Selasa, 30 Desember 2025

ONTOLOGI ULUM AL-QUR’AN Makkiyah–Madaniyah, Muhkam–Mutasyabih, dan Nasikh–Mansukh serta Relevansinya dalam Pendidikan


Pendahuluan: Menyelami Hakikat Ontologis Ulum al-Qur’an

Ontologi Ulum al-Qur’an merupakan pembahasan yang menyingkap hakikat, asal-usul, dan keberadaan ilmu-ilmu yang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber kebenaran mutlak. Secara filosofis, ontologi berhubungan dengan pertanyaan paling dasar: “Apa yang sebenarnya dipelajari?” Dalam konteks Ulum al-Qur’an, pertanyaan ini menuntun kita memahami bahwa objek kajiannya bukan hanya teks Al-Qur’an, tetapi juga dimensi makna, konteks turunnya, struktur bahasanya, hingga pesan spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya (al-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 1996).

Para ulama klasik, seperti al-Suyuthi dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, menegaskan bahwa Ulum al-Qur’an adalah “ilmu yang membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari segi turunnya, penulisannya, tafsirnya, dan hukum-hukum yang diambil darinya.” Ontologi dari ilmu ini adalah untuk menjaga otentisitas wahyu dan memfasilitasi manusia agar dapat memahami pesan Tuhan sesuai konteks ruang dan waktu. Dengan demikian, memahami Ulum al-Qur’an bukan sekadar mempelajari ilmu teknis, tetapi meneguhkan hubungan epistemik antara manusia dan wahyu Ilahi. 

1. Makkiyah dan Madaniyah: Menelusuri Dinamika Wahyu dalam Konteks Sosial

a. Pengertian dan Ciri-Ciri

Secara etimologis, Makkiyah berasal dari kata Makkah, dan Madaniyah dari kata Madinah. Secara terminologis, ayat Makkiyah adalah ayat yang turun sebelum hijrah Nabi ke Madinah, sedangkan Madaniyah adalah ayat yang turun setelah hijrah, tanpa memperhatikan tempat turunnya (al-Suyuthi, al-Itqān).

Ayat-ayat Makkiyah umumnya menekankan aspek akidah, tauhid, dan moralitas universal, karena masyarakat Makkah masih terjebak dalam kemusyrikan. Allah berfirman:

“Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa...” (QS. al-Ikhlash [112]: 1).

Sebaliknya, ayat-ayat Madaniyah banyak menyoroti hukum sosial, politik, dan kemasyarakatan, karena umat Islam telah membentuk komunitas bernegara di Madinah. Contohnya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...” (QS. al-Baqarah [2]: 183).

b. Dimensi Filosofis

Dari sisi ontologis, perbedaan Makkiyah–Madaniyah menunjukkan bahwa wahyu bersifat dinamis dan kontekstual. Ia tidak turun dalam ruang hampa, tetapi menyesuaikan dengan kebutuhan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Proses turunnya wahyu menjadi cermin dialog Ilahi dengan realitas sosial. Dengan demikian, Al-Qur’an bukan teks statis, tetapi memiliki daya hidup yang membimbing peradaban manusia (Nasr, The Study Quran, 2015).

Dalam konteks pendidikan, pemahaman ini mengajarkan mahasiswa agar tidak memandang Al-Qur’an hanya sebagai doktrin, melainkan sebagai pedoman transformasi. Misalnya, ketika membahas ayat tentang keadilan sosial (QS. al-Nahl [16]: 90), mahasiswa dapat diajak merenungkan bagaimana prinsip tersebut diterapkan dalam sistem pendidikan yang adil dan inklusif. 

2. Muhkam dan Mutasyabih: Antara Kepastian dan Penafsiran

a. Definisi dan Klasifikasi

Secara bahasa, muhkam berarti kokoh dan jelas, sedangkan mutasyabih berarti samar atau memiliki keserupaan makna. Allah SWT berfirman:

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu; di antara (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab, dan yang lain mutasyabihat...” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 7).

Ayat muhkam mudah dipahami tanpa memerlukan takwil, misalnya:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat...” (QS. al-Baqarah [2]: 43).
Sedangkan mutasyabih mengandung makna simbolik yang memerlukan penafsiran, seperti:
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS.
āhā [20]: 5).

b. Makna Filosofis dan Edukatif

Ontologi muhkam–mutasyabih menggambarkan dua sisi epistemologi wahyu: kepastian hukum dan keluasan makna. Melalui muhkam, manusia mendapatkan panduan hidup yang pasti. Melalui mutasyabih, manusia diuji kemampuan intelektual dan spiritualnya untuk menafsirkan makna.

Hal ini memberikan pesan edukatif yang mendalam: Al-Qur’an mengajak manusia berpikir kritis dan kontemplatif. Mahasiswa perlu memahami bahwa belajar Al-Qur’an bukan sekadar menghafal ayat, melainkan melatih nalar filosofis dan etika penafsiran. Rasulullah bersabda:

“Barang siapa menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya tanpa ilmu, hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 2950).

Hadis ini menegaskan bahwa penafsiran terhadap ayat mutasyabih menuntut metodologi ilmiah dan kerendahan hati intelektual. Dalam dunia pendidikan, semangat ini sejalan dengan prinsip critical thinking — mahasiswa diajak berdialog, bukan menerima dogma secara pasif.

c. Contoh Aplikatif

Sebagai contoh pembelajaran, dosen dapat memberikan studi kasus: “Bagaimana memahami ayat tentang ‘tangan Allah’ (QS. al-Fath [48]: 10) secara kontekstual tanpa menafikan makna teologisnya?”
Melalui diskusi, mahasiswa diajak untuk memahami konsep tasybih (penyerupaan) dan tanzih (penyucian), serta bagaimana ulama salaf dan khalaf berbeda dalam pendekatan tafsirnya. Pendekatan ini tidak hanya menumbuhkan pemahaman tekstual, tetapi juga memperkuat etika berpikir teologis yang rasional dan penuh adab.
 

3. Nasikh dan Mansukh: Dialektika Hukum dalam Sejarah Wahyu

a. Pengertian dan Dalil

Nasikh berarti penghapus, sedangkan mansukh berarti yang dihapus. Secara terminologis, nasikh–mansukh adalah perubahan hukum syariat yang diatur oleh wahyu Allah sebagai bentuk penyesuaian terhadap perkembangan masyarakat Islam. Allah berfirman:

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 106).

b. Tujuan dan Hikmah Nasikh–Mansukh

Secara ontologis, konsep nasikh–mansukh tidak menunjukkan perubahan kehendak Allah, tetapi menggambarkan proses pedagogis Tuhan dalam mendidik umat manusia secara bertahap (al-Syathibi, al-Muwāfaqāt). Hukum-hukum awal berfungsi sebagai tahap pendidikan moral dan sosial menuju kedewasaan iman.

Misalnya, pada awal Islam, kaum Muslim masih diperbolehkan minum khamr (QS. al-Baqarah [2]: 219]), kemudian diperingatkan agar tidak shalat dalam keadaan mabuk (QS. an-Nisa [4]: 43]), hingga akhirnya diharamkan secara total (QS. al-Ma’idah [5]: 90]).

Pendekatan gradual ini sejalan dengan prinsip pedagogi modern bahwa perubahan perilaku manusia membutuhkan proses dan tahapan belajar. Dalam pendidikan, prinsip nasikh–mansukh mengajarkan pentingnya pendidikan yang progresif dan humanistik, bukan represif.

c. Nilai Edukatif

Mahasiswa perlu diajak untuk melihat nasikh–mansukh sebagai cermin kasih sayang Allah dalam membentuk manusia yang matang spiritual dan sosial. Dosen dapat mengaitkan hal ini dengan konteks pendidikan karakter: bahwa perubahan moral tidak dapat terjadi secara instan, tetapi melalui proses nasakh (penghapusan nilai lama) dan itsbat (penetapan nilai baru).

Contohnya, mahasiswa yang semula malas belajar dapat diarahkan secara bertahap dengan pendekatan pembiasaan, refleksi, dan motivasi spiritual — sebagaimana Allah mendidik umat Islam melalui tahapan wahyu. 


4. Studi Kasus: Relevansi Ulum al-Qur’an dalam Pendidikan

a. Konteks Pendidikan Modern

Dalam dunia pendidikan Islam modern, Ulum al-Qur’an memiliki relevansi mendasar sebagai fondasi epistemologi pendidikan yang integratif antara wahyu dan akal. Pemahaman terhadap Makkiyah–Madaniyah menumbuhkan kesadaran kontekstual; muhkam–mutasyabih mengajarkan keterbukaan berpikir; dan nasikh–mansukh menanamkan kesabaran pedagogis dalam proses perubahan.

Sebagai contoh, seorang guru PAI yang memahami konsep Makkiyah–Madaniyah akan mampu membedakan materi ajar akidah yang bersifat fundamental dengan materi sosial yang adaptif. Sementara itu, pemahaman muhkam–mutasyabih akan menumbuhkan kemampuan berpikir filosofis, sehingga guru tidak bersikap hitam putih terhadap perbedaan tafsir. Adapun konsep nasikh–mansukh membantu guru memahami dinamika moral peserta didik — bahwa setiap perilaku memiliki tahapan perubahan.

b. Dialog Interaktif di Kelas

Dosen dapat memulai perkuliahan dengan pertanyaan reflektif:

“Jika Al-Qur’an turun selama 23 tahun untuk mendidik umat manusia secara bertahap, berapa lama kita perlu waktu untuk mendidik karakter mahasiswa?”

Pertanyaan ini mengundang mahasiswa berpikir kritis bahwa pendidikan sejati adalah proses wahyu yang berkelanjutan. Melalui diskusi tersebut, mereka belajar menghargai perbedaan kemampuan dan latar belakang teman-temannya, sebagaimana perbedaan antara fase Makkah dan Madinah.

c. Integrasi Ulum al-Qur’an dengan Kurikulum Pendidikan

Dalam kerangka Kurikulum Merdeka Belajar, Ulum al-Qur’an dapat diintegrasikan ke dalam profil pelajar Pancasila: beriman, bernalar kritis, dan berkebinekaan global. Misalnya:

  • Makkiyah–Madaniyah menumbuhkan kesadaran historis dan adaptif.
  • Muhkam–Mutasyabih menanamkan kemampuan analisis dan toleransi tafsir.
  • Nasikh–Mansukh menumbuhkan semangat perubahan moral dan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning). 

5. Penutup: Ulum al-Qur’an sebagai Cahaya Ilmu dan Spirit Pendidikan

Ontologi Ulum al-Qur’an bukan sekadar kajian akademik, melainkan perjalanan spiritual menuju pemahaman hakikat wahyu. Melalui Makkiyah–Madaniyah, kita belajar bahwa kebenaran harus disampaikan sesuai konteks sosial. Melalui Muhkam–Mutasyabih, kita memahami pentingnya keseimbangan antara kepastian hukum dan keluasan tafsir. Melalui Nasikh–Mansukh, kita menyadari bahwa pendidikan adalah proses bertahap menuju kesempurnaan moral.

Rasulullah diutus bukan sekadar untuk menyampaikan ayat, tetapi juga untuk mendidik manusia dengan hikmah. Sebagaimana firman Allah:

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah...” (QS. al-Jumu‘ah [62]: 2).

Ayat ini menegaskan bahwa hakikat pendidikan Qur’ani adalah pembersihan jiwa (tazkiyah) dan pencerahan akal (ta‘līm). Karena itu, mahasiswa yang mempelajari Ulum al-Qur’an harus menjadi insan yang berpikir rasional namun tetap tunduk secara spiritual; menggabungkan kekuatan akal dan kelembutan iman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an

  Pendahuluan Dalam ilmu tafsir, metode paling utama, paling otoritatif, dan paling selamat dari kesalahan adalah tafsir al-Qur’an dengan ...