Pendahuluan
Muhammadiyah dan
Semangat Pembaruan Pemahaman Al-Qur’an
Muhammadiyah
merupakan organisasi Islam yang sejak awal berdirinya membawa semangat tajdid
(pembaruan), yakni upaya memperbarui cara umat Islam memahami dan mengamalkan
ajaran agama agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Semangat
pembaruan ini bukan dimaksudkan untuk mengubah pokok-pokok ajaran Islam,
melainkan untuk menghadirkan pemahaman keagamaan yang lebih kontekstual,
solutif, dan berdaya guna bagi kehidupan umat dan bangsa.
Landasan teologis
bagi semangat tajdid tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw. sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ
دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي
أَيُّوبَ، عَنْ شَرَاحِيلَ بْنِ يَزِيدَ الْمَعَافِرِيِّ، عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، فِيمَا أَعْلَمُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
قَالَ " إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا " . قَالَ أَبُو دَاوُدَ
رَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ شُرَيْحٍ الإِسْكَنْدَرَانِيُّ لَمْ يَجُزْ بِهِ
شَرَاحِيلَ .
Diriwayatkan dari
Abu Hurairah: Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk
umat ini pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan memperbaharui agamanya." (Hadits Sunan Abu Dawud No.
4291.
Hadis ini menunjukkan
bahwa pembaruan dalam Islam merupakan keniscayaan sejarah, yang bertujuan
menjaga kemurnian ajaran sekaligus memastikan relevansinya dalam menjawab
tantangan zaman.
Sebagai salah satu
organisasi Islam tertua dan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah menempatkan
Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber utama ajaran. Prinsip al-rujū‘ ilā
al-Qur’ān wa al-Sunnah menjadi fondasi dalam seluruh aktivitas keagamaan,
sosial, dan pendidikan yang dijalankan oleh persyarikatan. Oleh karena itu,
tradisi pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam
dinamika pemikiran Muhammadiyah sejak masa awal berdirinya.
Upaya penafsiran
Al-Qur’an dalam Muhammadiyah telah dimulai sejak era pendirinya, KH. Ahmad
Dahlan, yang menafsirkan Surah Al-Ma‘un secara kontekstual dan aplikatif.
Penafsiran ini tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi melahirkan gerakan
sosial konkret berupa filantropi dan pelayanan kemanusiaan yang hingga kini
menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah di tingkat nasional maupun global.
Seiring perkembangan
organisasi, tradisi tafsir Muhammadiyah mengalami institusionalisasi.
Penyusunan tafsir Al-Qur’an dalam bentuk kitab dimulai pada tahun 1924 dengan
terbitnya tafsir beraksara Jawa (Honocoroko). Setelah itu, Muhammadiyah
melahirkan berbagai karya tafsir dan pemikiran Al-Qur’an, antara lain Qoer’an
dan Wetenschap (1929), Tafsir Al-Ashr, Tafsir Al-Qur’an Djoez ke Satoe, Tafsir
Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (2000), hingga
Tafsir At-Tanwir Jilid 1 yang diterbitkan pada tahun 2016.
Di antara berbagai
karya tersebut, Tafsir At-Tanwir memiliki posisi strategis karena disusun
secara kolektif oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
serta dimaksudkan sebagai tafsir resmi persyarikatan. Tafsir ini tidak hanya
melanjutkan tradisi penafsiran sebelumnya, tetapi juga dirancang untuk
merespons problematika keumatan dan kebangsaan secara lebih komprehensif dan
sistematis.
Oleh karena itu,
untuk memahami secara utuh lahirnya Tafsir At-Tanwir, perlu dikaji beberapa
aspek penting, yaitu sejarah berdirinya Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai
lembaga penggagas tafsir ini, tujuan penulisannya, serta metodologi dan
pendekatan penafsiran yang digunakan. Pembahasan terhadap aspek-aspek tersebut
diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang karakter,
orientasi, dan kontribusi Tafsir At-Tanwir dalam khazanah tafsir Al-Qur’an
kontemporer di Indonesia.
A. Sejarah Majelis
Tarjih dan Tajdid
Majelis Tarjih dan
Tajdid tidak berdiri bersamaan dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah didirikan pada
tahun 1912, sedangkan Majelis Tarjih baru disahkan pada Kongres Muhammadiyah
ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari keputusan Kongres ke-16
di Pekalongan tahun 1927. Gagasan pendirian majelis ini muncul dari kebutuhan
akan lembaga yang mampu memberikan keputusan keagamaan, khususnya dalam bidang
hukum Islam, agar warga Muhammadiyah tidak terpecah oleh perbedaan pendapat,
terutama dalam persoalan khilafiyah.
Meskipun secara
kelembagaan baru dibentuk pada tahun 1928, aktivitas tarjih sejatinya telah
berlangsung sejak awal berdirinya Muhammadiyah. Tarjih dipahami sebagai ikhtiar
intelektual untuk meneliti dan memurnikan ajaran Islam, kemudian
mengaktualisasikannya dalam kehidupan masyarakat Islam yang ideal. Dengan
demikian, secara substantif tarjih lahir bersamaan dengan lahirnya
Muhammadiyah.
Majelis Tarjih dan
Tajdid memiliki tugas utama meneliti hukum Islam, memberikan pertimbangan
keagamaan kepada pimpinan persyarikatan, serta membimbing warga Muhammadiyah
dalam mengamalkan ajaran Islam. Seiring perkembangan zaman dan meluasnya peran
Muhammadiyah, persoalan keagamaan yang dihadapi umat semakin kompleks, sehingga
keberadaan Majelis Tarjih dan Tajdid menjadi semakin strategis.
Lahirnya Majelis
Tarjih dilatarbelakangi oleh dua faktor utama. Pertama, faktor internal berupa
pesatnya perkembangan Muhammadiyah dalam berbagai bidang yang menuntut
penguatan landasan keagamaan. Kedua, faktor eksternal berupa munculnya
perbedaan pandangan keagamaan di tengah umat Islam, khususnya dalam masalah
furu’ fikih yang berpotensi menimbulkan konflik. Kesadaran akan kondisi inilah
yang mendorong Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih sebagai penyangga keutuhan
pemahaman keagamaan.
Dalam konteks
tersebut, Tafsir At-Tanwir hadir sebagai wujud konkret komitmen Muhammadiyah
untuk terus kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara berkemajuan. Tafsir
ini menjadi sarana aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an agar tetap relevan dengan
tantangan zaman, sekaligus menegaskan peran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
amar makruf nahi mungkar yang responsif terhadap persoalan umat dan masyarakat.
B. Sejarah
Penulisan Tafsir At-Tanwir
Tafsir at-Tanwir adalah tafsir Al-Qur’an resmi
Muhammadiyah.
Kata “at-Tanwir” berarti pencerahan. Tujuan tafsir ini adalah:
- Mencerahkan akal
- Menyentuh hati
- Mendorong tindakan nyata dalam
kehidupan social [2]
Allah Swt. berfirman:
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ
إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ
رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Alif, laam raa. (Ini
adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari
gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu)
menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. Ibrahim [14]: 1)
Tafsir At-Tanwir
merupakan kitab tafsir Al-Qur’an kontemporer yang disusun secara kolektif oleh
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tafsir ini pertama
kali diterbitkan pada Mei 2016 sebagai tindak lanjut amanat Muktamar
Muhammadiyah Satu Abad di Yogyakarta tahun 2010. Sebelum diterbitkan dalam
bentuk buku, gagasan Tafsir At-Tanwir telah diwujudkan melalui artikel-artikel
tafsir di Majalah Suara Muhammadiyah, meskipun sempat terhenti dan baru
dilanjutkan kembali setelah Muktamar ke-46.
Secara metodologis,
Tafsir At-Tanwir menggunakan model tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an sesuai urutan mushaf. Namun, penafsirannya disajikan dengan
pengelompokan tema-tema tertentu sesuai kandungan ayat. Pendekatan ini
menjadikan Tafsir At-Tanwir memiliki ciri khas, karena meskipun berlandaskan
metode tahlili, ia juga mengandung unsur tematik. Model ini memudahkan pembaca,
khususnya kalangan awam, dalam memahami pesan Al-Qur’an secara lebih sistematis
dan kontekstual.
Berbeda dengan banyak
karya tafsir di Indonesia yang ditulis secara individual—seperti Tafsir
Al-Azhar karya Hamka atau Tafsir An-Nur karya Hasbi
Ash-Shiddieqy—Tafsir At-Tanwir disusun secara kolektif. Pilihan ini didasarkan
pada kesadaran bahwa tafsir Al-Qur’an merupakan produk zamannya, yang
dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan, pengalaman keagamaan, serta konteks
sosial, politik, dan budaya penulisnya. Dengan penulisan kolektif, Tafsir
At-Tanwir diharapkan mampu menghadirkan sudut pandang yang lebih luas dan kaya,
tanpa kehilangan kesatuan substansi.
Muhammadiyah
memandang bahwa perubahan zaman meniscayakan lahirnya tafsir baru yang
responsif terhadap problematika kontemporer. Oleh karena itu, Tafsir At-Tanwir
ditulis sebagai upaya menghadirkan penafsiran Al-Qur’an yang relevan dengan
dinamika kehidupan modern. Tafsir ini disusun dalam bentuk per jilid untuk
setiap juz Al-Qur’an, dengan target awal penyelesaian selama 50 tahun karena
keterbatasan jumlah penyusun. Namun, setelah dilakukan penambahan tim penulis,
target tersebut dipercepat menjadi sekitar tujuh tahun. Jika rampung
seluruhnya, Tafsir At-Tanwir diperkirakan akan terdiri dari 30 jilid dengan
total halaman mencapai lebih dari 14.000 halaman, sehingga layak disebut
sebagai karya monumental Muhammadiyah.
Jilid pertama Tafsir
At-Tanwir mencakup penafsiran Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Baqarah ayat 1–141,
dengan ketebalan 492 halaman. Jilid ini disusun oleh 14 orang penyusun yang
memiliki latar belakang keilmuan beragam, terdiri dari akademisi dan ulama Muhammadiyah
yang kompeten di bidangnya. Tafsir ini diterbitkan langsung oleh Majelis Tarjih
dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta.
Pemilihan nama
“At-Tanwir”, yang berarti pencerahan, mencerminkan jati diri dan filosofi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan. Nama ini menggambarkan harapan
agar Tafsir At-Tanwir mampu menghadirkan pemahaman Al-Qur’an yang mencerahkan,
baik bagi warga Muhammadiyah maupun umat Islam secara luas. Makna pencerahan
tersebut sejalan dengan pandangan Muhammadiyah bahwa Islam adalah agama yang
membawa kemajuan, rahmat, dan pencerahan bagi kehidupan manusia.
Dengan karakter
reformis-modernis, Muhammadiyah memadukan semangat pemurnian ajaran dan
pengembangan pemikiran Islam secara dinamis dan moderat. Nilai-nilai inilah
yang tercermin dalam Tafsir At-Tanwir, yaitu tafsir Al-Qur’an yang berorientasi
pada kemajuan, bersifat moderat, dan responsif terhadap persoalan aktual.
Tafsir At-Tanwir diharapkan tidak hanya menjadi rujukan akademik, tetapi juga
menjadi sumber pencerahan dan solusi bagi problem kehidupan umat dan bangsa
Indonesia.
2. Tujuan
Penulisan Tafsir At-Tanwir
Tafsir At-Tanwir
disusun sebagai respons atas berbagai problematika kontemporer yang dihadapi
bangsa Indonesia. Dalam pengantarnya, tim penyusun menegaskan bahwa Indonesia
tengah menghadapi persoalan yang kompleks dan multidimensional, seperti
kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, rendahnya kualitas sumber daya
manusia, ketimpangan gender, lemahnya penegakan hukum, persoalan hak asasi
manusia, maraknya korupsi, serta penyelenggaraan negara yang belum sepenuhnya
memenuhi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, bangsa
Indonesia juga dihadapkan pada problem sosial yang kian mengkhawatirkan, antara
lain konflik antarkelompok, kerusakan tatanan sosial, munculnya aliran
keagamaan menyimpang, krisis lingkungan hidup, meningkatnya kriminalitas dan
kekerasan—termasuk terhadap perempuan dan anak—perdagangan manusia, degradasi
moral, gaya hidup konsumtif dan hedonis, perjudian, narkoba, hingga bencana
alam yang dipicu oleh faktor alam maupun ulah manusia. Seluruh persoalan
tersebut membutuhkan upaya penanganan yang komprehensif dan melibatkan berbagai
elemen masyarakat.
Dalam konteks inilah
Muhammadiyah, sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar, memandang
perlu mengambil peran strategis. Salah satu ikhtiar yang ditempuh adalah
menggali tuntunan nilai dari Al-Qur’an sebagai modal simbolik umat untuk
menjawab persoalan bangsa. Atas dasar itulah Majelis Tarjih dan Tajdid menyusun
Tafsir At-Tanwir sebagai panduan keagamaan yang relevan dengan realitas sosial
kekinian.
Selain untuk
merespons problem kebangsaan, Tafsir At-Tanwir memiliki makna penting bagi
internal Muhammadiyah. Tafsir ini diharapkan menjadi rujukan keagamaan bagi
warga Muhammadiyah sekaligus sarana dakwah Islam yang berkontribusi pada
pembangunan peradaban dan pembentukan karakter bangsa yang berkemajuan.
Sebagaimana ditegaskan dalam pengantarnya, tujuan penulisan Tafsir At-Tanwir
meliputi tiga hal utama: pertama, menyediakan bacaan tafsir Al-Qur’an yang
sejalan dengan misi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi
mungkar dan tajdid; kedua, memenuhi aspirasi warga Muhammadiyah akan tafsir
yang disusun secara kolektif oleh ulama dan cendekiawan Muhammadiyah; ketiga,
memanfaatkan nilai-nilai Al-Qur’an untuk membangkitkan etos umat dan mendorong
terwujudnya peradaban Indonesia yang berkemajuan.
Menurut Haedar
Nashir, pentingnya Tafsir At-Tanwir bagi Muhammadiyah setidaknya didasari oleh
dua alasan. Pertama, komitmen Muhammadiyah sejak awal berdiri terhadap prinsip al-Ruju’
ila al-Qur’an wa al-Sunnah harus diwujudkan secara nyata, bukan sekadar
slogan. Tafsir At-Tanwir menjadi bukti konkret kesungguhan Muhammadiyah dalam
kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah melalui rujukan tafsir yang utuh dan
sistematis. Kedua, meskipun telah banyak tafsir Al-Qur’an ditulis oleh ulama
Indonesia—termasuk tokoh Muhammadiyah—belum ada tafsir Al-Qur’an yang lengkap
dan disusun secara kolektif atas nama Muhammadiyah. Tafsir tematik yang pernah
diterbitkan sebelumnya masih bersifat terbatas, sehingga kehadiran Tafsir
At-Tanwir menjadi kebutuhan mendesak.
Lebih lanjut, Tafsir
At-Tanwir dinilai mampu menjawab tantangan zaman. Ahmad Najib Burhani menilai
bahwa tafsir ini memberikan pemahaman Al-Qur’an yang lebih utuh dan tidak
terfragmentasi, sehingga umat tidak terjebak pada pembacaan ayat secara parsial
dan instan. Selain itu, Tafsir At-Tanwir juga menunjukkan kapasitas
Muhammadiyah dalam melahirkan karya tafsir komprehensif dan monumental, bukan
sekadar kumpulan tulisan singkat. Dengan demikian, Tafsir At-Tanwir hadir
sebagai tafsir responsif yang diharapkan mampu memberi arah, pencerahan, dan
solusi bagi persoalan umat dan bangsa.
C. Metodologi
Tafsir At-Tanwir
Dalam kajian tafsir
Al-Qur’an, berkembang beragam metode penafsiran yang dirumuskan oleh para ulama
klasik hingga kontemporer. Hal ini wajar karena Al-Qur’an sebagai pedoman hidup
umat manusia memuat ajaran yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, baik keagamaan
maupun kemanusiaan. Keragaman isi tersebut mendorong lahirnya berbagai
pendekatan dan metode penafsiran.
Secara umum, metode
penafsiran Al-Qur’an yang populer merujuk pada klasifikasi al-Farmawi, yaitu
metode tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. Dari keempat metode tersebut,
metode tahlili dan maudhu’i paling banyak digunakan. Dalam konteks tafsir
kontemporer di Indonesia, metode tematik (maudhu’i) cenderung menjadi pilihan
utama. Namun, metode ini memiliki keterbatasan karena tidak menafsirkan seluruh
ayat Al-Qur’an secara menyeluruh, melainkan hanya ayat-ayat yang relevan dengan
tema tertentu.
Berbeda dengan tafsir
tematik murni, Tafsir At-Tanwir menggunakan metode tahlili yang dipadukan
dengan pendekatan tematik (tahlili cum tematik). Secara umum, Tafsir
At-Tanwir mengikuti urutan ayat dalam mushaf dan berupaya menjelaskan kandungan
ayat dari berbagai aspek. Namun, keunikan tafsir ini terletak pada
pengelompokan ayat-ayat ke dalam tema-tema tertentu, sehingga penafsiran
menjadi lebih sistematis, kontekstual, dan mudah dipahami pembaca.
Keistimewaan lain
dari metode ini tampak pada sistematika penyajian yang menggunakan bab dan
subbab. Setiap surat atau kelompok ayat disajikan dengan pendahuluan, pemetaan
tema, penafsiran ayat berdasarkan tema tertentu, dan diakhiri dengan
kesimpulan. Pola ini terlihat jelas dalam penafsiran Surah Al-Fatihah dan Surah
Al-Baqarah pada jilid pertama Tafsir At-Tanwir, yang dibagi ke dalam
bagian-bagian tematik besar dan dirinci lagi ke dalam subtema yang relevan
dengan kandungan ayat.
Model penyajian
seperti ini merupakan terobosan dalam metode tafsir tahlili. Jika tafsir
tahlili pada umumnya bersifat linear dan cenderung monoton, Tafsir At-Tanwir
justru menawarkan struktur tematik yang memudahkan pembaca dalam memahami pesan
Al-Qur’an serta menemukan tema yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan
demikian, tafsir ini tidak hanya lebih komunikatif, tetapi juga lebih menarik
dan aplikatif.
Karena disusun secara
kolektif, Tafsir At-Tanwir mengikuti mekanisme penulisan yang sistematis. Tim
Majelis Tarjih dan Tajdid terlebih dahulu menetapkan tema dan subtema
penafsiran, kemudian membaginya kepada para penyusun sesuai dengan kompetensi
masing-masing. Hasil penulisan individu selanjutnya dibahas dalam rapat pleno
untuk dikaji bersama, sebelum akhirnya disunting oleh tim editor agar gaya
bahasa dan substansi pemikiran tetap selaras.
Dalam aspek
epistemologis, Tafsir At-Tanwir tetap berpegang pada prinsip tafsir bi
al-ma’tsur, yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis Nabi, dan
pendapat para sahabat. Namun demikian, tafsir ini juga memanfaatkan penalaran
rasional dan ilmu pengetahuan modern (bi al-ra’yi), sehingga mampu
menjawab persoalan-persoalan aktual. Pendekatan ini memungkinkan Tafsir
At-Tanwir bersifat dinamis dan kontekstual tanpa melepaskan pijakan
normatifnya.
Penulisan tafsir
secara kolektif memberikan kelebihan berupa keragaman perspektif, terutama
karena para penyusunnya berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda. Hal
ini menjadikan Tafsir At-Tanwir kaya sudut pandang dan mampu mengintegrasikan
berbagai disiplin ilmu. Namun, di sisi lain, metode kolektif juga memiliki
tantangan, terutama dalam menyelaraskan perbedaan cara berpikir dan gaya
penafsiran. Kendati demikian, secara keseluruhan Tafsir At-Tanwir memberikan
kontribusi penting bagi khazanah tafsir Al-Qur’an di Indonesia, baik secara
praktis maupun akademik.
|
Aspek |
Metode Tahlili Klasik |
Metode Maudhu’i
(Tematik) |
Metode Tafsir At-Tanwir |
|
Pola Penafsiran |
Menafsirkan ayat demi ayat sesuai urutan mushaf |
Menghimpun ayat-ayat berdasarkan tema tertentu |
Tahlili cum Tematik (tahlili yang dikelompokkan secara tematik) |
|
Cakupan Ayat |
Menyeluruh, seluruh ayat dalam mushaf |
Terbatas pada ayat-ayat tematik |
Menyeluruh, mengikuti urutan mushaf |
|
Sistem Penyajian |
Linear dan berurutan |
Tematik dan fokus isu |
Bab dan subbab tematik dalam setiap surat |
|
Kelebihan |
Mendalam secara teks |
Kontekstual dan fokus isu |
Kontekstual, sistematis, dan komprehensif |
|
Kelemahan |
Kurang kontekstual terhadap isu modern |
Tidak menafsirkan Al-Qur’an secara utuh |
Relatif panjang dan membutuhkan literasi pembaca |
|
Contoh Penerapan |
Tafsir Ibn Katsir, Al-Thabari |
Tafsir Maudhu’i Kemenag |
Tafsir At-Tanwir (Majelis Tarjih Muhammadiyah) |
|
Orientasi |
Tekstual-normatif |
Isu tematik |
Pemecahan problem keumatan dan kebangsaan |
2. Pendekatan
Penafsiran
Pendekatan yang
digunakan dalam Tafsir At-Tanwir mencakup tiga paradigma utama, yaitu bayani,
burhani, dan irfani. Ketiga pendekatan ini telah lama dikenal dalam tradisi
ijtihad Muhammadiyah dan ditegaskan kembali dalam Putusan Tarjih tahun 2000.
Pendekatan bayani
bertumpu pada teks-teks normatif, yaitu Al-Qur’an dan hadis, dengan menempatkan
nash sebagai otoritas utama dalam menentukan makna dan kebenaran. Pendekatan
burhani mengandalkan rasionalitas dan logika ilmiah, serta memanfaatkan perkembangan
ilmu pengetahuan sebagai alat bantu penafsiran. Sementara itu, pendekatan
irfani menekankan pengalaman spiritual, kepekaan nurani, dan kedalaman batin
dalam memahami makna terdalam teks suci [2].
Ketiga pendekatan
tersebut memiliki kontribusi yang berbeda dalam sejarah keilmuan Islam.
Pendekatan bayani banyak melahirkan karya fiqh dan teologi, burhani berperan
besar dalam perkembangan filsafat dan sains, sedangkan irfani melahirkan
tradisi tasawuf. Tafsir At-Tanwir berupaya memadukan ketiganya secara seimbang,
sehingga menghasilkan penafsiran yang tekstual, rasional, sekaligus spiritual.
Adapun sumber rujukan Tafsir At-Tanwir berasal
dari berbagai kitab tafsir klasik dan modern yang otoritatif, seperti karya
al-Thabari, Ibn Katsir, al-Zamakhsyari, al-Alusi, Ibn ‘Asyur, Rasyid Ridha,
Sayyid Quthb, Hamka, dan M. Quraish Shihab, serta tafsir resmi Kementerian
Agama RI. Selain itu, tafsir ini juga merujuk pada literatur hadis, fiqh,
kalam, tasawuf, filsafat, dan kamus bahasa Arab. Namun, Tafsir At-Tanwir tidak
secara eksplisit menggunakan rujukan dari pemikir tafsir kontemporer kritis
Barat dan Timur Tengah, seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid, atau Amina
Wadud.
|
Pendekatan |
Fokus Utama |
Karakteristik |
Peran dalam Tafsir
At-Tanwir |
|
Bayani |
Teks (Al-Qur’an dan Hadis) |
Bahasa, gramatika, asbab al-nuzul, tafsir klasik |
Menjadi fondasi normatif penafsiran |
|
Burhani |
Rasionalitas dan ilmu |
Logika, analisis sosial, sains, konteks sejarah |
Menguatkan kontekstualisasi ayat |
|
Irfani |
Spiritual dan etika batin |
Nilai moral, kesadaran ruhani, hikmah |
Memberi kedalaman etis dan spiritual |
|
Integrasi Tiga Pendekatan |
Teks–Akal–Nurani |
Tidak ekstrem tekstual, tidak liberal rasional |
Ciri khas Tafsir At-Tanwir |
Perbandingan Sumber
Penafsiran
|
Aspek |
Tafsir Klasik |
Tafsir Modern |
Tafsir At-Tanwir |
|
Sumber Utama |
Sahabat & Tabi’in |
Ulama modern |
Tafsir klasik & modern otoritatif |
|
Corak |
Normatif-tekstual |
Sosial-kontekstual |
Normatif, rasional, dan kontekstual |
|
Rujukan |
Al-Thabari, Ibn Katsir |
Quthb, Hamka, Quraish Shihab |
Kombinasi klasik–modern Indonesia & global |
|
Keterlibatan Ilmu Sosial |
Minim |
Sedang |
Kuat dan relevan dengan konteks Indonesia |
|
Perspektif Organisasi |
Individual ulama |
Individual |
Kolektif kelembagaan Muhammadiyah |
Posisi Tafsir
At-Tanwir dalam Peta Tafsir Kontemporer Indonesia
|
Aspek |
Keterangan |
|
Identitas |
Tafsir resmi Muhammadiyah |
|
Metode |
Tahlili tematik |
|
Pendekatan |
Bayani–Burhani–Irfani |
|
Tujuan |
Tuntunan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid |
|
Orientasi |
Islam berkemajuan & pembangunan peradaban |
|
Kontribusi |
Menjawab problem keumatan dan kebangsaan |
F. Contoh Tafsir
at-Tanwir dalam Kehidupan Sehari-hari
Allah Swt. berfirman
dalam QS. an-Nahl [16]: 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. an-Nahl [16]: 90)
Sebuah ayat yang
menegaskan perintah untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, serta larangan
terhadap segala bentuk kejahatan, kemungkaran, dan permusuhan. Ayat ini sering
dibaca dalam khutbah Jumat dan dikenal luas oleh umat Islam. Namun dalam Tafsir
At-Tanwir, ayat tersebut tidak dipahami secara sempit hanya sebatas hubungan
personal atau keluarga, melainkan dimaknai secara lebih luas dan kontekstual
dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebangsaan.
Tafsir At-Tanwir
menegaskan bahwa perintah berlaku adil mencakup penolakan terhadap praktik
korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta segala bentuk ketidakadilan sosial yang
merugikan masyarakat. Ihsan tidak hanya dimaknai sebagai kebaikan individual,
tetapi juga sebagai komitmen kolektif untuk menciptakan sistem sosial yang
jujur, manusiawi, dan berkeadaban. Dengan demikian, Al-Qur’an dipahami sebagai
pedoman etika publik yang menuntun perilaku individu sekaligus tata kelola
kehidupan bersama.
Dalam konteks
kehidupan mahasiswa, nilai keadilan dan kejujuran yang diajarkan ayat ini
sangat relevan. Perilaku menyontek saat ujian, titip absen, atau memanipulasi
tugas akademik merupakan bentuk ketidakadilan, karena merugikan diri sendiri,
teman, dan merusak integritas pendidikan. Tafsir At-Tanwir membantu mahasiswa
memahami bahwa kejujuran bukan sekadar tuntutan akademik, melainkan nilai
Qur’ani yang harus diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan.
G. Mengapa
Mahasiswa Perlu Memahami Tafsir Seperti Ini?
Mahasiswa pada
hakikatnya tidak hanya dipersiapkan untuk lulus kuliah dan meraih gelar
akademik, tetapi juga untuk menjadi insan yang berpikir kritis, berakhlak
mulia, dan bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu,
pemahaman Al-Qur’an yang kontekstual dan moderat menjadi kebutuhan penting
dalam proses pendidikan tinggi, khususnya di tengah kompleksitas tantangan
sosial dan arus informasi keagamaan yang beragam.
Allah Swt. menegaskan
dalam QS. al-Mujadilah [58]: 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ
لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
Hai orang-orang
beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
(QS. al-Mujadilah
[58]: 11)
Ayat ini menunjukkan
bahwa iman dan ilmu tidak boleh dipertentangkan, melainkan harus berjalan
beriringan. Tafsir At-Tanwir hadir untuk menjembatani keduanya, dengan
menghadirkan pemahaman Al-Qur’an yang menghargai teks wahyu sekaligus mendorong
penggunaan akal dan ilmu pengetahuan.
Dengan memahami
Al-Qur’an melalui pendekatan seperti Tafsir At-Tanwir, iman mahasiswa menjadi
lebih kokoh karena didasarkan pada pemahaman yang rasional dan mendalam. Akal
menjadi lebih terbuka karena dilatih untuk berpikir kritis dan kontekstual.
Pada saat yang sama, sikap beragama berkembang menjadi lebih moderat, inklusif,
dan berorientasi pada kemaslahatan. Inilah bekal penting agar mahasiswa tidak
hanya menjadi insan akademis, tetapi juga menjadi muslim yang berkarakter,
berkeadaban, dan mampu memberi kontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.
H. Penutup
Hermeneutika Qur’ani
dan Tafsir At-Tanwir mengajarkan bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab yang jauh dari
realitas kehidupan sehari-hari, melainkan pedoman hidup yang hadir untuk
membimbing manusia dalam menghadapi persoalan nyata. Melalui pendekatan yang
seimbang antara teks, akal, dan nilai moral, tafsir ini menegaskan bahwa ajaran
Islam selaras dengan akal sehat serta perkembangan ilmu pengetahuan. Lebih dari
itu, agama dipahami sebagai sumber kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan bagi
seluruh umat manusia, bukan sebagai beban atau alat pembenaran sikap sempit dan
eksklusif.
Bagi mahasiswa
semester awal, pemahaman seperti ini menjadi sangat penting sebagai fondasi
awal dalam membangun cara pandang keagamaan yang sehat dan moderat. Dengan
pemahaman Qur’ani yang terbuka dan kontekstual, mahasiswa tidak mudah
terpengaruh oleh narasi keagamaan yang kaku, ekstrem, atau menyempitkan makna
Islam. Pada saat yang sama, mereka dilatih untuk berpikir kritis dan rasional
tanpa harus meninggalkan iman, sehingga mampu mengintegrasikan keyakinan agama
dengan nalar akademik.
Pada akhirnya,
Hermeneutika Qur’ani dan Tafsir At-Tanwir mengarahkan mahasiswa untuk menjadi
muslim yang cerdas dalam berpikir, santun dalam bersikap, dan nyata dalam
memberi manfaat bagi sesama. Nilai inilah yang sejalan dengan pesan Rasulullah
saw.:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ
لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad,
ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam
Shahihul Jami’ no:3289)
Dengan menjadikan
kebermanfaatan sebagai orientasi hidup, pemahaman Al-Qur’an tidak hanya
memperkuat iman, tetapi juga melahirkan kepribadian yang berkontribusi positif
bagi masyarakat dan bangsa.






Tidak ada komentar:
Posting Komentar