Pendahuluan
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam)
tidak hanya membawa ajaran spiritual, tetapi juga nilai-nilai sosial dan
kultural yang dapat membentuk peradaban. Dalam konteks masyarakat multikultural
seperti Indonesia, dakwah Islam tidak bisa dilepaskan dari pendekatan budaya
lokal. Dakwah kultural dan sosial bukanlah sekadar metode, tetapi bagian dari
strategi besar dalam menyampaikan ajaran Islam secara damai, kontekstual, dan
membumi.
a. Dakwah Kultural: Integrasi Islam dan Budaya Lokal
Dakwah kultural adalah pendekatan dakwah yang mengedepankan
penggabungan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal tanpa mengubah esensi
syariat Islam. Pendekatan ini bertujuan untuk menyentuh hati masyarakat dengan
cara yang sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka.
Sebagaimana
dicontohkan oleh para Wali Songo, Islam disebarkan di Nusantara tidak dengan
kekerasan, tetapi melalui akulturasi budaya, seperti gamelan, wayang, dan seni
pertunjukan lainnya. Ini sejalan dengan prinsip dakwah yang santun dan penuh
hikmah sebagaimana firman Allah:
اُدْعُ إِلَىٰ
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125)
Wali Songo, seperti Sunan Kalijaga, memanfaatkan budaya wayang
untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa yang belum mengenal
Islam secara utuh (Cahyadi, 2018; Nurrohmah et al., 2023). Ini membuktikan
bahwa budaya bukanlah penghalang bagi dakwah, melainkan sarana untuk
mendekatkan dakwah kepada masyarakat.
b. Prinsip Akomodasi dan Adaptasi dalam Dakwah
Dakwah yang berhasil adalah dakwah yang mampu membaca konteks
sosial dan budaya masyarakat. Prinsip akomodatif dalam dakwah menjadi penting
karena masyarakat tidak hidup dalam ruang hampa budaya. Oleh karena itu, dakwah
perlu menyesuaikan pendekatan tanpa kehilangan substansi agama.
Pendekatan ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw ketika mengutus
Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Nabi berpesan agar berdakwah dengan mengenalkan
tauhid terlebih dahulu, lalu kewajiban ibadah, tanpa memaksakan semua syariat
sekaligus:
"Kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka ajaklah mereka
untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan-Nya..."
(HR. Bukhari no. 1395)
Hadis ini menunjukkan bahwa dakwah memerlukan tahapan dan
pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi penerimanya.
c. Dakwah Sosial: Aksi Nyata sebagai Penyampai Pesan
Dakwah sosial menekankan pada aksi nyata dalam membantu masyarakat.
Ini mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan bantuan sosial. Organisasi
seperti Muhammadiyah telah menjadikan dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan)
sebagai ciri khas perjuangannya.
Muhammadiyah mendirikan rumah sakit, sekolah, dan program
pemberdayaan sebagai sarana menyampaikan Islam secara nyata (Islahuddin et al.,
2023; Biyanto, 2014). Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya."
(HR. Ahmad no. 23408)
Dengan dakwah sosial, Islam tidak hanya tampil dalam bentuk
ceramah, tetapi juga dalam pelayanan dan solusi terhadap masalah kehidupan
masyarakat.
d. Dakwah Melalui Media Baru dan Konten Budaya
Perkembangan teknologi informasi memberi peluang baru dalam dakwah.
Generasi muda kini lebih akrab dengan media sosial, video pendek, podcast, dan
musik. Dakwah melalui media baru memungkinkan penyebaran nilai Islam melampaui
batas geografis dan waktu.
Komunitas seperti Teras Dakwah di Yogyakarta memanfaatkan
YouTube dan Instagram untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dalam bentuk yang
ringan dan sesuai budaya pop urban (Saputra, 2022). Bahkan, konser religi
seperti Maher Zain (Fairuz, 2021) menjadi sarana dakwah kultural yang efektif
karena memadukan seni dan spiritualitas.
Hal
ini mencontoh strategi Nabi Muhammad ﷺ
dalam menggunakan bahasa dan konteks lokal, sebagaimana disebut dalam
Al-Qur’an:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ
فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ
“Kami
tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan
siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (QS.
Ibrahim: 4)
e. Seni dan Tradisi Lokal sebagai Medium Dakwah
Seni seperti sholawat, hadrah, rebana, wayang, bahkan festival
budaya, dapat digunakan untuk memperkuat pesan Islam. Dalam konteks ini, dakwah
kultural bukan hanya sarana, tetapi juga ruang ekspresi dan pelestarian warisan
budaya yang telah terislamisasi.
Kegiatan ini tidak sekadar mempercantik dakwah, tetapi juga
memperkuat identitas Islam yang ramah budaya. Seperti halnya di banyak
pesantren, sholawat menjadi bagian dari pendidikan ruhani dan sosial (Anggraeni
et al., 2022). Selama nilai-nilai Islam tidak dilanggar, penggunaan tradisi
sebagai alat dakwah merupakan bentuk ijtihad budaya.
f. Dakwah dan Pembangunan Berkelanjutan
Dakwah juga menjadi bagian dari strategi pembangunan masyarakat. Di
Desa Bangunjiwo Yogyakarta, integrasi nilai-nilai Islam dalam pembangunan
sosial-ekonomi menjadi bentuk dakwah kultural dan pemberdayaan masyarakat
(Maksum et al., 2023).
Melalui pendidikan, pelatihan, dan ekonomi kreatif berbasis Islam,
masyarakat dapat diberdayakan secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan
semangat Al-Qur’an yang mendorong keadilan sosial:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.(QS. An-Nahl: 90)
Pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dakwah yang menjembatani
ajaran Islam dan kebutuhan nyata masyarakat, mendorong mereka menuju
kesejahteraan lahir dan batin.
g. Dakwah dan Moderasi: Menjaga Keseimbangan
Dalam masyarakat majemuk, dakwah kultural berperan penting dalam
menumbuhkan sikap toleransi dan moderasi. Dakwah tidak boleh menjadi alat
polarisasi, tetapi harus menjadi jembatan antara kelompok, budaya, dan agama.
Muhammadiyah, misalnya, menegaskan pentingnya wasathiyyah (moderat)
dalam dakwah. Pendekatan ini menghindari sikap ekstrem, baik dalam bentuk
liberalisme yang mengabaikan syariat, maupun radikalisme yang menolak budaya
(Islahuddin et al., 2023). Moderasi dalam dakwah merupakan perwujudan dari umat
tengah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ
عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ
عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ
رَحِيمٌ
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS.
Al-Baqarah: 143)
h. Dakwah Kultural sebagai Proses Sosial
Dakwah bukan sekadar aktivitas keagamaan, tetapi merupakan proses
sosial yang terus berinteraksi dengan perubahan zaman. Dalam hal ini, dakwah
kultural tidak hanya membawa pesan-pesan Islam, tetapi juga berkontribusi dalam
membangun harmoni sosial, menciptakan keadilan, dan memperkuat solidaritas.
Zuhdi (2017) menekankan bahwa dakwah adalah bentuk dialektika
antara agama dan budaya. Dakwah yang mengabaikan unsur sosial dan budaya
berpotensi gagal, sementara dakwah yang menyatu dengan kultur dapat menciptakan
transformasi sosial yang signifikan.
Kesimpulan
Dakwah kultural dan sosial memberikan ruang luas bagi penyebaran
Islam yang damai, membumi, dan kontekstual. Dengan pendekatan akomodatif
terhadap budaya lokal, penyampaian ajaran Islam menjadi lebih mudah diterima
dan tidak menimbulkan konflik. Melalui seni, media sosial, aksi sosial, dan
pemberdayaan masyarakat, dakwah tidak hanya menyampaikan pesan keagamaan,
tetapi juga mewujudkan kesejahteraan sosial dan membentuk peradaban Islam yang
rahmatan lil ‘alamin.
Akhirnya, dakwah kultural dan sosial bukanlah pilihan alternatif,
tetapi keharusan strategis dalam menghadapi kompleksitas masyarakat modern.
Melalui pendekatan ini, Islam tampil sebagai agama yang mampu hidup
berdampingan dengan budaya, merangkul keragaman, dan menjawab tantangan zaman
secara inklusif.
Istima Nazula Azmi hadirr buu🙌🏻
BalasHapusfirdaus hadir bu
BalasHapusTerima kasih ibu ilmunya.....
BalasHapus