ORIENTASI IDEOLOGIS GERAKAN KEAGAMAAN :
MEMAKNAI SEMANGAT PURIFIKASI DAN REVIVALISME
oleh : alfiatu solikah
| 
   
A. 
 | 
  
   
Pengantar 
Tiga kekaisaran Islam yakni Mughal di India, Safavid di
  Iran dan Usmani di Turki,  pada akhir
  abad ke-18 tidak bisa lagi mempertahankan posisi dominan kaum muslimin dalam
  masyarakat dunia yang plural. Pada abad 
  ke-19 dan awal abad ke-20 dengan semakin kokohnya kolonialisme Eropa
  disebagian  negara  muslim, muncul tantangan baru bagi
  masyarakat dan para tokoh Islam. Dibidang 
  pemikiran  keagamaan muncul
  protagonis orientasi modern dan tradisional. 
Hegemoni politik dan ekonomi barat, berdampak terhadap
  dunia Islam yang menyebabkan semakin dalamnya krisis identitas yang dialami
  oleh masyarakat muslim dari Maroko sampai Indonesia. Krisis ini menimbulkan
  tantangan keagamaan sosial dan politik bagi kaum muslimin. 
Para pemikir muslim berkeyakinan bahwa Islam merupakan
  sumber inspirasi dalam menjawab tantangan sosial politik yang diakibatkan
  oleh modernisasi. Mereka yakin bahwa umat Islam bisa hidup di dunia modern tanpa
  harus meninggalkan prinsip ajaran agamanya.  
Pada awal sejarah Islam, kaum muslimin tidak pernah
  menduduki posisi dibawah meskipun dihadapkan pada tantangan budaya dari
  berbagai peradaban, tetapi tantangan utama pada masa itu adalah bagaimana
  menciptakan infrastruktur sosial politik yang kokoh berkaitan dengan semakin
  besarnya daerah kekuasaan Islam. Tantangan ini akhirnya mewujudkan tegaknya
  sebuah sistem Islam yang melahirkan sebuah peradaban dunia. Tetapi tantangan
  budaya yang utama yakni bagaimana menghilangkan inferioritas masyarakat
  muslim menghadapi dunia barat dan tantangan politik yang mendorong
  terpusatnya upaya untuk membebaskan diri dari pendudukan Barat,  muncul pada masa modern.  
Tantangan semacam ini akhirnya mempengaruhi pergerakan
  keagamaan (Islam) yang mencoba menggali solusi sosial politik terhadap
  persoalan yang dihadapi umat Islam berdasarkan perspektif keagamaan. Semangat
  purifikasi dan revivalisme memberikan warna pada gerakan keagamaan yang
  mencerminkan jawaban kaum muslimin terhadap persoalan yang mereka hadapi. 
Makalah ini menggunakan kajian teks serta literatur
  yang membicarakan dasar-dasar serta ide, pikiran dan wawasan keagamaan
  tentang  orientasi ideologi gerakan
  keagamaan. 
Sumber data yang digunakan adalah literatur sumber pokok
  ajaran Islam, yang memberikan wawasan tentang pembaharuan dalam Islam,
  literatur yang mengekspresikan semangat purifikasi dan revivalisme pada
  gerakan keagamaan (Islam) dan berbagai tulisan dengan thema yang sama.  
Sebagai landasan dari pembahasan, Analisa dilakukan
  dengan menggunakan logika induktif, yaitu proses berfikir yang diawali dari
  fakta-fakta pendukung yang spesifik, menuju pada arah yang lebih umum.[1]
  Selanjutnya isu khusus yang dijadikan fokus penulisan digali melalui analisa
  dokumentasi dan kemudian dituangkan secara deskriptif.  
Selain itu analisa yang digunakan adalah pendekatan
  ideologis. Yang dimaksud ideologi disini adalah interpretasi keagamaan dari
  berbagai ragam ide yang saling berkaitan yang ada  dan dalam gerakan-gerakan Islam, yang
  merefleksikan moral, kepentingan serta komitmen sosial dan politik gerakan.[2]
   
Pendekatan semacam ini menjelaskan dan mengevaluasi
  kondisi sosial, peran individu dalam masyarakat dan akibat dari berbagai aksi
  sosial. 
Pendekatan ini memandang bahwa berbagai unsur ideologi
  umumnya diterima sebagai formulasi filosofis 
  yang tentatif yang perumusannya selalu disesuaikan dengan perubahan
  sosial budaya. 
Dengan pendekatan ideologis, makalah ini mencoba mencari korelasi antara
  orientasi ideologis dan aktivitas nyata dari gerakan-gerakan Islam. 
 | 
 
| 
   
B. 
 | 
  
   
Oreientasi Ideologis Gerakan Keagamaan 
Semua gerakan
  Islam yang muncul pada awal abad keduapuluh menyandarkan ideologinya pada
  Islam. Meskipun secara budaya gerakan-gerakan Islam ini diperkaya oleh unsur
  lokal dan nasional, pada dasarnya mereka ini mencerminkan pandangan dan
  wawasan Islam yang beragam. Pada tingkat teori, ideologi itu dirumuskan
  berdasarkan prioritas nasional. Ideologi memainkan peranan penting bagi
  kelangsungan gerakan ; dan menjadi sebuah mekanisme internal yang penting
  dalam perkembangannya. Ideologi memuat seperangkat doktrin dan keyakinan yang
  dirumuskan dalam maksud dan tujuan gerakan. Didalamnya terdapat seperangkat
  kritik terhadap tantangan kehidupan yang ada yang ingin diubahnya ;
  seperangkat doktrin untuk membenarkan tujuan yang hendak dicapai ; dan
  seperangkat keyakinan bagi program yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu,
  bagi sebuah gerakan, ideologi tidak hanya memuat rencana penting untuk
  memecahkan persoalan, tetapi juga sebagaimana yang dikatakan Blumer,
  memberikan seperangkat nilai, keyakinan, kritik, alasan dan pembelaan. Dengan
  kata lain, ideologi memberikan arahan, justifikasi, senjata untuk melawan dan
  mempertahankan inspirasi serta harapan. Berdasarkan kerangka ideologis
  seperti diatas, ada empat orientasi ideologis yang bisa dilihat dari kelompok
  dan gerakan Islam yang muncul pada awal abad keduapuluh : tradisionalisme,
  modernisme, sekularisme dan fundamentalisme. Keempat orientasi ini memiliki
  karakteristik tertentu yang membedakan antara yang satu dengan lainnya.[3] 
Orientasi ideologis yang bisa dilihat dari kelompok dan gerakan Islam
  yang muncul pada awal abad keduapuluh ini salah satunya adalah  fundamentalisme – Radikalisme. Fundamentalisme,
  yang sering
  digunakan untuk menyebut gerakan keagamaan dalam berbagai karya tulis, telah
  menjadi istilah yang sangat popolar dan bahkan kontroversial. Meskipun pada
  mulanya fundamentalisme menunjuk sebuah fenomena gerakan Kristen Protestan,
  namun sekarang istilah ini secara luas dipakai untuk menyebut gerakan yang
  terjadi di kalangan masyarakat Katolik, Islam (Sunni dan Shi'i), Yahudi,
  Hindu, Buddha, dan Zoroaster. Istilah fundamentalisme dikenal untuk pertama
  kali bersamaan dengan
  munculnya gerakan Kristen Protestan di Amerika Serikat pada awal abad ke-20  dalam usahanya melawan
  pengaruh modernisme.  
Fundamentalisme
  Protestan memiliki karakteristik tertentu, di antaranya adalah :  
1.    Percaya akan ajaran-ajaran pokok iman Kristen yang pada dasarnya mencakup
  otoritas kitab suci, kelahiran Yesus dari perawan Bunda Maria, kembalinya
  Yesus secara fisik ke dunia, percaya adanya mu'jizat, tidak terasakannya
  derita Yesus pada waktu penyaliban.  
2.    Berupaya
  menjaga kemurnian ajaran pokok dari pengaruh ajaran lain dan bersedia
  mengorbankan diri mereka demi keyakinannya. Pada awal abad ke-20,
  mereka menyatakan perang terhadap kaum modernis terutama terhadap pikiran-pikirannya
  mengenai Bible dan melarang ajaran evolusi Darwin untuk diajarkan di
  sekolah-sekolah umum. [4] 
Dalam upayanya ini kaum
  fundamentalis mengalami kegagalan dan sejak itu mereka menjadi kelompok yang
  terkucil. Namun kemudian mereka bisa menyusun 
  kekuatan kembali pada akhir dekade tahun 1920-an sebagai kekuatan
  moral yang dominan.  
Di dunia Islam istilah
  fundamentalisme juga sering
  dipakai, terutama oleh para pengamat Barat, dalam berbagai karya ilmiah untuk
  menyebut gerakan Islam tertentu. Sebagian mereka mempersoalkan apakah istilah
  seperti itu cocok untuk dipakai dalam konteks Islam. Salah satu ciri utama
  fundamentalisme Protestan, yakni percaya akan kemutlakan kebenaran Alkitab,
  dinilai tidak relevan dengan konteks Islam, karena semua kaum muslimin baik
  yang fundamentalis maupun yang non-fundamentalis
  yakin akan kebenaran Kitab Suci mereka (Al Qur'an).
   
Fundamentalisme
  Islam bisa dibedakan menjadi dua macam, yakni pertama :
  fundamentalisme tradisional. Beberapa ahli
  menyatakan bahwa fundamentalisme Islam bukanlah sebuah istilah yang begitu
  penting. Namun jika makna fundamentalisme itu ditekankan pada originalitas
  sumber serta prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, terdapat kelompok kecil
  aliran pemikiran yang berpendapat bahwa al-Qur'an dan Sunnah merupakan sumber ajaran
  Islam pokok dan mengikat untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari ; bahwa
  produk pemikiran keagamaan klasik dan pertengahan tidak mengikat ; bahwa dalam
  beberapa hal produk pemikiran ini mengakibatkan munculnya kemalasan berpikir
  dalam Islam; bahwa selama masa kekaisaran Islam, banyak penguasa muslim mengakomodasi
  terlalu banyak tradisi lokal yang non-Islami ; bahwa paling tidak beberapa tarekat Sufi terlibat dalam
  praktik-praktik ajaran non-Islami ; bahwa mengkultuskan diri seseorang dinilai scbagai politeisme ; dan bahwa
  setiap muslim harus
  mempelajari dan mengamalkan al-Qur'an dan Sunnah serta menghilangkan taqlid buta. .................. Kedua,
  fundamentalisme modern. Kemasyhuran intelektual tokoh fundamentalisme modern tidak diragukan lagi. Tidak seperti fundamentalisme tradisional,
  fundamentalisme modern merupakan sebuah jawaban terhadap tantangan
  modernisasi. Upaya penting yang dilakukan oleh gerakan ini adalah merumuskan
  sebuah alternatif Islam menghadapi ideologi sekular modern seperti liberalisme,
  Marxisme, dan
  nasionalisme. Kebanyakan
  pemimpin gerakan ini, pada awal abad ke-20, bukan alumni lembaga pendidikan
  Islam yang terkenal.[5] 
Beberapa sarjana mengatakan bahwa
  gerakan ini lebih tepat disebut sebagai "islamis" dari pada
  fundamentalis. Sarjana yang lain mengkelompokkannya sebagai radikalisme Islam
  atau Islam Revolusioner.
  Meskipun radikalisme mungkin lebih tepat, namun sebagian ahli lebih suka menyebutnya
  sebagai fundamentalisme Islam modern. Hal ini karena di Barat, baik
  di mass media, jurnal akademik, dan buku, gerakan ini sering
  disebut sebagai fundamentalis Islam. Lebih jauh, mereka yang
  menyarankan menggunakan konsep alternatif sering
  juga menggunakan label fundamentalisme Islam. 
Penamaan radikalisme Islam didasarkan
  atas dua alasan: pertama, istilah ini merupakan sebuah fenomena ideologis,
  yang pendekatannya harus
  dilakukan dengan memusatkan pada makna ideologis, dan mengesampingkan akibat
  serta konteks sosial. Kedua, istilah ini tidak menunjuk pada doktrin,
  kelompok, atau gerakan tunggal tetapi menunjukkan beberapa karakteristik
  tertentu dari sejumlah doktrin, kelompok dan gerakan. Karena itu istilah ini
  didefinisikan sebagai orientasi kelompok ekstrim dari kebangkitan Islam
  modern (revival, resurgence, atau reassertion). Kecenderungan ini bukan
  suatu fenomena modern tetapi telah muncul sebelumnya dalam sejarah Islam
  dalam mengatasi kemerosotan moral dan pengaruh ide bangsa asing. Gerakan kebangkitan
  Islam modern muncul karena didorong oleh
  dua faktor ini, tetapi juga terutama oleh keinginan untuk mengusir pengaruh
  imperialisme Barat dari kawasan Islam. Dua gerakan yang bisa dikelompokkan
  pada kecenderungan
  ini adalah Jama'at Islami
  (1941) di Pakistan dan lkhwanul Muslimin
  (1928) di Mesir. 
Isu penting yang dikembangkan oleh
  gerakan kebangkitan Islam adalah berkaitan dengan kehidupan
  publik. Persoalan tentang keimanan
  dan ubudiyah tidak
  begitu menonjol apabila dibandingkan  dengan persoalan "peran
  Islam dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya." Ciri yang menjadikan
  gerakan ini memperoleh predikat fanatik dan tidak toleran adalah klaimnya
  yang menyatakan bahwa mereka ini merupakan
  kelompok yang benar di mata Tuhan. Mereka
  ini cenderung memandang dirinya
  sendiri bukan sebagai bagian dari kelompok muslim kebanyakan tetapi sebagai penjaga
  kebenaran Islam. 
Kenyataan
  menunjukkan bahwa fundamentalisme Islam modern mewakili kelompok minoritas
  di dunia Islam, namun mereka ini
  menikmati sebuah suasana politik yang signifikan di sebagian besar dunia
  Islam. Kegiatan mereka tidak terorganisasikan dari satu
  pusat. Akibatnya, program,
  strategi, dan taktik mereka berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain. Meskipun
  terdapat perbedaan, ada beberapa tema
  serta kebijakan sama yang dilakukan oleh sebagian besar kaum fundamentalis
  modern. Pemikir seperti
  Abul A'la Maududi
  (1903-1979)[6],
  Hasan Al-Banna (1906-1949)[7],
  Sayyed Qutb (1909-1966)[8],
  Ayatullah Khomeini (1902-1989)[9],
  meskipun mereka berbeda dalam beberapa persoalan, telah mendorong munculnya
  persatuan di antara mereka. Di antara ide dan gagasan fundamentalisme Islam
  modern, sumbangan ketiga tokoh yang disebutkan di atas sangat berarti. 
Para pemikir Barat pada umumnya
  mengkaitkan istilah ini dengan berbagai gerakan dan kecenderungan yang
  mengajak untuk mengaplikasikan syari'ah
  Islam dalam semua aspek
  kehidupan secara murni. Ajakan ini termasuk upaya untuk mendirikan negara Islam yang akan
  menjamin pelaksanaan syari'ah
  dalam kehidupan sehari-hari.
  Mereka menolak keras
  pengaruh budaya Barat dalam
  kehidupan sehari-hari. Di
  dunia Sunni, kecenderungan seperti ini
  dihubungkan dengan gerakan Ikhwan AI-Muslimun
  dan Jama'at Islami. Di dunia Shi'i, istilah fundamentalisme dipakai untuk menyebut
  revolusi Islam Iran pada tahun 1979.[10]
  Akhir-akhir ini, beberapa penulis
  Barat menghubungkan istilah fundamentalisme dengan berbagai fenomena yang
  muncul dalam kaitannya
  dengan isu Islamisasi ekonomi, pendidikan dan pakaian.  
Sedangkan perkembangan
  Islam di Indonesia sejak 1980-an, ditandai oleh munculnya fenomena
  menguatnya religiusitas umat Islam. Fenomena yang sering ditengarai sebagai kebangkitan Islam (Islamic revivalism) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan
  peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya
  busana yang islami, munculnya lembaga ekonomi Islam
  (bank Syariah), Islamisasi hukum keluarga (UU
  Perkawinan), menguatnya warna keagamaan dalam sistem pendidikan (UU
  Pcndidikan Nasional), fenomena "ijo-royo-royo" di parlemen dan
  birokrasi, dipakainya simbol-simbol Islam dalam acara kenegaraan, serta
  munculnya partai-partai yang memakai platform Islam.  Fenomena mutakhir yang mengisyaratkan  menguatnya kecenderungan ini adalah
  tuntutan formalisasi Syariat Islam. 
Selain fenomena di atas, setelah Reformasi, kebangkitan Islam ini juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan
  Islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan Islam yang lama, seperti NU,
  Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan
  sebagainya. Gerakan mereka berada di luar
  kerangka mainstream proses
  politik,
  maupun wacana dalam gerakan Islam dominan. Fenomena munculnya aktor baru ini sering disebut "gerakan Islam Baru" (new Islamic movement).  Kelompok-kelompok Tarbiyah (yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir
  Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Lasykar Jihad dan
  sebagainya, merupakan representasi generasi baru gerakan Islam di
  Indonesia. 
Organisasi-organisasi
  baru ini memiliki
  basis ideologi,
  pemikiran,
  dan strategi
  gerakan
  yang berbeda dengan ormas-ormas
  Islam yang ada sebelumnya.
  Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militan, radikal, skripturalis,
  konservatif,
  dan ekslusif.
  Berbagai ormas baru tersebut memang memiliki platform yang
  beragam, tetapi
  pada umumnya
  memiliki
  kesamaan
  visi, yakni pembentukan "negara Islam"
  (dawlah
  Islámiyah) dan mewujudkan penerapan syariat
  Islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun negara. 
Meskipun spektrum
  berbagai gerakan
  ini cukup luas dan kompleks, tetapi secara ideologis, kelompok ini secara keseluruhan menganut paham "salafisme radikal, yakni berorientasi pada
  penciptaan kembali masyarakat salaf (generasi Nabi Muhammad dan para
  sahabatnya) dengan cara-cara keras dan radikal. Bagi mereka, Islam pada masa kaum salaf inilah yang merupakan Islam paling sempurna, masih murni dan
  bersih dari berbagai tambahan atau campuran (bid'ah) yang dipandang
  mengotori Islam. Radikalisme religio-historis ini
  diperkuat dengan
  pemahaman
  terhadap
  ayat-ayat Alquran dan hadis secara harfiah. 
Gerakan  Islamisasi versi   mereka
  lebih  bercorak
  konfrontatif terhadap sistem sosial
  dan politik yang ada. Gcrakan ini menghendaki Adanya
  perubahan mendasar pada sistem yang ada saat ini yang mereka sebut sistem
  sekuler dan berupaya menggantinya dengan sistem baru (sistem Islam) yang
  mereka anggap sebagai solusi, merupakan jargon yang menyemangati gerakan
  mereka. 
Munculnya gerakan Islam baru ini, diasumsikan sebagai
  akibat dari pengaruh gerakan serupa yang ada di Timur Tengah. Partai Keadilan
  Sejahtera ditengarai sebagai gerakan yang memiliki basis Ideologi Ihwanul
  Muslimin. Hizbut Tahrir Indonesia jelas-jelas menyatakan cabang dari Hizbut
  Tahrir Palestina. Demikian juga laskar jihad merupakan pengaruh dari
  pemikiran salafiah dari Saudi Arabia dan Kuwait. Majelis Mujahidin Indonesia
  oleh Sidney Jons dipandang memiliki kesamaan nama dan platform dengan Jama'ah Islamiyah faksi sempalan
  Ihwanul Muslimin yang eksis di Mesir.  
Pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bukanlah hal baru dalam sejarah. Semenjak Islam masuk
  ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Dalam konteks keagamaan, pengetahuan dan politik, transmisi ini dimungkinkan, karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam. Negara-ncgara yang memiliki
  kota-kota suci dan pusat ilmu pengetahuan selalu dikunjungi orang Indonesia,
  baik untuk berhaji, ziarah maupun belajar.  
Karakteristik
  dan Perbandingan 
Persoalan penting yang
  selalu menjadi tema dari
  berbagai macam gerakan Islam ialah bagaimana mengaplikasikan ajaran Islam
  dalam kehidupan sehari-hari.
  Berbagai macam
  solusi telah ditawarkan oleh
  berbagai gerakan Islam dalam menjaga persoalan yang berkaitan dengan
  kehidupan politik, sosial, ekonomi
  dan budaya. Dalam konteks ini Fundamentalisme Islam bisa dibandingkan dengan kelompok
  Ideologi dominan lainnya dalam gerakan Islam, yang secara garis besar
  diwakili oleh kelompok sekularis, modernis dan tradisionalis.  
Kaum sekularis : 
-         
  Yakin
  akan otoritas akal pikiran manusia dalam kehidupan umum dan
  membatasi pesan agama
  hanya pada bentuk ritual yang bersifat idividual.  
-         
  Mereka
  memformulasikan ide-ide dasarnya pada ideologi serta contoh kehidupan
  Barat.  
Kelompok modernis berpandangan bahwa : 
-         
  Islam merupakan ajaran agama yang mencakup semua aspek kehidupan,
  baik umum maupun pribadi.  
-         
  Keyakinan serta praktik agama harus
  dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan prinsip-prinsip ajaran
  Islam, Al-Qur'an dan Al-Sunnah, (bagi 
  kaum Shi'ah termasuk contoh yang diberikan oleh para imam) dan tuntutan
  : perkembangan zaman.  
-         
  Bagi kaum modernis, syari'ah harus diaplikasikan dalam semua
  aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung menginterpretasikan
  ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk
  pendekatan dari Barat.  
Kaum tradisionalis adalah : 
-         
  Mereka
  yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit
  kultur tradisional
  yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.  
-         
  Mereka yang dimasukkan dalam kategori ini
  adalah para ulama Al-azhar akhir abad ke-19 dan awal ke-20 yang menolak
  reformasi Muhammad Abduh; kelompok Qadimis yang menentang gerakan Jadidisme
  di Asia Tengah dan Kaum Tua yang menentang ide-ide Kaum Muda di Indonesia.  
Kelompok
  fundamentalis : 
-         
  Menginterpretasikan
  Islam berdasarkan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam tetapi mereka ini
  menentang kecenderungan kaum modernis yang dituduh telah memasukkan
  unsur-unsur non-Islam Barat ke dalam Islam.  
-         
  Bagi kaum fundamentalis,
  syari'ah dipandang cukup mampu menjawab tantangan perkembangan modern, karena
  itu setiap interpretasi
  hendaknya dilakukan secara Islami dan bukan menggunakan cara-cara Barat.  
-         
  Mereka juga mengkritik ide dan praktik kaum tradisionalis dan
  menentang kecenderungan sebagian kaum tradisionalis yang bekerja sama dengan
  pemerintahan sekular. 
-         
  Ciri-ciri kaum fundamentalis seperti yang disebutkan ini bisa
  ditemukan pada gejala fundamentalis di dunia Sunni dan Shi'i, meskipun di
  antara mereka terdapat perbedaan.  
1.     
  Fundamentalisme Sunni
  biasanya muncul dari gerakan reformis-modernis
  Islam, yang tokohnya umumnya
  berasal dari kalangan "biasa" dan mereka ini umumnya
  bersikap ambivalen terhadap ulama.  
2.     
  Fundamentalisme Shi'i, menurut sejarahnya berasal dari kalangan
  tradisionalis yang sangat
  menentang pengaruh Barat dan umumnya
  pemimpin mereka itu berasal dari kalangan ulama.  
Perbedaan antara fundamentalisme di dunia Sunni dan Shi'i nampak
  menyolok di lapangan tetapi tidak begitu penting dalam masalah prinsip. Dalam
  hal ini, fundamentalisme Shi'i telah mencapai sukses dalam revolusi untuk
  mendirikan negara Islam, namun di kalangan Sunni, paling tidak sampai
  sekarang, belum bisa merealisasikan hal yang lama.  
Satu hal penting yang perlu
  diingat adalah bahwa meskipun munculnya kaum fundamentalis merupakan reaksi
  terhadap pengaruh modernisme, tetapi dalam beberapa hal mereka sebenarnya
  tidak bisa lepas dari modernitas. Baik kaum fundamentalis Islam maupun
  Protestan menerima hasil
  teknologi yang dihasilkan oleh modernitas. Kaum fundamentalis di Amerika,
  misalnya, lebih banyak memakai mass-media sebagai alat
  propaganda ide-ide mereka dari pada Gereja liberal.  
Di dunia Islam, gerakan Ikhwan
  al-Muslimin menggunakan komunikasi modern dan bentuk-bentuk organisasi
  modern. Imam Khomeini sewaktu dalam pengasingannya di Paris selalu
  menggunakan hasil penemuan
  modern dalam bentuk kaset rekaman untuk menyebarkan ide-idenya
  kepada para pengikutnya di Iran. 
Fundamentalisme Islam, sesungguhnya bukan merupakan sebuah doktrin
  atau gerakan tunggal tetapi
  lebih menunjukkan ciri-ciri yang sebenarnya juga dimiliki oleh
  doktrin serta gerakan lain. Fundamentalisme merupakan
  sebuah orientasi ideologi dan karena
  itu harus didefinisikan sejalan dengan orientasi berbagai fenomena lain
  seperti gerakan revivalism, resurgence, reassertion dan islamist. 
 | 
 
| 
   
C. 
 | 
  
   
Gerakan fundamentalis
  & radikalis mewarnai pertikaian faham 
  dikalangan umat Islam dewasa ini 
Fundamentalisme dan radikalisme dalam Islam
  berawal dari perbedaan penafsiran dalam memahami teks-teks agama. Ada
  kelompok dalam Islam yang memahami teks agama secara kontekstual yang
  melahirkan Islam moderat dan adapula kelompok yang memahami teks agama secara
  tekstual yang pada akhirnya membentuk kelompok fundamental dan radikal dalam
  Islam. Gerakan
  fundamentalis & radikalis menghendaki adanya perubahan mendasar pada sistem yang
  ada saat ini yang mereka sebut sistem sekuler dan berupaya menggantinya
  dengan sistem baru (sistem Islam) yang mereka anggap sebagai solusi,
  merupakan jargon yang menyemangati gerakan mereka. 
Munculnya gerakan Islam baru ini, diasumsikan sebagai
  akibat dari pengaruh gerakan serupa yang ada di Timur Tengah. Partai Keadilan
  Sejahtera ditengarai sebagai gerakan yang memiliki basis Ideologi Ihwanul
  Muslimin. Hizbut Tahrir Indonesia jelas-jelas menyatakan cabang dari Hizbut
  Tahrir Palestina. Demikian juga laskar jihad merupakan pengaruh dari
  pemikiran salafiah dari Saudi Arabia dan Kuwait. Majelis Mujahidin Indonesia
  oleh Sidney Jons dipandang memiliki kesamaan nama
  dan platform dengan Jama'ah Islamiyah faksi sempalan Ihwanul Muslimin yang
  eksis di Mesir. [11] 
 | 
 
| 
   | 
  
   
1.  
  Jama’ah
  Ikhwanul Muslimin 
Jamaah Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna,
  bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi,
  Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Ikhwanul Muslimin pada saat
  itu dipimpin oleh Hassan al-Banna. Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul
  Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin pada 24 September1930. Pada tahun 1932, struktur administrasi
  Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka
  cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul
  Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.[12] 
Ø  Perkembangan 1930-1948 
Kemudian pada tahun 1934, Ikhwanul Muslimin
  membentuk divisi Persaudaraan Muslimah. Divisi ini ditujukan untuk para
  wanita yang ingin bergabung ke Ikhwanul Muslimin. Walaupun begitu, pada tahun
  1941 gerakan Ikhwanul Muslimin masih beranggotakan 100 orang, hasil
  seleksi dari Hassan al-Banna. Pada tahun 1948, Ikhwanul Muslimin turut
  serta dalam perang melawan Israel di Palestina. Saat organisasi ini sedang
  berkembang pesat, Ikhwanul Muslimin justru dibekukan oleh Muhammad
  Fahmi Naqrasyi, Perdana Menteri Mesir tahun 1948. Berita penculikan Naqrasyi
  di media massa tak lama setelah pembekuan Ikhwanul Muslimin membuat semua
  orang curiga pada gerakan Ikhwanul Muslimin. 
Ø  1950-1970 
Secara misterius, pendiri Ikhwanul Muslimin,
  Hassan al-Banna meninggal dunia karena dibunuh pada 12
  Februari 1949. Kemudian, tahun 1950, pemerintah Mesir merehabilitasi organisasi
  Ikhwanul Muslimin. Pada saat itu, parlemen Mesir dipimpin oleh Mustafa
  an-Nuhas Pasha. Parlemen Mesir menganggap bahwa pembekuan Ikhwanul Muslimin tidak
  sah dan inkonstitusional. Ikhwanul Muslimin pada tahun 1950 dipimpin oleh Hasan al-Hudhaibi. Kemudian, tanggal 23 Juli 1952, Mesir dibawah pimpinan Muhammad Najib bekerjasama dengan Ikhwanul Muslimin dalam
  rencana menggulingkan kekuasaan monarki Raja Faruk pada Revolusi Juli. Tapi,
  Ikhwanul Muslimin menolak rencana ini, dikarenakan tujuan Revolusi Juli
  adalah untuk membentuk Republik Mesir yang dikuasai oleh militer sepenuhnya,
  dan tidak berpihak pada rakyat. Karena hal ini, Jamal Abdul Nasir menganggap gerakan Ikhwanul Muslimin menolak
  mandat revolusi. Sejak saat ini, Ikhwanul Muslimin kembali dibenci oleh
  pemerintah. 
Ø  1970-sekarang 
Ketika Anwar
  Sadat mulai berkuasa,
  anggota Ikhwanul Muslimin yang dipenjara mulai dilepaskan. Menggantikan
  Hudhaibi yang telah meninggal pada tahun 1973, Umar Tilmisani memimpin organisasi
  Ikhwanul Muslimin. Umar Tilmisani menempuh jalan moderat dengan tidak
  bermusuhan dengan penguasa. Rezim Hosni
  Mubarak saat ini juga
  menekan Ikhwanul Muslimin, dimana Ikhwanul Muslimin menduduki posisi sebagai oposisi di Parlemen Mesir. [13] 
Ø  Pemikiran 
Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi
  Islam berlandaskan ajaran Islam. Bisa dilihat dari pemikiran utama Ikhwanul
  Muslimin berikut. Ia merupakan salah satu
  jamaah dari beberapa jamaah yang ada pada umat Islam, yang memandang bahwa
  Islam adalah dien yang universal dan
  menyeluruh, bukan hanya sekedar agama yang mengurusi ibadah ritual (salat, puasa, haji, zakat, dll) saja. Tujuan Ikhwanul
  Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga
  Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin
  oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara
  mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan da’wah kepada Allah
  sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Namun
  sayang sekali ajaran shufi kental sekali mempengaruhi organisasi ini, Ikhwanul Muslimin
  menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat. 
Dalam perpolitikan di berbagai negara, Ikhwanul
  Muslimin ikut serta dalam proses demokrasi sebagai sarana
  perjuangannya, sebagaimana kelompok-kelompok lain yang mengakui demokrasi.
  Contoh utamanya adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir yang mengikuti proses pemilu di negara tersebut.[14] 
Ø 
  Mengutuk Terorisme 
Al-Ikwan Al-Muslimun
  mengutuk segala bentuk kriminalitas yang disebut dengan terorisme di seluruh
  belahan bumi di dunia Arab dan Islam, sebagaimana di belahan negara lainnya
  di dunia, seperti yang telah terjadi di New York dan Washington DC pada Serangan 11 September 2001. Begitu juga Al-Ikhwan
  sangat mengecam peristiwa
  anarkisme yang terjadi di Riyadh, Bali, Madrid dan lainnya Dengan sangat jelas Al-Ikhwan
  mengumumkan bahwa tindakan-tindakan kriminalitas seperti itu sama sekali
  tidak didukung oleh Syariat, Agama, dan Undang-undang manapun.[15]
   
Ø 
  Al-Ikhwan Bukan Wahabi 
Di berbagai media, Ikhwanul
  Muslimin juga sering dikait-kaitkan dengan gerakan Wahabi. Pada faktanya, antara
  Al-Ikhwan dengan Wahabi berbeda jauh. Pengkait-kaitan Al-Ikhwan dengan Wahabi
  pada dasarnya disebabkan adanya kesamaan nama. Di dalam sejarah Wahabi di Arab Saudi, mereka memang pernah memiliki pasukan tempur
  yang bernama Al-Ikhwan, nama yang sama persis dengan Al-Ikhwan yang di Mesir.
  Seorang penulis bernama Robert Lacey dalam catatan kaki bukunya yang berjudul
  "Kerajaan Pertrodolar Saudi Arabia" di halaman 180 sudah
  mewanti-wanti bahwa kelompok Al-Ikhwan dari Nejd ini tidak ada kaitannya dan
  tak boleh dicampuradukkan dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun yang dibentuk di Mesir
  di tahun 1930-an dan masih aktif sampai saat ini [12] [13]. Secara pemikiran pun
  antara Ikhwanul Muslimin dengan Wahabi saling bertolak belakang. Ikhwanul
  Muslimin masuk ke dalam wilayah politik dalam perjuangannya (bahkan membentuk
  partai politik), sedangkan Wahabi sebaliknya, yaitu antipati terhadap partai
  politik.[16] 
Kredo 
Ikhwanul Muslimin memiliki
  kredo berupa: 
Walaupun begitu, Ikhwanul Muslimin tetap
  mengikuti perkembangan teknologi dan tidak meninggalkannya. Sebagai
  organisasi Islam moderat, Ikhwanul Muslimin diterima oleh segala lapisan dan
  pergerakan. Ikhwanul Muslimin menekankan adaptasi Islam terhadap era globalisasi.
  Pemikiran dan pergerakan Ikhwanul Muslimin mencakup delapan aspek yang
  mencerminkan luasnya cakupan Islam sebagai ideologi yang mereka anut, yaitu Dakwah salafiyah (dakwah salaf), Thariqah sunniyah (jalan sunnah), Hakikat shufiyah (hakikat
  sufi), Hai'ah siyasiyah (lembaga politik), Jama'ah riyadhiyah
  (kelompok olahraga), Rabithah 'ilmiyah
  tsaqafiah (ikatan ilmiah berwawasan), Syirkah
  iqtishadiyah (perserikatan ekonomi), dan Fikrah ijtima'iyah
  (pemikiran sosial) Pimpinan
  Ikhwanul Muslimin disebut Mursyid 'Am atau Ketua Umum saat ini adalah Muhammad Badie
  (2010 - )[17] 
Ikhwanul
  Muslimin masuk ke Indonesia melalui jamaah haji dan kaum pendatang Arab
  sekitar tahun 1930. Pada zaman kemerdekaan, Agus Salim pergi ke Mesir
  dan mencari dukungan kemerdekaan. Waktu itu, Agus Salim menyempatkan untuk bertemu kepada sejumlah
  delegasi Indonesia.[18]
   
Ikhwanul Muslimin kemudian semakin berkembang di
  Indonesia setelah Muhammad
  Natsir mendirikan
  partai yang memakai ajaran Ikhwanul Muslimin, yaitu Partai Masyumi. Partai Masyumi kemudian
  dibredel oleh Soekarno dan dilarang keberadaannya.
  Kemudian pada Pemilu tahun 1999 berdiri partai yang menggunakan nama Masyumi,
  yaitu Partai Masyumi Baru dan Partai Politik Islam Indonesia
  Masyumi (PPII Masyumi). Selain itu berdiri juga Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai
  Keadilan (PK) yang sebelumnya banyak dikenal dengan jamaah atau kelompok
  Tarbiyah. PBB mendeklarasikan partainya sebagai keluarga besar pendukung
  Masyumi.  
Sedangkan menurut Yusuf Qaradhawi, Partai Keadilan (kini
  berganti nama menjadi Partai
  Keadilan Sejahtera atau PKS) merupakan perpanjangan tangan dari
  gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir yang mewadahi komunitas terbaik kalangan muda
  intelektual yang sadar akan agama, negeri, dunia, dan zamannya. [19] 
2.   
  Hizbut
  Tahrir 
Hizbut
  Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan
  yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk
  mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini
  dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar
  Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. 
Hizbut
  Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk
  di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris,
  Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga
  ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan,
  Malaysia, Indonesia, dan Australia. 
Hizbut
  Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di
  kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah
  Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di
  masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan. 
Hizbut
  Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan
  kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di
  tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam
  sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan
  kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam
  realitas kehidupan. Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan
  organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti
  lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan
  (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial
  kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia
  kelangsungan kelompoknya. 
Ø  Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir 
Hizbut
  Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt : 
“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang
  menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam),
  memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah
  orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)[20] 
Hizbut
  Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat
  parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan
  hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan
  pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali
  Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah
  Swt dapat diberlakukan kembali. 
Ø  Tujuan Hizbut Tahrir 
Hizbut
  Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke
  seluruh penjuru dunia ;  membangkitkan kembali umat Islam dengan
  kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang ; berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa
  kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih
  kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini.  
Ø  Kegiatan Hizbut Tahrir 
Seluruh
  kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik. Maksudnya adalah
  bahwa Hizbut Tahrir memperhatikan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan
  hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i. Karena yang dimaksud politik
  adalah mengurus dan memelihara urusan-urusan masyarakat sesuai dengan
  hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya seperti : mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya
  dengan Islam, membebaskannya dari aqidah-aqidah yang rusak,
  pemikiran-pemikiran yang salah, serta persepsi-persepsi yang keliru,
  sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan kufur
  ; aspek pertarungan pemikiran terlihat dalam
  penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur ; penentangannya terhadap kaum kafir imperialis
  untuk memerdekakan umat dari belenggu dominasinya, membebaskan umat dari
  cengkeraman pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran,
  kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam ;  menentang para penguasa,
  mengungkap pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan
  kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya
  tatkala mereka mengabaikan hak-hak umat, tidak menjalankan kewajibannya
  terhadap umat, melalaikan salah satu urusan umat, atau menyalahi hukum-hukum
  Islam. 
Jadi
  kegiatan Hizbut Tahrir secara keseluruhan adalah kegiatan yang bersifat
  politik, baik sebelum maupun sesudah proses penerimaan pemerintahan (melalui
  umat). 
Kegiatan
  Hizbut Tahrir bukan di bidang pendidikan, karena ia bukanlah madrasah
  (sekolah). Begitu pula seruannya tidak hanya bersifat nasihat-nasihat dan
  petunjuk-petunjuk. Kegiatan Hizbut Tahrir bersifat politik, (yaitu) dengan
  cara mengemukakan ide-ide (konsep-konsep) Islam beserta hukum-hukumnya untuk
  dilaksanakan, diemban, dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan. 
Ø  Metode Dakwah Hizbut Tahrir 
Metode
  yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam mengemban dakwah adalah hukum-hukum syara’,
  yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw, sebab thariqah itu
  wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah Swt: 
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
  baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
  kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir
  dan mengingat Allah).” (QS. Al Ahzab : 21)[21] 
“Katakanlah:
  ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
  mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31)[22] 
“Apa
  saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang
  dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. Dan
  bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr : 7)[23] 
Berdasarkan
  sirah Rasulullah saw tersebut, Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan
  dakwahnya dalam 3 (tiga) tahapan berikut : 
Pertama, Tahapan
  Pembinaan dan Pengkaderan untuk membentuk kader-kader, dalam rangka
  pembentukan kerangka tubuh partai. 
Kedua,
  Tahapan Berinteraksi dengan Umat dilaksanakan agar umat turut memikul
  kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan
  utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. 
Ketiga,
  Tahapan Penerimaan Kekuasaan dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara
  menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. 
Ø  Landasan Pemikiran Hizbut
  Tahrir 
Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat
  dan hukum- sesuai dengan perkara-perkara yang diperlukan dalam
  perjuangannya—yaitu untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam serta
  mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia—dengan mendirikan Daulah
  Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Ide-ide,
  pendapat-pendapat dan hukum-hukum tersebut telah dihimpun dalam berbagai
  buku, booklet maupun selebaran., yang diterbitkan dan disebarluaskan kepada
  umat. Buku-buku itu, antara lain : Nizhamul Islam
  (Peraturan Hidup dalam Islam), Nizhamul
  Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan dalam
  Islam), dan lain sebagainya. 
Ø  Keanggotaan Hizbut Tahrir 
Cara
  mengikat individu-individu ke dalam Hizbut Tahrir adalah dengan memeluk
  Aqidah Islamiyah, matang dalam Tsaqafah Hizbut Tahrir, serta mengambil dan
  menetapkan ide-ide dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. Dia sendirilah yang
  mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya ia
  melibatkan dirinya dengan (pembinaan dan aktivitas dakwah) Hizbut Tahrir;
  ketika dakwah telah berinteraksi dengannya dan ketika dia telah mengambil dan
  menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi Hizbut Tahrir. Jadi ikatan yang
  dapat mengikat anggota Hizbut Tahrir adalah Aqidah Islamiyah dan Tsaqafah
  Hizbut Tahrir yang terlahir dari aqidah ini. [24] 
3.  
   Jama’ah Islamiyah 
Jama’ah Islamiyah adalah Jama’ah yang lahir di semenanjung India yang
  memfokuskan usahanya di bidang penanaman nilai-nilai syariat Islam dan
  penerapannya dalam kehidupan serta perlawanan terhadap pemikiran sekulerisme
  yang berusaha untuk menguasai wilayah semenanjung India.  
Pendiri dan Tokoh   
Abul A’la al-Maududi Lahir tahun 1903 di Haedar Abad Pakistan,
  pendidikan pertamanya dijalani di tangan ayahandanya Sayyid Ahmad Hasan yang
  nasabnya terhubung kepada keluarga Quthbuddin Maudud yang terkenal dengan kedudukannya
  sosial dan agamanya.  
Kehidupan
  dakwahnya bermula dari bidang jurnalistik tahun 1918 M dengan
  berpindah-pindah dari satu penerbitan ke penerbitan yang lain sebagai penulis
  atau direktur atau redaktur.  
Tahun
  1928 menulis buku al-Jihad fil Islam yang mempunyai gaung luas dan pengaruh
  kuat melawan penjajah Inggris dan para penyembah berhala di masanya.  
Tahun 1933 menerbitkan Majalah Turjuman al-Qur`an yang menjadi corong bagi pemikiran-pemikirannya kepada kaum muslimin di semenanjung India yang di kemudian hari membuka jalan baginya untuk mendirikan Jama’ah Islamiyah. Melalui Majalah Turjuman al-Qur`an ini, al-Maududi mengundang para ulama kaum muslimin dan pemimpin mereka untuk menghadiri Muktamar yang akhirnya terselenggara pada 26 Agustus 1941 M di Lahore dan dihadiri tujuh puluh lima orang yang mewakili seluruh wilayah India, melalui Muktamar inilah terbentuk Jama’ah Islamiyah dan al-Maududi terpilih sebagai pemimpinnya. 
Saat itu kekuasaan di semenanjung India dipegang oleh orang-orang
  Inggris, namun demikian al-Maududi berani mengeluarkan fatwa haram bekerja
  pada penjajah, hal ini menjadikan Jama’ah Islamiyah sebagai sasaran
  perlawanan dari penjajah sejak ia lahir.  
Al-Maududi keluar masuk penjara berkali-kali disebabkan oleh
  keberaniannya menghadapi pihak-pihak yang menentang penerapan syariat Islam
  di Pakistan, bahkan al-Maududi pernah dihukum mati sekalipun akhirnya tidak
  dilaksanakan, namun semua itu tidak melemahkan tekadnya dan tidak menyurutkan
  semangatnya, sebaliknya dia semakin kokoh menyuarakan nilai-nilai Islam dan
  dasar-dasarnya ke masyarakat.  
Jama’ah
  ini membantu orang-orang Kashmir yang berjihad membebaskan diri dari India
  melalu bidang medis dan sosial.  
Di
  bulan Nopember tahun 1972 M al-Maududi mundur dari
  jabatan sebagai pemimpin Jama’ah dengan alasan kesehatan, selanjutnya dia
  berkonsentrasi untuk menulis dan menyelesaikan bukunya Tafhim al-Qur`an.  
Di 27 Pebruari 1979 M al-Maududi menerima penghargaan dari Raja
  Faishal di bidang pengabdian kepada Islam dan dia menghibahkan uang hadiah
  untuk mendirikan Mujamma’ al-Ma’arif al-Islamiyyah di Lahore. 
Al-Mududi
  wafat pada 22 September 1979 M pasca operasi di New York dan jasadnya di
  terbangkan ke Lahore diiringi kesedihan dunia Islam. 
Al-Maududi
  meninggalkan buku-buku, pemikiran-pemikiran dan penerus-penerus, buku-bukunya
  banyak diterjemahkan ke bahasa lain dan dicetak berkali-kali. [25] 
4.    Majelis Mujahidin Indonesia 
Majelis Mujahidin adalah lembaga yang
  dilahirkan melalui Konggres Mujahidin I yang diselenggarakan di Yogyakarta
  tanggal 5-7 Jumadil Ula 1421 H, bertepatan dengan tanggal 5-7 Agustus 2000.
  Konggres tersebut bertemakan Penegakan Syari’at Islam, dihadiri oleh lebih
  dari 1800 peserta dari 24 Propinsi di Indonesia, dan beberapa utusan luar-negeri.
  Konggres Mujahidin I itulah yang kemudian mengamanatkan kepada sejumlah 32
  tokoh Islam Indonesia yang tercatat sebagai Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) untuk
  meneruskan misi Penegakan Syari’at Islam melalui wadah yang disebut sebagai
  Majelis Mujahidin. 
Majelis Mujahidin bermaksud menyatukan
  segenap potensi dan kekuatan kaum muslimin (mujahidin). Tujuannya adalah,
  untuk bersama-sama berjuang menegakkan Syari’ah Islam dalam segala aspek
  kehidupan, sehingga Syari’ah Islam menjadi rujukan tunggal bagi sistem
  pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun internasional.
  Yang dimaksudkan dengan Syari’at Islam disini adalah, segala aturan hidup
  serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an
  dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Manhaj
  perjuangan Majelis Mujahidin adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang
  shahih. 
Majelis Mujahidin bersifat Tansiq atau
  aliansi gerakan (amal) di antara ummat Islam (mujahid) berdasarkan ukhuwah,
  kesamaan aqidah serta manhaj perjuangan, sehingga majelis ini mampu menjadi
  panutan ummat dalam hal berjuang menegakkan Dienullah di muka bumi ini, tanpa
  dibatasi oleh suku, bangsa ataupun negara. 
Allah berfirman:  
“Hai manusia
  sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita. Dan
  Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
  mengenal (hidup rukun dan damai). Sesungguhnya orang yang paling mulia di
  sisi Allah ialah siapa yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya
  Allah Maha Mengenal lagi Maha Mengetahui.”[26]
  (Qs. Al-Hujurat, 49:13) 
Aliansi atau tansiq ini dikembangkan dalam 3 formulasi, yakni:
  Kebersamaan dalam misi menegakkan syari’at Islam (tansiqul fardi),
  Kebersamaan dalam Program menegakkan syari’at Islam (tansiqul ‘amali), dan
  Kebersamaan dalam satu institusi Penegakan Syari’ah Islam (tansiqun nidhami). 
Majelis Mujahidin dipermaklumkan di
  Yogyakarta melalui Kongres Mujahidin, pada hari Senin 7 Jumadil Ula 1421 H,
  bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 2000 M, untuk jangka waktu yang belum ditentukan. 
Majelis Mujahidin berpusat di Yogyakarta
  dengan Perwakilannya di seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri. 
Visi Majelis Mujahidin adalah tegaknya Syari’at Islam dalam kehidupan
  umat Islam, Misi Majelis Mujahidin adalah berjuang demi tegaknya syari’at
  Islam secara menyeluruh (kaffah), sehingga memperoleh keberuntungan hidup
  dunia-akhirat dan membawa rahmat bagi bangsa, negara, umat manusia, dan alam
  semesta. 
Misi tunggal ini memiliki penjabaran sebagai berikut : Pengamalan Syari’ah Islam harus dilakukan secara bersih dan benar & Syari’at Islam harus ditegakkan secara menyeluruh (kaffah). 
Penegakan Syari’at Islam yang diemban oleh Majelis Mujahidin dilandasi
  oleh ajaran Tauhid yang utuh, yakni Tauhid sebagaimana yang dituntunkan oleh
  Rasulullah Saw. sesuai dengan pemahaman Ulama salafus shalih. Dalam memahami
  Tauhid, manusia tidak boleh berpedoman hanya pada Tauhid Rububiyah dan Tauhid
  Asma’ wa Sifat saja, yang hanya meyakini Allah Swt. sebagai penguasa dan
  pengatur alam semesta, yang menentukan hidup-mati dan rizki manusia. Juga tidak cukup sekedar meyakini bahwa
  Allah itu Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan sifat-sifat Allah lainnya. Apabila
  Tauhid hanya dibatasi pada Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma’ wa Sifat saja,
  maka berarti manusia meniru perilaku iblis yang kemudian memperoleh murka dan
  azab dari Allah Swt untuk selama-lamanya. 
Keyakinan akan kekuasaan Allah Swt. sebagai
  penguasa dan pengatur alam semesta serta Allah itu Maha Mengetahui, Maha
  Kuasa, dan sifat-sifat Allah lainnya harus disertai dengan keta’atan akan
  semua perintah Allah, agar manusia selamat hidupnya dunia dan akhirat. Keta’atan
  pada perintah Allah swt secara menyeluruh inilah hakekat dari Tauhid para
  nabi yang membuat manusia beruntung dalam kehidupannya. Keta’atan hanya pada
  sebagian perintah Allah saja, tidak dapat dibenarkan dan sikap demikian
  diancam oleh Allah Swt. sebagaimana tertera dalam al Qur’an surat al-Baqarah
  ayat 85 : 
Artinya:
  “Apakah kalian hanya mengikuti sebagian saja tuntunan Allah dan menolak
  sebagian lainnya? Jika begitu sikap kalian maka tidak ada imbalan yang
  setimpal kecuali kehinaan di dunia sedangkan di akhirat akan menerima siksa
  yang pedih.” .[27] 
Di sinilah hakekat dari beriman dan
  ber-Islam secara benar yang seharusnya menjadi landasan berfikir, bersikap,
  dan bertindak kaum muslimin maupun ormas, orpol serta jama’ah/harakah Islam. 
 | 
 
| 
   
D. 
 | 
  
   
A.      Dampak gerakan fundamentalisme & radikalisisme 
Fundamentalisme
  dan radikalisme dalam Islam telah menjadi fenomena sosial yang membawa
  masalah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat saat ini. Beberapa aksi bom
  bunuh diri seperti bom Bali I dan bom Bali II, pengeboman Hotel JW. Marriot
  selalu dikaitkan dengan kelompok Islam fundamentalisme dan radikalisme
  sebagai biang pelakunya. Mereduksi fundamentalisme Islam sebagai biang
  teroris tidak mesti benar karena Islam pada dasarnya agama yang mengajarkan
  perdamaian dunia. Artinya, tidak ada satupun ajaran Islam yang terdapat dalam
  Al-Qur’an dan hadis yang menganjurkan umatnya melakukan teror, mengancam dan
  membahayakan orang lain. Islam adalah Penuh
  dengan kasih sayang dan cinta terhadap sesama, baik sesama manusia maupun sesama
  makhluk ciptaan Allah swt. Sebagaimana Allah swt telah menetapkan sifat agama
  Islam sebagai rahmatan lil’alamin, maka tidak dibenarkan bagi setiap umat
  Islam untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini dalam bentuk apapun. Allah swt
  telah berfirman di dalam Al Quran yang artinya: 
“Dan tiadalah kami
  mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
  alam.” (QS. Al Anbiya : 107)[28] 
Melalui ayat di
  atas, Allah swt telah dengan tegas mengatakan bahwa tujuan-Nya mengutus Nabi
  Muhammad saw ke muka bumi ini tidak lain hanyalah untuk menjadi rahmat bagi
  semesta alam. Dan melalui ajaran agama yang dibawanya (agama Islam) itulah,
  maka Rasulullah Muhammad saw kemudian menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam
  menjadi agama yang senantiasa mengedepankan kasih sayang antar sesama makhluk
  ciptaan Allah, terutama kepada sesama manusia. Sebagai agama yang
  rahmatan lil’alamin, maka tentu saja ajaran Islam sangat penuh dengan
  nilai-nilai persaudaraan, persatuan, cinta dan kasih sayang antar sesamanya.
  Kasih sayang yang sebenarnya tidak hanya sebatas pada sesama umat Islam saja,
  melainkan juga terhadap mereka yang beragama non-islam. Hal ini senada dengan
  firman Allah swt yang melarang umat-Nya untuk berlaku sombong kepada
  sesamanya, terutama terhadap sesama umat Islam itu sendiri. Berikut firman
  Allah swt di dalam Al Quran: 
“… dan rendahkanlah
  sayapmu (jangan bersikap sombong) kepada sesama orang-orang mukmin.” (QS. Al
  Hijr : 88)[29] 
Sebagai agama yang
  rahmatan lil’alamin, Islam juga tidak sedikitpun melupakan untuk membela
  hak-hak setiap manusia. Kesewenang-wenangan, ketidak adilan, kekerasan yang
  tidak beralasan yang benar, dan sebagainya merupakan larangan yang ditegaskan
  di dalam ajaran agama Islam. Sebaliknya, Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan
  untuk saling menjaga dan memelihara antar sesamanya. Menjaga kelestarian
  lingkungan (alam) maupun menjaga kehidupan sesama manusia. 
Allah swt telah
  berfirman yang artinya: 
“… Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
  (membunuh orang lain), atau karena membuat kerusakan di muka bumi, maka
  seolah-olah ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
  barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia
  telah menghidupkan seluruh masyarakat dunia …” (QS. Al Maidah : 32)[30] 
Islam adalah agama
  yang rahmatan lil’alamin, rahmat atau kasih sayang bagi semesta alam. Maka
  wajiblah bagi umat Islam untuk senantiasa menebarkan kasih sayang terhadap
  sesama makhluk ciptaan Allah swt maupun terhadap sesama manusia. Tidak layak
  dan diharamkan bagi umat muslim untuk berbuat kerusakan atau menebarkan
  permusuhan di manapun ia berada. 
Fundamentalisme dan radikalisme
  dalam Islam berawal dari perbedaan penafsiran dalam memahami teks-teks agama.
  Ada kelompok dalam Islam yang memahami teks agama secara kontekstual yang
  melahirkan Islam moderat dan adapula kelompok yang memahami teks agama secara
  tekstual yang pada akhirnya membentuk kelompok fundamental dan radikal dalam
  Islam. Gejolak fundamentalisme dan
  radikalisme popular pula ketika terjadi revolusi Islam di Iran pada tahun
  1979 yang karenanya memicu terbentuknya kelompok-kelompok radikal
  seperti  Front Rakyat Pembebasan Palestina, Front
  Perjuangan Rakyat Palestina dan lain-lainnya yang pada akhirnya mendorong
  munculnya kelompok-kelompok radikal lainnya yang tersebar seantero dunia. 
Salah satu penyebab utama
  timbulnya fundamentalisme dan radikalisme dalam Islam disebabkan karena sikap
  fanatik yang berlebihan dalam beragama, sehingga memunculkan satu paradigma
  bahwa apa yang dipahaminya itu yang paling benar dan lainnya salah. Penyebab timbulnya fanatisme
  yang berlebihan tersebut disebabkan oleh lima faktor utama, 1)
  kelompok-kelompok radikal kecewa terhadap sistem demokrasi yang sekuler.
  Artinya agama tidak diberi tempat dalam Negara, 2) Sikap fanatisme ini muncul
  pula karena Negara tidak mampu mengatur sistem sosial dan hukum masyarakat
  menjadi religius dan berkeadilan 3) fanatisme dalam beragama muncul karena
  ketidakadilan politik, 4) Faktor ekonomi, gerakan alamiah dari kaum tertindas
  akibat ketimpangan ekonomi, 5) Akibat arus globalisasi, kondisi umat Islam
  sendiri yang sebagian masih hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan akibat
  globalisasi juga disinyalir turut memicu munculnya pemikiran radikal dalam
  sebagian kelompok umat Islam di Indonesia.[31] 
Pengamat Militer dan Intelejen,
  Wawan Urwanto, mengatakan, gerakan radikalisme, baik yang berbasiskan agama
  maupun berbasis etnis dan ideologi tertentu, ternyata semakin tumbuh subur di
  Indonesia. "Kami amati gerakan
  radikalisme ini semakin menemukan bentuk brutalitasnya manakala tidak ada
  ketegasan dari pemerintah terkait aksi mereka," "Fundamentalisme,
  Radikalisme dan Kekerasan Bernuansa Agama", tindakan radikal itu harus
  dicegah, jika tidak negara ini akan terancam dan dikhawatirkan terpecah
  belah. 
"Sebelum
  gerakan radikal ini mengkoyak-koyak negara, pemerintah harus melakukan
  pencegahan dini dengan kembali menggelorakan semangat nasionalisme
  NKRI," gerakan radikal lebih pada mengarah serangan terhadap negara. 
Di beberapa negara, gerakan
  radikal ini bahkan sudah menyasar pada anak-anak kecil. Anak-anak tersebut
  direkrut dan diajarkan cara menggunakan senjata, yang pada akhirnya membentuk
  karakter radikalisme yang begitu kuat. 
Munculnya gerakan radikalisme ini
  lebih disebabkan karena pemahaman teks ayat-ayat Tuhan yang parsial, selain
  ketidakpastian hukum, ketidaktegasan pemerintah, dan ketimpangan ekonomi. "Tentu saja dampak yang
  ditimbulkannya adalah kepercayaan pada institusi negara melemah, kecurigaan
  antaragama dan kelompok agama. Budaya kekerasan dalam penyelesaian masalah
  juga akhirnya menjadi pendekatan dalam menyelesaikan konflik.  
Gerakan fundamentalisme,  lebih mengajarkan setiap orang untuk tunduk
  dan taat pada ajaran agamanya, hingga tingkat yang paling hakiki. Hanya saja,
  pemahanan ideologi yang setengah-setengah, sehingga menyebabkan gerakan ini
  berubah menjadi brutal. 
maka diperlukan langkah yang arif dari
  pemerintah untuk membimbing mereka kembali ke jalan yang sesuai dengan
  pengertian fundamentalisme itu . " 
Dampak dari gerakan
  fundamentalis radikalis di Indonesia di tahun 1980-an, ditandai oleh munculnya fenomena
  menguatnya religiusitas umat Islam yang muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami, munculnya lembaga ekonomi Islam (bank Syariah), Islamisasi hukum keluarga (UU Perkawinan), menguatnya warna keagamaan dalam sistem
  pendidikan (UU Pcndidikan Nasional), fenomena "ijo-royo-royo" di
  parlemen dan birokrasi, dipakainya simbol-simbol Islam dalam acara
  kenegaraan, serta munculnya partai-partai yang memakai platform Islam.   
 | 
 
| 
   
E.  
 | 
  
   
B.           
  Analisa Kritis 
C.          
    
D.          
  Makalah ini bertujuan untuk memberikan dasar
  argumentasi teologis yang melandasi munculnya gerakan pembaharuan dalam
  Islam, memahami berbagai ragam karakteristik gerakan Islam yang muncul dalam
  sejarah Islam dan mengetahui missi serta thema yang diperjuangkan oleh
  gerakan-gerakan Islam. 
Kecenderungan melihat Islam sebagai referensi utama guna memecahkan
  setiap persoalan  ternyata menjadi
  orientasi ideologi yang dominan dikalangan kaum muslimin. Dalam konteks abad
  ke-19 dan awal abad ke-20, persoalan orientasi ini merefleksikan persoalan
  kaum muslimin sendiri.  Dalam beberapa
  hal kondisi ini memerlukan reformasi internal yang tetap committed terhadap Islam
  dan pada waktu yang bersamaan berusaha menilai kembali pemahaman keagamaan
  yang dilakukakan selama ini. Semua ini menunjukkan semua gerakan modern Islam
  tidak hanya memperoleh legitimasi kuat, tetapi juga diyakini memiliki
  implikasi penting terhadap persoalan ajaran sosial Islam. 
Berdasarkan asumsi ini ada beberapa persoalan yang menjadi rujukan
  pemecahan masalah yang dihadapi kaum muslimin yang harus dirumuskan.
  Diantaranta adalah landasan teologis yang secara normatif  memberikan legitimasi munculnya pikiran dan
  gerakan dalam menjawab  setiap
  tantangan perkembangan modern. Disamping itu pengalaman historis kaum
  muslimin dalam menjawab tantangan kemunduran dan kemajuan yang dialaminya
  dalam sejarah klasik dan pertengahan Islam memberikan sumbangan yang sangat
  berharga  bagi perumusan  kembali norma Islam. Dasar-dasar normatif
  itu  kemudian mendorong munculnya
  berbagai ragam orientasi  ideologi
  keagamaan dari gerakan-gerakan Islam yang muncul sejak jaman khulafaur
  rasyidin hingga sekarang ini. 
Dengan adanya Fundamentalisme dan radikalisme
  dalam Islam yang berawal dari perbedaan
  penafsiran dalam memahami teks-teks agama yakni ada kelompok dalam Islam yang
  memahami teks agama secara kontekstual yang melahirkan Islam moderat dan
  adapula kelompok yang memahami teks agama secara tekstual yang pada akhirnya
  membentuk kelompok fundamental dan radikal dalam Islam. Gejolak fundamentalisme dan
  radikalisme yang karenanya memicu terbentuknya kelompok-kelompok yang
  sepakat dan tidak, bahkan sangat memungkinkan sekali munculnya tuduhan
  gerakan Islam sesat, untuk itu perlu disampaikan peraturan dari Pemerintah
  tentang pengawasan aliran sesat (Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun
  2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa
  Timur, khususnya) yang antara lain disampaikan “ Setiap orang apabila
  mengetahui adanya aliran yang diduga sesat, berkewajiban untuk memberitahukan
  kepada aparat yang berwenang dan tidak bertindak diluar ketentuan
  perundang-undangan yang berlaku”. [32] 
Karena sekarang sering muncul
  tuduhan yang dilontarkan untuk sebuah gerakan Islam dinyatakan sesat, padahal
  yang berhak menyatakan sesat itu adalah MUI, jika gerakan tersebut memang
  memiliki krieteria sesat dalam Islam. 
 | 
 
| 
   
F. 
 | 
  
   
E.           
  Kesimpulan 
1.       
  Fundamentalisme dan radikalisme
  dalam Islam berawal dari perbedaan penafsiran dalam memahami teks-teks agama.
  Ada kelompok dalam Islam yang memahami teks agama secara kontekstual yang
  melahirkan Islam moderat dan ada pula kelompok yang memahami teks
  agama secara tekstual yang pada akhirnya membentuk kelompok fundamental dan
  radikal dalam Islam. Gerakan
  fundamentalis & radikalis menghendaki adanya perubahan mendasar pada sistem yang
  ada saat ini yang mereka sebut sistem sekuler dan berupaya menggantinya
  dengan sistem baru (sistem Islam) yang mereka anggap sebagai solusi,
  merupakan jargon yang menyemangati gerakan mereka. 
Hegemoni politik dan ekonomi barat, berdampak terhadap
  dunia Islam yang menyebabkan semakin dalamnya krisis identitas yang dialami
  oleh masyarakat muslim dari Maroko sampai Indonesia. Krisis ini menimbulkan
  tantangan keagamaan sosial dan politik bagi kaum muslimin. Para pemikir
  muslim berkeyakinan bahwa Islam merupakan sumber inspirasi dalam menjawab
  tantangan sosial politik yang diakibatkan oleh modernisasi. Mereka yakin
  bahwa umat Islam bisa hidup di dunia modern tanpa harus meninggalkan prinsip
  ajaran agamanya. Tantangan semacam ini akhirnya mempengaruhi pergerakan
  keagamaan (Islam) yang mencoba menggali solusi sosial politik terhadap
  persoalan yang dihadapi umat Islam berdasarkan perspektif keagamaan. Semangat
  purifikasi dan revivalisme memberikan warna pada gerakan keagamaan yang
  mencerminkan jawaban kaum muslimin terhadap persoalan yang mereka hadapi. 
2.       
  Semua gerakan Islam yang muncul pada awal
  abad keduapuluh menyandarkan ideologinya pada Islam. Meskipun secara budaya
  gerakan-gerakan Islam ini diperkaya oleh unsur lokal dan nasional, pada
  dasarnya mereka ini mencerminkan pandangan dan wawasan Islam yang beragam.
  Orientasi ideologis yang bisa dilihat dari kelompok dan gerakan Islam yang
  muncul pada awal abad keduapuluh ini salah satunya adalah  fundamentalisme – Radikalisme. Fundamentalisme
  Islam, sesungguhnya bukan merupakan sebuah doktrin atau gerakan tunggal
  tetapi lebih menunjukkan ciri-ciri yang sebenarnya juga dimiliki oleh doktrin
  serta gerakan lain. Fundamentalisme
  merupakan sebuah orientasi ideologi dan karena
  itu harus didefinisikan sejalan dengan orientasi berbagai fenomena lain
  seperti gerakan revivalism, resurgence, reassertion dan islamist. 
3.       
  Munculnya gerakan Islam baru ini, diasumsikan sebagai akibat dari
  pengaruh gerakan serupa yang ada di Timur Tengah. Partai Keadilan Sejahtera
  ditengarai sebagai gerakan yang memiliki basis Ideologi Ihwanul Muslimin.
  Hizbut Tahrir Indonesia jelas-jelas menyatakan cabang dari Hizbut Tahrir
  Palestina. Demikian juga laskar jihad merupakan pengaruh dari pemikiran
  salafiah dari Saudi Arabia dan Kuwait. Majelis Mujahidin Indonesia oleh
  Sidney Jons dipandang memiliki kesamaan nama dan platform dengan Jama'ah Islamiyah faksi sempalan
  Ihwanul Muslimin yang eksis di Mesir.  
a.        
  Jamaah
  Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan
  pendiri Hassan al-Banna, Secara misterius, pendiri
  Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna meninggal dunia karena dibunuh pada 12 Februari 1949. Kemudian, tahun 1950, pemerintah Mesir merehabilitasi organisasi
  Ikhwanul Muslimin. Pemikiran yang memandang bahwa Islam adalah dien yang universal dan menyeluruh, bukan hanya
  sekedar agama yang mengurusi ibadah ritual (salat, puasa, haji, zakat, dll) saja. Tujuan Ikhwanul
  Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga
  Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin
  oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka
  yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan da’wah kepada Allah
  sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam.  
b.        
  Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis),
  Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan
  membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam
  melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh
  Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah
  menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. Hizbut Tahrir masuk ke
  Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di
  seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke
  masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran,
  perusahaan, dan perumahan. Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan
  Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia ;  membangkitkan kembali umat Islam dengan
  kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang ; berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa
  kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih
  kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini.  
c.        
  Jama’ah Islamiyah adalah Jama’ah yang lahir di
  semenanjung India yang memfokuskan usahanya di bidang penanaman nilai-nilai
  syariat Islam dan penerapannya dalam kehidupan serta perlawanan terhadap
  pemikiran sekulerisme yang berusaha untuk menguasai wilayah semenanjung
  India. Pendiri dan Tokohnya adalah Abul A’la al-Maududi Lahir tahun 1903 di
  Haedar Abad Pakistan 
d.       
  Majelis Mujahidin Indonesia Majelis Mujahidin adalah lembaga
  yang dilahirkan melalui Konggres Mujahidin I yang diselenggarakan di
  Yogyakarta tanggal 5-7 Agustus 2000. Konggres tersebut bertemakan Penegakan
  Syari’at Islam, dihadiri oleh lebih dari 1800 peserta dari 24 Propinsi di
  Indonesia, dan beberapa utusan luar-negeri. Majelis Mujahidin bermaksud
  menyatukan segenap potensi dan kekuatan kaum muslimin (mujahidin). Tujuannya
  adalah, untuk bersama-sama berjuang menegakkan Syari’ah Islam dalam segala
  aspek kehidupan, sehingga Syari’ah Islam menjadi rujukan tunggal bagi sistem
  pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun internasional.
  Yang dimaksudkan dengan Syari’at Islam disini adalah, segala aturan hidup
  serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an
  dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Manhaj perjuangan Majelis
  Mujahidin adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang shahih. 
4.       
  Dampak gerakan fundamentalisme &
  radikalisisme. Fundamentalisme dan radikalisme dalam Islam telah
  menjadi fenomena sosial yang membawa masalah dalam tatanan kehidupan
  bermasyarakat saat ini. Beberapa aksi bom bunuh diri seperti bom Bali I dan
  bom Bali II, pengeboman Hotel JW. Marriot selalu dikaitkan dengan kelompok
  Islam fundamentalisme dan radikalisme sebagai biang pelakunya. Mereduksi
  fundamentalisme Islam sebagai biang teroris tidak mesti benar karena Islam
  pada dasarnya agama yang mengajarkan perdamaian dunia. Artinya, tidak ada
  satupun ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis yang
  menganjurkan umatnya melakukan teror, mengancam dan membahayakan orang lain. Salah satu penyebab
  utama timbulnya fundamentalisme dan radikalisme dalam Islam disebabkan karena
  sikap fanatik yang berlebihan dalam beragama, sehingga memunculkan satu
  paradigma bahwa apa yang dipahaminya itu yang paling benar dan lainnya salah.
  Penyebab
  timbulnya fanatisme yang berlebihan tersebut disebabkan oleh lima faktor
  utama, 1) kelompok-kelompok radikal kecewa terhadap sistem demokrasi yang
  sekuler. 2) Sikap fanatisme ini muncul pula karena Negara tidak mampu
  mengatur sistem sosial dan hukum masyarakat menjadi religius dan berkeadilan
  3) fanatisme dalam beragama muncul karena ketidakadilan politik, 4) Faktor
  ekonomi, gerakan alamiah dari kaum tertindas akibat ketimpangan ekonomi, 5)
  Akibat arus globalisasi, kondisi umat Islam sendiri yang sebagian masih hidup
  dalam kemiskinan dan ketidakadilan akibat globalisasi juga disinyalir turut
  memicu munculnya pemikiran radikal dalam sebagian kelompok umat Islam di Indonesia.  
F.           
    
 | 
 
[6] Sayyid Abul A’la
Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa terakhir.
Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) di
Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H).
Rasa dekat keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan
kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam membentuk
pandangan Maududi di kemudian hari.
Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk sekolah di Aurangabad. Di sini ia
mendapatkan pelajaran modern. Namun, lima tahun kemudian ia terpaksa
meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya sakit keras dan kemudian wafat. Pada 1919 dia ke
Jubalpur untuk bekerja di minggua partai pro Kongres yang bernama Taj. Di sini
dia jadi sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi kaum
muslim untuk mendukung Partai Kongres.
Kemudian Maududi kembali ke Delhi dan berkenalan dengan pemimpin penting
Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Maududi menerbitkan surat kabar
nasionalis, Hamdard. Namun itu tidak lama. Selama itulah pandangan politik
Maududi kian religius. Dia bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan hijrah)
yang mendorong kaum muslim India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang
dianggap sebagai Dar al-Islam (negeri Islam).
Pada 1921 Maududi
berkenalan dengan pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind (masyarakat ulama India). Ulama
jami’at yang terkesan dengan bakat maududi kemudian menarik Maududi sebagai
editor surat kabar resmi mereka, Muslim. Hingga 1924 Maududi bekerja sebagai
editor muslim. Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik
kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu
tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam.
Di Delhi, Maududi
memiliki peluang untuk terus belajar dan menumbuhkan minat intelektualnya. Pada
1926, ia menerima sertifikat pendidikan agama dan jadi ulama.
Runtuhnya khilafah
pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi
sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan
Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak
imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim.
Gagasannya ia
wujudkan dengan mendirikan Jama’at Islami (partai Islam), tepatnya pada Agustus
1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri,
Jama’ati Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana Jama’at mengembangkan
struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksi.
Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di tengah-tengah umat. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama 385 anggota jama’at memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi sebagai pemimpinnya. Sejak itu karier politik dan intelektual Maududi erat kaitannya dengan perkembangan Jama’at. Dia telah "kembali" kepada Islam, dengan membawa pandangan baru yang religius. Abul A'la Maududi, http://id.wikipedia.org/wiki/Abul_A%27la_Maududi, diaksess tanggal 18 November 2012.
[7] Hassan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa
Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Pada
usia 12 tahun, Hasan al-Banna telah menghafal al-Qur'an. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak
dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin
(Persaudaraan Muslimin). Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh oleh penembak misterius yang
oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak 'titipan' pemerintah pada 12
Februari 1949 di Kairo. Mugiyono, “Neo Revivalisme
Islam : Pemikiran Pembaharuan Islam Hasan Al Banna”, JIA, Nomor 1 Th.VIII (Juni
2007), 41-42.
[8] Salah satu pemikir
fundamentalis Islam yang terkenal adalah Sayyid Qutb, beliau lahir di Asyut,
Mesir pada tahun 1906. Sayyid Qutb adalah salah satu pemikir Islam yang banyak
diilhami oleh Al-Maududi, beliau adalah seorang penyair dan guru. Sayyid Qutb
adalah salah satu anggota dari Ikhwanul Muslimin dan beliau bergabung pada
tahun 1951 serta menjabat sebagai penasihat kebudayaan serta menjadi editor
koran Ikhwanul Muslimin. Pemikiran
Sayyid Qutb Semasa Hidupnyahttp://id.wikipedia.org/wiki/
Pemikiran Sayyid Qutb Semasa Hidupnya, diakses 17 November
2012.
[9] Sayyid
Ayatollah Ruhollah Khomeini (lahir di Khomein, Provinsi Markazi, 24 September 1902 – meninggal di Tehran, Iran, 3 Juni 1989 pada umur 86 tahun) ialah tokoh Revolusi Iran dan
merupakan Pemimpin
Agung Iran pertama. Lahir di Khomeyn, Iran. Ia belajar teologi di Arak dan kemudian di kota
suci Qom, di mana ia mengambil tempat tinggal permanen
dan mulai membangun dasar politik untuk
melawan keluarga kerajaan Iran, khususnya Shah
Mohammed Reza Pahlavi. Uji utama pertamanya – dan rasa politik
pertama yang sesungguhnya – tiba pada 1962 saat
pemerintahan Shah berhasil mendapatkan RUU yang
mencurahkan beberapa kekuasaan pada dewan provinsi dan kota. Sejumlah pengikut Islam keberatan pada
perwakilan yang baru dipilih dan tak diwajibkan bersumpah pada al-Qur'an namun
pada tiap teks suci yang dipilihnya. Khomeini menggunakan kemarahan ini dan
mengatur pemogokan di seluruh negara yang
menimbulkan penolakan pada RUU itu.Khomeini dan 'Permulaan Revolusi Islamnya'.
Disambut ratusan ribu rakyatnya di bandara dan
ribuan lebih lanjut yang berjajar sepanjang jalan kembali ke Teheran. Ayatollah
sudah sepantasnya memandang Iran sebagaimana dirinya, dan Khomeinipun menjadi
pemimpin spiritual. Teheran menjadi kursi kekuatan, jauh dari jantung kota
Qom.Pada 1981 Irak menyerang Iran. Perang itu berlangsung 8 tahun penuh yang menghancurkan hidup jutaan muslimin pada
kedua sisi tanpa keuntungannya pada tiap yang bertempur.Khomeini meninggal di
Teheran pada 3 Juni 1989. Ruhollah Khomeinihttp://id.wikipedia.org/wiki/Ruhollah Khomaini , diakses 17
November 2012.
[10] Revolusi Iran (juga dikenal dengan sebutan Revolusi Islam, merupakan revolusi yang mengubah Iran dari Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, menjadi Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini, pemimpin revolusi dan pendiri dari Republik Islam.[7] Sering disebut pula "revolusi besar ketiga dalam sejarah," setelah Perancis dan Revolusi Bolshevik. Revolusi Islam Iran, http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Islam_Iran, diakses tanggal 18 November 2012.
[14] Mugiyono, “Neo Revivalisme Islam : Pemikiran
Pembaharuan Islam Hasan Al Banna”, JIA, Nomor 1 Th.VIII (Juni 2007), 41-58.
[25] Izzudin Karimi, “Sejarah
Jamaah Islamiyah”, (www.alsofwah.or.id) ; http://globalkhilafah.blogspot.com/2010/05/sejarah-jamaah-islamiyah.html, 16 November
2012
[32] Peraturan
Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan
dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar