HADIS
DITINJAU DARI SEGI KUALITAS
oleh : alfiatu solikah
Sesuai dengan sejarah perjalanan hadis, ternyata tidak
semua yang disebut dalam hadis itu benar-benar dari Nabi. Apalagi kita
mengetahui bahwa hadis palsu itu memang benar-benar ada.
Pembagian Hadis, ditinjau dari segi kualitas sanadnya
dibagi empat, yaitu :
A.
Hadis Shahih
Yang dimaksud dengan hadis Shahih adalah :
Hadis sahih adalah hadis yang musnad, bersambung sanadnya, dengan
penukilan seorang yang adil dan dlabith dari orang yang adil dan dlabith sampai
akhir sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.[1]
Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak syad & tidak cacat.[2]
“Hadis Shahih yaitu hadis yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi
yang ‘adil dan dhabit dari perawi pertama sampai perawi terakhirnya, tidak
mengandung unsur shad dan illat. Kemudian hadis shahih masih dibedakan menjadi
dua macam, yaitu shahih li dzatihi, jika semua persyaratan diatas telah
terpenuhi seluruhnya. Dan Shahih li ghairihi, jika berawal dari sebuah hadis
yang berstatus hasan, namun jalur sanadnya mempunyai syawahid dan tawabi yang
akhirnya dapat meningkatkan derajatnya dari hasan menjadi shahih li ghairihi.[3]
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa
hadis sahih adalah hadis yang mengandung syarat-syarat berikut ;
1. Hadisnya musnad
2. Sanadnya bersambung
3. Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4. Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)
Penjelasan Definisi :
Ø Musnad, maksudnya hadis tersebut dinisbahkan
kepada nabi saw dengan disertai sanad. Tentang definisi sanad telah disebutkan
di depan.
Ø Sanadnya bersambung, bahwa setiap (periwayat)
dalam sanad mendengar hadis itu secara langsung dari gurunya
Ø Para rawi-nya adil dan dhabith, yaitu setiap
periwayat di dalam sanad itu memiliki sifat adil dan dhabith. Apa yang dimaksud
dengan adil dan dhabith?
1.
Adil adalah
sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri,
serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah.
2.
Dlabith
(akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadis dari gurunya,
sehingga apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia akan mengajarkannya
dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya Dlabith ini ada dua
macam, yaitu :
a)
Dlabith shadr,
yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah didengarnya di
dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang sempurna- sehingga
memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadis itu kapanpun dikehendaki dalam
bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya.
b)
Dlabith kitab,
yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat
hadis atau khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya,
dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan hadisnya,
atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya kesahihannya. Dan ia
memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadis-hadis di
dalam kitab-kitab lainnya.
Ø
Tidak ada
syadz. Syadz secara bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti
hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadis dari
periwayat lain yang lebih kuat darinya. Tentang hadis syadz secara terperinci,
akan dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
Ø
Tidak ada
illah, Di dalam hadis tidak terdapat cacat tersembunyi yang merusak kesahihan
hadis. Tentang hadis mu’allal (cacat) juga akan dibahas dalam bagian tersendiri.[4] Illat maksudnya
menambahkan kata / kalimat untuk
memperjelas hadits {kutipan tidak langsung}.......penjelasan pak ali pada
kuliah 16 juni 2012.
Dari penjelasan defini tersebut dapat disimpulkan
kriteria hadis shahih adalah :
..................hadis shahih itu mengandung unsur
sebagai berikut :
a.
Sanandnya bersambung sejak dari Nabi, Sahabat, hingga
periwayat terakhir.
b.
Periwayatnya orang yang memiliki sifat adil &
dhabith. ‘Adil artinya, periwayat setia mengamalkan ajaran agamanya sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya. Periwayat tidak pernah bohong, apalagi
pembohong. Dhabit artinya periwayat mempunyai hafalan yang kuat, cermat dan
mengetahui ada perubahan periwayatan atau tidaknya. Periwayat tidak pelupa.
c.
Informasi hadisnya tidak syad. Maksudnya informasi yang
terkandung didalamnya tidak bertentangan dengan informasi lain oleh orang-orang
yang lebih berkualitas, atau dalil lain lebih kuat. Sebab sungguh pun sebuah
hadis diriwayatkan oleh orang-orang yang “berkualitas” dan bersambung sanadnya
sehingga hadis itu dapat dikatakan shahih sanadnya, kalau kandungan hadisnya
(matannya) ternyata syadz, maka hadis itu menjadi tidak shahih.
d.
Hadis yang diriwayatkan itu tidak cacat, seperti, tidak
ada pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadis yang sebenarnya memang
tidak bersambung, atau mengatasnamakan dari Nabi, padahal sebenarnya bukan
Nabi.[5]
Para ulama’ hadis berpendapat bahwa hadis yang telah
diteliti riwayatnya ternyata shahih itu tidak boleh ditolak, harus diamalkan
sebagai dalil syara. Hanya saja, terkadang ada juga orang yang terkecoh oleh
keshahihan sanad saja. Setelah mereka memeriksa sanad sebuah hadis dan mendapatkan
sanadnya shahih, segera berkesimpulan bahwa matannya otomatis shahih. Untuk
menetapkan sebuah keshahihan hadis, harus diperiksa dahulu apakah dia syad atau
tidak. Untuk ini peneliti harus mau mencari tahu hadis yang materinya sama
melalui jalur lain atau membandingkannya dengan ajaran al-Qur’an. Dari sana
dapat diketahui syad dan tidaknya hadis yang diteliti.
Contoh Hadis Sahih
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya jilid 4
halaman 18, kitab al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah
menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata;
Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan
dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di
masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka
Hadis tersebut
di atas telah memenuhi persyaratan sebagai hadis sahih, karena :
1.
Ada sanadnya
hingga kepada Rasulullah saw.
2.
Ada
persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin
Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadis dari nabi saw. Sulaiman
bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadis dengan cara
mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadis dengan mendengar dari
ayahnya. Demikian juga guru al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan
telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari rahimahullah
juga menyatakan telah mendengar hadis ini dari gurunya.
3.
Terpenuhi
keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad,
mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang
mengeluarkan hadis, yatu Imam Bukhari
a.
Anas bin Malik
ra, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi saw, dan semua shahabat
dinilai adil.
b.
Sulaiman bin
Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).
c.
Mu’tamir, dia
siqah
d.
Musaddad bin
Masruhad, dia siqah hafid.
e.
Al-Bukhari
–penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia
dinilai sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil
hadis.
4. Hadis ini
tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
5. Hadis ini
tidak ada illah-nya[6]
Dengan demikian jelaslah bahwa hadis tersebut telah memenuhi
syarat-syarat hadis sahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadis ini di
dalam kitabnya ash-Shahih.
Yang pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan hadis nabi adalah
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri al-Madani (rahimahullah).
Shalih bin Kaisan berkata, “Aku berkumpul dengan az-Zuhri ketika
menuntut ilmu, lalu aku katakan, ‘Mari kita menuliskan sunnah-sunnah, lalu kami
menulis khabar (berita) yang datang dari Nabi saw. Kemudian
az-Zuhri mengatakan, ‘Mari kita tulis yang datang dari shahabat, karena ia
termasuk sunnah juga’. Aku katakan, ‘Itu bukan sunnah, sehinga tidak perlu kita
tulis’. Meski demikian az-Zuhri tetap menuliskan berita dari shahabat sedangkan
aku tidak, akhirnya dia berhasil sedangkan aku gagal.”[7]
Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra merasa khawatir akan merosot dan
hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama’ maka ia mengutus kepada Abu
Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dan memerintahkan-nya untuk membukukan
hadis Rasulullah saw seraya berkata; “Lihatlah, apa yang terjadi pada hadis
Rasulullah saw atau sunnah, atau hadis dari ‘Amrah,[8] maka tulislah
karena aku khawatirkan merosotnya ilmu dan hilangnya ulama”.[9]
Ibnu Hazm menjawab, “Pergilah kepada Ibnu Syihab, niscaya Engkau tidak
akan menjumpai seorang pun yang lebih mengetahui sunnah dari pada dia”[10]
Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama Hijriyah. Kemudian
setelah az-Zuhri, di pertengahan abad kedua Hijriyah lahirlah tokoh-tokoh yang membukukan
hadis nabi. ke dalam bab-bab tertentu seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Imam Malik,
Ma’mar, Ibnu al-Mubarak dan lain-lain.
Dan setelah itu pengumpulan dan kodifikasi hadis berlanjut dengan metode
penulisan yang bermacam-macam, seperti musnad, mushannaf, shahih, jami’ dan
mustakhraj. Imam as-Suyuthi, dalam hal ini mengatakan di dalam kitabnya
Alfiyah,[11] Orang pertama
yang mengumpulkan hadis dan atsar adalah Ibnu Syihab atas perintah
‘Umar dan yang pertama-tama mengumpulkan hadis berbab-bab, adalah
sekelompok ulama’ di masa yang tak jauh (setelahnya) Seperti Ibnu
Juraij, Hasyim, Malik, Ma’mar, dan anak (Ibnu) al-Mubarak
Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Sahih
Kemudian setelah generasi mereka muncul imam huffadz dan amirul
mukminin fil hadis, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, beliau mengumpulkan hadis-hadis sahih dalam
satu kitab hadis yang diseleksi dari 100 ribu hadis sahih yang beliau hafalkan.
Disebutkan di dalam suatu riwayat bahwa beliau berkata, “Aku hafal 100
ribu hadis sahih, dan 200 ribu hadis yang tidak sahih”[12]
Adapun gagasan yang membangkitkannya untuk menulis kitab Jami’
ash-Shahih, sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim bin Ma’qal, bahwa ia
mendengar al-Bukhari berkata, “Aku di sisi Ishaq bin Rahawiyah, lalu sebagian
kawan-kawanku berkata, andaikata Engkau mengumpulkan sebuah kitab ringkas
tentang sunnah-sunnah nabi saw, lalu terbetiklah di dalam hatiku keinginan
untuk menuliskannya, lalu aku mengambil keputusan untuk mengumpulkan hadis
shahih di dalam kitab ini”[13]
Kemudian muridnya, dan pengikut metode beliau al-Imam, huffadz
al-Mujawwad, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim bin Ward bin Kausyan
al-Qusyairy an-Naisabury (rahimahullah) mengikuti jejak langkah al-Bukhari. Dia
menuliskan kitab ash-Shahih dalam tempo 15 tahun.[14]
Para ulama’ mendapatkan kedua kitab tersebut dengan sikap menerima, dan
bersepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah al-Qur’an
al-Karim. Imam Nawawi berkata,[15] “Para ulama’
sepakat bahwa kitab paling sahih setelah al-Qur’an al-Aziz adalah kitab Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan
ummat menerima keduanya.” Hanya saja sebagian ulama’, seperti
ad-Daruquthni, Abu Ali al-Ghaisany al-Jiyani, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi, dan Ibnu
Ammar asy-Syahid mengkritik beberapa buah hadis di dalam kedua kitab tersebut. Tetapi
kritikan itupun telah dijawab oleh sejumlah ulama’ seperti an-Nawawy di dalam
Syarh Shahih Muslim, Ibnu Hajar di dalam kitab Hadyu as-Sari dan Fathu al-Bari.
Dan di antara tokoh yang zaman kini adalah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
al-Madkhaly, beliau telah menulis sebuah kitab yang bagus yang berjudul, Baina
al-Imamain Muslim wa ad-Daruquthny. Kitab tersebut berisi pembelaan terhadap Shahih Muslim dari para
pengritiknya.
B. Hadis Hasan
Yang dimaksud dengan hadis
hasan adalah :
Adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih , hanya saja
kualitas dhabth (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang rawinya berada
di bawah kualitas rawi hadis sahih, tetapi hal itu tidak sampai mengeluarkan
hadis tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.
Hadis seperti ini disebut hasan lidzatihi.
Hadis yang bersambung sanadnya dari periwayatan perawi
yang ‘adil & dhabit, tetapi nilai kedhabitannya kurang sempurna serta
selamat dari unsur shududh dan illat.[16]
Penjelasan Definisi
Hadis yang memenuhi syarat
sebagai hadis sahih. Dalam hal ini syarat hadis sahih adalah :
1. Adanya sanad sampai kepada Rasulullah saw.
2. Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah saw.
3. Tiadanya syadz (keganjilan)
4. Tiadanya illah (cacat tersembunyi)
5. Sedangkan syarat dlabth menjadi titik pembeda antara keduanya. Rawi
hadis hasan tingkat dlabthnya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih.
Periwayat hadis hasan biasanya disebut dengan istilah, shaduq (jujur), laa
ba’sa bih (tidak apa-apa), siqah yukhthi’ (terpercaya tetapi banyak kesalahan),
atau shaduq lau awham (jujur tetapi diragukan)
Sebenarnya hadis hasan itu sama dengan hadis shahih,
bedanya kalau didalam hadis shahih semua
periwayat harus sempurna kedhabitannya, maka dalam hadis hasan ada perawi yang
kedhabitannya, kecermatannya atau hafalannya kurang sempurna. Misalnya dalam
deretan sanad hadis terdapat perawi yang didalam riwayat hidupnya didapatkan
informasi bahwa ia kedhabitannya, kecermatannya atau hafalannya pas-pasan. Yang
penting, periwayat tetap tidak bohong.
Istilah hadis hasan dipopulerkan oleh Imam at-Turmudzi.
Alasannya hadis seperti ini tidak pantas disebut dha’if, tetapi kurang tepat
disebut shahih, mengingat semua persyaratan shahih hampir terpenuhi. Hanya
disana ada yang kurang dhabit periwayatnya. At-Turmudzi dalam kitab hadisnya
memberi predikat banyak hadis dengan ucapan “hasan shahih”, sehingga sebagian
ulama’ bertanya-tanya apa yang dimaksud istilah itu. Ada yang membantu
menjawab, predikat “hasan shahih” berarti bila hadis tersebut dilihat dari
jalur periwayatan, ia berpredikat shahih, tetapi dilihat dari jalur lain, ia
berpredikat hasan. Tetapi bila hadis yang berpredikat hasan shahih, itu hanya
ada satu jalur, maka dimaksudkan adalah bila dinilai dengan ukuran ulama’
tertentu ia berpredikat shahih, tetapi bila dilihat dari ulama’ lain, ia
berpredikat hasan.
Menurut para ulama’ hadis hasan dapat naik derajatnya
menjadi shahih karena ada hadis lain yang isinya sama diriwayatkan dari jalur
lain yang kualitasnya tidak lebih rendah. Dengan kata lain, hadis hasan ini
terangkat derajatnya menjadi hadis shahih melalui jalur lain, didalam ilmu
musthalah hadis disebut “shahih li ghairih”. Dengan demikian hadis shahih itu
ada 2 macam : “shahih li dzatihi” (keshahihannya muncul dari dirinya sendiri)
dan “shahih li ghairih”. Dengan demikian hadis hasan yang sendirian, tanpa
dikaitkan dengan jalur lain, disebut “hasan li dzatih”.[17]
Contoh hadis hasan
:
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala
Sunan Ibni Majah (2744) dengan jalan
Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya,
berkata; Rasulullah saw bersabda; “kafirlah orang yang mengaku-aku nasab orang
yang tidak diketahuinya, atau menolak nasab (yang sebenarnya), meskipun samar”
Hadis ini sanadnya hasan.
Di dalam sanad hadis ini terdapat Amr bin Syu’aib bin Muhammad, bin
Abdullah bin Amr bin al-Ash. al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab at-Taqrib
(2/72)
mengatakan, bahwa ia adalah shaduq.
عن محمدبن عمروعن آبى سلمة
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لو ان اشق علي امتي لأمرتهم
بالسواك عند كل صلاة
(Dari Muhammad Ibnu ‘Amr dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rosulullah SAW bersabda, “Sekiranya tidak
merepotkan kepada ummatku, niscaya aku perintah mereka bersiwak (gosok gigi)
untuk setiap kali hendak sholat
Diperoleh informasi bahwa seorang periwayat yang bernama
Muhammad ibn ‘Amru ibn ‘Alqamah terkenal kejujurannya. Tetapi ia termasuk orang
yang tidak kuat hafalan. Karena itu ada yang menilainya lemah dari segi
kekuatan hafalan, dan ada yang menilai adil dari segi kejujurannya, sehingga hadis
ini disebut hasan li dzatih. Kemudian ia naik derajatnya menjadi shahih li
ghairih, karena hadis tersebut diriwayatkan melalui jalur lain, oleh al-A’raj
dan Sa’id al-Maqbari.[18]
C. Hadis Dha’if
Hadis Dha’if adalah :
Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya dapat) diterima
(shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadis sahih)
Hadis Dha’if yaitu hadis yang tidak terpenuhi
syarat-syarat hadis shahih dan hadis hasan. Namun kelemahan perawinya tidak
sampai ke level tertuduh pendustaan atau pelaku pendustaan hadis.[19]
Penjelasan Definisi
Tidak terkumpul sifat-sifat
yang menjadikannya dapat diterima syarat diterima suatu hadis, sebaimana yang
telah dibahas, antara lain
:
1.
Memiliki sanad hingga
kepada Nabi saw
2.
Sanadnya bersambung
3.
Rawinya ‘adil dan dlabith
4.
Tidak mengandung syadz
5.
Tidak ada illah
Hilangnya salah satu syarat
diterimanya hadis
: Apabila hilang syarat yang pertama, maka hadis itu tidak bisa
dinisbahkan kepada nabi saw, melainkan disandarkan kepada shahabat, tabi’in
atau tabi’ tabi’in, sesuai dengan nama yang tercantum di dalam sanad tersebut.
Apabila tidak terpenuhi
syarat kedua, maka hadis itu dinamakan mursal.
Apabila tidak terpenuhi
bagian pertama dari syarat yang ketiga, yaitu sifat ‘adil, maka hadis itu
termasuk matruk atau maudlu’, dan jika tidak ada syarat ketiga bagian yang
kedua yaitu dlabth maka hadis tersebut disebut dla’if, matruk, atau bahkan
maudlu’ yang disebabkan oleh kelemahan rawi.
Apabila hilang syarat yang
keempat, maka hadis itu dinamakan syadz atau matruk
Dan apabila tidak memenuhi
syarat yang kelima, maka hadis itu dinamakan mu’allal.
Pembagian Hadis Dla’if.
Hadis dla’if menurut derajat kedla’ifannya dapat dibagi menjadi dua
bagian
:
1.
Hadis yang kedla’ifannya
ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadis yang setingkat
dengannya akan hilang dla’ifnya, dan meningkat menjadi hasan lighairihi. Seperti
karena rawinya adalah seorang yang dla’if yang masih ditulis hadisnya, tetapi
tidak bisa menjadi argumen apabila hanya diriwayatkan-nya seorang diri, atau
karena di dalam sanadnya terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atau
tadlis.
2.
Apabila tingkat
kedla’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’ (pendukung), yaitu
apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk karena buruknya hafalan
atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain yang tak diketahui sama
sekali identitasnya.[20]
Contoh Hadis Dla’if berat, dengan sebab kedla’ifan dalam
hal ‘adalah (keadilan) adalah; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib
al-Baghdadi di dalam Iqtidla’ al-Ilmi al-‘Amali (69) dengan jalan :
Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin
Ubaidilah al-Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi saw
bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia
seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri.
Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr.
Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadis”.
Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia
dikenal telah memalsukan hadis”. Al-Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan
hadisnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.
Dengan demikian hadis tersebut melalui sanad ini adalah maudlu’, karena
kedla’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).
Contoh
hadis Dla’if berat yang disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dlabith, yaitu
hadis yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu al-Auliya’
(8/252) dengan jalan :
Dari
Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari
Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Urmuzi, dari Shofwan bin Salim, dari Anas bin
Malik, ia berkata; Rasulullah saw membenci cos dan makanan panas, dan beliau
bersabda; Hendaklah kalian (memakan makanan) yang dingin, karena padanya
terdapat berkah. Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada berkahnya.
Di
dalam sanad hadis ini, Muhammad bin Ubaidullah al-‘Urzumiy adalah rijal yang
matruk (ditinggalkan hadisnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah
seorang yang shalih tetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan
hadis dari hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadis tidak seperti yang
tidak diajarkan oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadis meninggalkan
hadisnya.
صومواتصحوا
Artinya : Berpuasalah kalian agar menjadi orang sehat.
Analisa hadis :
Ø Hadis ini diriwayatkan
oleh Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Thabrani dalam Mu,jam Ausath, Abu Nu’aiam dalam Thibbi. Dari
jalur Muhammad ibn Sulaiman ibn Abu Daud dari Zuhair ibn Muhammad dari Suhail
ibn Abi Salih dari bapaknya dari Abu Hurairah. Thabrani mengatakan tidak ada
seorangpun yang mengeluarkan dengan redaksi seperti ini kecuali Zuhair ibn Muhammad,
dia perawi dhaif (lemah). Hadis ini juga dipergunakan Imam Ghazali dalam ihya’
ulumuddin mengatakan Hadis tersebut
dikeluarkan Thabrani dalam al-Austah dan Abu Hurairah dengan sanad (mata rantai
perawi) yang lemah. Bahkan oleh imam al-Shan’ani hadis ini dinilai palsu.
Ø Penilaian Imam Mundziri
dalam al-Targhib dan imam al-Haitsami dalam al-Majma’ yang menyatakan sanad
(mata rantai perawi) hadis shahih. Penilaian yang kontradiksi di kalangan pemerhati hadis sering terjadi seperti ini.
seorang pengamat menilai shahih namun yang lain menilai dha’if bahkan palsu.
Ternyata biangnya pada perawi yang bernama Zuhair ibn Muhammad, memang dia
pribadi adalah perawi terpercaya, namun apabila digurui oleh penduduk Syam, kondisinya berubah sehingga
kedudukannyapun bisa berubah. Maka
seorang peneliti menurut kaidah yang disepakati seharusnya memahami apakah
periwayatannya disampaikan saat kondisi primanya, atau dalam kondisi yang
membuat periwayatannya sulit untuk diterima.
Ø Seperti inilah kasus
periwayatan Hisyam ibn Urwah ibn Zubair ibn Awwam al-Qurasyi dari bapaknya pada
waktu meriwayatkan hadis usia pernikahan dini Aisyah. Ketika Urwah masih muda
di Madinah memang periwayatannya cukup handal, namun ketika tua dan hijrah ke
negeri Syam pemikirannya sudah berubah. Sehingga sulit untuk dikatakan hadisnya
shahih. Untungnya periwayatan Hisyam ibn
Urwah ada kesaksian periwayatannya Hisyam ibn Urwah sehingga hadisnya masih
berstatus shahih.
D.
Hadis Maudhu’ (Hadis
Palsu)
Definisi
Apabila rawinya pendusta atau matannya menyelisihi qaidah [agama].
Yaitu hadis yang
terindikasi dalam jalur perawinya ada yang melakukan pendustaan kepada
Rosulullah saw atau tertuduh berbuat dusta.[21]
Penjelasan Definisi
:
Rawinya pendusta, maksudnya
salah satu rawinya, atau sebagian di antara rawinya dianggap dusta dalam
meriwayatkan hadis.
Menyelisihi qaidah
maksudnya qaidah syara’ yang telah ditetapkan di dalam kitabullah dan sunnah
yang sahih.
Misalnya : hadis yang dikeluarkan
oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Tarikh al-Baghdad, (5/297) dari jalan
Muhammad bin Sulaiman bin
Hisyam, Waki’ mengajarkan hadis kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’,
dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ketika Allah
mengisra’kan aku ke langit, aku memasuki langit keempat, punggungku kejatuhan
buah apel, lalu ia kuambil dengan tanganku, lalu merekah, dari buah itu keluar
bidadari tertawa terbahak-bahak lalu aku tanya ia, “Jawablah, untuk siapakah
kamu diciptakan?” bidadari itu berkata; “Untuk yang terbunuh sebagai syahid,
yaitu Usman”.
Hadis ini maudlu’, di dalam
sanadnya terdapat Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, al-Khathib al-Baghdadi
menyatakan bahwa ia telah memalsukan hadis, dan adz-Dzahabi mendustakannya di
dalam Mizan al-I’tidal (3/57). Ibnu Adi berkata, “Dia menyambungkan hadis dan mencurinya”.
Contoh lain, Hadis yang
dikeluarkan oleh al-Khilal di dalam Fadla-il Syahr Rajab (no. 2) dari jalan
sebagai berikut
Ziyad bin Maimun, dari Anas bin Malik, ia berkata, Wahai Rasulullah,
mengapa dinamakan Rajab? Beliau menjawab, “Karena sebagai penghormatan, pada
bulan itu merupakan kebaikan yang banyak untuk bulan Sya’ban dan Ramadhan”
Di dalam hadis ini terdapat
rawi yang bernama Ziyad bin Maimun al-Fakihi, ia pendusta dan telah mengakui
pemalsuannya terhadap hadis Rasulullah saw, Yazid bin Harun berkata,
“Dia pendusta”. Abu Dawud berkata, “Aku men-datanginya, lalu ia berkata,
Astaghfirullah, aku telah memalsukan hadis-hadis ini.
Contoh hadis palsu yang lain adalah tentang : “shalat
dengan menggunakann surban nilainya sama dengan sholat dua puluh lima kali
tanpa menggunakan surban. sekali jum’atan dengan menggunakan surban, nilainya
sama dengan tujuh puluh kali jum’atan tanpa menggunakan surban. Para malaikat
senantiasa mendokan orang yang jum’atan dengan bersurban, dan senantiasa
mendoakan orang yang bersurban itu sampai tenggelamnya matahari”.
Hukum meriwayatkan hadis
maudlu’
Meriwayatkan hadis maudlu’
hukumnya haram, kecuali untuk memberi contoh. Kalaupun mengeluarkannya, harus
disertai illahnya dan penjelasan tentang kepalsuannya, karena dikhawatirkan
akan diamalkan oleh orang yang tidak tidak mengetahui kepalsuannya.
Hadis maudlu’ banyak
terdapat dalam kitab ar-Raqaiq (kehalusan hati), at-Tarhib wa at-Targhib.
Mengamalkan hadis maudlu’ tidak diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadha-il
al-A’mal. Boleh mengamalkan kandungan hadis maudlu’ apabila bersesuaian dengan
salah satu dasar syari’ah. Apabila ada kesesuaian, maka mengamalkannya harus
dilandaskan pada dasar syari’ah itu, bukan karena hadis maudlu’. Mengamalkan hadis
maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah, baik dalam aqidah maupun
dalam hukum-hukum fiqh.
[5]
Muh. Zuhri, Hadits Nabi, 89.
[7] Diriwayatkan oleh
Ibnu Sa’d di dalam kitab ath-Thabaqat, dan Abu Nu’aim di dalam kitab al-Hilyah,
dan juga al-Khathib di dalam kitab Taqyid al-Ilmu
[8] Amrah adalah, Amrah binti Abdurrahman bin Sa’d bin
Zurarah al-Anshariyah, al-Madaniyah. Ia adalah murid A’isyah yang banyak
meriwayatkan hadis darinya.
[9] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dan al-Khathib di dalam
Taqdim al-Ilmu, dan ad-Darimi menyebutkan di dalam kitab as-Sunan seperti itu
[12]
Ulumul al-Hadis, Ibnu Sholah, h.20. Juga dikeluarkan oleh al-Khathib di dalam kitab Tarikh al-Baghdad, j.2, h.8 dengan sanad yang sampai kepada beliau (al-Bukhari), “Aku
tampilkan di dalam kitab ini –yakni ash-Shahih- dari sekitar 600 ribu hadis”
[15]
Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, j.1, h.14
[16]
Tim Penyusun MKD, Studi Hadits, 130.
[17]
Muh. Zuhri, Hadits Nabi, 93.
[18]
Ibid, 94.
[19]
Tim Penyusun MKD, Studi Hadits, 136
[21]
Ibid, 139-140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar