Minggu, 30 Mei 2021

Perkawinan di Usia Anak



Perlindungan anak menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Latar belakang perkawinan di usia anak

Persoalan adat istiadat dan keyakinan

Faktor penyebab perkawinan anak akibat persoalan adat dan keyakinin ini sudah memasuki tahap darurat. Kedaruratan itu terletak pada posisi praktik perkawinan anak yang masih diterima, biasa, dibenarkan bahkan dianggap sebagai penyelesaian masalah dan dipersepsikan boleh dilaksanakan dengan alasan tradisi adat istiadat, keyakinan. Praktik perkawinan anak yang mengatasnamanakan tradisi, budaya, atau agama adalah misalnya yang terjadi di Lombok. Di daerah tersebut, perempuan dapat dilarikan ke rumah laki-laki untuk dinikahkan. Termasuk hasil penelitian di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan yang menunjukkan adanya konstruksi sosial terhadap gender yang memengaruhi penerimaan masyarakat untuk perkawinan anak-anak. Di sana anak perempuan yang lambat menikah disebut sebagai perawan tua padahal mereka masih usia di bawah 18 tahun. Kondisi-kondisi ini (menunjukkan) masih banyak PR yang masih menjadikan adat kedok perkawinan anak.

Persoalan ngunduh buwuhan

Persoalan ini penulis jumpai dari hasil identifikasi latar belakang permasalahan melonjaknya pernikahan di 2 buah Kecamatan (2018). Identifikasi permasalahan saat itu kami lakukan bersama tim yang dipromotori oleh Dinas P2TP2A. Identifikasi permasalahan dilakukan untuk mencari solusi, agar pernikahan pada usia anak bisa diturunkan dan bahkan tidak terjadi lagi. Hasil identifikasi berbeda dengan yang terjadi di kecamatan yang lain pada umumnya, yang rata-rata alasannya adalah karena perilaku negatif akibat globalisasi yakni pergaulan terlalu bebas dan anak sudah hamil duluan. Pada 2 Kecamatan ini  latar belakang pernikahan di usia anak adalah, karena orang tua ingin segera ngunduh buwuhan (mengambil hasil simpanan bantuan yang pernah diberikan kepada orang lain yang pernah punya hajat). Sehingga pada 2 Kecamatan ini memiliki hajat adalah sangat dibudayakan, bahkan pesta ulang tahun dirayakan dengan tujuan ngunduh buwuhan. Apalagi pernikahan, benar-benar dirayakan sebagai sarana ngunduh buwuhan. Akhirnya meski anak belum sampai usia yang cukup untuk menikah, segera dicarikan jodoh, meskipun sebagian besar mereka juga berakhir cerai. 

Persoalan ekonomi dan kemiskinan

Perkawinan yang terjadi pada keluarga dengan latar belakang orang tua ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Pasalnya, bagi rumah tangga miskin, kebanyakan anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi. Dengan demikian, perkawinan pun dianggap sebagai solusi untuk melepaskan diri dari kemiskinan.

Mencegah Perzinaan

Adanya kelompok yang menciptakan gerakan mendukung perkawinan anak, dengan alasan melindungi anak dari dosa perzinaan. Sehingga banyak orang tua meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka meskipun belum cukup umur adalah karena mereka khawatir anak-anak mereka akan melakukan perzinaan, terutama ketika anak-anak mereka mulai memiliki pacar.

Regulasi (kebijakan yang belum berpihak pada anak perempuan)

Meskipun perkawinan di usia anak bertentangan dengan komitmen negara, yaitu UUD 1945, ratifikasi konvensi hak anak nomor 35 tahun 2004, namun dari perspektif hukum pidana Indonesia, belum ada bahkah tidak ditemukan ancaman pidana bagi pelaku yang menikahkan anak, atau orang yang menikah dengan anak. Untuk itu, perlu adanya revisi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sehingga tidak ada lagi praktik perkawinan anak.

Globalisasi (Perilaku yang terpengaruh budaya negatif)

Kebiasaan hedonis dan melakukan seks di luar nikah telah mengakibatkan anak-anak hamil di luar nikah. Hal ini berakibat mereka terpaksa menikah tanpa kesiapan dalam segala hal. Baik kesiapan agama, pendidikan, ekonomi, sosial, emosional dan sebagainya.


Dampak Negatif Perkawinan di usia anak



Aspek kesehatan:

  • Perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun memiliki risiko kematian 5 kali lebih besar daripada perempuan yang melahirkan pada usia >20 tahun
  • Kematian pada ibu hamil usia 15-19 tahun lebih sering dijumpai di negara dengan pendapatan yang menengah ke bawah
  • Bayi yang lahir dari perempuan usia <18 memiliki risiko mortilitas dan mobbiditas 50% lebih besar daripada bayi yang lahir dari ibu usia >18 tahun
  • Bayi lahir prematur, BBLR, perdarahan persalinan dan komplikasi kehamilan lainnya.

Aspek Sosial:

  • Kekerasan dalam rumah tangga
  • Pemberian pola asuh tidak tepat pada anak.
  • Perkawinan anak usia kurang dari 18 tahun sering menyebabkan ketidaksiapan mental sehingga banyak risiko yang akan dihadapi.
  • Mengalami tingkat stres tinggi karena tidak siap punya anak

Aspek Pendidikan

  • Membuat anak putus sekolah yang menghilangkan haknya untuk mendapat pendidikan
  • Menghilangkan hak untuk memperoleh kesempatan yang lebih luas dalam bekerja
  • Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.

Aspek ekonomi

  • Pendidikan rendah berkorelasi dengan pendapatan yang rendah pula.
  • Adanya beban baru untuk menafkahi keluarga, perkawinan anak meningkatkan risiko naiknya pekerja anak
  • Menimbulkan risiko tinggi kemiskinan, tidak hanya pada generasi tersebut, tapi generasi berikutnya.

Aspek hukum

  • Bertentangan dengan komitmen negara, yaitu UUD 1945, Ratifikasi konvensi hak anak UU no 23 tahun 2002, UU No 35 tahun 2014.
  • Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak
  • Berarti juga pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), karena hak anak bagian dari HAM.

Aspek agama

  • Perkawinan di usia anak, sebagian besar akibat diawali adanya perzinaan, yang diharamkan oleh agama karena menentang larangan Allah. 
  • Perbuatan zina merupakan perbuatan kejahatan terhadap manusia yang dapat merancukan nasab dan merusak keturunan.
  • Tujuan perkawinan sulit dicapai karena masih rentan dalam ketidak pahaman akan hak dan kewajiban sebagai suami-istri.
  • Hukum Islam menganjurkan dalam melaksanakan pernikahan, kedua calon harus akil baligh (dewasa dan berakal).  Maka ketika menikah dalam usia masih anak, rawan pelanggaran terhadap hukum agama.

Beberapa peran yang dapat dimainkan untuk mencegah perkawinan di usia anak, adalah:



Keluarga dan orang tua

Alasan lain mengapa perkawinan anak masih tinggi di Indonesia adalah karena ketakutan masyarakat terhadap perzinaan. Adanya kelompok yang menciptakan gerakan mendukung perkawinan anak, dengan alasan melindungi anak dari dosa perzinaan. Sehingga banyak orang tua meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka meskipun belum cukup umur adalah karena mereka khawatir anak-anak mereka akan melakukan perzinaan, terutama ketika anak-anak mereka mulai memiliki pacar. Kondisi seperti ini mengharuskan orang tua untuk memberikan edukasi tentang perlunya menjaga jarak dengan lawan jenis dan memberikan pengawasan ekstra terhadap kegiatan anak-anaknya. Dalam hal ini orang tua dan keluarga tidak boleh lengah.

Pesantren

Peran Bu Nyai (istri kiai yang memimpin suatu pesantren) bisa menjadi orang yang pasang badan ketika berhadapan dengan kultur dan orang tua yang memaksa anak untuk kawin.Ibu Nyai dapat bernegosiasi dengan orang tua di setiap semester, ketika mereka datang untuk menjemput anaknya dari pesantren. Ketika mereka menjemput, Ibu Nyai bisa curiga bahwa “pasti anak akan dikawinkan.” Ibu Nyai tidak saja bernegosiasi dengan orang tua, tetapi juga dengan komunitas masyarakat dimana orang tua berada, yang mengkondisikan kawin anak itu. Akan tetapi biasanya di akhir negosiasi, jika si Ibu Nyai “kalah”, Beliau akan mengijinkan anak dijemput untuk dikawinkan, tetapi mendesak supaya anak diijinkan kembali lagi untuk menyelesaikan pendidikannya. Artinya sang anak tetap bisa melanjutkan sekolah. Ini masih lebih baik karena biasanya masalah utama yang dihadapi anak yang dikawinkan muda itu adalah mereka jadi berhenti sekolah.

Guru

Guru dapat menjadi ujung tombak sosialisasi buruknya dampak perkawinan anak. Anak didik diberikan pemahaman efek negatif perkawinan di usia anak. Guru bisa menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua siswa dalam ikhtiar agar si anak didik tidak menikah pada usia anak.

Penyuluh agama

Ia dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa anak harus diberikan pengetahuan bahwa berhubungan seksual dapat menyebabkan mereka hamil dan dipaksa untuk menikahi pasangannya. Masyarakat harus tahu bahwa kehamilan dini akan meningkatkan kemungkinan mereka meninggal dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki kehamilan di usia 20-an. Masyarakat harus tahu dampak buruk perkawinan di usia anak. Masyarakat harus tahu bahwa bekal pernikahan bukan hanya kemampuan seorang perempuan mengurus sektor domistik (rumah tangga dan perdapuran). Masyarakat harus tahu alasan mengapa seks bebas harus dihindari? Serta Mengapa generasi bangsa harus berakhlaq karimah dan berkepribadian sehat.

Tenaga kesehatan

Memberikan informasi kesehatan reproduksi secara tepat. Dalam hal ini tenaga kesehatan bisa bekerjasama dengan penyuluh agama dan guru untuk melakukan sosialisasi di sekolah dan masyarakat. Tenaga kesehatan berperan serta dalam memberikan penyuluhan pada remaja dan orangtua mengenai pentingnya mencegah terjadinya pernikahan di usia anak serta membantu orang tua untuk dapat memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak sesuai tahapan usianya. Tenaga kesehatan juga berperan membantu remaja untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi juga alat kontrasepsi, menilai kemampuan orang tua berusia remaja dalam mengasuh anak untuk mencegah terjadinya penelantaran atau perlakuan salah pada anak, serta berpartisipasi dalam masyarakat untuk mencegah terjadinya pernikahan di usia anak.

Pemerintah

Menyediakan pendidikan formal, menaikkan batas usia minimum menikah bagi perempuan menjadi 19 tahun. Hal ini dapat memberikan lebih banyak kesempatan bagi anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan minimal sampai dengan SLTA sebelum mereka menikah. Riset menunjukkan pentingnya pendidikan tinggi dalam mencegah perkawinan anak. Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan maka jumlah perkawinan anak akan berkurang. Sinergi pemerintah dari pusat sampai ke daerah dalam program gerakan bersama pencegahan perkawinan anak, dengan melibatkan 17 kementerian/lembaga, pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten/kota, termasiuk lembaga masyarakat yang selama ini bermitra, komunitas-komunitas, dunia usaha, dan tokoh agama.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Menghargai Setiap Tetes: Kajian Holistik tentang Penggunaan Air secara Bijaksana untuk Masa Depan Berkelanjutan."

Latar Belakang Penggunaan air yang berlebihan dalam kegiatan sehari-hari menjadi perhatian utama penulis, terutama dalam aktivitas seperti b...