami pesan Tuhan sesuai konteks ruang dan waktu. Dengan demikian, memahami Ulum al-Qur’an bukan sekadar mempelajari ilmu teknis, tetapi meneguhkan hubungan epistemik antara manusia dan wahyu Ilahi.
1. Makkiyah dan
Madaniyah: Menelusuri Dinamika Wahyu dalam Konteks Sosial
a. Pengertian dan
Ciri-Ciri
Secara etimologis, Makkiyah
berasal dari kata Makkah, dan Madaniyah dari kata Madinah.
Secara terminologis, ayat Makkiyah adalah ayat yang turun sebelum hijrah
Nabi ke Madinah, sedangkan Madaniyah adalah ayat yang turun setelah
hijrah, tanpa memperhatikan tempat turunnya (al-Suyuthi, al-Itqān).
Ayat-ayat Makkiyah
umumnya menekankan aspek akidah, tauhid, dan moralitas universal, karena
masyarakat Makkah masih terjebak dalam kemusyrikan. Allah berfirman:
“Katakanlah,
Dialah Allah Yang Maha Esa...”
(QS. al-Ikhlash [112]: 1).
Sebaliknya, ayat-ayat
Madaniyah banyak menyoroti hukum sosial, politik, dan kemasyarakatan,
karena umat Islam telah membentuk komunitas bernegara di Madinah. Contohnya:
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu...”
(QS. al-Baqarah [2]: 183).
b. Dimensi
Filosofis
Dari sisi ontologis,
perbedaan Makkiyah–Madaniyah menunjukkan bahwa wahyu bersifat dinamis
dan kontekstual. Ia tidak turun dalam ruang hampa, tetapi menyesuaikan
dengan kebutuhan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Proses turunnya wahyu
menjadi cermin dialog Ilahi dengan realitas sosial. Dengan demikian, Al-Qur’an
bukan teks statis, tetapi memiliki daya hidup yang membimbing peradaban manusia
(Nasr, The Study Quran, 2015).
Dalam konteks pendidikan, pemahaman ini mengajarkan mahasiswa agar tidak memandang Al-Qur’an hanya sebagai doktrin, melainkan sebagai pedoman transformasi. Misalnya, ketika membahas ayat tentang keadilan sosial (QS. al-Nahl [16]: 90), mahasiswa dapat diajak merenungkan bagaimana prinsip tersebut diterapkan dalam sistem pendidikan yang adil dan inklusif.
2. Muhkam dan
Mutasyabih: Antara Kepastian dan Penafsiran
a. Definisi dan
Klasifikasi
Secara bahasa, muhkam
berarti kokoh dan jelas, sedangkan mutasyabih berarti samar atau
memiliki keserupaan makna. Allah SWT berfirman:
“Dialah yang
menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu; di antara (isinya) ada ayat-ayat yang
muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab, dan yang lain mutasyabihat...” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 7).
Ayat muhkam
mudah dipahami tanpa memerlukan takwil, misalnya:
“Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat...”
(QS. al-Baqarah [2]: 43).
Sedangkan mutasyabih mengandung makna simbolik yang memerlukan
penafsiran, seperti:
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Ṭāhā [20]:
5).
b. Makna Filosofis
dan Edukatif
Ontologi muhkam–mutasyabih
menggambarkan dua sisi epistemologi wahyu: kepastian hukum dan keluasan
makna. Melalui muhkam, manusia mendapatkan panduan hidup yang pasti.
Melalui mutasyabih, manusia diuji kemampuan intelektual dan spiritualnya
untuk menafsirkan makna.
Hal ini memberikan
pesan edukatif yang mendalam: Al-Qur’an mengajak manusia berpikir kritis dan
kontemplatif. Mahasiswa perlu memahami bahwa belajar Al-Qur’an bukan sekadar
menghafal ayat, melainkan melatih nalar filosofis dan etika penafsiran.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
“Barang siapa
menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya tanpa ilmu, hendaklah ia menyiapkan
tempatnya di neraka.”
(HR. Tirmidzi, no. 2950).
Hadis ini menegaskan
bahwa penafsiran terhadap ayat mutasyabih menuntut metodologi ilmiah dan
kerendahan hati intelektual. Dalam dunia pendidikan, semangat ini sejalan
dengan prinsip critical thinking — mahasiswa diajak berdialog, bukan
menerima dogma secara pasif.
c. Contoh
Aplikatif
Sebagai contoh
pembelajaran, dosen dapat memberikan studi kasus: “Bagaimana memahami ayat
tentang ‘tangan Allah’ (QS. al-Fath [48]: 10) secara kontekstual tanpa
menafikan makna teologisnya?”
Melalui diskusi, mahasiswa diajak untuk memahami konsep tasybih
(penyerupaan) dan tanzih (penyucian), serta bagaimana ulama salaf dan
khalaf berbeda dalam pendekatan tafsirnya. Pendekatan ini tidak hanya
menumbuhkan pemahaman tekstual, tetapi juga memperkuat etika berpikir teologis
yang rasional dan penuh adab.
3. Nasikh dan
Mansukh: Dialektika Hukum dalam Sejarah Wahyu
a. Pengertian dan
Dalil
Nasikh berarti penghapus, sedangkan mansukh
berarti yang dihapus. Secara terminologis, nasikh–mansukh adalah
perubahan hukum syariat yang diatur oleh wahyu Allah sebagai bentuk penyesuaian
terhadap perkembangan masyarakat Islam. Allah berfirman:
“Ayat mana saja
yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 106).
b. Tujuan dan
Hikmah Nasikh–Mansukh
Secara ontologis,
konsep nasikh–mansukh tidak menunjukkan perubahan kehendak Allah, tetapi
menggambarkan proses pedagogis Tuhan dalam mendidik umat manusia secara
bertahap (al-Syathibi, al-Muwāfaqāt). Hukum-hukum awal berfungsi
sebagai tahap pendidikan moral dan sosial menuju kedewasaan iman.
Misalnya, pada awal
Islam, kaum Muslim masih diperbolehkan minum khamr (QS. al-Baqarah [2]: 219]),
kemudian diperingatkan agar tidak shalat dalam keadaan mabuk (QS. an-Nisa
[4]: 43]), hingga akhirnya diharamkan secara total (QS. al-Ma’idah [5]:
90]).
Pendekatan gradual
ini sejalan dengan prinsip pedagogi modern bahwa perubahan perilaku manusia
membutuhkan proses dan tahapan belajar. Dalam pendidikan, prinsip nasikh–mansukh
mengajarkan pentingnya pendidikan yang progresif dan humanistik, bukan
represif.
c. Nilai Edukatif
Mahasiswa perlu
diajak untuk melihat nasikh–mansukh sebagai cermin kasih sayang Allah
dalam membentuk manusia yang matang spiritual dan sosial. Dosen dapat
mengaitkan hal ini dengan konteks pendidikan karakter: bahwa perubahan moral
tidak dapat terjadi secara instan, tetapi melalui proses nasakh
(penghapusan nilai lama) dan itsbat (penetapan nilai baru).
Contohnya, mahasiswa yang semula malas belajar dapat diarahkan secara bertahap dengan pendekatan pembiasaan, refleksi, dan motivasi spiritual — sebagaimana Allah mendidik umat Islam melalui tahapan wahyu.
a. Konteks
Pendidikan Modern
Dalam dunia
pendidikan Islam modern, Ulum al-Qur’an memiliki relevansi mendasar
sebagai fondasi epistemologi pendidikan yang integratif antara wahyu dan
akal. Pemahaman terhadap Makkiyah–Madaniyah menumbuhkan kesadaran
kontekstual; muhkam–mutasyabih mengajarkan keterbukaan berpikir; dan nasikh–mansukh
menanamkan kesabaran pedagogis dalam proses perubahan.
Sebagai contoh,
seorang guru PAI yang memahami konsep Makkiyah–Madaniyah akan mampu
membedakan materi ajar akidah yang bersifat fundamental dengan materi sosial
yang adaptif. Sementara itu, pemahaman muhkam–mutasyabih akan
menumbuhkan kemampuan berpikir filosofis, sehingga guru tidak bersikap hitam
putih terhadap perbedaan tafsir. Adapun konsep nasikh–mansukh membantu
guru memahami dinamika moral peserta didik — bahwa setiap perilaku memiliki
tahapan perubahan.
b. Dialog
Interaktif di Kelas
Dosen dapat memulai
perkuliahan dengan pertanyaan reflektif:
“Jika Al-Qur’an turun
selama 23 tahun untuk mendidik umat manusia secara bertahap, berapa lama kita
perlu waktu untuk mendidik karakter mahasiswa?”
Pertanyaan ini
mengundang mahasiswa berpikir kritis bahwa pendidikan sejati adalah proses
wahyu yang berkelanjutan. Melalui diskusi tersebut, mereka belajar menghargai
perbedaan kemampuan dan latar belakang teman-temannya, sebagaimana perbedaan
antara fase Makkah dan Madinah.
c. Integrasi Ulum
al-Qur’an dengan Kurikulum Pendidikan
Dalam kerangka Kurikulum
Merdeka Belajar, Ulum al-Qur’an dapat diintegrasikan ke dalam profil
pelajar Pancasila: beriman, bernalar kritis, dan berkebinekaan global.
Misalnya:
- Makkiyah–Madaniyah → menumbuhkan kesadaran historis dan adaptif.
- Muhkam–Mutasyabih → menanamkan kemampuan analisis dan toleransi
tafsir.
- Nasikh–Mansukh → menumbuhkan semangat perubahan moral dan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning).
5. Penutup: Ulum
al-Qur’an sebagai Cahaya Ilmu dan Spirit Pendidikan
Ontologi Ulum
al-Qur’an bukan sekadar kajian akademik, melainkan perjalanan spiritual
menuju pemahaman hakikat wahyu. Melalui Makkiyah–Madaniyah, kita belajar
bahwa kebenaran harus disampaikan sesuai konteks sosial. Melalui Muhkam–Mutasyabih,
kita memahami pentingnya keseimbangan antara kepastian hukum dan keluasan
tafsir. Melalui Nasikh–Mansukh, kita menyadari bahwa pendidikan adalah
proses bertahap menuju kesempurnaan moral.
Rasulullah ﷺ diutus bukan sekadar untuk menyampaikan
ayat, tetapi juga untuk mendidik manusia dengan hikmah. Sebagaimana
firman Allah:
“Dia-lah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Kitab dan Hikmah...”
(QS. al-Jumu‘ah [62]: 2).
Ayat ini menegaskan
bahwa hakikat pendidikan Qur’ani adalah pembersihan jiwa (tazkiyah) dan pencerahan
akal (ta‘līm). Karena itu, mahasiswa yang mempelajari Ulum al-Qur’an
harus menjadi insan yang berpikir rasional namun tetap tunduk secara spiritual;
menggabungkan kekuatan akal dan kelembutan iman.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar