Rabu, 31 Desember 2025

MENGENAL TAFSIR AT-TANWIR: TAFSIR AL-QUR’AN YANG MENCERAHKAN

Pendahuluan

Muhammadiyah dan Semangat Pembaruan Pemahaman Al-Qur’an

Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang sejak awal berdirinya membawa semangat tajdid (pembaruan), yakni upaya memperbarui cara umat Islam memahami dan mengamalkan ajaran agama agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Semangat pembaruan ini bukan dimaksudkan untuk mengubah pokok-pokok ajaran Islam, melainkan untuk menghadirkan pemahaman keagamaan yang lebih kontekstual, solutif, dan berdaya guna bagi kehidupan umat dan bangsa.

Landasan teologis bagi semangat tajdid tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ شَرَاحِيلَ بْنِ يَزِيدَ الْمَعَافِرِيِّ، عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، فِيمَا أَعْلَمُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏"‏ إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا ‏"‏ ‏.‏ قَالَ أَبُو دَاوُدَ رَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ شُرَيْحٍ الإِسْكَنْدَرَانِيُّ لَمْ يَجُزْ بِهِ شَرَاحِيلَ ‏.‏

Diriwayatkan dari Abu Hurairah: Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan memperbaharui agamanya." (Hadits Sunan Abu Dawud No. 4291.

Hadis ini menunjukkan bahwa pembaruan dalam Islam merupakan keniscayaan sejarah, yang bertujuan menjaga kemurnian ajaran sekaligus memastikan relevansinya dalam menjawab tantangan zaman.

Sebagai salah satu organisasi Islam tertua dan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah menempatkan Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber utama ajaran. Prinsip al-rujū‘ ilā al-Qur’ān wa al-Sunnah menjadi fondasi dalam seluruh aktivitas keagamaan, sosial, dan pendidikan yang dijalankan oleh persyarikatan. Oleh karena itu, tradisi pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam dinamika pemikiran Muhammadiyah sejak masa awal berdirinya.

Upaya penafsiran Al-Qur’an dalam Muhammadiyah telah dimulai sejak era pendirinya, KH. Ahmad Dahlan, yang menafsirkan Surah Al-Ma‘un secara kontekstual dan aplikatif. Penafsiran ini tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi melahirkan gerakan sosial konkret berupa filantropi dan pelayanan kemanusiaan yang hingga kini menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah di tingkat nasional maupun global.

Seiring perkembangan organisasi, tradisi tafsir Muhammadiyah mengalami institusionalisasi. Penyusunan tafsir Al-Qur’an dalam bentuk kitab dimulai pada tahun 1924 dengan terbitnya tafsir beraksara Jawa (Honocoroko). Setelah itu, Muhammadiyah melahirkan berbagai karya tafsir dan pemikiran Al-Qur’an, antara lain Qoer’an dan Wetenschap (1929), Tafsir Al-Ashr, Tafsir Al-Qur’an Djoez ke Satoe, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (2000), hingga Tafsir At-Tanwir Jilid 1 yang diterbitkan pada tahun 2016.

Di antara berbagai karya tersebut, Tafsir At-Tanwir memiliki posisi strategis karena disusun secara kolektif oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta dimaksudkan sebagai tafsir resmi persyarikatan. Tafsir ini tidak hanya melanjutkan tradisi penafsiran sebelumnya, tetapi juga dirancang untuk merespons problematika keumatan dan kebangsaan secara lebih komprehensif dan sistematis.

Oleh karena itu, untuk memahami secara utuh lahirnya Tafsir At-Tanwir, perlu dikaji beberapa aspek penting, yaitu sejarah berdirinya Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai lembaga penggagas tafsir ini, tujuan penulisannya, serta metodologi dan pendekatan penafsiran yang digunakan. Pembahasan terhadap aspek-aspek tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang karakter, orientasi, dan kontribusi Tafsir At-Tanwir dalam khazanah tafsir Al-Qur’an kontemporer di Indonesia.


A. Sejarah Majelis Tarjih dan Tajdid

Majelis Tarjih dan Tajdid tidak berdiri bersamaan dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, sedangkan Majelis Tarjih baru disahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari keputusan Kongres ke-16 di Pekalongan tahun 1927. Gagasan pendirian majelis ini muncul dari kebutuhan akan lembaga yang mampu memberikan keputusan keagamaan, khususnya dalam bidang hukum Islam, agar warga Muhammadiyah tidak terpecah oleh perbedaan pendapat, terutama dalam persoalan khilafiyah.

Meskipun secara kelembagaan baru dibentuk pada tahun 1928, aktivitas tarjih sejatinya telah berlangsung sejak awal berdirinya Muhammadiyah. Tarjih dipahami sebagai ikhtiar intelektual untuk meneliti dan memurnikan ajaran Islam, kemudian mengaktualisasikannya dalam kehidupan masyarakat Islam yang ideal. Dengan demikian, secara substantif tarjih lahir bersamaan dengan lahirnya Muhammadiyah.

Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki tugas utama meneliti hukum Islam, memberikan pertimbangan keagamaan kepada pimpinan persyarikatan, serta membimbing warga Muhammadiyah dalam mengamalkan ajaran Islam. Seiring perkembangan zaman dan meluasnya peran Muhammadiyah, persoalan keagamaan yang dihadapi umat semakin kompleks, sehingga keberadaan Majelis Tarjih dan Tajdid menjadi semakin strategis.

Lahirnya Majelis Tarjih dilatarbelakangi oleh dua faktor utama. Pertama, faktor internal berupa pesatnya perkembangan Muhammadiyah dalam berbagai bidang yang menuntut penguatan landasan keagamaan. Kedua, faktor eksternal berupa munculnya perbedaan pandangan keagamaan di tengah umat Islam, khususnya dalam masalah furu’ fikih yang berpotensi menimbulkan konflik. Kesadaran akan kondisi inilah yang mendorong Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih sebagai penyangga keutuhan pemahaman keagamaan.

Dalam konteks tersebut, Tafsir At-Tanwir hadir sebagai wujud konkret komitmen Muhammadiyah untuk terus kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara berkemajuan. Tafsir ini menjadi sarana aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an agar tetap relevan dengan tantangan zaman, sekaligus menegaskan peran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam amar makruf nahi mungkar yang responsif terhadap persoalan umat dan masyarakat.

B. Sejarah Penulisan Tafsir At-Tanwir

Tafsir at-Tanwir adalah tafsir Al-Qur’an resmi Muhammadiyah.
Kata “at-Tanwir” berarti pencerahan. Tujuan tafsir ini adalah:

  • Mencerahkan akal
  • Menyentuh hati
  • Mendorong tindakan nyata dalam kehidupan social [2]

Allah Swt. berfirman:

الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. Ibrahim [14]: 1)

Tafsir At-Tanwir merupakan kitab tafsir Al-Qur’an kontemporer yang disusun secara kolektif oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tafsir ini pertama kali diterbitkan pada Mei 2016 sebagai tindak lanjut amanat Muktamar Muhammadiyah Satu Abad di Yogyakarta tahun 2010. Sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, gagasan Tafsir At-Tanwir telah diwujudkan melalui artikel-artikel tafsir di Majalah Suara Muhammadiyah, meskipun sempat terhenti dan baru dilanjutkan kembali setelah Muktamar ke-46.

Secara metodologis, Tafsir At-Tanwir menggunakan model tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai urutan mushaf. Namun, penafsirannya disajikan dengan pengelompokan tema-tema tertentu sesuai kandungan ayat. Pendekatan ini menjadikan Tafsir At-Tanwir memiliki ciri khas, karena meskipun berlandaskan metode tahlili, ia juga mengandung unsur tematik. Model ini memudahkan pembaca, khususnya kalangan awam, dalam memahami pesan Al-Qur’an secara lebih sistematis dan kontekstual.

Berbeda dengan banyak karya tafsir di Indonesia yang ditulis secara individual—seperti Tafsir Al-Azhar karya Hamka atau Tafsir An-Nur karya Hasbi Ash-Shiddieqy—Tafsir At-Tanwir disusun secara kolektif. Pilihan ini didasarkan pada kesadaran bahwa tafsir Al-Qur’an merupakan produk zamannya, yang dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan, pengalaman keagamaan, serta konteks sosial, politik, dan budaya penulisnya. Dengan penulisan kolektif, Tafsir At-Tanwir diharapkan mampu menghadirkan sudut pandang yang lebih luas dan kaya, tanpa kehilangan kesatuan substansi.

Muhammadiyah memandang bahwa perubahan zaman meniscayakan lahirnya tafsir baru yang responsif terhadap problematika kontemporer. Oleh karena itu, Tafsir At-Tanwir ditulis sebagai upaya menghadirkan penafsiran Al-Qur’an yang relevan dengan dinamika kehidupan modern. Tafsir ini disusun dalam bentuk per jilid untuk setiap juz Al-Qur’an, dengan target awal penyelesaian selama 50 tahun karena keterbatasan jumlah penyusun. Namun, setelah dilakukan penambahan tim penulis, target tersebut dipercepat menjadi sekitar tujuh tahun. Jika rampung seluruhnya, Tafsir At-Tanwir diperkirakan akan terdiri dari 30 jilid dengan total halaman mencapai lebih dari 14.000 halaman, sehingga layak disebut sebagai karya monumental Muhammadiyah.

Jilid pertama Tafsir At-Tanwir mencakup penafsiran Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Baqarah ayat 1–141, dengan ketebalan 492 halaman. Jilid ini disusun oleh 14 orang penyusun yang memiliki latar belakang keilmuan beragam, terdiri dari akademisi dan ulama Muhammadiyah yang kompeten di bidangnya. Tafsir ini diterbitkan langsung oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta.

Pemilihan nama “At-Tanwir”, yang berarti pencerahan, mencerminkan jati diri dan filosofi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan. Nama ini menggambarkan harapan agar Tafsir At-Tanwir mampu menghadirkan pemahaman Al-Qur’an yang mencerahkan, baik bagi warga Muhammadiyah maupun umat Islam secara luas. Makna pencerahan tersebut sejalan dengan pandangan Muhammadiyah bahwa Islam adalah agama yang membawa kemajuan, rahmat, dan pencerahan bagi kehidupan manusia.

Dengan karakter reformis-modernis, Muhammadiyah memadukan semangat pemurnian ajaran dan pengembangan pemikiran Islam secara dinamis dan moderat. Nilai-nilai inilah yang tercermin dalam Tafsir At-Tanwir, yaitu tafsir Al-Qur’an yang berorientasi pada kemajuan, bersifat moderat, dan responsif terhadap persoalan aktual. Tafsir At-Tanwir diharapkan tidak hanya menjadi rujukan akademik, tetapi juga menjadi sumber pencerahan dan solusi bagi problem kehidupan umat dan bangsa Indonesia.

2. Tujuan Penulisan Tafsir At-Tanwir

Tafsir At-Tanwir disusun sebagai respons atas berbagai problematika kontemporer yang dihadapi bangsa Indonesia. Dalam pengantarnya, tim penyusun menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi persoalan yang kompleks dan multidimensional, seperti kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, rendahnya kualitas sumber daya manusia, ketimpangan gender, lemahnya penegakan hukum, persoalan hak asasi manusia, maraknya korupsi, serta penyelenggaraan negara yang belum sepenuhnya memenuhi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, bangsa Indonesia juga dihadapkan pada problem sosial yang kian mengkhawatirkan, antara lain konflik antarkelompok, kerusakan tatanan sosial, munculnya aliran keagamaan menyimpang, krisis lingkungan hidup, meningkatnya kriminalitas dan kekerasan—termasuk terhadap perempuan dan anak—perdagangan manusia, degradasi moral, gaya hidup konsumtif dan hedonis, perjudian, narkoba, hingga bencana alam yang dipicu oleh faktor alam maupun ulah manusia. Seluruh persoalan tersebut membutuhkan upaya penanganan yang komprehensif dan melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Dalam konteks inilah Muhammadiyah, sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar, memandang perlu mengambil peran strategis. Salah satu ikhtiar yang ditempuh adalah menggali tuntunan nilai dari Al-Qur’an sebagai modal simbolik umat untuk menjawab persoalan bangsa. Atas dasar itulah Majelis Tarjih dan Tajdid menyusun Tafsir At-Tanwir sebagai panduan keagamaan yang relevan dengan realitas sosial kekinian.

Selain untuk merespons problem kebangsaan, Tafsir At-Tanwir memiliki makna penting bagi internal Muhammadiyah. Tafsir ini diharapkan menjadi rujukan keagamaan bagi warga Muhammadiyah sekaligus sarana dakwah Islam yang berkontribusi pada pembangunan peradaban dan pembentukan karakter bangsa yang berkemajuan. Sebagaimana ditegaskan dalam pengantarnya, tujuan penulisan Tafsir At-Tanwir meliputi tiga hal utama: pertama, menyediakan bacaan tafsir Al-Qur’an yang sejalan dengan misi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid; kedua, memenuhi aspirasi warga Muhammadiyah akan tafsir yang disusun secara kolektif oleh ulama dan cendekiawan Muhammadiyah; ketiga, memanfaatkan nilai-nilai Al-Qur’an untuk membangkitkan etos umat dan mendorong terwujudnya peradaban Indonesia yang berkemajuan.

Menurut Haedar Nashir, pentingnya Tafsir At-Tanwir bagi Muhammadiyah setidaknya didasari oleh dua alasan. Pertama, komitmen Muhammadiyah sejak awal berdiri terhadap prinsip al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah harus diwujudkan secara nyata, bukan sekadar slogan. Tafsir At-Tanwir menjadi bukti konkret kesungguhan Muhammadiyah dalam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah melalui rujukan tafsir yang utuh dan sistematis. Kedua, meskipun telah banyak tafsir Al-Qur’an ditulis oleh ulama Indonesia—termasuk tokoh Muhammadiyah—belum ada tafsir Al-Qur’an yang lengkap dan disusun secara kolektif atas nama Muhammadiyah. Tafsir tematik yang pernah diterbitkan sebelumnya masih bersifat terbatas, sehingga kehadiran Tafsir At-Tanwir menjadi kebutuhan mendesak.

Lebih lanjut, Tafsir At-Tanwir dinilai mampu menjawab tantangan zaman. Ahmad Najib Burhani menilai bahwa tafsir ini memberikan pemahaman Al-Qur’an yang lebih utuh dan tidak terfragmentasi, sehingga umat tidak terjebak pada pembacaan ayat secara parsial dan instan. Selain itu, Tafsir At-Tanwir juga menunjukkan kapasitas Muhammadiyah dalam melahirkan karya tafsir komprehensif dan monumental, bukan sekadar kumpulan tulisan singkat. Dengan demikian, Tafsir At-Tanwir hadir sebagai tafsir responsif yang diharapkan mampu memberi arah, pencerahan, dan solusi bagi persoalan umat dan bangsa.


C. Metodologi Tafsir At-Tanwir

Dalam kajian tafsir Al-Qur’an, berkembang beragam metode penafsiran yang dirumuskan oleh para ulama klasik hingga kontemporer. Hal ini wajar karena Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia memuat ajaran yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik keagamaan maupun kemanusiaan. Keragaman isi tersebut mendorong lahirnya berbagai pendekatan dan metode penafsiran.

Secara umum, metode penafsiran Al-Qur’an yang populer merujuk pada klasifikasi al-Farmawi, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. Dari keempat metode tersebut, metode tahlili dan maudhu’i paling banyak digunakan. Dalam konteks tafsir kontemporer di Indonesia, metode tematik (maudhu’i) cenderung menjadi pilihan utama. Namun, metode ini memiliki keterbatasan karena tidak menafsirkan seluruh ayat Al-Qur’an secara menyeluruh, melainkan hanya ayat-ayat yang relevan dengan tema tertentu.

Berbeda dengan tafsir tematik murni, Tafsir At-Tanwir menggunakan metode tahlili yang dipadukan dengan pendekatan tematik (tahlili cum tematik). Secara umum, Tafsir At-Tanwir mengikuti urutan ayat dalam mushaf dan berupaya menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek. Namun, keunikan tafsir ini terletak pada pengelompokan ayat-ayat ke dalam tema-tema tertentu, sehingga penafsiran menjadi lebih sistematis, kontekstual, dan mudah dipahami pembaca.

Keistimewaan lain dari metode ini tampak pada sistematika penyajian yang menggunakan bab dan subbab. Setiap surat atau kelompok ayat disajikan dengan pendahuluan, pemetaan tema, penafsiran ayat berdasarkan tema tertentu, dan diakhiri dengan kesimpulan. Pola ini terlihat jelas dalam penafsiran Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Baqarah pada jilid pertama Tafsir At-Tanwir, yang dibagi ke dalam bagian-bagian tematik besar dan dirinci lagi ke dalam subtema yang relevan dengan kandungan ayat.

Model penyajian seperti ini merupakan terobosan dalam metode tafsir tahlili. Jika tafsir tahlili pada umumnya bersifat linear dan cenderung monoton, Tafsir At-Tanwir justru menawarkan struktur tematik yang memudahkan pembaca dalam memahami pesan Al-Qur’an serta menemukan tema yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan demikian, tafsir ini tidak hanya lebih komunikatif, tetapi juga lebih menarik dan aplikatif.

Karena disusun secara kolektif, Tafsir At-Tanwir mengikuti mekanisme penulisan yang sistematis. Tim Majelis Tarjih dan Tajdid terlebih dahulu menetapkan tema dan subtema penafsiran, kemudian membaginya kepada para penyusun sesuai dengan kompetensi masing-masing. Hasil penulisan individu selanjutnya dibahas dalam rapat pleno untuk dikaji bersama, sebelum akhirnya disunting oleh tim editor agar gaya bahasa dan substansi pemikiran tetap selaras.

Dalam aspek epistemologis, Tafsir At-Tanwir tetap berpegang pada prinsip tafsir bi al-ma’tsur, yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis Nabi, dan pendapat para sahabat. Namun demikian, tafsir ini juga memanfaatkan penalaran rasional dan ilmu pengetahuan modern (bi al-ra’yi), sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan aktual. Pendekatan ini memungkinkan Tafsir At-Tanwir bersifat dinamis dan kontekstual tanpa melepaskan pijakan normatifnya.

Penulisan tafsir secara kolektif memberikan kelebihan berupa keragaman perspektif, terutama karena para penyusunnya berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda. Hal ini menjadikan Tafsir At-Tanwir kaya sudut pandang dan mampu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu. Namun, di sisi lain, metode kolektif juga memiliki tantangan, terutama dalam menyelaraskan perbedaan cara berpikir dan gaya penafsiran. Kendati demikian, secara keseluruhan Tafsir At-Tanwir memberikan kontribusi penting bagi khazanah tafsir Al-Qur’an di Indonesia, baik secara praktis maupun akademik.

Aspek

Metode Tahlili Klasik

Metode Maudhu’i (Tematik)

Metode Tafsir At-Tanwir

Pola Penafsiran

Menafsirkan ayat demi ayat sesuai urutan mushaf

Menghimpun ayat-ayat berdasarkan tema tertentu

Tahlili cum Tematik (tahlili yang dikelompokkan secara tematik)

Cakupan Ayat

Menyeluruh, seluruh ayat dalam mushaf

Terbatas pada ayat-ayat tematik

Menyeluruh, mengikuti urutan mushaf

Sistem Penyajian

Linear dan berurutan

Tematik dan fokus isu

Bab dan subbab tematik dalam setiap surat

Kelebihan

Mendalam secara teks

Kontekstual dan fokus isu

Kontekstual, sistematis, dan komprehensif

Kelemahan

Kurang kontekstual terhadap isu modern

Tidak menafsirkan Al-Qur’an secara utuh

Relatif panjang dan membutuhkan literasi pembaca

Contoh Penerapan

Tafsir Ibn Katsir, Al-Thabari

Tafsir Maudhu’i Kemenag

Tafsir At-Tanwir (Majelis Tarjih Muhammadiyah)

Orientasi

Tekstual-normatif

Isu tematik

Pemecahan problem keumatan dan kebangsaan

2. Pendekatan Penafsiran

Pendekatan yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir mencakup tiga paradigma utama, yaitu bayani, burhani, dan irfani. Ketiga pendekatan ini telah lama dikenal dalam tradisi ijtihad Muhammadiyah dan ditegaskan kembali dalam Putusan Tarjih tahun 2000.

Pendekatan bayani bertumpu pada teks-teks normatif, yaitu Al-Qur’an dan hadis, dengan menempatkan nash sebagai otoritas utama dalam menentukan makna dan kebenaran. Pendekatan burhani mengandalkan rasionalitas dan logika ilmiah, serta memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai alat bantu penafsiran. Sementara itu, pendekatan irfani menekankan pengalaman spiritual, kepekaan nurani, dan kedalaman batin dalam memahami makna terdalam teks suci [2].

Ketiga pendekatan tersebut memiliki kontribusi yang berbeda dalam sejarah keilmuan Islam. Pendekatan bayani banyak melahirkan karya fiqh dan teologi, burhani berperan besar dalam perkembangan filsafat dan sains, sedangkan irfani melahirkan tradisi tasawuf. Tafsir At-Tanwir berupaya memadukan ketiganya secara seimbang, sehingga menghasilkan penafsiran yang tekstual, rasional, sekaligus spiritual.

Adapun sumber rujukan Tafsir At-Tanwir berasal dari berbagai kitab tafsir klasik dan modern yang otoritatif, seperti karya al-Thabari, Ibn Katsir, al-Zamakhsyari, al-Alusi, Ibn ‘Asyur, Rasyid Ridha, Sayyid Quthb, Hamka, dan M. Quraish Shihab, serta tafsir resmi Kementerian Agama RI. Selain itu, tafsir ini juga merujuk pada literatur hadis, fiqh, kalam, tasawuf, filsafat, dan kamus bahasa Arab. Namun, Tafsir At-Tanwir tidak secara eksplisit menggunakan rujukan dari pemikir tafsir kontemporer kritis Barat dan Timur Tengah, seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid, atau Amina Wadud.

Pendekatan

Fokus Utama

Karakteristik

Peran dalam Tafsir At-Tanwir

Bayani

Teks (Al-Qur’an dan Hadis)

Bahasa, gramatika, asbab al-nuzul, tafsir klasik

Menjadi fondasi normatif penafsiran

Burhani

Rasionalitas dan ilmu

Logika, analisis sosial, sains, konteks sejarah

Menguatkan kontekstualisasi ayat

Irfani

Spiritual dan etika batin

Nilai moral, kesadaran ruhani, hikmah

Memberi kedalaman etis dan spiritual

Integrasi Tiga Pendekatan

Teks–Akal–Nurani

Tidak ekstrem tekstual, tidak liberal rasional

Ciri khas Tafsir At-Tanwir


Perbandingan Sumber Penafsiran

Aspek

Tafsir Klasik

Tafsir Modern

Tafsir At-Tanwir

Sumber Utama

Sahabat & Tabi’in

Ulama modern

Tafsir klasik & modern otoritatif

Corak

Normatif-tekstual

Sosial-kontekstual

Normatif, rasional, dan kontekstual

Rujukan

Al-Thabari, Ibn Katsir

Quthb, Hamka, Quraish Shihab

Kombinasi klasik–modern Indonesia & global

Keterlibatan Ilmu Sosial

Minim

Sedang

Kuat dan relevan dengan konteks Indonesia

Perspektif Organisasi

Individual ulama

Individual

Kolektif kelembagaan Muhammadiyah

Posisi Tafsir At-Tanwir dalam Peta Tafsir Kontemporer Indonesia

Aspek

Keterangan

Identitas

Tafsir resmi Muhammadiyah

Metode

Tahlili tematik

Pendekatan

Bayani–Burhani–Irfani

Tujuan

Tuntunan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid

Orientasi

Islam berkemajuan & pembangunan peradaban

Kontribusi

Menjawab problem keumatan dan kebangsaan


F. Contoh Tafsir at-Tanwir dalam Kehidupan Sehari-hari

Allah Swt. berfirman dalam QS. an-Nahl [16]: 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. an-Nahl [16]: 90)

Sebuah ayat yang menegaskan perintah untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, serta larangan terhadap segala bentuk kejahatan, kemungkaran, dan permusuhan. Ayat ini sering dibaca dalam khutbah Jumat dan dikenal luas oleh umat Islam. Namun dalam Tafsir At-Tanwir, ayat tersebut tidak dipahami secara sempit hanya sebatas hubungan personal atau keluarga, melainkan dimaknai secara lebih luas dan kontekstual dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebangsaan.

Tafsir At-Tanwir menegaskan bahwa perintah berlaku adil mencakup penolakan terhadap praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta segala bentuk ketidakadilan sosial yang merugikan masyarakat. Ihsan tidak hanya dimaknai sebagai kebaikan individual, tetapi juga sebagai komitmen kolektif untuk menciptakan sistem sosial yang jujur, manusiawi, dan berkeadaban. Dengan demikian, Al-Qur’an dipahami sebagai pedoman etika publik yang menuntun perilaku individu sekaligus tata kelola kehidupan bersama.

Dalam konteks kehidupan mahasiswa, nilai keadilan dan kejujuran yang diajarkan ayat ini sangat relevan. Perilaku menyontek saat ujian, titip absen, atau memanipulasi tugas akademik merupakan bentuk ketidakadilan, karena merugikan diri sendiri, teman, dan merusak integritas pendidikan. Tafsir At-Tanwir membantu mahasiswa memahami bahwa kejujuran bukan sekadar tuntutan akademik, melainkan nilai Qur’ani yang harus diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan.

G. Mengapa Mahasiswa Perlu Memahami Tafsir Seperti Ini?

Mahasiswa pada hakikatnya tidak hanya dipersiapkan untuk lulus kuliah dan meraih gelar akademik, tetapi juga untuk menjadi insan yang berpikir kritis, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman Al-Qur’an yang kontekstual dan moderat menjadi kebutuhan penting dalam proses pendidikan tinggi, khususnya di tengah kompleksitas tantangan sosial dan arus informasi keagamaan yang beragam.

Allah Swt. menegaskan dalam QS. al-Mujadilah [58]: 11

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujadilah [58]: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa iman dan ilmu tidak boleh dipertentangkan, melainkan harus berjalan beriringan. Tafsir At-Tanwir hadir untuk menjembatani keduanya, dengan menghadirkan pemahaman Al-Qur’an yang menghargai teks wahyu sekaligus mendorong penggunaan akal dan ilmu pengetahuan.

Dengan memahami Al-Qur’an melalui pendekatan seperti Tafsir At-Tanwir, iman mahasiswa menjadi lebih kokoh karena didasarkan pada pemahaman yang rasional dan mendalam. Akal menjadi lebih terbuka karena dilatih untuk berpikir kritis dan kontekstual. Pada saat yang sama, sikap beragama berkembang menjadi lebih moderat, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan. Inilah bekal penting agar mahasiswa tidak hanya menjadi insan akademis, tetapi juga menjadi muslim yang berkarakter, berkeadaban, dan mampu memberi kontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.

 

H. Penutup

Hermeneutika Qur’ani dan Tafsir At-Tanwir mengajarkan bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab yang jauh dari realitas kehidupan sehari-hari, melainkan pedoman hidup yang hadir untuk membimbing manusia dalam menghadapi persoalan nyata. Melalui pendekatan yang seimbang antara teks, akal, dan nilai moral, tafsir ini menegaskan bahwa ajaran Islam selaras dengan akal sehat serta perkembangan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, agama dipahami sebagai sumber kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, bukan sebagai beban atau alat pembenaran sikap sempit dan eksklusif.

Bagi mahasiswa semester awal, pemahaman seperti ini menjadi sangat penting sebagai fondasi awal dalam membangun cara pandang keagamaan yang sehat dan moderat. Dengan pemahaman Qur’ani yang terbuka dan kontekstual, mahasiswa tidak mudah terpengaruh oleh narasi keagamaan yang kaku, ekstrem, atau menyempitkan makna Islam. Pada saat yang sama, mereka dilatih untuk berpikir kritis dan rasional tanpa harus meninggalkan iman, sehingga mampu mengintegrasikan keyakinan agama dengan nalar akademik.

Pada akhirnya, Hermeneutika Qur’ani dan Tafsir At-Tanwir mengarahkan mahasiswa untuk menjadi muslim yang cerdas dalam berpikir, santun dalam bersikap, dan nyata dalam memberi manfaat bagi sesama. Nilai inilah yang sejalan dengan pesan Rasulullah saw.:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289)

Dengan menjadikan kebermanfaatan sebagai orientasi hidup, pemahaman Al-Qur’an tidak hanya memperkuat iman, tetapi juga melahirkan kepribadian yang berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENGENAL TAFSIR AT-TANWIR: TAFSIR AL-QUR’AN YANG MENCERAHKAN

Pendahuluan Muhammadiyah dan Semangat Pembaruan Pemahaman Al-Qur’an Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang sejak awal berdirinya m...