BERDIRINYA
DINASTI-DINASTI KECIL PADA MASA ABBASIYAH
DI
BARAT BAGDAD
(IDRISIYAH,
AGHLABIYAH, THULUNIYAH, IKHSIDIYAH,
HAMDANIYAH
DAN QARAMITH)
oleh : Alfiatu Solikah
oleh : Alfiatu Solikah
A.
Pendahuluan
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khalifah
Abbasiyah, sebagaimana kita ketahui adalah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani
Umayyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al Saffah ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti
ini, sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Oleh karena itu, maka Pembina sebenarnya dari
daulat Abbasiah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754 – 775).[1]
Abu Ja’far al-Mansur banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti bani Abbas. Pada
tahun 762 M, Abu ja’far al-Manshur memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah,
kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibukota
Persia. Oleh karena itu, ibukota pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di
tengah-tengah bangsa Persia. Abu ja’far al-Manshur juga digambarkan sebagai
orang yang kuat dan tegas, di tangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang
kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah disegani oleh kekuasaan
Byzantium.
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang
dihadapai dinasti Abassiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong
pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul dimana-mana, baik gerakan
dari kalangan intern bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun,
semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan ini semakin memantapkan posisi
dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan betul-betul ditangan
khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya, dimana para
khalifah sangat lemah.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai
dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk
hidup mewah. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya.
Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat.
Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan
roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi
peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh
khalifah al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada ditangan mereka, sementara kekuasaan
bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah mulai pudar, dan ini merupakan awal dari
keruntuhan dinasti ini yang menyebabkan terjadinya disintegrasi yakni keadaan tidak
bersatu padu
atau keadaan terpecah
belah.”
Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disintegrasi, yakni ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu dengan pembayaran upeti. Alasannya, pertaman mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya ; kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijakan yang demikian, maka propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara : Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Maroko ; Kedua, seseorang yang ditunuk menjadi gubernur oleh kholifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Disintegrasi (tidak bersatu) dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara Bani Umayyah dengan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyahm mulai dari awal berdirinya sampai keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya banyak daerah[daerah itu berada dibawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Akibatnya banyak propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, diantaranta : Dinasti Idrisi di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H /
800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), Dinasti
Ikhsyidiyah (323 H-357 H / 934 M-967 M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929
M – 1009 M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M) dan Dinasti
Qaramithah.
B.
Dinasti Idrisi di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M)
Kerajaan ini didirikan oleh Idris bin Abdullah, cucu Hasan putra Ali.
Dia adalah salah seorang tokoh bani Alawiyyin (nisyah Ali bin Abu Thalib). Pada
tahun 172 H/788 M, Idris dilantik sebagai imam, dan terbentuklah kerajaan
Idrisi dengan ibu kota Walila. Namun masa pemerintahannya hanya bertahan selama
5 tahun.
Selanjutnya Idris bin Idris bin Abdullah (Idris II) menggantikan ayahnya
sebagai pemerintah (177 H/793 M). Dengan pusat pemerintahannya dipindahkan ke
Fes sebagai Ibu kota yang baru pada tahun 192 H.Ketika Idris II wafat,
Pemerintahannya diganti oleh
Muhammad Al-Muntashir (213 H / 828 M). Pada masa
ini, kerajaan Idrisi berpecah-pecah. Akibatnya kerajaan menjadi lemah, terutama
selepas Muhammad Al-Muntashir meninggal, pemerintahannya semakin rapuh. Kerajaan
Idrisi adalah kerajaan Syiah pertama dalam sejarah. Zaman kerajaan Idrisi
(172-314 H/789-926 M) adalah suatu jangka waktu yang cukup lama dibandingkan
dengan kerajaan-kerajaan yang lain. Dalam aspek
dakwahnya, Idrisi yang membawa Islam dan mampu meyakinkan penduduk Maroko dan
sekitarnya.[2]
C.
Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M).
Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang
berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Wilayah kekuasaannya
meliputi Ifriqiyah, Algeria dan Sisilia. Pendiri Dinasti ini
adalah Ibrahim ibn al-Aghlab pada tahun 800 M.. Aghlabiyah
memang merupakan Dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para penguasanya
adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga Dinasti tersebut
dinamakan Aghlabiyah. Awal mula
terbentuknya Dinasti tersebut yaitu ketika Baghdad di bawah pemerintahan Harun
ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara, terdapat dua bahaya besar yang
mengancam kewibawaannya. Pertama dari Dinasti Idris yang beraliran Syi’ah dan
yang kedua dari golongan Khawarij.
Dengan adanya dua ancaman tersebut terdoronglah
Harun ar-Rasyid untuk menempatkan bala tentaranya di Ifrikiah di bawah pimpinan
Ibrahim bin Al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim
bin al-Aghlab mengusulkan kepada
Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan
kepadanya dan anak keturunannya
secara permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka
ia tidak hanya mengamankan dan memerintah wilayah tersebut, akan tetapi juga
mengirim upeti ke Baghdad setiap
tahunnya sebesar 40.000 dinar. Harun ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga
berdirilah Dinasti
kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifrikiah yang
mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun
demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan
Baghdad.
Karena Ibrahim ibn al-Aghlab sangat pandai
menjaga hubungan dengan Khalifah Abbasiyah seperti membayar pajak tahunan yang
besar, maka Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi
yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa
campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara
dengan Bagdad. Sehingga Aglabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah. Para penguasa
Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah sebagai berikut :
1.
Ibrahim (179 H/795 M)
2.
Abdullah I (197 H/812 M)
3.
Ziyaadatullah (210 H/817 M)
4.
Abu Ilqal Al-Aghlab (223 H/838 M)
5.
Muhammad I (226 H/841 M)
6.
Ahmad (242 H/856 M)
7.
Ziyaadatullah II (248 H/863 M)
8.
Abu Al-gharaniq Muhammad II (250 H/863 M)
9.
Ibrahim II (261 H/875 M)
10. Abdullah II (289
H/902 M)
11. Ziyaadatullah III
(290-296 H/903-909 M)
Aghlabiyah adalah
pembangun yang penuh semangat. Di antara bangunan-bangunan peninggalan
Aghlabiah adalah
:
a.
Pembangunan kembali Masjid Agung Qayrawan oleh
Ziyadatullah I
b. Pembangunan
Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
c. Pembangunan
karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah
selatan yang kurang subur.
Menjelang akhir abad
IX, posisi Aghlabiah di Ifqriqiyah menjadi merosot. Hal ini disebabkan karena
amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan (berfoya-foya), dan
seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah, Abu
Abdullah. Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh yang cukup
besar di Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer, dan Dinasti
Aghlabiyah dikalahkan oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III diusir ke Mesir
setelah melakukan upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari
Abbasiah untuk menyelamatkan Aghlabiah.[3]
D. Dinasti Thulun di
Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M)
Dinasti Thuluniyah
merupakan dinasti yang memperoleh hak otonom dari pemerintahan dinasti
Abbasiyah. Pendirinya adalah Ahmad Ibn
Thulun,[4] yaitu seorang budak dari Asia tengah yang
dikirim oleh panglima Thahir Ibn Husaen ke Baghdad untuk dipersembahkan kepada
Khalifah al-Makmun dan diangkat menjadi kepala pegawai Istana.[5] Ahmad Ibn Thulun dikenal sebagai sosok yang
gagah berani, dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra, syari’at dan militer.
Pada masa khalifah
al-Mu’taz, Ahmad Ibn Thulun diangkat menjadi wali di Mesir dan Libya atas
bantuan ayah tirinya yang menjabat sebagai panglima Turki di belahan barat.
Ketika pemerintahan Abbasiyah terjadi disintegrasi dan distabilitas politik,
Ahmad Ibn Thulun memanfaatkan situasi ini dengan memproklamasikan indepensi
wilayahnya dengan membentuk dinasti Thuluniyah, meskipun demikian, Thuluniyah
masih tetep memperlihatkan loyalitasnya kepada pemerintahan Abbasiyah melalui
penyebutan nama khalifah pada kotbah jum’at dan penulisan nama khalifah pada
mata uang, serta pembayaran pajak sejumlah 300.000 dinar.[6]
Lahirnya rezim Thulun
mengubah keadaan negeri itu, dan secara bertahab berhasil menciptakan
kemakmuran. Ibnu Thulun membangun Negara barunya itu dan membentuk organisasi
militer yang ketat. Untuk mempertahankan kekuasaan, ia mengadalkan kekuatan
angkatan perangnya yang berkekuatan seratus ribu tentara, dengan tentara
intinya terdiri dari prajurit kebangsaan Turki ditambah budak-budak negro.[7] Keberadaan
dinasti ini semakin bertambah besar dan kuat, setelah adanya ikatan perkawinan
antara Ibn Thulun dengan saudara Yarjukh, sebagai jaminan atas kedudukan yang
di peroleh Thuluniyah. Ahmad Ibn Thulun mulai mengdakan ekspansi ke wilawah
Hijaz di semenanjung Arabia hingga Palestina dan Siria pada tahun 878 M serta
wilayah Sisilia di Asai kecil pada tahun 879 M.[8]
Pada
masa pemerintahannya Ahmad Ibn Thulun dinasti ini sudah mulai memperlihatkan
kecermelanggannya, ia membentuk armada laut yang kuat, untuk membentengi
serangan-serangan musuhnya, mendirikan markas militer al-Qatha’i, Fusthath dan
membangun masjidnya yang terkenal untuk menampung semua pasukan yang tidak
tertampung di masjid ‘Amr ibn al-Ash.[9] Ibn Thulun meninggal pada tahun 270 H dalam usia 50 tahun, maka
kekuasaannya pun berpindah ke tangan tangan putranya yang tertua yaitu
Khumarwaihi. Di bawah kekuasaannyalah dinasti Thuluhiyah mencapai masa
kejayaannya.[10] Ia dapat memperluasnya hingga Siria, Gunung
Taurus, al-Jazirah kecuali Mosul.[11] Pada
masa kejayaanya ini Thuluniyah mencapai berbagai macam pretasi antara lain
yaitu bidang seni dan arsitektur, pembangun rumah sakit yang yang memakan biaya
60.000 dinar dan istana Khumarwaihi dengan balairung emasnya. Menurut Pillip,
bangunan ini memiliki aula emas yang dindingnya dihiasi emas dan dihiasi
ukiran-ukuran yang bergambar dirinya, para Istri dan pengiringgnya, terdapat
kandang burung yang besar, kebun binatang dan kolam air raksa yang terletak di
pelataran depan.[12]
Selama
beberapa tahun menjelang berakirnya masa kekuasaan al-Khumarwaihi, dinasti ini
mulai kelihatan adanya gejala-gejal memburuk, ketiak Khumarwaihi meninggal,
tahta dipegang oleh Abu al-‘Asakir Jaisy Ibn Khumarwaihi, kemudian Harun bin
Khumarwaihi dan terakir di pegang oleh Saiban Ibn Ahmad Ibn Thulun. Pada masa pemerintahan Syaiban muncul dan
berkembang sekte-sekte keagamaan Qaramitah yang berpusat di Gurun Siria.
Melihat keadaan seperti itu Sayiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk
mengendalikan sekte-sekte tersebut, dan bersamaan dengan itu pula khalifah
Abbasiyah mengirimkan pasukan untuk menaklukkan dinasti Thuluniyah serta
membawa keluarga dinasti ini yang masih hidup ke Baghdad. Maka berakirlah
dinasti ini.[13]
E. Dinasti
Ikhsyidiyah (323 H- 357 H / 934 M-967 M)
Dinasti ini didirikan oleh
Muhammad Ibn Thught al-Ikhsyid. Gelar ikhsyid ini diperoleh pada tahun
323H/935M, ketika dia diangkat menjadi gubernur Mesir, dari khalifah Ar-Radhi,[14] atas jasanya mempertahankan dan memulihkan
keadaan Nil dari serangan kaum Fatimiyah yang berpusat di Afrika utara.[15] Dinasti ini mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam menyokong dan memperkuat wilayah Mesir. Pada masa itu, Mesir
mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena ditopang dengan kemiliteran
Ikhsidiyah yang tangguh dan pasukan pengawal sejumlah 40.000 orang dan 800
orang pengawal pribadi.[16]
Kekuasaan
dua anak laki-laki yang menggantikan al-Ikhsyid hanya bersifat formalitas,
kendali pemerintahan dipegang oleh seorang kasim yang memiliki kecakapan dari
Abissina, yakni Abu Kafur, yang kemudian menjadi satu-satunya penguasa sejak 966-986 M.[17]
Pada
dinasti Ikhsidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan
intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang dipusatkan di
masjid-masjid, rumah para menteri dan ulama’. Kegiatan itulah yang berperan dalam pendewasaan pendidikan pada saat
itu, dan juga dibangun sebagai pasar buku yang besar sebagai pusat dan tempat
beridiskusi yang dikenal dengan nama Syuq al-Waraqin.[18] Namun ia tidak memberikan kontribusi apa pun bagi kehidupan seni dan
sastra di Mesir maupun di Suriah. Tidak ada karya-karya publik yang lahir dari
tangan mereka.[19]
Setelah dua tahun berkuasa
di Mesir, dinasti ini mengadakan ekspansi ke wilayah Suriah dan Palestina,
menurut Pillip keduanya dimasukkan kedalam Negara semi independen yang
dipimpinnya, tahun berikutnya Mekah dan Madinah dimasukkan kedalam wilayahnya.
Dengan demikian kekuasaannya bertambah besar dan pesat, bahkan menurut Bosworth
kekuasaanya tidak terbatas.
Pada tahun 355H/966M Kafur
meninggal, kemudian kekuasaan dinasti berpindah tangan kepada Abu al-Fawaris
Ibn Ahmad Ibn Ali. Ketika kekuasaan dipegang oleh al-Fawaris dinasti Ikhsidiyah
menjadi lumpuh. Tampaknya kekuasaan al-Fawaris tidak bertahan lama, karena
kepimimpinannya sangat lemah, sehingga serangan terus-menerus dari Fathimiyah
dilancarkan kepada pemerintahannya, membuat dinasti Ikhsidiyah tidak berdaya
dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Pada akhirnya, Ikhsidiyah
dapat ditaklukkan oleh Fathimiyah.[20]
F.
Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009
M)
Dinasti Hamdaniyah
didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, nama dinasti ini dinisbahkan kepada
pendirinya Hamdan Ibn Hamdun yang bergelar al-Haija.[21] Seorang
amir dari suku Taghlib. Putranya Husaen adalah panglima pemerintahan Abbasiyah
dan Abu Haija Abdullah diangkat menjadi gubernur Moasul oleh khalifah
al-Muktafi pada tahun 905 M.[22] wilayah kekuasaan dinasti ini dibagi menjadi
dua bagian, yaitu wilayah kekuasan di Mousul dan wilayah kekuasaan di Halb. Wilayah kekuasaan di Halb terkenal sebagai
pelindung kesusaseraan Arab dan ilmu pengetahuan. Menurut Bosworth faktornya
terutama karena Sayf Ad-Dawlah memberikan dorongan kepada penyair al-Munabbi.[23] Pada masa itu pula, muncul tokoh-tokoh
cendekiawan besar, seperti Abi a-Fath dan Usman Ibn Jinny yang menggeluti di
bidang nahwu, Abu Thayyib al-Munabbi, Abu Firas Husaen Ibn Nashr ad-Daulah, Abu
A’la al-Ma’ari dan Syarif ad-Daulah yang mendalami ilmu sastra, serta lahir
pula filosof besar yaitu al-Farabi.[24]
Setelah
meninggalnya Haija, tahta kerajaan beralih pada seorang putranya, yaitu Hasan
Ibn Abu Haija yang diberi gelar oleh khalifah Syaif ad-Daulah. Syaib ad-Daulah inilah yang berhasil
menguasai Halb dan Hism dari kekuasaan Ikhsidiyah. Menurut Bosworth, meskipun
mereka berkuasa di sebuah wilayah yang makmur, yang memiliki banyak pusat
perdagangan dan aktivitas, Hamdaniyah masih memperlihatkan yang tidak
bertanggung jawab. Suriyah dan al-Jazirah terpaksa menderita akibat kerusakan
yang ditimbulkan dalam peperangan, kendati Ibn Iqbal (ahli geografi)
selanjutnya mencatat bahwa ketamakan para amir yang semakin memperbesar
kesengsaraan disana.[25] Hal ini yang mengakibatkan kurangnya simpati
dari masyarakat dan jatuhnya wibawa pemerintahan. Selain faktor diatas jatuhnya
dinasti Hamdaniyah disebabkan karena munculnya dinasti Bizantium dibawah
kekuasaan Macedonia bersamaan dengan berdirinya Hamdaniyah, invasi yang
dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriyah mengakibatkan Allepo dan Hism
terlepas dari wilayah kekuasaannya, hingga dinasti ini lumpuh. Disisi lain
Fathimiyah ke bagian Suriah selatan yang selanjutnya meruntuhkan dinasti
Hamdaniyah Suriyah, dengan terbunuhnya
Said ad-Daulah yang memegang kekuasaan Hamdaniyah saat itu. Akhirnya
dinasti ini takluk kepada dinasti Fathimiyah.[26]
G. Dinasti Qaramitah
Qirmit bermakna melangkah pendek apabila berjalan. Ini kerana Hamdan
dilihat pada zahirnya sebagai seorang yang bersifat zuhud dan fakir. Dia
menetap di kampung daerah Teluk Parsi dengan mendirikan sebuah kawasan dan
menamakannya dengan Darul Hijrah
kononnya mengikut contoh nabi. Selepas berjaya
mendapat pengaruh, dia menyebarkan ajarannya di daerah sekitarnya. Dinasti
Qaramitah dimulai di tahun 874 M olah Hamdan Qirmit. Ia seorang penganut faham Syi'ah Ismailiah di
Irak.
Di tahun 899 M kaum Qaramitah ini dapat membentuk
negara merdeka di Teluk Persia, yang kemudian menjadi pusat kegiatan mereka dalam menentang
kekuasaan Bani Abbas. Di tahun 930 M, serangan-serangan mereka meluas
sampai sejauh Mekkah. Sewaktu pulang mereka bawa lari al-Hajr al-Aswad yang
dikembalikan baru dua puluh tahun kemudian.
H. Kesimpulan
1.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disintegrasi antara lain :
a)
Kecenderungan hidup bermewah-mewah dari para
khalifah yang ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat.
b)
Para penguasa Abbaisyah mempekerjakan orang-orang
professional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki, sehingga memberi
peluang untuk mengambil kendali pemerintahan.
2.
Untuk memisahkan diri dari penguasa bani Abbas
ada dua cara :
a)
Seorang pemimpin lokal memimpin suatu
pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
b)
Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh
khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat.
3. Munculnya
dinasti-dinasti kecil dikarenakan beberapa faktor, diantaranya:
a)
Luasnya
wilayah kekuasaan daulat
Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan
itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b)
Dengan profesialisasi angkatan bersenjata,
ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
c)
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup
memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
4.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri
dari kekuasaan Bagdad pada masa khaifah Abbasiyah, antara lain :
a)
Aghlabiyah
b)
Thuluniyah
c)
Ikhsidisiyah
d)
Hamdaniyah
5.
Dinasti-dinasti yang lahir dan berdiri sendiri tanpa harus melepaskan diri dari
kekuasaan Bagdad,
antara lain :
a) Idrisiyah
b) Qaramitah
[1] Syed Mahmudun Nasir, Islam;
Its Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul Islam;
Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), 250
[2] Nasution,
Harun. Islam; Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I. Cet. V ; (Jakarta: UI.
Press, 1985), 55-75.
[3]
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), 65-90.
[4] Pillip K. Hitty,
History of the Arabs (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), 573.
[5] Dedi Supriadi,
hal. 163. Yang dikutip dari buku History of Arabs karangan Pillip k.
Hitty, hal. 452.
[6] Dedi Supriadi, hal. 164. (diambil
dari buku Sejarah dan Kebudayaan IslamI karangan Hasan Ibrahim Hasan,
hal. 215)
[7] Pillip K. Hitty,
History of The Arabs, 574.
[8] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung : Pustaka
Setia, 2008), 164.
[9] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: MIZAN, 1993),
hal. 68. Diterjemahkan dari buku The Islamic Dinasties terbitan
Edinburgh University Press, tahun 1980 oleh Ilyas Hasan.
[10] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban
Islam,164.
[11] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat
Islam (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), 151.
[12] Pillip K. Hitty, History of The Arabs, 576.
[13] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam,165-166.
[14] C.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, 69.
[15] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam,166.
[16] Ibid, 166.
[17] Pillip. K. Hitty, History of the Arabs, 578.
[18]Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, 166.
[19]Pillip. K. Hitty, History of the Arabs, 579.
[20]Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, 167.
[21]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : AMZAH,
2009), 227.
[22]Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, 167.
[23] Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, 75.
[24]Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, 167.
[25]Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, 75.
[26] Dedi
Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, 167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar