Hidup
ini sesungguhnya bukan hanya soal perut. Seorang Muslim, seperti dicontohkan
Khalifah Umar, tidak boleh teperdaya oleh kenikmatan sesaat yang bersifat
duniawi, tetapi ia harus selalu ingat tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu
kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa pada
suatu hari, Khalid bin Walid menyuguhkan makanan kepada Khalifah Umar bin
Khattab. ''Makanan ini untukku?'' tanya Umar. ''Mana makanan untuk orang-orang
miskin dan kaum Muhajirin yang acap kali mati kelaparan,'' tanya Umar lagi. ''Mereka
mendapat surga tuan,'' jawab Khalid. "Kalau mereka mendapat surga,
sedangkan kita hanya mendapat makanan ini, mereka sungguh lebih beruntung
daripada kita,'' tegas Umar.
dalam
hadits dijelaskan bahwa perut adalah “wadah terburuk” yang diisi.
ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه
“Tidaklah
anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk yaitu perut. Cukuplah bagi anak Adam
memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus
(melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga
untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas” [HR At-Tirmidzi (2380), Ibnu Majah (3349), Ahmad (4/132), dan
lain-lain. Dan hadits ini di-shahih-kan olehAl-Albani dalam As-Silsilah
Ash-Shahihah (2265)]
Imam
Na-Nawawi rahimahullah berkata,
مع أن قلة الأكل من محاسن أخلاق الرجل ، وكثرة الأكل بضده
“Sedikit
makan merupakan kemuliaan akhlak seseorang dan banyak makan adalah lawannya.”
[Syarh Muslim lin Nawawi 14/25]
Untuk
mencapai kemuliaan, seorang Muslim, seperti ditunjukkan Umar tadi, harus mampu
menjaga dan mengendalikan perutnya, karena secara rohani perut merupakan salah
satu organ tubuh yang paling sulit dikendalikan. Ia paling banyak menuntut,
memakan biaya besar, dan sangat berbahaya karena ia merupakan sumber lahirnya
keinginan-keinginan buruk (syahwat).
Dalam
kitab Minhaj al-'Abidin, Imam Ghazali mengingatkan agar seorang Muslim mampu
menjaga perutnya, terutama dari dua hal ini. Pertama, dari semua perkara yang
haram dan syubhat. Kedua, dari berfoya-foya atau berpuas-puas diri meskipun
dari perkara yang halal.
Larangan pertama harus dijauhi, Dalam Islam pemakan barang haram diancam dua keburukan besar. Pertama, siksa api neraka. Firman Allah:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ
الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا ࣖ
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).
(Q.S. 4:An-Nisa’, 10)
Kedua, ibadah dan kebaikannya tertolak (mathrud). Pemakan barang haram, karena kotor tak mungkin mendapat ridha Tuhan, meski ia beribadah siang dan malam. Sabda Rasulullah SAW, ''Siapa makan barang haram, maka Allah tidak akan menerima semua ibadahnya, wajib maupun sunat.'' (RH Dailami).
Larangan kedua, berfoya-foya atau berpuas-puas diri harus pula dijauhi karena hal ini mengandung keburukan-keburukan yang amat banyak. Ibarat tanaman, kalau terendam banjir, ia pasti mati. Imam Ghazali menyebutkan sepuluh keburukan. Di antaranya: hati menjadi keras dan mati; Cenderung melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah; Cenderung malas beribadah, karena terlalu kenyang, ia menjadi berat hati dan malas melakukan kebaikan-kebaikan; Ia bakal tercekal dalam pemeriksaan amal di akhirat, lantaran semua harta yang dimiliki harus diregistrasi ulang dan diaudit secara transparan. Jadi, ia tidak akan bisa lari dari hisab dan azab.
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم،
ويضعف عن العبادة
“Karena
kekenyangan (memuaskan nafsu perut dan mulut) membuat badan menjadi berat, hati
menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk
beribadah.”
[
Siyar A’lam An-Nubala 8/248, Darul hadits, Koiro, 1427 H, syamilah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar