ASBÂB AL-NUZÛL
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk
kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan
menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan
Risalah-Nya, juga memberitahu hal yang telah lalu, kejadian-kejadian kontemporer
dan berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar al-Qur’an pada mulanya
diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama
Rosulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi
diantara mereka peristiwa khusus yang
memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka, kemudian mereka
bertanya kepada Rosulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka
Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul tadi.
Hal seperti itulah yang dinamakan Asbâbun nuzûl.
Pemaknaan ayat
al-Qur’an seringkali tidak diambil dari makna letter lack. Oleh karena
itu perlu diketahui hal-hal yang berhubungan dengan turunnya ayat tersebut.
Sedemikian pentingnya hingga Ali ibn al-Madiny guru dari Imam al-Bukhari ra
menyusun ilmu asbâbun
nuzûl secara khusus. Kemudian ilmu asbâbun nuzûl berkembang sehingga memudahkan para mufassirin dalam
menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an serta memahami isi kandungannya.
Ilmu asbâbun nuzûl
dalam studi ilmu al-Qur’an sangat diperlukan dalam mempertegas dan mempermudah
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, maka tidak mungkin
terdapat di antara ayat al-Qur’an yang tidak diketahui hukumnya tanpa ilmu
asbabaun nuzul. Sebagaimana firman Allah SWT.
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah 115)[1]
Asbâbun nuzûl ayat tersebut : “Ibnu Umar berkata :
Saat dalam perjalanan dari Makkah menuju Madinah, Rosul sholat sunah diatas
untanya, kemanapun arah unta itu, meskipun unta tersebut tidak menghadap
kiblat. Sebagai penjelasan atas kejadian itu, Allah menurunkan ayat ini”. (HR.
Muslim, Tirmidzli & Nasa’i)[2]
Dari ayat tersebut
dapat dipahami bolehnya melaksanakan sholat menghadap selain kiblat. Pemahaman
seperti ini tidak dapat dibenarkan karena menghapap kiblat adalah salah satu
syarat sahnya sholat. Dengan ilmu asbâbun nuzûl dapat dipahami secara jelas
ayat diatas turun sehubungan dengan
dalam perjalanan dan tidak mengetahui arah kiblat. Karena itu ia boleh
berijtihad dalam memilih arah sholatnnya, kemana saja ia menghadap maka sah
sholatnya. Dengan demikian ayat diatas tidaklah bersifat umum, tetapi bersifat
khusus bagi orang yang tidak mengetahui arah kiblat.
Dalam tulisan singkat ini akan sedikit membahas
tentang hal-hal yang berkaitan dengan asbâbun nuzûl,
mulai dari pengertian, fungsi, cara mengetahui,
macam-macam, ungkapan-ungkapan, pandangan ulama’ tentang asbâbun nuzûl dan Kontekstualisasi asbâbun nuzûl dalam realitas kontemporer. Namun, kesempurnaan makalah ini kami sadari masih
sangatlah jauh, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
B.
Pengertian Asbaab
al Nuzuul
Menurut bahasa
(etimologi), asbâbun nuzûl berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an[3] dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya
sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat
al-Qur’an. Asbâbun nuzûl adalah suatu peristiwa atau apa saja yang menyebabkan
turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut istilah atau
secara terminologi asbâbun nuzûl terdapat banyak pengertian, diantaranya :
1. menurut Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy :
Apabila
terjadi satu kasus (kejadian), kemudian turun satu atau beberapa ayat yang
berhubungan dengan kasus tersebut, maka itulah yang disebut dengan Asbâbun
nuzûl. Dari segi lain, kadang-kadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan
kepada Nabi SAW tentang suatu hukum syara atau penjelasan secara terperinci
tentang urusan agama, maka turunlah satu atau beberapa ayat yang berhubungan
dengan pertanyaan tersebut. Hal inipun disebut Asbâbun nuzûl.[4]
2. Subhi
Shalih
ما نزلت الآية اواآيات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او
مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Asbâbun nuzûl adalah
sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang
terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai
penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.[5]
3. Mannaa
Khalil al-Qattan
مانزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة او سؤال
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan
turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa
satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.[6]
4. Nurcholis Madjid
Menyatakan bahwa asbaab al-nuzuul adalah konsep, teori
atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an
kepada Nabi saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat.[7]
C.
Fungsi Asbaab al
Nuzuul
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa
ilmu asbâbun nuzûl tidak ada fungsinya dan tidak ada pengaruhnya, karena
pembahasanya berkisar pada lapangan sejarah
& cerita. Menurut anggapan mereka, bahwa ilmu asbâbun nuzûl
tidak mempermudah bagi orang yang
berkecimpung dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Anggapan tersebut adalah salah. Berikut kutipan
pendapat para ulama’ :
Al
Wahidi berpendapat : “Menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan
penjelasan turunnya tidaklah mungkin.”
Ibnu
Daqiqil Ied berpendapat : “Keterangan Asbâbun nuzûl merupakan salah satu jalan
yang tepat dalam memahami al-Qur’an.”
Ibnu
Taimiyah berpendapat : “Ilmu Asbâbun nuzûl akan membantu dalam memahami ayat
karena ilmu tentang sebab akan memahami ilmu tentang akibat.[8]
Faedah dalam mengetahui sebab-sebab turunnya (Asbâbun
nuzûl) antara lain adalah :
1.
