Rabu, 07 Mei 2025

Dakwah Kultural dan Sosial dalam Masyarakat Multikultural: Integrasi Islam, Budaya, dan Kesejahteraan

 

Pendahuluan

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) tidak hanya membawa ajaran spiritual, tetapi juga nilai-nilai sosial dan kultural yang dapat membentuk peradaban. Dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, dakwah Islam tidak bisa dilepaskan dari pendekatan budaya lokal. Dakwah kultural dan sosial bukanlah sekadar metode, tetapi bagian dari strategi besar dalam menyampaikan ajaran Islam secara damai, kontekstual, dan membumi.

a. Dakwah Kultural: Integrasi Islam dan Budaya Lokal

Dakwah kultural adalah pendekatan dakwah yang mengedepankan penggabungan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal tanpa mengubah esensi syariat Islam. Pendekatan ini bertujuan untuk menyentuh hati masyarakat dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka.

Sebagaimana dicontohkan oleh para Wali Songo, Islam disebarkan di Nusantara tidak dengan kekerasan, tetapi melalui akulturasi budaya, seperti gamelan, wayang, dan seni pertunjukan lainnya. Ini sejalan dengan prinsip dakwah yang santun dan penuh hikmah sebagaimana firman Allah:

اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125)

Wali Songo, seperti Sunan Kalijaga, memanfaatkan budaya wayang untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa yang belum mengenal Islam secara utuh (Cahyadi, 2018; Nurrohmah et al., 2023). Ini membuktikan bahwa budaya bukanlah penghalang bagi dakwah, melainkan sarana untuk mendekatkan dakwah kepada masyarakat.

b. Prinsip Akomodasi dan Adaptasi dalam Dakwah

Dakwah yang berhasil adalah dakwah yang mampu membaca konteks sosial dan budaya masyarakat. Prinsip akomodatif dalam dakwah menjadi penting karena masyarakat tidak hidup dalam ruang hampa budaya. Oleh karena itu, dakwah perlu menyesuaikan pendekatan tanpa kehilangan substansi agama.

Pendekatan ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Nabi berpesan agar berdakwah dengan mengenalkan tauhid terlebih dahulu, lalu kewajiban ibadah, tanpa memaksakan semua syariat sekaligus:

"Kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan-Nya..." (HR. Bukhari no. 1395)

Hadis ini menunjukkan bahwa dakwah memerlukan tahapan dan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi penerimanya.

c. Dakwah Sosial: Aksi Nyata sebagai Penyampai Pesan

Dakwah sosial menekankan pada aksi nyata dalam membantu masyarakat. Ini mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan bantuan sosial. Organisasi seperti Muhammadiyah telah menjadikan dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan) sebagai ciri khas perjuangannya.

Muhammadiyah mendirikan rumah sakit, sekolah, dan program pemberdayaan sebagai sarana menyampaikan Islam secara nyata (Islahuddin et al., 2023; Biyanto, 2014). Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya."
(HR. Ahmad no. 23408)

Dengan dakwah sosial, Islam tidak hanya tampil dalam bentuk ceramah, tetapi juga dalam pelayanan dan solusi terhadap masalah kehidupan masyarakat.

d. Dakwah Melalui Media Baru dan Konten Budaya

Perkembangan teknologi informasi memberi peluang baru dalam dakwah. Generasi muda kini lebih akrab dengan media sosial, video pendek, podcast, dan musik. Dakwah melalui media baru memungkinkan penyebaran nilai Islam melampaui batas geografis dan waktu.

Komunitas seperti Teras Dakwah di Yogyakarta memanfaatkan YouTube dan Instagram untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dalam bentuk yang ringan dan sesuai budaya pop urban (Saputra, 2022). Bahkan, konser religi seperti Maher Zain (Fairuz, 2021) menjadi sarana dakwah kultural yang efektif karena memadukan seni dan spiritualitas.

Hal ini mencontoh strategi Nabi Muhammad dalam menggunakan bahasa dan konteks lokal, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana(QS. Ibrahim: 4)

 

e. Seni dan Tradisi Lokal sebagai Medium Dakwah

Seni seperti sholawat, hadrah, rebana, wayang, bahkan festival budaya, dapat digunakan untuk memperkuat pesan Islam. Dalam konteks ini, dakwah kultural bukan hanya sarana, tetapi juga ruang ekspresi dan pelestarian warisan budaya yang telah terislamisasi.

Kegiatan ini tidak sekadar mempercantik dakwah, tetapi juga memperkuat identitas Islam yang ramah budaya. Seperti halnya di banyak pesantren, sholawat menjadi bagian dari pendidikan ruhani dan sosial (Anggraeni et al., 2022). Selama nilai-nilai Islam tidak dilanggar, penggunaan tradisi sebagai alat dakwah merupakan bentuk ijtihad budaya.

f. Dakwah dan Pembangunan Berkelanjutan

Dakwah juga menjadi bagian dari strategi pembangunan masyarakat. Di Desa Bangunjiwo Yogyakarta, integrasi nilai-nilai Islam dalam pembangunan sosial-ekonomi menjadi bentuk dakwah kultural dan pemberdayaan masyarakat (Maksum et al., 2023).

Melalui pendidikan, pelatihan, dan ekonomi kreatif berbasis Islam, masyarakat dapat diberdayakan secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang mendorong keadilan sosial:

 إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An-Nahl: 90)

Pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dakwah yang menjembatani ajaran Islam dan kebutuhan nyata masyarakat, mendorong mereka menuju kesejahteraan lahir dan batin.

g. Dakwah dan Moderasi: Menjaga Keseimbangan

Dalam masyarakat majemuk, dakwah kultural berperan penting dalam menumbuhkan sikap toleransi dan moderasi. Dakwah tidak boleh menjadi alat polarisasi, tetapi harus menjadi jembatan antara kelompok, budaya, dan agama.

Muhammadiyah, misalnya, menegaskan pentingnya wasathiyyah (moderat) dalam dakwah. Pendekatan ini menghindari sikap ekstrem, baik dalam bentuk liberalisme yang mengabaikan syariat, maupun radikalisme yang menolak budaya (Islahuddin et al., 2023). Moderasi dalam dakwah merupakan perwujudan dari umat tengah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah: 143)

h. Dakwah Kultural sebagai Proses Sosial

Dakwah bukan sekadar aktivitas keagamaan, tetapi merupakan proses sosial yang terus berinteraksi dengan perubahan zaman. Dalam hal ini, dakwah kultural tidak hanya membawa pesan-pesan Islam, tetapi juga berkontribusi dalam membangun harmoni sosial, menciptakan keadilan, dan memperkuat solidaritas.

Zuhdi (2017) menekankan bahwa dakwah adalah bentuk dialektika antara agama dan budaya. Dakwah yang mengabaikan unsur sosial dan budaya berpotensi gagal, sementara dakwah yang menyatu dengan kultur dapat menciptakan transformasi sosial yang signifikan.

Kesimpulan

Dakwah kultural dan sosial memberikan ruang luas bagi penyebaran Islam yang damai, membumi, dan kontekstual. Dengan pendekatan akomodatif terhadap budaya lokal, penyampaian ajaran Islam menjadi lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan konflik. Melalui seni, media sosial, aksi sosial, dan pemberdayaan masyarakat, dakwah tidak hanya menyampaikan pesan keagamaan, tetapi juga mewujudkan kesejahteraan sosial dan membentuk peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Akhirnya, dakwah kultural dan sosial bukanlah pilihan alternatif, tetapi keharusan strategis dalam menghadapi kompleksitas masyarakat modern. Melalui pendekatan ini, Islam tampil sebagai agama yang mampu hidup berdampingan dengan budaya, merangkul keragaman, dan menjawab tantangan zaman secara inklusif.


3 komentar:

Hijrah Merdeka: Menjadi Mahasiswa Muslim yang Bebas dari Dosa, Malas, dan Overthinking

Pendahuluan Di tengah gegap gempita peringatan kemerdekaan bangsa, kita sering kali terjebak pada seremoni, tanpa melakukan kontemplasi....