TEORI-TEORI KEBENARAN
(KORESPONDENSI, KOHERENSI & PRAGMATIS)
oleh : alfiatu solikah
A.
Pendahuluan
Pendidikan
pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk
menemukan, mengembangkan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang berhasrat untuk mencintai kebenaran,
bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam
kehidupan manusia, sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang
lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia.
Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu? Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan
pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang, belum tentu
benar bagi orang lain. Karena itu kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan
yang benar.
Jika manusia mengerti dan
memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran
itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan
kebenaran tersebut, manusia akan mengalami pertentangan batin / konflik psikologis. Menurut para
ahli filsafat,
kebenaran itu bertingkat-tingkat
bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di
bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada
kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran Illahi, ada kebenaran
khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
Dalam kehidupan ini, kita
selalu berharap mendapatkan, menjalani, dan meyakini “kebenaran”. Sebab
“kebenaran”lah yang dapat mengantarkan seseorang mencapai keselamatan dalam
hidup. Tanpa kebenaran, kita berada di antara ketidakjelasan kehidupan. Dan
ketika seseorang berada dalam ketidakjelasan, hidupnya tidak akan pernah aman,
selalu saja ada hal-hal yang dapat menimbulkan ketakutan dalam hidupnya.
Dalam logika sederhana,
kebenaran merupakan prinsip dalam hidup yang sangat layak untuk diyakini. Meski
kebenaran yang kita pegang bukanlah kebenaran mutlak (absolut) tetapi
setidaknya kita selalu berharap mendapatkan kebenaran. Dan kebenaran yang kita
yakini bukan saja menjadi pegangan dalam hidup, tetapi lebih dari itu dapat
menjadi way of life atau tata cara bagaimana seseorang menjalankan
kehidupannya.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan
tingkatan kebenaran itu dibagi
menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang
paling sederhana dan pertama yang dialami manusia
2.
Tingkatan ilmiah,
pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan
rasio
3. Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan
yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber
dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan
iman dan kepercayaan.[1]
Manusia selalu mencari
kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya
terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenaran, tanpa memperhatikan konflik kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik psikologis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang
dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang
selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
B.
Teori
Kebenaran Korespondensi
Teori
yang pertama ialah Teori Korespondensi, The Correspondence Theory of Truth, yang
kadangkala disebut The Accordance
Theory of Truth. Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan
benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh
suatu pernyataan atau pendapat dengan obyek
yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut.[2]
Dengan demikian, kebenaran epistimologis adalah
kemanunggalan antara subyek dan obyek. Pengetahuan dikatakan benar apabila
didalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional dan pasif aktif
terdapat kesesuaian antara apa yang ada dalam pengetahuan subyek dengan apa
yang ada didalam obyek.[3]
Hal itu karena
puncak dari proses kognitif manusia terdapat didalam budi dan pikiran manusia
(intelectus), maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat didalam
pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada didalam objek.[4]
a
proposition (or meaning) is true if there is a fact to which it corresponds, if
it expresses hat is the case.
[Suatu
proposisi atau pengertian adalah benar jika terdapat suatu fakta yang selaras
dengan kenyataannya, atau jika ia menyatakan apa adanya].[5]
"Truth
is that which conforms to fact; which agrees with reality; which corresponds to
the actual situation."
[Kebenaran
adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang beralasan dengan realitas, yang
serasi (corresponds) dengan situasi actual].[6]
Truth is
that which to fact or agrees with actual situation. Truth is the agreement
between the statement of fact and actual fact, or between the judgment and the
environmental situation of which the judgment claims to be an
interpretation."
[Kebenaran ialah suatu yang sesuai dengan
fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah
persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan
fakta aktual; atau antara putusan (Judgment) dengan situasi seputar
(Enviromental situation) yang diberinya intepretasi. [7]
“if a
judgment corresponds with the facts, it is the true; if not, it is false."
[Jika suatu putusan sesuai
dengan fakta, maka dapat dikatakan benar ; Jika tidak maka dapat dikatakan
salah].
Teori korespondensi ini sering dianut oleh
realisme/empirisme.
K. Rogers, adalah seorang orang penganut realisme kritis
Amerika, yang berpendapat bahwa : keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian
antara "esensi atau arti yang kita berikan" dengan "esensi yang
terdapat didalam obyeknya".[8]
"Epistemological
realism.The view that there is an independent reality apart from minds, and we
do not change it when we come to experience or to know it; sometimes called
objectivism"
[Realisme
epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independence (tidak
tergantung), yang terlepas dari pemikiran ; dan
kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahami. Itulah
sebabnya realisme epitemologis kadangkala disebut obyektivisme]. Dengan
perkataan lain: realisme epistemologis atau obyektivisme
berpegang
kepada kemandirian sebuah kenyataan tidak tergantung pada yang di luarnya.[9]
Jika sensasi kita,
persepsi kita, pemahaman kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan
realitas obyektif, dan jika itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita
katakan itu semua benar : pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut
kebenaran.
Materialisme dialektika memahamkan kebenaran
sebagai pengetahuan tentang sesuatu obyek, yang mencerminkan obyek tersebut
secara tepat, dengan perkataan lain, bersesuaian dengan obyek yang dimaksud.
misalnya pengertian ilmiah bahwa "tubuh terdiri dari
atom-atom"' bahwa "Bumi lebih dahulu ada dari pada manusia",
bahwa "rakyat adalah pembuat sejarah", dan lain sebagainya, adalah
benar
In
contrast to idealism, dialectical materialism maintains that truth is
objective. Since truth reflects the objectively existing word, its content does
not depend on man’s consciousness.Objective truth, LENIN Wrote, is the content
of our knowledge, which neither on mans, nor on mankind. The content of truth
is fully determined by the objective process it reflects
Berlawanan
dengan idealisme, maka meterialisme dialektika mempertahankan bahwa kebenaran
adalah obeyektif. Selama kebenaran mencerminkan dunia wujud secara obyektif,
maka wujudnya itu tergantung pada kesadaran manusia. Kebenaran obyektif, tulis
Lenin, adalah kandungan pengetahuan kita yang tidak tergantung, baik kepada
manusia maupun kepada kemanusiaan. Kandungan kebenaran sepenuhnya ditentukan
oleh proses abyektif yang tercerminkannya.[10]
Lenin Menulis:
"From
live contemplation to abstract thinking and from that to practice, such is the
dialectical process of cognizing the truth, of cognizing objective reality.
[Dari
renungan yang hidup menuju ke pemikiran yang abstrak, dan dari situ menuju
praktek, demikianlah proses dialektis tentang pengenalan atas kebenaran, atas
realitas obyektif].
Selajunya
kaum marxist mengenal dua macam kebenaran, yaitu (a) kebenaran mutlak dan (b)
kebenaran relatif]
"Absolute
truth is objective truth in its entirety, an absolutely exact reflection of
reality"
[Kebenaran mutlak ialah kebenaran yang
selengkapnya obyektif, yaitu suatu pencerminan dari realitas secara pasti
mutlak]
"
Relative truth is incomplete correspondence of knowledge to reality. Lenin
called this truth the relatively true reflection of an object which is
independent of man"
[Kebenaran relatif adalah pengetahuan mengenai
realitas
yang kesesuaianya tidak lengkap, tidak sempurna. Menurut Lenin, kebenaran
relatif adalah pencerminan dari obyek yang relatif benar, yang terbatas dari
manusia].
"Every
truth is objective truth”
[setiap
kebenaran adalah kebenaran yang obyektif].
"Relative
truth is imperfect, incomplete truth.
[kebenaran relatif adalah kebenaran yang tidak
sempurna, tidak lengkap]
Mengenai Teori Korespondensi tentang kebenaran
dapat disimpulkan sebagai berikut :
Kita
mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan dan kedua keyataan. Menurut teori
ini kebenartan iaah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
kenyataan sesuatu sendiri.
Sebagai contoh dapat dikemukakan :
"Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur sekarang" ini adalah
sebuah pernyataan; dan apabila kenyataannya memang Surabaya adalah Ibu Kota
Provinsi Jawa Timur ", pernyataan itu benar, maka pernyataan itu adalah
suatu kebenaran. Rumusan
teori korespondensi tentang kebenaran itu bermula dari Aristoteles, dan disebut teori penggambaran yang definisinya
berbunyi sebagai berikut : [kebenaran
adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan].[11]
Teori Corespondence : Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah
perbandingan antara realita obyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korespondensi (corespondence theory of truth) : menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan itu benar terbukti bila ada kesesuaian
antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang
dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan
fakta, yang berselaras dengan
realitas yang serasi dengan situasi
aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1.
Statement (pernyataan)
2.
Persesuaian (agreemant)
3.
Situasi (situation)
4.
Kenyataan (realitas)
5.
Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality
(kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis.
Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu
Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad
moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu
logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah
ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah
pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu.
Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar
bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus
mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu.
Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam
kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi
tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku
harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek,
nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
Teori kebenaran
korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah
benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam
atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan
dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu
fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan
dengan teori-teori empiris pengetahuan.
Contoh 1 :
Jika seseorang mengatakan bahwa, “IAIN Sunan Ampel berada di Surabaya” maka pernyataan tersebut adalah benar, sebab pernyataan
itu dengan sesuai objek yang bersifat faktual yakni Surabaya, memang kota di mana IAIN Sunan Ampel berada. Apabila ada orang lain yang menyatakan bahwa “IAIN Sunan Ampel berada di Kabupaten Jombang,” maka pernyataan itu adalah tidak benar, sebab tidak
terdapat objek yang benar dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini, maka
secara faktual, “IAIN Sunan Ampel bukan berada Kabupaten Jombang, melainkan di Surabaya.”
Contoh 2 : Pertemuan antara air asin & air tawar
tanpa bercampur baur.
53. Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang
mengalir (berdampingan) ; yang
ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahi ; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan
batas yang menghalangi. (Q.S. Al Furqon 25 : 53)[12]
Tanda kekuasaan Allah antara lain, yaitu Dialah yang
membiarkan dua laut mengalir berdampingan, yang ini tawar lagi segar dan yang
lain asin lagi pahit, seperti yang terjadi di muara sungai-sungai besar, tetapi
anehnya walaupun berdekatan rasa airnya tidak bercampur seolah-olah ada dinding
yang membatasi diantara keduanya, sehingga yang satu tidak merusak rasa yang
lainnya. Walaupun menurut pandangan mata kedua lautan itu bercampur, namun pada
kenyataannya yang tawar terpisah dari yang asin dengan kekuasaan Allah SWT
seperti dalam firman-Nya:
Artinya:
19. Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, 20. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.(Q.S. Ar Rahman: 19-20)[13]
19. Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, 20. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.(Q.S. Ar Rahman: 19-20)[13]
Di antara ahli Tafsir ada yang berpendapat
bahwa la yabghiyan maksudnya masing-masingnya tidak menghendaki. Dengan
demikian maksud ayat 19-20 ialah bahwa ada dua laut yang keduanya tercerai
karena dibatasi oleh tanah genting, tetapi tanah genting itu tidaklah
dikehendaki (tidak diperlukan) maka pada akhirnya, tanah genting itu dibuang
(digali untuk keperluan lalu lintas), maka bertemulah dua lautan itu. Seperti
terusan Suez dan terusan Panama.
Jadi berdasarkan ayat dan
penjelasan diatas, pernyataan bahwa
Pertemuan antara air asin & air tawar tanpa bercampur baur adalah
benar karena berkorespondensi terhadap
fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan
tersebut.
C.
Teori
Kebenaran Consistency / Koherensi
Teori
yang kedua adalah Teori Konsistensi. The
Consistence Theory Of Truth, yang sering disebut dengan The coherence Theory Of
Truth. " According to this theory truth is not
constituted by the relation between a judgment and something else, a fact or
really, but by relations between judgment themselves "
[Menurut
teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment)
dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan
antara putusan-putusan itu sendiri][14]
.
Dengan demikian, kebenaran ditegakkan atas
hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah
kita ketahui dan akui benarnya terlebih dahulu.
Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar
jika proposisi itu coherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang benar,
atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan
pengalaman kita.[15]
" A
belief is true not because it agrees with fact but because it agrees, that is
to say, harmonizes, with the body knowledge that we presses”
[Suatu
kepercayaan adalah benar, bukan karena bersesuaian dengan fakta, melainkan
bersesuaian/selaras dengan pengetahuan yang kita miliki]
"It
the maintained that when we accept new belief as truths it is on the basis of
the manner in witch they cohere with knowledge we already posses”
[Jika
kita menerima kepercayan-kepercayaan baru sebagai kebenaran-kebenaran, maka hal
itu semata-mata atas dasar kepercayaan itu saling berhubungan [cohere] dengan
pengetahuan yang kita miliki][16]
“A
judgment is true it if consistent with other judgment that are accepted or know
to be true. True judgment is logically coherent with other relevance judgment”
suatu
putusan adalah benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang
terlebih dahulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar
adalah suatu putusan yang saling berhubungan secara logis dengan
putusan-putusan lainnya yang relevance][17]
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu
dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama
lainnya. "The truth is systematic coherence [Kebenaran adalah saling hubungan yang
sistematik]" Truth is consistency” [kebenaran
adalah konsistensi, selaras, kecocokan].
Selanjutnya
teori konsistensi/koherensi ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Kebenaran adalah kesesuaian antara suatu
pernyataan dengan pernyataan lainnya yang lebih dahulu kita ketahui akui/
terima/ akui kebenarannya.
2.
Teori ini agaknya dapat juga dinamakan teori justifikasi
tentang kebenaran, karena menurut teori ini suatu putusan dianggap benar
apabila mendapat justifikasi putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah
dikatahu kebenarannya. [18]
Contoh 1 :
Seluruh mahasiswa Pasca STAIN Kediri mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu. Charis adalah mahasiswa Pasca STAIN Kediri. Charis harus mengikuti kegiatan
perkuliahan Filsafat Ilmu.
Contoh 2 : Zina adalah perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk.
32. Dan janganlah kamu mendekati zina ; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.[19]
Allah SWT melarang para hamba Nya mendekati
perbuatan zina. Yang dimaksud mendekati perbuatan zina ialah melakukan zina
itu. Larangan melakukan zina diungkapkan dengan mendekati zina, tetapi termasuk
pula semua tindakan yang merangsang seseorang melakukan zina itu. Ungkapan
semacam ini untuk memberikan kesan yang tandas bagi seseorang, bahwa jika
mendekati perbuatan zina itu saja sudah terlarang, apa lagi melakukannya.
Dengan pengungkapan seperti ini, seseorang akan dapat memahami bahwa larangan
melakukan zina adalah larangan yang keras, oleh karenanya zina itu benar-benar
harus dijauhi.
Yang dimaksud dengan
perbuatan zina dalam ayat ini ialah hubungan kelamin yang dilakukan oleh pria
dengan wanita di luar pernikahan, baik pria ataupun wanita itu sudah pernah
melakukan hubungan kelamin yang sah, ataupun belum di luar ikatan perkawinan
yang sah dan bukan karena sebab kekeliruan.
Sesudah itu Allah memberikan alasan mengapa
zina itu dilarang. Alasan yang disebut di akhir ayat ini ialah karena zina itu
benar-benar perbuatan yang keji yang mengakibatkan kerusakan yang banyak, di
antaranya:
1.
Mencampur-adukkan keturunan, yang mengakibatkan seseorang
akan menjadi ragu-ragu terhadap anaknya, apakah anak yang lahir itu
keturunannya atau hasil perzinaan. Dugaan suami bahwa istrinya berzina dengan
laki-laki lain, mengakibatkan timbulnya kesulitan-kesulitan, kesulitan dalam
pendidikannya dan kedudukan hukumnya. Keadaan serupa itu menyebabkan
terhambatnya kelangsungan keturunan dan menghancurkan tata kemasyarakatan.
2.
Menimbulkan keguncangan dan kegelisahan di
antara anggota masyarakat, karena tidak terpeliharanya kehormatan. Betapa
banyaknya pembunuhan yang terjadi dalam masyakakat yang disebabkan karena
kelancangan anggota masyakakat itu melakukan zina.
3.
Merusak ketenangan hidup berumah tangga.
Seorang wanita yang telah berbuat zina ternodalah nama baiknya di tengah-tengah
masyarakat. Maka ketenangan hidup berumah tangga tidak akan pernah terjelma,
dan retaklah hubungan kasih sayang antara suami istri.
4.
Menghancurkan rumah tangga. Istri bukanlah semata-mata
sebagai pemuas hawa nafsu, akan tetapi sebagai teman hidup dalam berumah tangga
dan dalam membina kesejahteraan berumah tangga. Oleh sebab itu, maka apabila
suami adalah sebagai penanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga,
maka si istri adalah sebagai penanggung jawab dalam memeliharanya, baik harta
maupun anak-anak dan ketertiban rumah tangga itu. Jadi
jika si istri ternoda karena kelakuan zina, kehancuran rumah tangga itu sukar
untuk dielakkan lagi.
Secara singkat dapat
dikemukakan, bahwa perbuatan zina, adalah perbuatan yang sangat keji, yang
bukan saja menyebabkan pencampur adukan keturunan, menimbulkan keguncangan dan
kegelisahan dalam masyarakat, merusak ketenangan hidup berumah tangga dan
menghancurkan rumah tangga itu sendiri akan tetapi juga merendahkan martabat
manusia itu sendiri karena sukar sekali membedakan antara manusia dan binatang,
jikalau perbuatan itu dibiarkan merajalela di tengah-tengah masyarakat.
Jadi pernyataan : “Zina
adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”, adalah benar karena
sesuai dengan firman Allah dalam Al Israa’ ayat 32 dan mendapat justifikasi
putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah dikatahui kebenarannya.
D.
Teori
Kebenaran Pragmatis
Teori
ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist]
theory of truth. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang
dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama
William James di Amerika Serikat. Menurut
filsafat ini dinyatakan, bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori
semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat.[20]
Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat
yang memuaskan, jika
membawa akibat yang memuaskan, dan jika berlaku dalam praktik, serta memiliki
nilai
praktis, maka dapat dinyatakan benar dan memiliki nilai kebenaran.
Kebenaran terbukti oleh kegunannya, dan
akibat-akibat praktisnya. Sehingga kebenaran dinyatakan sebagai segala sesuatu
yang berlaku.
Menurut William James “ ide-ide yang benar
ialah ide-ide yang dapat kita serasikan, jika kita umumkan berlakunya, kita
kuatkan dan kita periksa.
Menurut penganut praktis, sebuah kebenaran
dimaknakan jika memiliki nilai kegunaan [utility] dapat dikerjakan
[workability], akibat atau pengaruhnya yang memuaskan [satisfactory
consequence].
Dinyatakan
sebuah kebenaran itu jika memiliki
“hasil yang memuaskan “[satisfactory result], bila :
1)
Sesuatu yang benar jika memuaskan keinginan dan
tujuan manusia
2)
Sesuatu yang benar jika dapat diuji benar dengan
eksperimen
3)
Sesuatu yang benar jika mendorong atau membantu
perjuangan biologis untuk tetap ada.[21]
Pragmatisme menguji
kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving di dalam
pengajaran. Mereka benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem
yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia
di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan.
Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam
keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan
tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan,
suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan
mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis,
mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara
efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the
pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu
memliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan
manusia.
Kaum pragmatis menggunakan
kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility)
dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada
kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya.
Akibat/ hasil yang
memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap
eksis (ada)
Teori ini merupakan
sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalah Charles S. Pierce
(1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya
menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil
tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide
itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori
korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita
(teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam
program solving.
Contoh : Khamar
dan judi adalah dosa dan banyak
madharatnya.
219.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". ......... (QS Al
Baqarah : 219)[22]
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah diterangkan
sebab turun ayat ini sebagai berikut: Ketika Rasulullah telah berada di Madinah
didapatinya para sahabat ada yang meminum khamar dan berjudi, sebab hal itu
sudah menjadi kebiasaan mereka sejak nenek moyang mereka. Lalu para sahabat bertanya
kepada Rasulullah mengenai hukumnya. Maka turunlah ayat ini. Mereka memahami
dari ayat-ayat ini bahwa minum khamar dan berjudi itu tidak diharamkan oleh
agama Islam, melainkan hanya dikatakan bahwa bahayanya lebih besar. Lalu mereka
masih terus meminum khamar. Ketika waktu salat Magrib, tampillah Juhdi, seorang
Muhajirin menjadi imam. Di dalam salat, bacaannya banyak yang salah karena dia
sedang mabuk sesudah minum khamar, maka turunlah firman Allah yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا
تَقُولُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (An Nisa': 43)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (An Nisa': 43)
Sesudah turun ayat yang tegas ini, maka turun
lagi ayat yang lebih tegas lagi yang menyuruh mereka berhenti sama sekali dari meminum khamar :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (91)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka maukah kamu berhenti (dan mengerjakan pekerjaan itu)." (Q.S Al Ma'idah: 90-91)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka maukah kamu berhenti (dan mengerjakan pekerjaan itu)." (Q.S Al Ma'idah: 90-91)
Sesudah selesai turunnya ayat-ayat yang lebih tegas ini, mereka berkata:
"Ya Tuhan kami, pasti kami berhenti minum khamar dan berjudi." Larangan minum khamar
diturunkan secara berangsur-angsur. Sebab minum khamar itu bagi orang Arab
sudah menjadi adat kebiasaan yang mendarah daging semenjak zaman jahiliah.
Kalau dilarang sekaligus, dikhawatirkan akan sangat memberatkan bagi mereka.
Mula-mula dikatakan bahwa dosanya besar, kemudian dikatakan orang mabuk tidak
boleh mengerjakan salat dan terakhir dikatakan bahwa minum khamar itu adalah
keji dan termasuk perbuatan setan. Kemudian mereka dicela dengan mengatakan:
"Apakah kamu belum mau juga berhenti meminumnya?" Tegasnya minum
khamar dan main judi itu dilarang, haram hukumnya.
Yang dimaksud dengan khamar menurut pendapat Jumhur ulama ialah semua
minuman yang memabukkan, walaupun dari apa saja. Jadi meminum apa saja yang
memabukkan, hukumnya haram, baik sedikit atau pun banyak. Semua ahli kesehatan
sudah sependapat, baik dahulu maupun sekarang, bahwa minum khamar itu banyak
sekali bahayanya. Allah tidak akan melarang sesuatu, kalau tidak berbahaya bagi
manusia.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa minum khamar itu berbahaya bagi
kesehatan badan, merusak lambung dan jantung serta lain-lainnya, yang berupa
penyakit dalam. Berbahaya bagi akal pikiran dan urat-urat syaraf. Berbahaya
bagi harta benda dan keluarga. Minum khamar sama dengan menghisap candu, dan
menimbulkan ketagihan. Seseorang yang telah ketagihan minum khamar, baginya
tidak ada nilai harta benda, berapa saja harga khamar itu akan dibelinya, agar
ketagihannya terpenuhi.
Kalau sudah demikian, maka khamar itu membahayakan pergaulan dan
masyarakat, menimbulkan permusuhan, perkelahian dan sebagainya. Rumah akan
kacau, tetangga tak aman dan masyarakat akan rusak, lantaran khamar. Akan
terlihatlah manusia yang mabuk-mabukan, yang mengganggu keamanan dan
ketertiban.
Penyakit minum khamar erat sekali hubungannya dengan perbuatan zina.
Seseorang yang sudah mabuk, tidak akan malu-malu berzina ditempat-tempat
maksiat seperti night club, bar dan lain-lain. Kedua perbuatan mesum itu biasa
disatukan tempatnya. Bila nafsu seksnya sudah dirangsang karena minum khamar,
maka mudahlah ia untuk berzina ditempat-tempat maksiat itu. Maka bahaya minum
khamar akan lebih besar lagi kalau sudah bercampur dengan zina. Bukan saja
menghambur-hamburkan harta dan berfoya-foya memperturutkan hawa nafsu, tapi
akan tersebarlah segala macam penyakit kelamin, akan lahirlah anak-anak tanpa
bapak yang sah, serta pembunuhan bayi-bayi yang tidak bersalah. Pekerjaan seperti
ini sudah merupakan perbuatan yang terkutuk yang tidak berperikemanusiaan,
perbuatan keji yang lebih keji dari perbuatan hewan.
Sebagaimana halnya minum khamar, begitu juga main judi, Allah melarang
main judi sebab bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
Yang dimaksud main judi di sini ialah semua permainan yang mengadakan
pertaruhan yang kalah harus membayar kepada yang menang. Taruhan itu berupa apa
saja, uang, barang-barang dan lain-lain.
Bahaya main judi tidak kurang dari bahaya minum khamar. Main judi cepat
sekali menimbulkan permusuhan dan kemarahan, dan tidak jarang pula menimbulkan
pembunuhan. Bahaya itu sudah terbukti sejak dahulu sampai sekarang. Bilamana di
suatu tempat telah berjangkit perjudian, maka di tempat itu selalu terjadi perselisihan,
permusuhan dan pembunuhan. Pekerjaan nekad, kerap kali terjadi pada
pemain-pemain judi, seperti membunuh diri, merampok dan lain-lain, lebih-lebih
bila ia mengalami kekalahan.
Judi
adalah perbuatan berbahaya, karena akibat berjudi, seseorang yang baik dapat
menjadi jahat, seseorang yang taat dapat menjadi jahil, malas mengerjakan
ibadat, terjauh hatinya dari mengingat Allah. Dia jadi orang pemalas,
pemarah, matanya merah, badannya lemas dan lesu. Dengan sendirinya akhlaknya
rusak, tidak mau bekerja untuk mencari rezeki dengan jalan yang baik, selalu
mengharap-harap kalau-kalau mendapat kemenangan. Dalam sejarah perjudian, tidak
ada orang yang kaya karena berjudi. Malahan sebaliknya yang terjadi. Banyak
orang-orang kaya tiba-tiba jatuh miskin dan melarat karena berjudi. Banyak pula
rumah tangga yang aman bahagia, tiba-tiba hancur berantakan karena judi.
Adapun manfaat minum khamar sedikit sekali, boleh dikatakan tidak ada
artinya dibandingkan dengan bahayanya. Misalnya minum khamar, mungkin dapat
menjadi obat, dapat dijadikan perdagangan yang mendatangkan keuntungan, dan
dapat menimbulkan semangat bagi prajurit-prajurit yang akan pergi berperang dan
lain-lain. Tapi semua itu bukanlah manfaat yang berarti. Begitu juga berjudi
dapat menolong orang miskin kalau yang menang itu orang yang dermawan, cepat
mendapat keuntungan tanpa susah payah. Tapi semuanya itu juga tidak ada artinya,
dan tidak ada berkatnya.
Tentang bahaya-bahaya minum khamar dan main judi, dan apa yang akan
diderita oleh peminum khamar dan pemain judi nantinya, selain dijelaskan oleh
Allah swt. dalam Alquran juga banyak diterangkan dalam hadis-hadis Nabi
Muhammad saw.
Jadi pernyataan “Khamar
dan judi adalah dosa dan banyak madharatnya adalah benar karena : dalil/pernyataan itu memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia, dengan penjelasan sedikit manfaat dari minum khomr dan
judi serta beberapa madlorot dari minum khamr & beerjudi.
E. Penutup
Dari uraian diatas, dapat kami simpulkan bahwasanya :
1. Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia
mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksankan kebenaran itu. Di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan
harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia
juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.
2.
Mengenai Teori Korespondensi tentang kebenaran
dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Kita
mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan dan kedua keyataan. Menurut teori
ini kebenaran ialah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
kenyataan sesuatu sendiri.
- Menurut
Aristoteles,
kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan.
- Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat)
dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang
dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu
itu benar.
- Menerangkan
bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan itu
benar terbukti bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan
atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat
tersebut.
- Kebenaran
adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaras dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang
perlu yaitu :
1)
Statement (pernyataan)
2)
Persesuaian (agreemant)
3)
Situasi (situation)
4)
Kenyataan (realitas)
5)
Putusan (judgements)
3.
Teori Kebenaran Consistency / Koherensi :
Kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan
lainnya yang lebih dahulu kita akui/ terima/ ketahui kebenarannya. Teori ini dapat juga dinamakan teori justifikasi tentang
kebenaran, karena menurut teori ini suatu putusan dianggap benar apabila
mendapat justifikasi putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah dikatahu
kebenarannya.
4.
Teori Kebenaran Pragmatis :Teori, hipotesa atau ide
adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, jika membawa
akibat yang memuaskan, dan jika berlaku dalam praktik, serta memiliki nilai
praktis, maka dapat dinyatakan benar dan memiliki nilai kebenaran. Menurut
penganut praktis, dinyatakan sebuah kebenaran itu jika memilki “hasil yang
memuaskan. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu
memecahkan problem yang ada. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar
jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan
kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah. Kaum pragmatis menggunakan
kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility)
dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada
kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya. Akibat/ hasil yang
memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1)
Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2)
Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3) Ikut membantu dan
mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
[1]
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar),119-127
[2]
Louis O. Kattsoff, Unsur-unsur
Filsafat, (Yogyakarta), 246-247.
[3]
Endang Saifudin Anshari, Ilmu,
Filsafat & Agama, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1981), 19-20
[4]
Hardono Hadi, Epistimologi,
Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisius, 1997), 148.
[5]
Charles A. Baylis, Dalam Dagobert D.
Runes (Editeor), Dictionary Philosophy, Article : “Truth”, New Jersey,
1963, 321.
[6]
George Thomas With Patrik, Introduction
to Philosophy, London, 1958, 373-374.
[7]
Endang Saifudin Anshari, Ilmu,
Filsafat & Agama, 112-113.
[8]
L.O. Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat,
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992),
243-244
[9]
Hardono Hadi, Epistimologi,
Filsafat Pengetahuan, 35
[10]
Ahoiliab Watholy, Tanggungjawab
Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisius, 2001), 86
[11]
Soemadi Soerjabrata, Pengantar
Filsafat, Jilid I, (Yogyakarta : Stencilan, 1979), 36.
[12]
Al-Qur’an : 25 (Al Furqon), 53.
[14]
A.C. Ewing, The Fundamentals
Questions Of Philosophy, (New York, 1962), 61.
[15]
L.O. Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat,
238.
[16]
J.H. Randall, Philosophy : An
Introduction, (New York, 1960),
133-134
[17]
Harold H. Titus, Living Issues is
Philosophy : An Introduction Text-book, (New York, 1959), 64.
[18]
Endang Saifudin Anshari, Ilmu,
Filsafat & Agama, 25.
[19]
Al-Qur’an : 17 (Al Israa’), 32.
[20]
Endang Saifudin Anshari, Ilmu,
Filsafat & Agama, 25-26.
[21]
Ibid, 28.
[22]
Al-Qur’an : 2 (Al Baqarah), 219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar