Rabu, 21 Mei 2025

Pengertian Dan Jenis Media Dakwah Tradisional Dan Kontemporer

  


Pengertian Media Dakwah

Media dakwah adalah segala sarana atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan Islam kepada individu atau kelompok masyarakat dengan tujuan mengajak kepada kebaikan, memperkuat akidah, dan membentuk akhlak mulia. Dalam perkembangannya, media dakwah tidak hanya bersifat tekstual atau verbal, melainkan juga visual dan digital, mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan komunikasi umat. Media menjadi jembatan antara dai (penyampai dakwah) dan mad’u (objek dakwah), sehingga pemilihan media yang tepat sangat berpengaruh terhadap efektivitas penyampaian pesan dakwah. Oleh karena itu, media dakwah dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar, yaitu media dakwah tradisional dan media dakwah kontemporer.

Media dakwah telah berkembang secara signifikan, beralih dari bentuk tradisional ke platform digital kontemporer. Evolusi ini mencerminkan perubahan kebutuhan komunikasi masyarakat dan pentingnya memilih media yang tepat untuk menyampaikan pesan Islam secara efektif. Klasifikasi media dakwah ke dalam kategori tradisional dan kontemporer menyoroti beragam alat yang tersedia bagi para pengkhotbah (dai) untuk menjangkau audiens mereka (mad'u).

Media Dakwah Tradisional

Dalam sejarah perkembangan dakwah Islam, mimbar dan media cetak merupakan sarana utama dalam menyampaikan ajaran-ajaran keislaman kepada masyarakat. Mimbar, sebagai simbol otoritas keagamaan, digunakan secara luas dalam khutbah Jumat, ceramah keagamaan, dan peringatan hari-hari besar Islam, di mana komunikasi bersifat verbal dan berlangsung secara satu arah. Media cetak seperti buletin, pamflet, dan kitab-kitab kuning juga memainkan peran penting dalam memperluas jangkauan dakwah, khususnya dalam kalangan pesantren dan komunitas Islam tradisional. Kedua media ini menekankan pentingnya kehadiran fisik dan kedekatan emosional antara dai dan mad’u dalam proses transformasi nilai dan penanaman akhlak. Oleh karena itu, media mimbar dan cetak mencerminkan karakter dakwah yang bersifat langsung, mendalam, dan menyentuh dimensi personal umat.

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, dakwah mulai memanfaatkan media massa seperti televisi dan radio sebagai alat penyebaran pesan keagamaan yang lebih luas dan efektif. Media ini memungkinkan komunikasi dakwah tidak lagi terbatas pada ruang dan waktu, melainkan dapat menjangkau audiens dalam jumlah besar dengan kecepatan dan variasi format penyampaian. Melalui siaran visual dan auditori, pesan-pesan keislaman dapat dikemas secara menarik, informatif, dan persuasif, menjadikan televisi dan radio sebagai instrumen penting dalam dakwah modern (Effendy & Kurniawan, 2023; "Peran Siaran Radio, Televisi dan Multimedia Dalam Pengembangan Dakwah Modern", 2022). Dengan kemampuannya menciptakan kedekatan emosional meskipun tanpa pertemuan langsung, media elektronik ini telah membuka babak baru dalam strategi dakwah yang lebih sistemik dan terstruktur, serta memberikan alternatif bagi masyarakat dalam mengakses pendidikan keagamaan secara fleksibel.

Media Da'wah Kontemporer

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menghadirkan perubahan signifikan dalam metode penyampaian dakwah Islam. Platform digital seperti media sosial dan multimedia telah menjadi medium utama dalam mendistribusikan pesan-pesan keagamaan secara cepat, luas, dan interaktif. Media sosial seperti Instagram, Facebook, dan YouTube memungkinkan dai dan lembaga keislaman untuk menciptakan konten dakwah dalam beragam format, mulai dari video pendek, infografis, hingga siaran langsung ceramah atau pengajian (Khiyaroh & Alfiyah, 2022; Efendi, 2023). Keunggulan platform ini terletak pada kemampuannya menjangkau audiens lintas usia dan geografis, serta mendorong partisipasi aktif melalui komentar, reaksi, dan berbagi konten.

Aksesibilitas menjadi salah satu kekuatan utama media dakwah kontemporer. Di Indonesia, tercatat lebih dari 63 juta pengguna aktif media sosial dan multimedia yang dapat dijadikan sasaran dakwah secara langsung (Efendi & Dewi, 2023). Kondisi ini memberikan peluang besar bagi para dai untuk menyampaikan ajaran Islam dalam bahasa dan gaya yang mudah dipahami, serta sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik khalayak digital. Berbagai aplikasi dan kanal media digital memfasilitasi umat untuk mengakses kajian keislaman kapan saja dan di mana saja, tanpa harus bergantung pada forum fisik. Hal ini tidak hanya memperluas jangkauan dakwah, tetapi juga mendorong transformasi budaya belajar Islam yang lebih fleksibel dan kontekstual.

Namun demikian, penggunaan media kontemporer dalam dakwah juga membawa sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Salah satu risiko yang paling menonjol adalah kemungkinan terjadinya penyederhanaan atau bahkan penyimpangan makna dalam penyajian pesan keagamaan yang dikemas secara singkat dan populer. Lingkungan digital yang serba cepat sering kali mendorong produksi konten instan, yang bisa mengorbankan kedalaman pesan dan ketelitian sumber rujukan. Oleh karena itu, penting bagi para dai untuk menyeimbangkan antara nilai-nilai dakwah tradisional yang mengedepankan kedalaman, keteladanan, dan adab dengan pendekatan modern yang menekankan kreativitas, kecepatan, dan keterjangkauan. Integrasi yang bijak antara keduanya menjadi kunci dalam menjaga keotentikan dakwah di era digital.

Jenis Media Dakwah Tradisional

Media dakwah tradisional adalah media yang telah digunakan secara turun-temurun dalam masyarakat sebelum berkembangnya teknologi digital. Ciri khas dari media ini adalah komunikasi yang bersifat langsung, personal, dan cenderung verbal. Jenis-jenis media dakwah tradisional meliputi:

  • Mimbar Masjid: Mimbar menjadi media utama dalam penyampaian khutbah Jumat, ceramah keagamaan, atau peringatan hari besar Islam. Ia bersifat satu arah dan memiliki kekuatan simbolik serta otoritatif dalam tradisi keislaman.
  • Majelis Taklim: Forum pengajian rutin yang biasa dilaksanakan di masjid, mushalla, rumah, atau aula komunitas. Ciri khasnya adalah adanya dialog, interaksi, dan pembelajaran secara langsung.
  • Pengajian Keliling: Dakwah dari satu kampung ke kampung lain, sering dilakukan oleh dai-dai lokal dengan pendekatan kekeluargaan.
  • Seni Budaya Islami: Termasuk wayang dakwah, kasidah, qosidah rebana, dan syair-syair keagamaan yang digunakan untuk menyampaikan pesan Islam dalam konteks lokal.
  • Tulisan Konvensional: Dakwah melalui pamflet, buletin masjid, brosur keagamaan, atau media cetak seperti majalah Islam dan kitab kuning.

 

Jenis Media Dakwah Kontemporer

Media dakwah kontemporer adalah media yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi modern, khususnya berbasis internet dan digital. Media ini memungkinkan penyampaian pesan dakwah secara cepat, luas, dan multimedia. Jenis-jenisnya meliputi:

  • Media Sosial: Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan Threads digunakan untuk menyebarkan konten dakwah dalam bentuk kutipan, video pendek, gambar motivasi, atau status keislaman.
  • Podcast Dakwah: Siaran audio digital yang dapat didengarkan ulang kapan pun melalui platform seperti Spotify, Google Podcast, atau Apple Podcast. Umumnya membahas topik agama secara tematik dan santai.
  • Video dan Vlog Dakwah: Konten video yang diunggah ke YouTube, TikTok, atau Instagram Reels, menyajikan ceramah singkat, cerita inspiratif, atau dialog agama dengan pendekatan visual menarik.
  • Aplikasi Mobile Islami: Seperti aplikasi Al-Qur’an digital, jadwal sholat, ceramah digital, dan konsultasi keislaman yang bisa diakses melalui smartphone.
  • Website dan Blog Islami: Media berbasis teks panjang untuk menulis artikel keislaman, fatwa, atau refleksi spiritual yang mendalam dan bisa dirujuk dalam waktu lama.
  • Siaran Televisi dan Radio Islam Digital: Saluran TV atau radio berbasis internet (streaming) seperti Rodja TV, ADiTV, atau berbagai kanal YouTube Islam yang menyiarkan dakwah sepanjang waktu.

Kesimpulan

Pemilihan media dakwah harus mempertimbangkan karakteristik audiens, konteks sosial budaya, serta kesiapan dai dalam menguasai alat media tersebut. Media tradisional menekankan pada relasi langsung dan kedalaman interaksi, sedangkan media kontemporer mengedepankan kecepatan, jangkauan luas, dan kreativitas format. Kombinasi keduanya menjadi strategi yang ideal dalam menghadapi tantangan dakwah di era digital.

Kamis, 08 Mei 2025

Tujuan Utama Aktivitas Dakwah dalam Islam


Pendahuluan

Dakwah merupakan salah satu pilar penting dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan penyebaran dan pengenalan nilai-nilai serta ajaran Islam kepada masyarakat. Aktivitas ini tidak hanya bertujuan untuk memperluas pengetahuan tentang Islam, tetapi juga untuk membangun hubungan yang harmonis antara individu, komunitas, dan pencapaian masyarakat yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Tiga tujuan utama yang akan dibahas dalam konteks aktivitas dakwah adalah menyampaikan kebenaran ajaran Islam, membangun kesadaran religius dalam kehidupan individu dan masyarakat, serta mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia dan berkeadilan.

1. Menyampaikan Kebenaran Ajaran Islam

Salah satu tujuan utama dari aktivitas dakwah adalah menyampaikan kebenaran ajaran Islam. Kebenaran dalam konteks ini merujuk kepada prinsip-prinsip dasar Islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Al-Qur'an dan Hadis. Dakwah bertujuan untuk:

Menginfokan tentang ajaran-ajaran pokok Islam: Melalui dakwah, umat Islam diharapkan dapat memahami rukun iman, rukun Islam, serta ajaran moral dan etika yang terdapat dalam agama ini. Hal ini mencakup penjelasan tentang keesaan Allah (Tawhid), pentingnya shalat, puasa, zakat, dan haji, serta prinsip-prinsip dasar akhlak dan muamalah.

Mengoreksi kesalahpahaman tentang Islam: Dalam berbagai konteks, seringkali terdapat persepsi negatif atau salah paham mengenai Islam yang perlu diluruskan. Oleh karena itu, dakwah juga bertujuan untuk mengklarifikasi informasi mengenai ajaran Islam, serta merespons isu-isu yang sering menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat.

Menyebarkan pengetahuan tentang nilai-nilai universal Islam: Dakwah memiliki peran penting dalam menjelaskan nilai-nilai universal yang ada dalam Islam, seperti keadilan, toleransi, dan kasih sayang. Dengan menyebarkan nilai-nilai ini, dakwah diharapkan dapat memperkuat solidaritas sosial di dalam masyarakat.

2. Membangun Kesadaran Religios dalam Kehidupan Individu dan Masyarakat

Tujuan kedua dari aktivitas dakwah adalah untuk membangun kesadaran religius dalam kehidupan individu dan masyarakat. Kesadaran religius diartikan sebagai pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan ini, dakwah berfokus pada beberapa aspek:

Pembelajaran dan pendidikan agama: Melakukan kegiatan pembelajaran, seperti pengajian, kelas tafsir, dan studi tentang ilmu agama lainnya, untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman umat terhadap ajaran Islam. Ini tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga memberikan perspektif yang lebih dalam tentang implementasi ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Praktik spiritual dan ibadah: Mendorong umat untuk melaksanakan praktik ibadah yang konsisten, seperti shalat, membaca Al-Qur'an, dan berdoa. Aktivitas dakwah sering kali menyertakan ajakan untuk berpartisipasi aktif dalam ibadah sosial, seperti berbagi kepada sesama dan kegiatan sosial lainnya.

Pengembangan sikap positif dalam kehidupan sehari-hari: Membangun karakter individu yang berintegritas dan berakhlak baik, serta berdasarkan pada nilai-nilai agama. Ini termasuk menanamkan sikap toleransi, kerja keras, dan pengendalian diri dalam berbagai aspek kehidupan.

3. Mewujudkan Masyarakat yang Berakhlak Mulia dan Berkeadilan

Tujuan terakhir dari aktivitas dakwah adalah mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia dan berkeadilan. Masyarakat yang berakhlak baik akan sangat berkontribusi terhadap perdamaian dan kesejahteraan sosial. Beberapa cara untuk mencapai tujuan ini meliputi:

Promosi nilai-nilai moral dan etika: Dakwah berperan dalam menanamkan nilai-nilai kesopanan, kejujuran, dan keterbukaan dalam interaksi sosial. Menciptakan masyarakat yang saling menghargai dan berempati terhadap sesama.

Penyelesaian konflik secara damai: Dalam konteks kepemimpinan dan manajemen sosial, dakwah juga mendorong penyelesaian masalah dan konflik dengan cara yang damai, sesuai ajaran Islam tentang musyawarah dan keadilan.

Pengembangan aktivisme sosial: Mengorganisir kegiatan sosial yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, membantu mereka yang kurang mampu, dan mendorong partisipasi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Hal ini akan membantu dalam menciptakan kesadaran kolektif akan tanggung jawab terhadap masyarakat.

Kesimpulan

Maka, dapat disimpulkan bahwa aktivitas dakwah memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk masyarakat yang beradab, berpengetahuan, dan berkeadilan. Dengan menyampaikan kebenaran ajaran Islam, membangun kesadaran religius, serta menerapkan nilai-nilai akhlak dalam kehidupan sehari-hari, dakwah menjadi fondasi dalam menciptakan lingkungan sosial yang harmonis dan beretika. Pentingnya peran aktif individu dan masyarakat dalam proses dakwah akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap pembangunan moral, sosial, dan spiritual umat Islam.

Rangkuman Materi

Aktivitas dakwah dalam Islam merupakan usaha sadar dan terencana untuk menyampaikan, mengajak, serta membimbing individu atau masyarakat agar memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Dakwah tidak terbatas pada aspek spiritual, melainkan juga mencakup dimensi sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Dalam konteks ini, dakwah menjadi instrumen transformasi sosial dan pemberdayaan masyarakat. Dakwah bil lisan merupakan metode klasik namun tetap relevan, dengan fondasi dari Al-Qur’an (QS. An-Nahl: 125) dan hadis Nabi saw. Metode ini kini diperluas melalui berbagai platform digital, sehingga menjangkau audiens yang lebih luas. Keberhasilan dakwah sangat bergantung pada keterampilan komunikasi dai dan penguasaan terhadap konten keislaman yang sahih. Dengan mengintegrasikan media digital, dakwah bil lisan menjadi sarana dinamis dan kontekstual untuk membangun masyarakat yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.

Rabu, 07 Mei 2025

Dakwah Kultural dan Sosial dalam Masyarakat Multikultural: Integrasi Islam, Budaya, dan Kesejahteraan

 

Pendahuluan

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) tidak hanya membawa ajaran spiritual, tetapi juga nilai-nilai sosial dan kultural yang dapat membentuk peradaban. Dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, dakwah Islam tidak bisa dilepaskan dari pendekatan budaya lokal. Dakwah kultural dan sosial bukanlah sekadar metode, tetapi bagian dari strategi besar dalam menyampaikan ajaran Islam secara damai, kontekstual, dan membumi.

a. Dakwah Kultural: Integrasi Islam dan Budaya Lokal

Dakwah kultural adalah pendekatan dakwah yang mengedepankan penggabungan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal tanpa mengubah esensi syariat Islam. Pendekatan ini bertujuan untuk menyentuh hati masyarakat dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka.

Sebagaimana dicontohkan oleh para Wali Songo, Islam disebarkan di Nusantara tidak dengan kekerasan, tetapi melalui akulturasi budaya, seperti gamelan, wayang, dan seni pertunjukan lainnya. Ini sejalan dengan prinsip dakwah yang santun dan penuh hikmah sebagaimana firman Allah:

اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125)

Wali Songo, seperti Sunan Kalijaga, memanfaatkan budaya wayang untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa yang belum mengenal Islam secara utuh (Cahyadi, 2018; Nurrohmah et al., 2023). Ini membuktikan bahwa budaya bukanlah penghalang bagi dakwah, melainkan sarana untuk mendekatkan dakwah kepada masyarakat.

b. Prinsip Akomodasi dan Adaptasi dalam Dakwah

Dakwah yang berhasil adalah dakwah yang mampu membaca konteks sosial dan budaya masyarakat. Prinsip akomodatif dalam dakwah menjadi penting karena masyarakat tidak hidup dalam ruang hampa budaya. Oleh karena itu, dakwah perlu menyesuaikan pendekatan tanpa kehilangan substansi agama.

Pendekatan ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Nabi berpesan agar berdakwah dengan mengenalkan tauhid terlebih dahulu, lalu kewajiban ibadah, tanpa memaksakan semua syariat sekaligus:

"Kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan-Nya..." (HR. Bukhari no. 1395)

Hadis ini menunjukkan bahwa dakwah memerlukan tahapan dan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi penerimanya.

c. Dakwah Sosial: Aksi Nyata sebagai Penyampai Pesan

Dakwah sosial menekankan pada aksi nyata dalam membantu masyarakat. Ini mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan bantuan sosial. Organisasi seperti Muhammadiyah telah menjadikan dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan) sebagai ciri khas perjuangannya.

Muhammadiyah mendirikan rumah sakit, sekolah, dan program pemberdayaan sebagai sarana menyampaikan Islam secara nyata (Islahuddin et al., 2023; Biyanto, 2014). Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya."
(HR. Ahmad no. 23408)

Dengan dakwah sosial, Islam tidak hanya tampil dalam bentuk ceramah, tetapi juga dalam pelayanan dan solusi terhadap masalah kehidupan masyarakat.

d. Dakwah Melalui Media Baru dan Konten Budaya

Perkembangan teknologi informasi memberi peluang baru dalam dakwah. Generasi muda kini lebih akrab dengan media sosial, video pendek, podcast, dan musik. Dakwah melalui media baru memungkinkan penyebaran nilai Islam melampaui batas geografis dan waktu.

Komunitas seperti Teras Dakwah di Yogyakarta memanfaatkan YouTube dan Instagram untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dalam bentuk yang ringan dan sesuai budaya pop urban (Saputra, 2022). Bahkan, konser religi seperti Maher Zain (Fairuz, 2021) menjadi sarana dakwah kultural yang efektif karena memadukan seni dan spiritualitas.

Hal ini mencontoh strategi Nabi Muhammad dalam menggunakan bahasa dan konteks lokal, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana(QS. Ibrahim: 4)

 

e. Seni dan Tradisi Lokal sebagai Medium Dakwah

Seni seperti sholawat, hadrah, rebana, wayang, bahkan festival budaya, dapat digunakan untuk memperkuat pesan Islam. Dalam konteks ini, dakwah kultural bukan hanya sarana, tetapi juga ruang ekspresi dan pelestarian warisan budaya yang telah terislamisasi.

Kegiatan ini tidak sekadar mempercantik dakwah, tetapi juga memperkuat identitas Islam yang ramah budaya. Seperti halnya di banyak pesantren, sholawat menjadi bagian dari pendidikan ruhani dan sosial (Anggraeni et al., 2022). Selama nilai-nilai Islam tidak dilanggar, penggunaan tradisi sebagai alat dakwah merupakan bentuk ijtihad budaya.

f. Dakwah dan Pembangunan Berkelanjutan

Dakwah juga menjadi bagian dari strategi pembangunan masyarakat. Di Desa Bangunjiwo Yogyakarta, integrasi nilai-nilai Islam dalam pembangunan sosial-ekonomi menjadi bentuk dakwah kultural dan pemberdayaan masyarakat (Maksum et al., 2023).

Melalui pendidikan, pelatihan, dan ekonomi kreatif berbasis Islam, masyarakat dapat diberdayakan secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang mendorong keadilan sosial:

 إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An-Nahl: 90)

Pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dakwah yang menjembatani ajaran Islam dan kebutuhan nyata masyarakat, mendorong mereka menuju kesejahteraan lahir dan batin.

g. Dakwah dan Moderasi: Menjaga Keseimbangan

Dalam masyarakat majemuk, dakwah kultural berperan penting dalam menumbuhkan sikap toleransi dan moderasi. Dakwah tidak boleh menjadi alat polarisasi, tetapi harus menjadi jembatan antara kelompok, budaya, dan agama.

Muhammadiyah, misalnya, menegaskan pentingnya wasathiyyah (moderat) dalam dakwah. Pendekatan ini menghindari sikap ekstrem, baik dalam bentuk liberalisme yang mengabaikan syariat, maupun radikalisme yang menolak budaya (Islahuddin et al., 2023). Moderasi dalam dakwah merupakan perwujudan dari umat tengah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah: 143)

h. Dakwah Kultural sebagai Proses Sosial

Dakwah bukan sekadar aktivitas keagamaan, tetapi merupakan proses sosial yang terus berinteraksi dengan perubahan zaman. Dalam hal ini, dakwah kultural tidak hanya membawa pesan-pesan Islam, tetapi juga berkontribusi dalam membangun harmoni sosial, menciptakan keadilan, dan memperkuat solidaritas.

Zuhdi (2017) menekankan bahwa dakwah adalah bentuk dialektika antara agama dan budaya. Dakwah yang mengabaikan unsur sosial dan budaya berpotensi gagal, sementara dakwah yang menyatu dengan kultur dapat menciptakan transformasi sosial yang signifikan.

Kesimpulan

Dakwah kultural dan sosial memberikan ruang luas bagi penyebaran Islam yang damai, membumi, dan kontekstual. Dengan pendekatan akomodatif terhadap budaya lokal, penyampaian ajaran Islam menjadi lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan konflik. Melalui seni, media sosial, aksi sosial, dan pemberdayaan masyarakat, dakwah tidak hanya menyampaikan pesan keagamaan, tetapi juga mewujudkan kesejahteraan sosial dan membentuk peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Akhirnya, dakwah kultural dan sosial bukanlah pilihan alternatif, tetapi keharusan strategis dalam menghadapi kompleksitas masyarakat modern. Melalui pendekatan ini, Islam tampil sebagai agama yang mampu hidup berdampingan dengan budaya, merangkul keragaman, dan menjawab tantangan zaman secara inklusif.


Dakwah Bil Hal


Dakwah merupakan kewajiban setiap Muslim untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125). Ayat ini menegaskan bahwa dakwah harus dilakukan dengan kebijaksanaan, keteladanan, dan pendekatan yang santun. Salah satu metode paling efektif dalam dakwah adalah keteladanan atau uswah hasanah, yaitu memberikan contoh nyata melalui perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam.

Rasulullah saw adalah teladan terbaik dalam menyampaikan ajaran Islam dengan akhlak mulia. Allah SWT menyatakan:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ 

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu..." (QS. Al-Ahzab: 21). Oleh karena itu, dakwah dengan keteladanan bukan hanya strategi, tetapi warisan langsung dari Nabi yang patut dihidupkan kembali, khususnya di era media sosial dan digital saat ini.

Keteladanan Sebagai Fondasi Dakwah

Keteladanan atau uswah merupakan fondasi utama dalam dakwah Islam. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad saw:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُبْدِعَ بِي فَاحْمِلْنِي قَالَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكَ عَلَيْهِ وَلَكِنْ ائْتِ فُلَانًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَحْمِلَكَ فَأَتَاهُ فَحَمَلَهُ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir berkata, telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A'masy dari Abu Amru Asy Syaibani dari Abu Mas'ud Al Anshari ia berkata, "Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah ditelantarkan, maka bawalah aku." Beliau menjawab: "Aku tidak mempunyai sesuatu untuk membawamu, silahkah kamu temui si fulan, semoga ia bisa membawamu." Laki-laki itu lalu mendatanginya dan ia pun dibawa. Laki-laki itu kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mengabarkan hal itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya." (Kitab Abu Daud, no. 4464).

حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَفَعَهُ وَقَالَ شَاذَانُ مَرَّةً عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ وَذَكَرَ شَاذَانُ أَيْضًاحَدِيثَ الدَّالِّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ

 

Telah menceritakan kepada kami Aswad bin 'Amir telah bercerita kepada kami Syarik dari Al A'masy dari Abu 'Amr Asy Syaibani dari Abu Mas'ud ia memarfu'kannya -berkata Syadzan- sesekali dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Penasehat itu dipercaya." Syadzan juga menyebutkan hadits; Orang yang menunjukkan kepada kebaikan sama seperti orang yang mengerjakannya. (Kitab Ahmad Hadits No – 21326)  Hadis ini menunjukkan pentingnya memberi contoh perbuatan baik, karena efeknya bisa menginspirasi orang lain untuk ikut dalam kebaikan.

Contoh keteladanan telah ditunjukkan oleh para Nabi, khususnya Nabi Muhammad saw, yang tidak hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga melalui perbuatan yang memikat hati masyarakat Arab jahiliyah yang keras dan penuh konflik. Kejujuran, amanah, kesabaran, dan kasih sayang Nabi menjadi kekuatan utama dakwah Islam. Oleh sebab itu, setiap pendakwah di era kini pun dituntut untuk mencerminkan nilai-nilai tersebut dalam keseharian mereka.

Keteladanan Da'i di Era Digital

Abdusshomad (2024) menunjukkan bahwa ustaz influencer seperti Hanan Attaki dan Felix Siauw berhasil memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah dengan mengedepankan keteladanan dalam sikap, gaya hidup, dan penyampaian pesan. Mereka tidak hanya berbicara tentang Islam, tetapi juga menampilkan praktik kehidupan Islami secara nyata di hadapan publik. Keteladanan ini penting karena generasi digital tidak hanya membutuhkan narasi, tetapi juga figur nyata yang bisa dijadikan panutan.

Dalam konteks ini, media sosial menjadi panggung keteladanan baru. Alat seperti TikTok, Instagram, dan YouTube memberikan kesempatan bagi da’i untuk menampilkan gaya hidup Islami, mulai dari cara berpakaian, adab dalam berbicara, hingga kebiasaan ibadah. Ketika seorang ustaz tampil konsisten antara pesan dan perilaku, maka wibawa dan pengaruhnya semakin besar. Inilah yang ditekankan dalam sabda Rasulullah saw:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ دَاوُدَ عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبَكُمْ مِنِّي فِي الْآخِرَةِ مَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي فِي الْآخِرَةِ مَسَاوِيكُمْ أَخْلَاقًا الثَّرْثَارُونَ الْمُتَفَيْهِقُونَ الْمُتَشَدِّقُونَ

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Adi dari Dawud dari Makhul dari Abu Tsa'labah Al Khasyani ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat orang paling saya cintai dan yang paling dekat denganku dari kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Sedangkan orang yang saya benci dan paling jauh denganku dari kalian kelak di akhirat adalah orang yang paling buruk akhlaknya di antara kalian. Yaitu mereka yang banyak berbicara dan suka mencemooh manusia dengan kata-katanya."  (Kitab Ahmad, No. 17066).

Keteladanan dalam Dakwah Berbasis Masjid

Selain keteladanan personal, dakwah juga memerlukan ekosistem keteladanan yang terstruktur, seperti masjid. Zulaili et al. (2023) meneliti Masjid Namira di Lamongan yang menjadi contoh sukses dalam menciptakan lingkungan dakwah yang ramah, nyaman, dan inklusif. Masjid bukan hanya tempat ibadah ritual, tetapi juga menjadi ruang interaksi sosial yang mendidik dan membina umat.

Dalam Islam, masjid memang memiliki peran strategis dalam membentuk karakter umat. Rasulullah saw membangun Masjid Quba dan Masjid Nabawi sebagai pusat peradaban, pendidikan, dan dakwah. Di dalamnya terjadi pembinaan spiritual dan sosial. Ketika masjid mampu menghadirkan suasana yang kondusif untuk belajar dan bersosialisasi, maka ia telah menunjukkan keteladanan institusional yang berdampak luas.

Keteladanan Sosial: Dakwah Melalui Tindakan Nyata

Dakwah tidak terbatas pada ceramah atau khutbah, tetapi juga melalui tindakan sosial yang nyata. Hasmiati et al. (2021) menunjukkan bagaimana kader TB Care dari 'Aisyiyah di Sinjai menjalankan dakwah dengan pelayanan kepada pasien TBC, menunjukkan empati, peduli, dan akhlak Islami. Tindakan mereka menjadi media dakwah yang kuat karena masyarakat melihat Islam bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai solusi konkret.

Rasulullah saw sendiri memberi perhatian besar kepada kaum lemah, sakit, dan miskin. Beliau bersabda:

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain." (HR. Ahmad, no. 23408). Dengan demikian, bentuk dakwah melalui aksi sosial, seperti pengobatan, pendidikan, advokasi, atau pemberdayaan ekonomi, merupakan wujud keteladanan yang sangat relevan di masa kini.

Keteladanan dalam Dakwah Digital

Maulana (2024) dan Kasir & Awali (2024) membahas pentingnya keteladanan di ruang digital. Aplikasi seperti TikTok digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang dikemas secara ringan namun tetap substansial. Gaya komunikatif, konsistensi konten, dan integritas personal menjadi kunci keberhasilan dakwah digital. Netizen akan mudah merespons dakwah ketika mereka merasakan keaslian dan kesungguhan sang pendakwah.

Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan ciri orang beriman yang konsisten:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fussilat: 30). Konsistensi dan keaslian dalam menyampaikan ajaran Islam adalah cerminan keteladanan yang berakar pada nilai keimanan.

Menjangkau Generasi Z dan Milenial dengan Keteladanan Visual

Yuliasih (2022), Syifa et al. (2024), dan Umroh (2024) menyoroti pentingnya dakwah yang mampu menjangkau generasi Z dan milenial yang sangat visual dan digital-native. Konten dakwah di YouTube, Instagram, dan TikTok yang menyajikan narasi inspiratif dan visual menarik lebih mudah diterima oleh mereka. Keteladanan tidak hanya terlihat dalam perilaku nyata, tetapi juga melalui gaya komunikasi yang kreatif, positif, dan inspiratif.

Generasi ini membutuhkan figur yang bisa menginspirasi mereka dengan cara yang relevan. Pendakwah yang mengunggah kegiatan shalat, interaksi sosial yang baik, kepedulian terhadap isu lingkungan, atau kampanye antiperundungan adalah contoh konkret bagaimana nilai-nilai Islam bisa ditransformasikan ke dalam konten yang relatable. Dalam hadis, Rasulullah saw bersabda:

"Permudahlah, jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat orang lari." (HR. Bukhari, no. 69).

Keteladanan yang Inklusif dan Berbasis Nilai Sosial

Nurmahyati (2017) menekankan bahwa dakwah juga harus mengedepankan pemberdayaan perempuan dan inklusivitas sosial. Keteladanan bukan hanya urusan personal, tetapi juga kolektif. Sebuah masyarakat Muslim yang egaliter, peduli, dan saling menghormati akan lebih mudah menjadi teladan. Dakwah dalam bentuk pelatihan ekonomi, penguatan pendidikan perempuan, dan pendampingan keluarga adalah contoh dari keteladanan sosial yang luas cakupannya.

Islam memuliakan perempuan dan menempatkannya sebagai mitra sejajar dalam membangun peradaban. Dalam QS. At-Taubah: 71 disebutkan:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” Oleh karena itu, keteladanan dalam dakwah harus mendorong partisipasi aktif semua pihak dalam menyebarkan nilai-nilai Islam secara adil dan proporsional.

Kesimpulan

Dakwah dengan keteladanan merupakan pendekatan yang menyentuh hati, menginspirasi, dan berkelanjutan. Keteladanan bisa muncul dari perilaku personal, institusi seperti masjid, tindakan sosial, hingga ke ruang digital. Dengan adanya media sosial, keteladanan menjadi semakin penting karena audiens kini lebih kritis terhadap kesesuaian antara ucapan dan tindakan.

Keteladanan adalah cermin dari keimanan dan akhlak seorang Muslim. Dalam setiap aspek kehidupan, da’i harus mampu menjadi contoh dalam ibadah, interaksi sosial, profesionalisme, hingga komunikasi. Dalam dunia yang sarat informasi dan disinformasi, kehadiran da’i yang autentik, santun, dan menginspirasi sangat dibutuhkan sebagai penyejuk dan pembimbing umat.

Dengan menghidupkan kembali keteladanan dalam dakwah, kita bukan hanya menyampaikan Islam, tetapi juga menghadirkan Islam secara nyata, indah, dan membumi.

Dakwah Digital dalam Perspektif Islam: Transformasi, Peluang, dan Tantangan di Era Teknologi

 

Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital telah membawa dampak signifikan dalam hampir semua aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal penyebaran ajaran agama. Dakwah, yang sebelumnya terbatas pada mimbar masjid, majelis taklim, dan forum keagamaan tatap muka, kini mengalami revolusi besar melalui kehadiran media digital. Dakwah digital merujuk pada proses penyebaran pesan-pesan Islam melalui media online seperti YouTube, Instagram, podcast, komik digital, dan meme. Perubahan ini menciptakan peluang besar bagi para dai untuk menjangkau audiens yang lebih luas dengan cara yang lebih fleksibel dan kreatif. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl ayat 125:

اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." Ayat ini memberikan dasar bahwa metode dakwah harus disesuaikan dengan konteks dan kondisi masyarakat, termasuk penggunaan teknologi.

Transformasi Media Dakwah di Era Digital

Menurut Nawaffani (2023), dakwah digital tidak hanya memperluas jangkauan pesan keagamaan, tetapi juga meningkatkan efektivitasnya karena bisa disampaikan secara real-time dan bersifat interaktif. Perubahan ini memungkinkan seorang dai menyampaikan pesan secara visual, naratif, bahkan melalui animasi. Dakwah di Instagram, misalnya, menjadi ruang bagi penyebaran pesan melalui komik digital, seperti yang ditemukan oleh Amaliyah (2023). Ia mencatat bahwa media ini mampu meningkatkan pemahaman keislaman remaja melalui ilustrasi yang relatable dan komunikatif. Fenomena ini menunjukkan bahwa dakwah digital mampu merespon tantangan zaman sekaligus mempertahankan esensi dakwah sebagai ajakan kepada kebaikan.

Dari sisi teknis, dakwah digital memberi kemudahan akses bagi masyarakat untuk belajar agama di mana saja dan kapan saja. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

 

"Sampaikanlah dariku walau satu ayat" (HR. Bukhari). Hadis ini mempertegas bahwa menyampaikan ajaran Islam tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, yang kini lebih dimudahkan oleh kehadiran media digital.

Platform Digital sebagai Sarana Dakwah

Media digital seperti YouTube, Instagram, dan podcast kini menjadi saluran utama dalam penyebaran dakwah. Marti et al. (2023) mengungkapkan bahwa video dakwah di YouTube efektif dalam meningkatkan kesadaran keagamaan remaja. Visualisasi pesan agama dalam bentuk video ceramah, kisah inspiratif, atau konten edukatif membuat dakwah lebih mudah dicerna, terutama bagi generasi digital. Selain itu, Uyuni et al. (2024) menyoroti pentingnya inovasi dakwah dalam menjangkau komunitas spesifik seperti Muslimah. Mereka mengemukakan bahwa media digital memungkinkan pendekatan yang lebih personal dan sesuai kebutuhan audiens.

Contoh lainnya adalah ImanPath, yang menggunakan berbagai format dakwah, termasuk podcast. Podcast memungkinkan audiens mendengarkan kajian keislaman sambil melakukan aktivitas lain, menjadikannya media yang fleksibel dan efisien (Darajat & Rahmi, 2022). Dakwah berbasis audio ini memberikan nuansa yang berbeda, karena mendekatkan pendengar pada suasana kontemplatif dan reflektif, seperti mendengarkan tausiyah langsung dari majelis ilmu.

Kreativitas dalam Dakwah Digital

Kreativitas menjadi faktor penting dalam dakwah digital. Hidayat dan Huda (2024) menjelaskan bahwa penggunaan komik digital sebagai media dakwah mampu menjembatani komunikasi antara dai dan audiens dengan cara yang menyenangkan namun bermakna. Komik yang sarat pesan moral menjadi alternatif yang menarik di tengah dominasi konten hiburan di media sosial. Sunaryanto dan Syamsuri (2022) menambahkan bahwa meme sebagai bagian dari budaya digital juga berpotensi menjadi sarana dakwah yang efektif jika dikemas dengan baik dan tidak keluar dari nilai-nilai Islam.

Dalam hal ini, pentingnya memperhatikan budaya lokal dan karakteristik audiens menjadi kunci keberhasilan dakwah digital. Zahra (2024) menegaskan bahwa penyampaian pesan dakwah yang efektif harus mempertimbangkan konteks sosial dan teknologi yang digunakan. Ini sejalan dengan pendekatan dakwah Nabi Muhammad SAW yang selalu mempertimbangkan kondisi psikologis dan budaya masyarakat ketika berdakwah, sebagaimana terekam dalam berbagai riwayat hadits dan sirah nabawiyah. 

Etika dan Tantangan Dakwah Digital

Meski menawarkan berbagai kemudahan, dakwah digital tidak lepas dari tantangan, terutama terkait dengan etika dan kredibilitas informasi. Hidayat et al. (2024) menekankan bahwa dai harus berhati-hati dalam memilih konten, narasi, dan metode penyampaian agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Dakwah yang disampaikan melalui media sosial bisa dengan cepat menyebar, tetapi juga rentan disalahartikan jika tidak dibingkai dengan prinsip kehati-hatian.

Dalam QS. Al-Hujurat ayat 6, Allah SWT mengingatkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti..." Ayat ini relevan dalam konteks dakwah digital karena mengajarkan pentingnya verifikasi informasi. Seorang dai digital harus memastikan keaslian sumber, ketepatan kutipan ayat dan hadits, serta menjaga adab dalam menyampaikan nasihat.

Selain itu, ada risiko komersialisasi dakwah yang berlebihan. Beberapa konten dakwah dikemas hanya demi jumlah viewers atau popularitas, bukan untuk mendidik dan membimbing umat. Hal ini dapat mencederai kesucian dakwah yang seharusnya ikhlas lillahi ta’ala. Sabda Rasulullah SAW mengingatkan:

"Barang siapa yang menuntut ilmu untuk membanggakan diri di hadapan ulama, atau untuk mendebat orang bodoh, atau menarik perhatian manusia, maka ia di neraka" (HR. Tirmidzi).

Dakwah Digital sebagai Pemberdayaan Umat

Potensi dakwah digital sangat besar dalam membangun kesadaran kolektif dan pemberdayaan umat. Melalui edukasi yang konsisten dan berkelanjutan, media digital dapat menjadi sarana untuk membentuk akhlak mulia, memperkuat ukhuwah, dan mempromosikan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin. Dakwah yang menekankan toleransi, moderasi, dan etika sosial sangat dibutuhkan dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia.

Dakwah digital juga membuka ruang kolaborasi antar-ulama, dai muda, akademisi, dan komunitas dakwah. Mereka dapat saling bertukar gagasan, merancang program dakwah berbasis data, dan menjawab isu-isu kontemporer dengan lebih cepat dan relevan. Prinsip "fastabiqul khairat" (berlomba-lomba dalam kebaikan) sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah ayat 148 menjadi motivasi kuat dalam mengembangkan dakwah digital sebagai gerakan bersama.

Kesimpulan

Dakwah digital merupakan bentuk modern dari penyampaian pesan Islam yang sejalan dengan semangat zaman tanpa mengurangi nilai-nilai pokok ajaran. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh kemampuan dai dalam memahami karakteristik media, audiens, dan nilai-nilai syar’i. Dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an, Hadis, serta adab dakwah yang luhur, media digital dapat menjadi wasilah yang efektif dalam menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Peluang yang terbuka lebar di era digital harus dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan masyarakat yang religius, berakhlak, dan berpengetahuan. Di sisi lain, tantangan etika dan verifikasi informasi harus dijawab dengan kecermatan dan tanggung jawab. Dakwah digital bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang integritas dan keteladanan. Sehingga, di tengah derasnya arus informasi, dakwah tetap menjadi cahaya penuntun umat menuju kebenaran dan kebaikan.


Jumat, 02 Mei 2025

Dakwah Bil Qalam dalam Era Digital: Strategi, Keunggulan, dan Relevansinya dalam Penguatan Literasi Keislaman


Dakwah bil qalam, atau dakwah melalui tulisan, merupakan salah satu metode penyampaian ajaran Islam yang memiliki sejarah panjang dan kontribusi besar dalam pengembangan peradaban Islam. Metode ini melibatkan penggunaan tulisan sebagai media utama dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Bentuk dakwah bil qalam bisa berupa buku, artikel, esai, opini, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, risalah, buletin, brosur, dan berbagai media cetak atau digital lainnya. Dalam konteks kontemporer, dakwah bil qalam juga meluas ke platform digital seperti blog, website, media sosial, dan forum diskusi daring. Perkembangan teknologi informasi membuat metode ini semakin relevan dan strategis untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Secara etimologis, "qalam" dalam bahasa Arab berarti pena atau alat tulis, yang menunjukkan pentingnya tulisan dalam menyampaikan ilmu dan pesan-pesan ketuhanan. Dalam Al-Qur'an, terdapat ayat yang sangat menekankan peran tulisan, yakni QS. Al-Qalam ayat 1:

نٓ وَالۡقَلَمِ وَمَا يَسۡطُرُوۡنَۙ‏

"Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan" (QS. Al-Qalam:1).

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah bersumpah atas nama pena, menandakan betapa mulianya alat tulis dan tulisan itu sendiri dalam menyebarkan ilmu dan kebenaran. Selain itu, hadis Nabi Muhammad saw. Menyatakan:

أَخْبَرَنَا أَبُو عَاصِمٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عَمِّهْ عَمْرِو بْنِ أَبِي سُفْيَانَ أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

Telah mengabarkan kepada kami Abu 'Ashim ia berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dari Abdul Malik bin Abdullah bin Abu Sufyan dari pamannya - 'Amr bin Abu Sufyan -, ia pernah mendengar Umar bin Al Khatthab berkata: "Ikatlah ilmu dengan tulisan". (Kitab Darimi, Hadits No 497), yang semakin menegaskan bahwa dakwah melalui tulisan adalah metode yang sangat dianjurkan.

Dakwah bil qalam memiliki berbagai keunggulan dibandingkan metode lainnya:

Pertama, dari sisi daya tahan (durabilitas), tulisan memiliki sifat yang lebih tahan lama dibandingkan ucapan. Tulisan yang terdokumentasi dalam bentuk buku, artikel, atau konten digital dapat diakses ulang kapan saja, bahkan bertahun-tahun setelah dibuat. Sementara dakwah lisan bersifat sementara dan mudah dilupakan jika tidak direkam.

Kedua, dari aspek kemudahan produksi dan distribusi, tulisan kini dapat dibuat dan disebarluaskan dengan sangat cepat, khususnya dengan bantuan teknologi digital. Tulisan yang dahulu hanya dapat diakses lewat media cetak, kini dapat diunggah ke internet dan dibaca oleh jutaan orang secara instan.

Ketiga, dari segi jangkauan, dakwah bil qalam mampu menjangkau audiens yang luas dan beragam secara geografis, sosial, dan usia.

Media yang digunakan dalam dakwah bil qalam sangat variatif. Buku-buku dakwah merupakan bentuk klasik yang hingga kini masih sangat berpengaruh, baik buku populer yang mudah dipahami masyarakat umum, maupun buku akademik yang ditujukan untuk kalangan ilmiah. Artikel dan opini di media massa atau platform online juga menjadi sarana penting untuk menyampaikan pandangan dan pengetahuan Islam secara kontekstual. Media sosial, seperti Facebook, Twitter (X), Instagram, dan bahkan WhatsApp, saat ini menjadi media tulisan yang efektif untuk menyampaikan pesan dakwah yang singkat, jelas, dan mudah diakses. Platform seperti blog pribadi atau kanal dakwah berbasis tulisan juga menjadi media yang diminati untuk menyampaikan konten keislaman secara mendalam.

Contoh-contoh dakwah bil qalam bisa ditemukan dalam berbagai bentuk. Di antaranya adalah karya-karya ulama klasik seperti Imam al-Ghazali yang menulis Ihya' Ulumuddin, atau Syekh Nawawi al-Bantani dengan kitab-kitabnya yang tersebar luas di dunia pesantren. Dalam konteks Indonesia modern, tulisan-tulisan Buya Hamka melalui majalah Panji Masyarakat dan buku-bukunya seperti Tafsir Al-Azhar merupakan bentuk dakwah bil qalam yang berpengaruh luas. Saat ini, banyak dai dan cendekiawan Muslim menulis di media massa nasional seperti Republika, Kompas, atau melalui jurnal akademik dan website lembaga Islam. Penulisan caption Instagram dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan penjelasan singkatnya, atau artikel panjang di blog tentang etika Islam dan sosial kemasyarakatan, juga termasuk bentuk dakwah bil qalam masa kini.

Dakwah bil qalam memiliki peran penting dalam melengkapi dakwah bil lisan. Dakwah lisan seperti ceramah, khutbah, dan diskusi langsung memang efektif untuk membangun interaksi emosional dan membina kedekatan personal. Namun, dakwah bil qalam menyediakan ruang yang lebih sistematis, terstruktur, dan mendalam. Pesan dakwah dapat dikaji ulang, dianalisis, dan bahkan dijadikan bahan rujukan akademik. Dalam dunia pendidikan Islam, buku teks dan modul pembelajaran merupakan hasil dakwah bil qalam yang berkontribusi besar dalam pembinaan generasi Muslim. Kombinasi antara dakwah bil lisan dan qalam akan melahirkan pendekatan dakwah yang lebih komprehensif dan berkesinambungan.

Selain itu, dakwah bil qalam menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang tidak dapat hadir dalam forum ceramah atau pengajian. Melalui tulisan, dakwah dapat menyentuh pembaca di tempat-tempat yang jauh, di luar jangkauan fisik mubaligh. Tulisan juga memungkinkan pembaca untuk memahami isi dakwah dengan kecepatan dan waktu yang sesuai dengan kondisi mereka. Hal ini sangat penting bagi masyarakat urban dan kaum profesional yang memiliki keterbatasan waktu mengikuti dakwah langsung.

Dakwah bil qalam juga mengatasi kelemahan dakwah lisan yang bersifat sementara dan terbatas. Dalam dakwah lisan, pendengar seringkali mengalami keterbatasan daya tangkap, terutama jika pesan disampaikan terlalu cepat atau tanpa media bantu. Sementara dalam tulisan, pesan dapat dibaca berulang kali, diberi penekanan melalui tipografi, ilustrasi, dan catatan kaki yang memperkuat pemahaman. Hal ini membuat dakwah bil qalam menjadi metode yang sangat cocok untuk pembelajaran jangka panjang dan penguatan literasi keislaman.

Lebih jauh lagi, dakwah bil qalam berperan penting dalam meningkatkan literasi dakwah. Literasi di sini tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga pemahaman terhadap pesan-pesan agama secara kritis dan kontekstual. Melalui tulisan, ajaran Islam dapat disampaikan dengan pendekatan ilmiah, naratif, atau argumentatif, yang membantu pembaca dalam memahami kompleksitas ajaran Islam, baik dalam bidang akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Dakwah bil qalam mendorong umat Islam untuk menjadi pembaca aktif, penulis produktif, dan pemikir kritis.

Dalam menghadapi tantangan zaman, dakwah bil qalam harus terus berinovasi. Penggunaan bahasa yang komunikatif, narasi yang menarik, serta penyesuaian gaya penulisan dengan karakter pembaca menjadi kunci keberhasilan. Tulisan-tulisan yang bersifat terlalu formal atau kaku sering kali sulit menjangkau generasi muda. Oleh karena itu, penting bagi para dai dan penulis Muslim untuk memahami psikologi pembaca dan konteks sosial-budaya saat ini. Misalnya, menyampaikan pesan dakwah dalam bentuk cerpen, puisi, atau refleksi kehidupan sehari-hari bisa menjadi cara efektif untuk menarik minat pembaca.

Dalam dunia digital, penting pula untuk menjaga etika dakwah bil qalam. Islam menekankan kejujuran, kehati-hatian, dan tanggung jawab dalam menyampaikan informasi. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 disebutkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Ayat ini mengajarkan agar umat Islam tidak sembarangan menyebarkan informasi tanpa verifikasi, termasuk dalam dakwah tulisan. Para penulis dakwah hendaknya menulis dengan rujukan yang jelas, tidak menyebarkan hoaks atau kebencian, serta menghindari provokasi yang dapat merusak ukhuwah Islamiyah dan persatuan bangsa.

Untuk memaksimalkan dampak dakwah bil qalam, perlu adanya penguatan ekosistem literasi Islam, termasuk pelatihan penulisan dakwah, dukungan penerbitan, dan akses distribusi yang luas. Lembaga dakwah dan pendidikan Islam bisa mendorong santri, mahasiswa, dan da'i untuk aktif menulis melalui kompetisi, pelatihan jurnalistik, atau program mentoring penulisan. Dukungan terhadap media dakwah berbasis tulisan, baik dalam bentuk majalah, buletin masjid, atau situs dakwah, juga sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman.

Akhirnya, dakwah bil qalam merupakan instrumen strategis dalam membangun peradaban Islam yang cerdas dan literatif. Dalam era informasi saat ini, siapa yang menguasai narasi dan wacana melalui tulisan akan memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik dan arah keislaman masyarakat. Oleh karena itu, penguatan dakwah bil qalam tidak hanya menjadi tugas para ulama dan cendekiawan, tetapi juga seluruh umat Islam yang peduli terhadap kelestarian ajaran Islam dan kemajuan umat.

Sebagai penutup, dakwah bil qalam bukan hanya sarana menyampaikan ilmu, melainkan juga medium membentuk karakter, membangun kesadaran kolektif, dan menjembatani generasi dalam meraih keberkahan hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Dengan terus mengasah kemampuan menulis dan memperkuat komitmen dakwah melalui tulisan, umat Islam dapat menghadirkan Islam yang rahmatan lil 'alamin melalui pena-pena yang tajam namun penuh hikmah.

Hijrah Merdeka: Menjadi Mahasiswa Muslim yang Bebas dari Dosa, Malas, dan Overthinking

Pendahuluan Di tengah gegap gempita peringatan kemerdekaan bangsa, kita sering kali terjebak pada seremoni, tanpa melakukan kontemplasi....