Penegasan
bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah
SWT
2.
Penegasan
bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada Rasulullah saw dalam
menjalankan misi risalahnya.
3.
Penegasan
bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka
4.
Sarana memahami ayat secara tepat.
5.
Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
6.
Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
7.
Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
8.
Memudahkan
untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di hati orang
yang mendengarnya.
9.
Mengetahui
makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an.
10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan
khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan
Dengan demikian, jelaslah pentingnya ilmu Asbâbun nuzûl,
sebagai bagian dari ilmu al-Qur’an.
............dengan
demikian, jelaslah pentingnya ilmu Asbâbun nuzûl, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam
hukum suatu ayat
2.
Menentukan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang
yang berpendapat bahwa suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
3.
Menghindarkan prasangka bahwa arti hasr dalam suatu
ayat yang zahirnya hasr.
4.
Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunya
ayat, serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan.
5.
Dan lain-lain yang ada hubungannya dengan faedah ilmu Asbâbun
nuzûl.[9]
Didalam
literatur yang lain disebutkan, pengetahuan mengenai asbâbun nuzûl mempunyai
faedah yang terpenting, diantaranya :
1.
Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara terhadap
kepentingan umum dalam menghadapi
peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
2.
Mengkhususkan (membatasi) hukum yang
diturunkan dengan sebab yang terjadi,
bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum.
.....................
3.
Apabila lafal
yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas
pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbâbun nuzûl membatasi pengkhususan
itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat
dikeluarkan (dari cakupan lafal yang
umum itu), karena masuknya bentuk sebab ke dalam lafal yang umum itu bersiafat qat’i
(pasti). Maka ia tidak boleh dikeluarkan berdasarkan ijtihad, karena ijtihad
itu bersifat zanni (dugaan). ....
4.
Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik
untuk memahami makna al-Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam
ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. ...................
5.
Sebab nuzul dapat menerangkan tentang kepada
siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterangkan kepada orang
lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan. ...............[10]
D.
Cara Mengetahui
Asbaab al Nuzuul
Asbaab an-Nuzuul
adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak
bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), melainkan berdasarkan
periwayatan (pentransmisian) yang shahih atau mendengar secara langsung dari
orang-orang yang menyaksikan turunnya
ayat al-Qur’an atau dari orang yang memahami asbâbun nuzûl, lalu mereka
menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya.
Al-wahidi berkata :
لا يحل القول فى اسباب نزول
الكتاب الاّ بالرواية والسماع ممن شاهدواالتنزيل ووقفوا على الاسباب وبحثوا عن
علمها
“Tidak boleh
memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar
riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan
dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”. [11]
Sejalan dengan itu,
al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat yang
menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu
ayat al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu
al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Berdasarkan
keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat
diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab
an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat
dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat
seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.
Biasanya ulama
menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab
turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah
ayat ini”.
Contoh : “beberapa
orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa
aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.
E. Macam-macam Asbaab al Nuzuul
1.
Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan
dalam riwayat asbab an-nuzul terdiri dari :
a.
Sarih
(jelas). artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabunnuzul dengan
indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).
سبب
نزول هذه الآية هذا...
Sebab turun ayat ini adalah .....
حدث
هذا... فنزلت الآية
Telah terjadi …… maka turunlah ayat
سئل
رسول الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah pernah kiranya tentang …… maka turunlah
ayat.
b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti). Riwayat
belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan.
نزلت
هذه الآية فى كذا...
(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)
احسب
هذه الآية نزلت فىكذا...
(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)
ما
احسب نزلت هذه الآية الا فىكذا...
(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan
dengan …)
2.
Dilihat
dari sudut pandang terbilangnya asbâbun nuzûl untuk satu ayat atau terbilangnya
ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul :
a. Beberapa sebab yang
hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
b. Satu sebab yang
melatarbelakangi turunnya beberapa ayat.[12]
F. Ungkapan-ungkapan Asbaab al Nuzuul
Bentuk
redaksi yang menerangkan Asbaab al
Nuzuul adalah :
1. Jika perawi
mengatakan
lafal secara tegas, dalam hal ini adalah nash yang nyata, seperti kata perawi :
سبب نزول هذه الآية
هذا...
Sebab turun ayat ini
adalah .....
atau bila perawi
menyatakan riwayatnya dengan memasukkan huruf “fa Ta’qibiyah” pada kata “Nazala”
seperti kata-kata perawi :
حدث
كذ... فنزلت الآية
Telah terjadi peristiwa …… maka
turunlah ayat
Atau
سئل رسول الله صلى
الله عليه وسلم عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah ditanya tentang hal begini …… maka turunlah ayat ini.
2. Redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau
hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi menyatakan :
نزلت هذه الآية فى
كذا...
(ayat
ini diturunkan berkenaan dengan)
atau
menyatakan
احسب هذه الآية نزلت
فى
كذا...
(saya
kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)
Atau
menyatakan
ما احسب نزلت هذه
الآية الا فىكذا...
(saya kira ayat ini
tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …)[13]
Bentuk redaksi
dalam pengungkapan sebab-sebab turunnya ayat perlu diketahui. Sebagian ulama telah
memberikan rincian secara ketat mengenai hal ini. Tujuannya memudahkan kita
mendeteksi hikmah yang terkandung didalamnya dan mengetahui konteks kehususan
maupun keumuman dari nash tesebut. Disamping juga berkaitan dengan kevalidan
penyebab dari turunnya ayat-ayat tertentu.
Manna Khalil al-Qattan menjelaskan mengenai keabsahan atau kemungkinan
sebab bisa dilihat dari redaksinya. Bentuk pertama ialah jika perawinya
mengatakan “sebab ayat ini adalah begini”, atau mengunakan Fata’kibiyah, yang
dirangkai dengan kata “turunlah ayat”, sesudah itu menyebutkan peristiwa atau
pertanyaan. Contohnya,
seorang mengatakan “telah terjadi peristiwa begini ” atau “rasul ditanya
tentang hal begini, maka turunlah ayat ini. Bentuk kedua yaitu redaksi
yang menjelaskan sebab turun dan kandungan hukum ayat tersebut, bila rawi
mengatakan “ayat ini turun mengenai ini” biasanya ungkapan redaksi ini mengenai
sebab turunnya ayat tersebut atau kandungan hukum ayat tersebut. Demikain pula
jika dikatakan, “aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” ‘’atau aku
tidak mengira ayat ini turun mengenai ini” dengan bentuk redaksi demikan,
perawi tidak memastikan sebab nuzul. Mungkin bukan karena kejadian yang
bersangkutan atau bisa jadi kejadian yang bersangkutan.
Contoh redaksi pertama :
Q.S. al-Baqarah : 223 Turun berhubungan dengan masalah menggauli
istri dari belakang.
Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah : 223)[14]
Asbâbun nuzûl Ayat :
Jabir berkata, “Kaum Yahudi berkata, “Jika seorang suami berhubungan dengan
istrinya dari belakang, anaknya akan lahir dengan kondisi bermata juling. Oleh
karena itu Allah menurunkan ayat ini” (HR Bukhori, Muslim, Abu Dawud &
Tirmidzi)[15]
Contoh redaksi kedua : Q.S. An-Nisa : 65. Ayat ini menjelaskan
sebab turun dan kandungan hukum ayat tersebut.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya. (Q.S. An-Nisa : 65)[16]
Asbâbun nuzûl Ayat :
Menurut Abdullah Bin Zubair, ayat ini diturunkan berkenaan dengan perselisihan
yang terjadi antara Zubair Bin Awwam dan seorang sahabat Anshar atas masalah
pengairan kebun di Harrah. Atas hal ini
Rosulullah bersabda, “Wahai Zubair, sirami dulu kebunmu kemudian alirkan ke
tetanggamu. Sahabat Anshar itu tidak menerima keputusan Rosulullah &
berkata, “Wahai Rosulullah, apakah karena ia itu anak bibimu sehingga engkau
memutuskan seperti itu ?” mendengar hal
itu, wajah Rosulullah berubah & bersabda, “Wahai Zubair, sirami dulu
kebunmu dengan batas-batas pohon sekeliling kurmamu penuh. Setelah itu alirkan
ke tetanggamu”. HR Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i & Ibnu
Majah)[17]
Dari dua contoh ini kelihatan adanya redaksi yang bisa
membedakan penetapan periwayatan asbâbun nuzûl. Periwayatan asbâbun
nuzûl ditinjau dari redaksi kasusnya biasanya ayat-ayat tersebut turun,
menjadi tanggapan atas suatu peristiwa umum, peristiwa khusus, sebagai jawaban
nabi atas beberapa pertanyaan, sebagai jawaban dari pertayaan nabi sendiri,
sebagai tanggapan atas pertayaan yang bersifat umum, sebagai klaim terhadap
orang-orang tertentu, sebagai tanggapan beberapa peristiwa adakalanya satu
sebab dengan banyak ayat dan sebaliknya.
Dalam bukunya, Studi Ulumul Quran, Manna Khalil al-Qattan,
menjelaskan sejumlah bentuk redaksi yang memberikan kita contoh macam-macam
bentuk asbâbun nuzûl jika dilihat dari redaksi latar belakangnya :
1. Banyak nuzul dengan satu sebab. Kadang banyak ayat yang
turun dengan satu sebab, misalnya kejadian yang berkenaan dengan posisi
perempuan dan laki-laki. Persoalan ini direspon dengan tiga ayat. Dengan
riwayat yang berbeda. Ayat ini, Q.S.Ali Imran : 195 ; Q.S. Al-Ahzab : 35 &
Q.S. An- Nisa : 32.
195. Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah
pada sisi-Nya pahala yang baik." (Q.S.Ali Imran : 195)[18]
Asbabun Nuzuul : Ummu Salamah berkata kepada Rosulullah, “Wahai
Rosulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan pahala kaum wanita yang
berhijrah. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat ini”. (HR. Abdurrazaq, Sa’id
Bin Manshur, Tirmidzi, Hakim & Ibnu Abdil Hatim)[19]
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar.
(Al-Ahzab : 35)[20]
Asbâbun nuzûl : Ummu Imarah al
Anshari berkata, “Ayat ini, diturunkan diturunkan berkenaan dengan perkataanku
kepada Rosulullah, “Aku melihat wahyu-wahyu Allah selalu berkaitan denga kaum
lelaki. Tak pernah ada kaum wanita disebut-sebut dalam wahyu Allah” (HR.
Thirmidzi)[21]
32. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
(Q.S. An- Nisa : 32)[22]
Asbâbun nuzûl : Ummu Salamah
berkata : “Kaum laki-laki itu berperang, sementara kaum wanita tidak ; dan kaum
wanita hanya mendapat separuh dari laki-laki walaupun hak waris”. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat ini.
(HR. Thirmidzi & Hakim)[23]
2. Penurunan ayat lebih dahulu daripada hukumnya. Dengan
mengutip al-Zarkasyi, al-Qattan
mengatakan, ada ayat yang lebih dahulu turun daripada hukumnya. Contohnya Q.S.
al-A’la 87 :06
6. Kami akan membacakan (Al Quran)
kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, (Q.S. al-A’la : 6) [24]
Asabaabun Nuzuul : Menurut Ibnu Abbas, ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Rosulullah yang biasanya mengulang atau membaca bagian awal
wahyu yang disampaikan Jibril, meskipun Jibril belum selesai menyampaikannya.
(HR. Thabrani).[25]
3. Beberapa ayat turun mengenai satu orang. Kadang sahabat
mengalami peristiwa lebih dari satu kali dan al-Qur’an pun turun mengenai
peristiwa tersebut. Seperti peristiwa yang dialami oleh Saad ibn Malik,
mengenai bakti terhadap orang tua. Dia mengatakan ada empat ayat yang turun
tentangku. Q.S Luqman 31:15 ; Q.S,
al-Anfal 8:1 ; Q.S al-Baqarah 2:178 dan beberapa sikap Umar yang berkesesuain
dengan alquran
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S Luqman 31:15)[26]
Asbâbun nuzûl : Saad ibn Malik berkata : “Ayat ini diturunkan
berkenaan denganku. Aku sangat mencintai dan menghormati ibuku. Saat aku
memeluk Islam ibuku tidak setuju dan berkata, anakku kamu pilih salah satu,
kamu tinggalkan Islam atau aku akan mogok makan dan minum sampai mati. Aku
bertekad untuk tetap dalam Islam. Namun ibuku melaksanakan ancamannya sampai 3
hari 3 malam. Aku sedih dan berkata : Ibu, seandainya ibu memiliki 1000
jiwa dan satu persatu meninggal, aku
akan tetap dalam Islam. Karena itu terserah ibu, mau makan atau tidak, akhirnya ibuku pun luluh
dan mau makan kembali.” (HR. Thabrani).[27]
1. Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh
sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara
sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang
yang beriman." (Q.S, al-Anfal 8:1)[28]
Asbâbun nuzûl : Ibnu Abbas
mengatakan, bahwa saat terjadi perang badar, Rosulullah bersabda : “Siapa yang
membunuh musuh, ia akan mendapat sebagian harta tertentu dari harta rampasan
perang. Siapa yang mendapat tawanan perang, ia pun akan mendapatkan bagian
tertentu. Abu Yasar pun datang membawa 2 tawanan perang dan berkata : Wahai
Rosul tepatilah janjimu. Mendengar itu Sa’ad Ibn Ubadah berdiri dan berkata :
Wahai Rosul bagaimana dengan bagianku yang menjaga dan melindungimu di tempat
ini dari ancaman para musuh ? padahal aku tidak hadir ke medan perang bukan
karena takut kepada musuh, tetapi bersiaga jika ada musuh yang menyerangmu.
Maka itu, turunlah ayat ini,” (HR. Abu Dawud & Nasa’i)[29]
178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih (Q.S
al-Baqarah 2:178)[30]
Asbâbun nuzûl : Sa’id bin Jubair berkata :
“Allah menurunkan ayat ini berdasarkan latar belakang pertikaian dua suku Arab
pada masa Jahiliyah. Diantara mereka terdapat korban tewas dan luka-luka. Para
hamba sahaya dan wanita, banyak yang terbunuh hingga akhirnya kedua suku Arab
itu memeluk Islam. Karena melihat berlimpahnya pasukan dan harta dari satu suku
Arab, suku Arab yang lain bersumpah jika budak mereka terbunuh, mereka akan
menukar dengan nyawa orang merdeka dari pihak musuh”. (HR. Ibu Abi Hatim).[31]
Dalam hal ini Muhammad Abduh, adalah orang yang secara
tegas menolak kehususan sebab dalam menafsirkan makna Al-Qur’an. Beliau jauh
lebih radikal dalam memahami qaidah Keumuman lapal atas kehususan sebab,
dibanding ulama-ulama sebelumnya. Jika ulama sebelumnya masih melakukan
klasifikasi antara ke umuman lapal dan kehususan sebab, dalam artian
tetap menerima beberapa periwayatan asbâbun nuzûl dengan menimbang pelapalannya
untuk menjadikannya sebagai aksioma dasar menarik status hukum ayat-ayat
tersebut kekonteks yang lebih umum.
G. Pandangan Ulama’ tentang Asbaab al Nuzuul
Para penyelidik ilmu-ilmu Qur’an menaruh
perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbâbun nuzûl. Untuk menafsirkan
al-Qur’an ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan
diri dalam pembahasan mengenai bidang itu.
............yang
diantaranya adalah Ali bin Madini, guru Bukhori, kemudian Al Wahidi dalam
kitabnya Asbaab al Nuzûl, kemudian al Jabari yang meringkaskan kitab al wahidi
dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul
Syaikhul Islam Ibn Hajar, yang mengarang satu kitab mengenai Asbaab al Nuzuul,
satu juz dari naskah kitab ini
didapatkan oleh as-Suyuthi tetapi ia tidak dapat menemukan seluruhnya, kemudian
as-Suyuthi mengatakan tentang dirinya “Dalam hal ini aku telah mengarang satu
kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum ada
satu kitab pun dapat menyamainya. Kitab itu aku namakan Lubaabun Nuquul fii asbaabin
Nuzuul.[32]
H. Kontekstualisasi Asbaab al Nuzuul dalam Realitas
Kontemporer
Diantara karakteristik Al-Qur’an adalah ia
kitab suci bagi seluruh zaman, kitab bagi kemanusiaan seluruhnya, kitab suci
agama seluruhnya, dan kitab hakikat seluruhnya.
Makna Al-Qur’an sebagai kitab keseluruhan
zaman adalah ia merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi suatu masa
tertentu, atau kitab bagi seluruh generasi tertentu, yang kemudian habis masa
berlakunya. Maksudnya, hukum-hukum Al-Qur’an, perintah &
larangannya, tidak berlaku secara temporer dengan suatu kurun waktu tertentu,
kemudian habis masanya.
Sifat
temporer itu terjadi bagi agama-agama temporer yang berlaku bagi suatu waktu
tertentu. Dan kitab sucinya bersifat temporer pula, hanya berlaku bagi zaman
itu, kemudian dihapuskan oleh agama lain, kitab suci yang lain dan Rosul yang
lain pula.
Oleh
karena itu, Allah SWT tidak menjaga pemeliharaannya. Malah pemeliharaan itu
dibebankan kepada umat penerima kitab suci itu.
Sedangkan,
Islam adalah risalah yang kekal. Nabi Muhammad SAW adalah nabi penutup. Dan
Al-Qur’an adalah kitab suci langit yang terakhir, bagi umat manusia. Ia tidak
terbatas pada suatu waktu tertentu. Ia adalah kitab suci yang terus ada hingga
hari kiamat.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Al-Qur;an adalah
ajaran-ajaran yang kekal dan terus berlaku, selama ada kehidupan ini dan adanya
manusia.
Tidak boleh ada seorang pun yang berkata bahwa
hukum-hukum Al-Qur’an ini hanya bagi masa saat diturunkannya – artinya masa
kenabian – atau masa sahabat, atau masa-masa Islam pertama. Sedangkan era
temporer ini, termasuk masa kita ini, dan masa setelah kita, tidak terikat
dengan hukum-hukum itu lagi.
Dalam hal ini, kita harus membendung dengan segenap upaya
yang melawan Allah, yang ingin menghilangkan ciri kekekalan al-Qur’an, atau
menyematkan sifat temporer terhadap hukum-hukumnya, yaitu yang mereka namakan
dengan “historisisme teks”, hingga orang yang menentang al-Qur’an yang qath’i
(kuat & benar) dengan imjinasi-imajinasi akalnya.[33]
Pertanyaan yang muncul dari bahasan ini benarkah al-Qur’an cukup kompatibel dengan seluruh rangkaian persoalan
kemanusiaan yang terus bergerak dinamis ? pertanyaan semisal ini dikemukakan,
mengingat bentangan sejarah yang cukup panjang antara masa turunnya al-Qur’an
di padang pasir yang tandus dan latar belakang sosial masyarakat yang primitif
jahiliyah di satu pihak dan realitas persoalan yang kita hadapi saat ini
dipihak lain.
Teks al-Qur’an bukanlah monumen mati yang untouchable, yang tidak dapat
disentuh oleh tangan sejarah. Sebaliknya ia lahir di ruang tidak hampa untuk
merespon segala persoalan kemanusiaan yang terus bergerak dinamis. Ia selalu muncul seiring konteks sosiologis
yang terus berkembang. Sudah barang
tentu teks dalam hal ini memiliki pemaknaan luas menyangkut teks yang
terintegrasi dengan konteks pengalaman sejarah umat manusia. Integrasi teks &
konteks ini perlu di elaborasi secara
sistematik karena sejatinya hukum Tuhan tidak lahir kecuali untuk konteks
kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia sepanjang sejarahnya.
Dalam
komposisi ayat kita temukan dua term yang saling melengkapi, term ayat qur’aaniyyah dan ayat kauniyah.
Jenis pertama adalah ayat-ayat dalam al-Qur’an yang secara verbal dan tersurat
diwahyukan oleh Allah SWT. Sementara jenis ayat kedua merupakan ayat realitas
yang bersentuhan dengan gejala alam dan jagat raya. Jika jenis ayat pertama dapat
ditelusuri pemaknaanya secara semantic dan verbal, maka jenis ayat kedua memerlukan daya nalar & tafakkur (perenungan) tentang
kebesaran Tuhan dengan segala ciptaan-Nya. Dengan kata lain, ayat kauniyyah
dalam al-Qur’an dapat memantulkan daya kreativitas nalar manusia untuk selalu
berfikir logis menyikapi realitas hidup.
Untuk
menelusuri konteks yang melatar belakangi pewahyuan terdapat asbâbun nuzûl (sebab musabab turunya al-Qur’an), yang tidak
serta merta dapat menyelesaikan persoalan interaksi teks dengan konteks
realitas, tapi sekurang-kurangnya dapat mengantarkan kesadaran kita akan
pentingnya menyingkap kaitan inheren antara teks wahyu dengan konteks
sosiologis umat manusia.
Kajian
historisitas memiliki peran yang cukup sentral
dalam memperdekat bentangan jarak historisitas antara masa teks
diproduksi dengan realitas sosiologis masyarakat sekarang. dengan kajian asbâbun
nuzûl dapat mereproduksi makna dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum.
Asbâbun nuzûl sebagai bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an, adalah bertujuan
untuk menjelaskan sebagian makna-makna ayat-ayat yang termaktub didalamnya
dengan menjelaskan letar belakang diturunkannya. Tentu dalam memaknai beberapa
ayat dari Al-Qur’an tersebut, tetap dibutuhkan menafsiran bahkan mungkin pen-takwilan,
walaupun bahan-bahan tafsirnya, pada mulanya diambil dengan jalan periwayatan.
Dari periwayatan ini, beberapa cara atau metodologi-pendekatan yang ditemukan
lalu berkembang dan dirumuskan oleh para pakar yang bergiat dibidang keilmuan
ini.
Dari mulai
sejak zaman awal Al-Qur’an, hingga kini kegiatan “membongkar” makna Al-Qur’an
tidak pernah sepi dicatat oleh zaman. Al-Qur’an selalu mempunyai relasi bahkan interrelasi
dengan realitas kehidupan sehari-hari. Persoalan kemanusiaan datang, al-Qur’an
lalu menjawabnya. Jawaban wahyu kurang jelas, kemudian umat bertanya, lalu
Rosulullah SAW kembali menjelaskan dan begitu seterusnya. Sepeninggal Rosulullah SAW, tentunya peran mediator
semacam ini tidak boleh terputus mengingat realitas sebagai mitra kerja wahyu
terus bergerak dinamis. Peran mediator sekarang ini diambil alih oleh akal
sehat manusia sebagai kholifatullah fil ardli untuk menjembatani bentangan
sejarah yang cukup panjang tadi dengan mengembangkan pola-pola interrelasi
antara wahyu dengan konteks realitas yang terintegrasi dengan pengalaman
sejarah manusia. Masa khalifah,
sesudah nabi Muhammad SAW, adalah era dimana digambarkan, sebagai awal dari
zaman interpretasi kaum muslimin terhadap kitab suci Al-Qur’an. Yang terkenal
sebagai penafsir masyhur pertama adalah empat orang khalifah, kemudian Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Zabit, Abu Musa al-Asy’ari dan
Abdullah bin Zubair. Metodologi yang dikembangkan, terbatas pada makna beberapa
ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan menjelaskan apa yang
masih global. Dalam menafsirkan ayat, mereka menguatkannya dengan riwayat yang
disandarkan oleh nabi Muhammad (hadis).
Penafsiran Al-Qur’an terus berkembang hingga abad II H
dan pada abad ke III H Jarir Attabari (310 H) berhasil menyusun tafsir
Al-Qur’an, dengan metodologi berdasarkan susunan ayat. Disamping ilmu tafsir
“murni” tersebut, secara paralel, lahirlah pembahasan-pembahasan tertentu yang
menopang ilmu tafsir itu sendiri. Antara lain Ilmu-ilmu ini adalah pembahasan
mengenai Asbâbun nuzûl. Ali bin al-Madini (w.234 H) adalah orang pertama yang
menyusun kitab yang membahas tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat tertentu.
Yang pasti, bahwa perlunya konsep asbâbun nuzûl dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an, tidak terlepas dari keharusan penafsir memahami realitas yang
terjadi, seputar penurunan wahyu. Ini kelihatan
lebih kontekstual, seiring dengan pemahaman kontemporer yang menghendaki
konsepsi sejarah dan humanitas lebih dikedepankan. Tapi apakah benar, bahwa
tuntutan ini mengandung unsur kebaruan yang mesti ada, dalam artian bahwa
realitas dan yang menyangkut unsur-unsurnya akan memaksa manusia menafsirkan
kandungan Al-Qur’an yang berkesesuaian dengan keadaan dunia sekarang. Kita akan
mempersepsi hal secara beda. Tergantung bagaimana kita memahami sejarah,
dinamika sosial dan ruang teks Al-Qur’an itu sendiri. Jika unsur realitas
diobyektivikasi kedalam bacaan teks, maka sangat mungkin kandungan Al-Qur’an
ditafsirkan dengan mengikuti zaman ; dan dikatakan, dapat berdialog, bersinergis
dengan sejarah. Sebaliknya jika teks-teks al-Qur’an dibaca sebagai subyek yang
otoriter dan menjustivikasi realitas, maka besar kemungkinan terjadi pendiskripsian terhadap kenyataan. Atau lebih radikal
dapat dikatakan bahwa keadaan seperti ini membawa pemahaman kandungan Al-Qur’an
berada diruang hampa.
Jika demikian
seharusnya seluruh ayat-ayat Al-Qur’an memiliki latar belakang yang pasti,
sebagai tujuan diturunkannya. Dalam artian bahwa_latar belakang yang pasti pada
ayat-ayat Al-Qur’an, mengisyaratkan kepada manusia adanya ruang kesejarahan
yang tak pernah putus, sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Disinilah hukum
kausalitas berlaku relevan dan pantas termasuk pun dalam memaknai kitab suci.
G. Penutup
Dalam bagian terahir dari makalah ini akan
diuraikan beberapa poin yang dianggap perlu dari pembahasan asbâbun nuzûl :
1. Ilmu asbâbun nuzûl
dalam studi ilmu al-Qur’an sangat diperlukan dalam mempertegas dan mempermudah
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Pemaknaan ayat al-Qur’an seringkali tidak
diambil dari makna letter lack. Oleh karena itu perlu diketahui hal-hal
yang berhubungan dengan turunnya ayat tersebut. Asbâbun nuzûl adalah suatu
peristiwa atau apa saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik
secara langsung atau tidak langsung ; sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu
atau beberapa ayat al-Qur’an ; Apabila terjadi satu kasus (kejadian), kemudian turun satu atau beberapa
ayat yang berhubungan dengan kasus tersebut ; ada suatu pertanyaan yang
dilontarkan kepada Nabi SAW tentang suatu hukum syara atau penjelasan secara
terperinci tentang urusan agama, maka turunlah satu atau beberapa ayat yang
berhubungan dengan pertanyaan tersebut ; sesuatu
yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an ; peristiwa yang
menyebabkan turunnya al-Qur’an ; konsep, teori atau berita tentang adanya
sebab-sebab turunnya wahyu
2. Asbâbun
nuzûl mempunyai faedah yang terpenting, diantaranya : Mengetahui hikmah
diundangkannya suatu hukum dan perhatian
syara terhadap kepentingan umum dalam
menghadapi peristiwa, karena sayangnya kepada umat ; Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan
terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbâbun nuzûl
membatasi pengkhususan itu ; Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk
memahami makna al-Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam
ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya ; Sebab
nuzul dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan.
3. Asbâb
an-Nuzûl adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah
saw. Oleh karena itu, tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), melainkan
berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang shahih atau mendengar secara
langsung dari orang-orang yang menyaksikan
turunnya ayat al-Qur’an atau dari orang yang memahami asbâbun nuzûl,
lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau
lainnya.
3.
Asbâb an-Nuzûl dilihat
dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan terdiri dari :
a)
Sarih (jelas). artinya riwayat yang memang sudah jelas
menunjukkan asbabunnuzul
b) Muhtamilah (masih
kemungkinan atau belum pasti). Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul
karena masih terdapat keraguan.
Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbâbun nuzûl
untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul :
a)
Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya
satu ayat
b)
Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa
ayat.
4. Bentuk
redaksi yang menerangkan Asbâb
an-Nuzûl adalah : Bentuk pertama
ialah jika perawinya mengatakan “sebab ayat ini adalah begini”, atau mengunakan
Fata’kibiyah, yang dirangkai dengan kata “turunlah ayat”, sesudah itu
menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Contohnya, Asbâb an-Nuzûl Q.S. al-Baqarah : 223 Jabir berkata, “Kaum Yahudi
berkata, “Jika seorang suami berhubungan dengan istrinya dari belakang, anaknya
akan lahir dengan kondisi bermata juling. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat
ini” (HR Bukhori, Muslim, Abu Dawud & Tirmidzi). Bentuk kedua yaitu
redaksi yang menjelaskan sebab turun dan kandungan hukum ayat tersebut, bila
rawi mengatakan “ayat ini turun mengenai ini” Contoh: Asbâbun nuzûl Q.S.
An-Nisa : 65 : Menurut Abdullah Bin Zubair, ayat ini diturunkan berkenaan
dengan perselisihan yang terjadi antara Zubair Bin Awwam dan seorang sahabat
Anshar atas masalah pengairan kebun di Harrah.
Atas hal ini Rosulullah bersabda, “Wahai Zubair, sirami dulu kebunmu
kemudian alirkan ke tetanggamu. Sahabat Anshar itu tidak menerima keputusan
Rosulullah & berkata, “Wahai Rosulullah, apakah karena ia itu anak bibimu
sehingga engkau memutuskan seperti itu ?” mendengar hal itu, wajah Rosulullah berubah &
bersabda, “Wahai Zubair, sirami dulu kebunmu dengan batas-batas pohon
sekeliling kurmamu penuh. Setelah itu alirkan ke tetanggamu”. HR Bukhori,
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i & Ibnu Majah)
5. Para
Ulama’ menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbâbun nuzûl.
Diantaranya adalah Ali bin Madini, guru Bukhori, kemudian Al Wahidi dalam
kitabnya Asbâb
an-Nuzûl, Syaikhul Islam Ibn Hajar, as-Suyuthi
dalam Lubâbun Nuqûl fii asbâbin Nuzûl.
6. Diantara karakteristik Al-Qur’an adalah ia kitab suci
bagi seluruh zaman, kitab bagi kemanusiaan seluruhnya, kitab suci agama
seluruhnya, dan kitab hakikat seluruhnya. Makna Al-Qur’an sebagai kitab
keseluruhan zaman adalah ia merupakan kitab yang abadi bukan temporer. Dan Al-Qur’an adalah kitab suci langit yang terakhir,
bagi umat manusia. Teks al-Qur’an bukanlah monumen mati yang tidak dapat
disentuh oleh tangan sejarah. Sebaliknya ia lahir di ruang tidak hampa untuk
merespon segala persoalan kemanusiaan yang terus bergerak dinamis. Ia selalu
muncul seiring konteks sosiologis yang terus berkembang. Kajian historisitas asbâbun nuzûl (sebab musabab turunya al-Qur’an), memiliki
peran yang cukup sentral dalam
memperdekat bentangan jarak historisitas antara masa teks diproduksi dengan
realitas sosiologis masyarakat sekarang. Yang pasti, bahwa perlunya konsep asbâbun
nuzûl dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, tidak terlepas dari keharusan
penafsir memahami realitas yang terjadi, seputar penurunan wahyu. Ini kelihatan
lebih kontekstual, seiring dengan pemahaman kontemporer yang menghendaki
konsepsi sejarah dan humanitas lebih dikedepankan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Depag
RI, Al Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbabun Nuzul, Indeks Tematik, QMS,
Panduan Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam, (Banten : Kalim, 2010)
Ahmad Syadali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, (Bandung : Pustaka
Setia, 2006)
Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi
Ilmu Al-Qur’an Terjemahan Asli dari Buku
At-Thibyan Fi Ulumil Qur’an, (Bandung, Pustaka Setia, 2008)
Subhi Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, Dar al-Qalam li Al-Malayyin, (Beirut,
1988)
Mannaa Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulumil
Qur’an, Mansyurat al-Ahsan al-Hadits, (t.tp., 1973)
Moh. Ahmadehirjin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Primayasa, 1998)
Mannaa Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an
Mabahits fii Ulumil Qur’an (Jakarta : Mitra Kertajaya Indonesia, 2010)
Syekh Mannaa al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu-ilmu
Qur’an (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2008)
Dr. Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2006)
Yusuf
Qardawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an Judul Asli Kaifa Nata’ Amalu Ma’al
Qur’anil ‘Adhim (Jakarta : Gema Insani Pers, 1999)
W.M. Wat, alih bahsa, Taufik Adnan
Amal, Pengantar Studi Islam….(Cet.I; Jogyakarta: FkBA, 2001)
Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum
An-Nash Dirasah fi Ulum Al-qur’an, alih bahasa, Khoiran Nahdiyyin, Tekstualitas
Al-Qur’an: Keritik Terhadap Ulum Al-Qur’an, (cet. II;
yogyakarta : LkiS, 2002)
Khairun Nahdiyyin dalam Pengantar
Penerjemah, Tektualitas Al-Qur’an; Kritik Terhadap Ulum Al-Qur’an (cet.II
; yogyakarta:LkiS 2002)
Muhammad Ali Ashabuni, Al-tibyan
Fil Ulumil Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Muhammad Kadirun Nur, Ihtiar
Ulum Al-Qur’an Praktis (Jakarta: Pustaka Amal, tt)
[1] Al-Qur’an, 2 (QS Al Baqarah) : 115
[2] Depag RI, Al
Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS, Panduan
Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam, (Banten : Kalim, 2010), 19.
[3] Ahmad Syadali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, (Bandung
: Pustaka Setia, 2006), 89.
[4] Muhammad Ali
Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an
Terjemahan Asli dari Buku At-Thibyan Fi
Ulumil Qur’an, (Bandung, Pustaka Setia, 2008), 49.
[5] Subhi
Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, Dar
al-Qalam li Al-Malayyin, (Beirut, 1988), 132.
[6] Mannaa Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, Mansyurat
al-Ahsan al-Hadits, (t.tp., 1973), 78.
[7] Moh. Ahmadehirjin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, 1998), 30.
[8] Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an Terjemahan Asli dari Buku At-Thibyan Fi Ulumil Qur’an, 42.
[9] Muhammad Ali
Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an
Terjemahan Asli dari Buku At-Thibyan Fi
Ulumil Qur’an, 42.
[10] Mannaa Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an Mabahits fii Ulumil Qur’an (Jakarta : Mitra
Kertajaya Indonesia, 2010),110-120
[11] Dr. Rosihan Anwar,
Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 67
[12] Ibid, 72.
[13] Mannaa Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, 120-121.
[14] Al-Qur’an, 2 (Q.S.
al-Baqarah) : 223.
[15] Depag RI, (Al Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl,
Indeks Tematik, QMS, Panduan Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam), 36.
[16] Al-Qur’an, 4 (An-Nisa)
: 65.
[17] Depag RI, (Al
Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS, Panduan
Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam), 89.
[18] Al-Qur’an, 3 (Ali Imran) : 195.
[19] Depag RI, (Al
Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS, Panduan
Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam),
77
[20] Al-Qur’an, 33
(Al Ahzab) : 35
[21] Depag RI, (Al
Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS, Panduan
Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam),
423
[22] Al-Qur’an, 4 (An- Nisa) : 32.
[23] Depag RI, (Al
Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS, Panduan
Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam), 84
[24] Al-Qur’an, 87
(Al-A’la) : 14.
[25] [25] Depag
RI, (Al Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS,
Panduan Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam), 592.
[26]
Al-Qur’an, 31 (Luqman) : 15.
[27] Depag RI, (Al
Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS, Panduan
Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam), 413.
[28] Al-Qur’an, 8 (al-Anfal) : 1.
[29] Depag RI, (Al
Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS, Panduan
Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam), 178
[30] Al-Qur’an, 2
(Al Baqarah) : 178.
[31] Depag RI, (Al
Hdayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Asbâbun nuzûl, Indeks Tematik, QMS, Panduan
Menghafal Al-Qur’an untuk Orang Awam), 28.
[32] Mannaa Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an Mabahits fii Ulumil Qur’an, 107.
[33] Yusuf Qardawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an Judul Asli Kaifa
Nata’ Amalu Ma’al Qur’anil ‘Adhim (Jakarta : Gema Insani Pers, 1999), 94.
tulisannya berwarna sangat susah membacanya sebaiknya diganti warna hitam hurufnya
BalasHapus