A. Hermeneutika
sebagai Cara Memahami Makna
Pengertian dan
Ruang Lingkup Hermeneutika
Hermeneutika pada
dasarnya adalah cara atau metode untuk memahami makna suatu teks [1].
Menariknya, praktik hermeneutika sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan
manusia sehari-hari, meskipun sering dilakukan tanpa disadari. Setiap kali
manusia berusaha menangkap maksud di balik kata-kata, simbol, atau tindakan
orang lain, pada saat itulah proses hermeneutis berlangsung.
Contoh sederhana dapat ditemukan dalam komunikasi sehari-hari. Ketika seseorang menerima pesan WhatsApp dari temannya yang berbunyi, “Terserah kamu,” kalimat ini tidak selalu bermakna sama. Ia bisa diartikan sebagai bentuk kebebasan penuh dalam mengambil keputusan, tetapi juga bisa dimaknai sebagai ekspresi kekecewaan atau kemarahan. Untuk memahami makna yang tepat, seseorang tidak cukup hanya membaca teksnya, melainkan juga perlu mempertimbangkan siapa yang menulis pesan tersebut, dalam situasi apa pesan itu disampaikan, serta bagaimana hubungan antara pengirim dan penerima pesan. Cara memahami makna di balik teks dengan memperhatikan konteks inilah yang disebut sebagai hermeneutika.
Aktivitas Memahami
dalam Sejarah Pemikiran
Secara lebih
mendasar, memahami dan menafsirkan merupakan aktivitas yang melekat pada
eksistensi manusia dan menjadi salah satu ciri pembeda antara manusia dan
makhluk lainnya. Sejak awal sejarah pemikiran, para filsuf, teolog, dan ilmuwan
dari berbagai disiplin ilmu berupaya merumuskan cara terbaik untuk memahami
realitas, baik realitas alam, sosial, maupun keagamaan. Dari upaya intelektual
tersebut lahirlah berbagai teori dan pendekatan penafsiran, salah satunya
adalah hermeneutika sebagai disiplin yang secara khusus mengkaji proses
pemahaman makna.
Dalam perkembangannya, hermeneutika tidak hanya digunakan dalam kajian filsafat atau teologi, tetapi juga merambah berbagai bidang akademik lain seperti ilmu sosial, humaniora, dan studi keagamaan. Perkembangan ini berkaitan erat dengan perubahan paradigma berpikir manusia sepanjang sejarah. Pada fase tertentu, cara pandang manusia bersifat terpusat, seperti kosmosentris yang memusatkan perhatian pada alam, teosentris yang berpusat pada Tuhan, dan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Paradigma yang serba sentralistik ini kerap melahirkan klaim kebenaran tunggal dan menyingkirkan sudut pandang lain yang berbeda.
Dari Modern ke
Pascamodern: Kesadaran Konteks dan Perubahan
Kritik terhadap cara
berpikir modern yang sentralistik kemudian melahirkan paradigma pascamodern
yang bercorak anti-sentris. Paradigma ini ditopang oleh dua kesadaran utama.
Pertama, kesadaran kontekstualitas, yaitu pemahaman bahwa cara berpikir dan
bertindak manusia selalu dipengaruhi oleh konteks ruang, waktu, budaya, serta
pengalaman hidupnya. Kedua, kesadaran progresivitas, yakni pengakuan bahwa
kehidupan manusia bersifat dinamis dan terus mengalami perubahan.
Dari dua kesadaran tersebut lahir asumsi pluralitas, yaitu pandangan bahwa realitas kehidupan manusia bersifat beragam dan tidak mungkin dipahami secara utuh hanya melalui satu sudut pandang atau satu teori tunggal. Setiap pemahaman selalu memiliki keterbatasan dan membuka ruang untuk dikritisi serta disempurnakan. Dalam kerangka inilah hermeneutika menempati posisi penting, karena menegaskan bahwa proses memahami dan menafsirkan realitas selalu melibatkan konteks, perspektif, dan keberagaman pengalaman manusia.
Relevansi
Hermeneutika dalam Memahami Al-Qur’an
Prinsip hermeneutika
menjadi sangat relevan ketika dikaitkan dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan
sekadar kitab suci yang dibaca dan dilafalkan, melainkan wahyu Ilahi yang harus
dipahami dan diamalkan. Dalam praktik keagamaan sehari-hari, umat Islam memang terbiasa
membaca Al-Qur’an, baik dalam salat, tadarus, maupun berbagai ritual keagamaan.
Namun, membaca saja tidaklah cukup, karena tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an
adalah agar pesan-pesannya dipahami dan dijadikan pedoman hidup.
Allah Swt. berfirman:
كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو
الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal dapat mengambil pelajaran.” (QS. Shād [38]: 29)
Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an menuntut proses tadabbur, yaitu upaya berpikir, merenung, dan menggali makna ayat-ayatnya secara mendalam. Dengan demikian, umat Islam didorong untuk memahami pesan-pesan Ilahi dengan melibatkan akal, pengalaman, dan kesadaran terhadap kondisi zaman yang terus berkembang.
Hermeneutika
Qur’ani sebagai Jembatan Pemahaman
Bagi mahasiswa,
khususnya mahasiswa baru, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana cara memahami
Al-Qur’an secara benar dan bertanggung jawab di tengah realitas kehidupan
modern yang semakin kompleks? Pertanyaan inilah yang mengantarkan pada satu
konsep penting dalam studi Al-Qur’an kontemporer, yaitu hermeneutika Qur’ani.
Hermeneutika Qur’ani dapat dipahami sebagai pendekatan untuk memahami Al-Qur’an
secara kontekstual, kritis, dan relevan, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai
dasar wahyu dan prinsip-prinsip ajaran Islam.
B. Hermeneutika
dan Ilmu Tafsir Al-Qur’an
Hermeneutika pada
dasarnya merupakan sebuah pendekatan atau metode untuk memahami makna, yang
dapat diterapkan dalam berbagai bidang keilmuan. Namun, jika ditelusuri dari
sejarah kemunculan dan perkembangannya, hermeneutika memiliki peran yang sangat
kuat dalam kajian sejarah dan kritik teks, khususnya teks-teks keagamaan. Fokus
utama hermeneutika adalah bagaimana sebuah teks lama, yang lahir dalam situasi
sosial dan historis tertentu, dapat dipahami secara relevan oleh pembaca yang
hidup dalam konteks zaman yang sangat berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh Fahruddin
Faiz, problem utama hermeneutika selalu berkaitan dengan upaya memahami teks
tradisional agar tetap bermakna dan komunikatif bagi konteks kekinian.
Sebagai sebuah tawaran metodologis dalam kajian kitab suci, hermeneutika pada akhirnya juga tidak dapat dihindari dalam studi Al-Qur’an. Munculnya berbagai karya tafsir kontemporer yang memanfaatkan pendekatan hermeneutik menunjukkan besarnya daya tarik metode ini dalam upaya memahami wahyu secara lebih kontekstual. Hermeneutika tidak sekadar teori penafsiran atau teknik memahami teks, melainkan sebuah ilmu yang menjelaskan proses penerimaan wahyu secara menyeluruh, mulai dari bahasa teks hingga realitas kehidupan manusia. Dengan demikian, hermeneutika berupaya menjembatani wahyu dari ranah ilahi menuju praksis sosial dan historis umat manusia.
Dalam tradisi
keilmuan Islam sendiri, istilah yang secara khusus digunakan untuk kegiatan
penafsiran Al-Qur’an adalah tafsir. Istilah ini berasal dari kata fassara
atau fasara dalam bahasa Arab, dan telah digunakan secara teknis sejak
abad ke-5 Hijriah hingga masa kini. Berbeda dengan istilah tafsir, istilah
“hermeneutika” tidak ditemukan dalam literatur tafsir klasik Islam. Popularitas
istilah hermeneutika baru menguat dalam beberapa dekade terakhir, seiring
dengan berkembangnya pendidikan modern, teknologi informasi, serta lahirnya
generasi intelektual Muslim kontemporer yang berinteraksi intensif dengan
tradisi keilmuan Barat.
Meskipun istilahnya
relatif baru dalam khazanah Islam, Farid Esack menegaskan bahwa praktik
hermeneutik sesungguhnya telah lama dilakukan oleh umat Islam dalam
interaksinya dengan Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat, pertama, dari
kajian tentang asbābun nuzūl dan nasakh–mansukh yang menunjukkan
kesadaran kuat akan konteks historis wahyu. Kedua, adanya pembedaan
antara teks tafsir dan kaidah atau metode penafsiran yang berkembang dalam
disiplin ilmu tafsir. Ketiga, munculnya berbagai klasifikasi tafsir - seperti
tafsir Syiah, Mu‘tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lainnya - yang
mencerminkan kesadaran akan pengaruh ideologi, latar sosial, serta periode
sejarah tertentu dalam proses penafsiran.
Ketiga fenomena
tersebut menunjukkan bahwa sejak awal, para ulama Muslim telah menyadari bahwa
pemahaman terhadap Al-Qur’an bersifat historis dan kontekstual, sehingga
membuka ruang bagi keragaman penafsiran. Dengan kata lain, meskipun tidak
disebut secara eksplisit sebagai hermeneutika, benih-benih pemikiran
hermeneutik sejatinya telah hadir dan berkembang dalam kajian ‘Ulūmul Qur’ān
klasik [1].
Tokoh-tokoh Perintis Hermeneutika Al-Qur’an Modern
Dalam konteks modern,
penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an mulai dirintis secara lebih
sadar oleh para pembaharu Muslim. Di India, tokoh-tokoh seperti Ahmad Khan,
Amir Ali, dan Ghulam Ahmad Parves berupaya melakukan penafsiran rasional terhadap
konsep-konsep Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis, seperti mukjizat dan
persoalan gaib. Sementara itu, di Mesir, Muhammad Abduh mengembangkan
penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan sosial-kemasyarakatan. Meskipun
gagasan-gagasan mereka tergolong progresif, kerangka metodologis yang digunakan
masih belum tersusun secara sistematis.
Perkembangan
hermeneutika Al-Qur’an yang lebih matang dan terstruktur terjadi pada dekade
1960–1970-an. Hassan Hanafi, misalnya, mengembangkan pemikiran hermeneutik
melalui rekonstruksi ilmu ushul fikih, pendekatan fenomenologis terhadap agama,
serta kritik terhadap hermeneutika eksistensial dalam kajian kitab suci
Kristen. Mohammed Arkoun memperkenalkan pembacaan semiotik terhadap Al-Qur’an,
sementara Fazlur Rahman merumuskan metode hermeneutika yang sistematis melalui
konsep double movement, yaitu gerak bolak-balik antara konteks historis
wahyu dan realitas kekinian umat manusia.
Seiring berjalannya
waktu, kajian hermeneutika Al-Qur’an semakin berkembang, ditandai dengan
munculnya kritik historis dan linguistik terhadap teks Al-Qur’an. Berbagai
karya akademik lahir, baik dari kalangan sarjana Barat maupun intelektual
Muslim. Di antaranya adalah kajian Jane McAuliffe tentang metode tafsir klasik,
Azim Nanji mengenai teori ta’wil dalam tradisi Ismailiyah, serta Nasr
Hamid Abu Zayd yang secara intensif mengkaji dimensi hermeneutik dalam tafsir
klasik Islam.
Apa yang dilakukan
oleh Fazlur Rahman, Arkoun, dan Abu Zayd menunjukkan bagaimana Al-Qur’an dapat
“diolah” melalui pendekatan hermeneutika. Secara sederhana, hermeneutika
bekerja dengan menganalisis bahasa teks, memahami konteks historisnya, lalu
menarik makna yang relevan dengan ruang dan waktu pembaca masa kini. Dalam
kajian Al-Qur’an, persoalan utamanya bukan hanya apa yang dikatakan teks,
tetapi juga bagaimana wahyu hadir dalam masyarakat, dipahami, ditafsirkan,
diterjemahkan, serta didialogkan dengan dinamika sejarah dan sosial.
Dalam pendekatan
hermeneutika modern terhadap Al-Qur’an, terdapat tiga asumsi dasar yang perlu
diperhatikan. Pertama, penafsir Al-Qur’an adalah manusia. Setiap penafsir
memiliki keterbatasan, latar belakang, dan pengalaman hidup yang dipengaruhi
oleh ruang dan waktu tertentu. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran yang
sepenuhnya netral atau mutlak benar, dan sikap kritis serta keterbukaan menjadi
keniscayaan.
Kedua, penafsiran
tidak dapat dilepaskan dari bahasa, sejarah, dan tradisi. Setiap aktivitas
menafsirkan selalu berlangsung dalam bingkai bahasa dan budaya tertentu. Upaya
untuk “kembali kepada Al-Qur’an” tanpa mempertimbangkan tradisi sering kali
tidak realistis, karena pemahaman manusia terhadap teks selalu dipengaruhi oleh
konteks historis, baik pada masa turunnya wahyu maupun pada masa penafsirannya.
Oleh sebab itu, tradisi tidak untuk ditolak secara apriori, melainkan dikritisi
dan dipahami secara konstruktif.
Ketiga, tidak ada
teks yang berdiri sendiri tanpa konteks. Al-Qur’an diturunkan dalam situasi
sosial dan historis tertentu, yang tercermin dalam bahasa, tema, dan tujuan
ayat-ayatnya. Pembedaan antara ayat Makkiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa
wahyu selalu berinteraksi dengan realitas masyarakat penerimanya. Dengan
demikian, Al-Qur’an dapat dipahami sebagai respons ilahi terhadap kondisi
konkret manusia, yang maknanya senantiasa terbuka untuk dikontekstualisasikan
sepanjang zaman.
C. Contoh
Konkret: Hermeneutika Qur’ani dalam Memahami Ayat Al-Qur’an
Untuk memahami
bagaimana hermeneutika Qur’ani bekerja secara konkret, mari kita perhatikan
satu contoh ayat Al-Qur’an yang sering dipahami secara tekstual, namun
memerlukan pendekatan kontekstual agar pesan utamanya dapat diterapkan secara
tepat di masa kini.
Kasus 1: Ayat tentang
Kepemimpinan Laki-laki
Allah Swt. berfirman:
ٱلرِّجَالُ
قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
(QS. an-Nisā’ [4]: 34)
Ayat ini sering
dipahami secara sederhana sebagai legitimasi mutlak kepemimpinan laki-laki atas
perempuan dalam semua aspek kehidupan. Pemahaman tekstual seperti ini kerap
melahirkan praktik relasi yang timpang dan tidak adil, bahkan berujung pada
pembenaran sikap otoriter dalam rumah tangga.
a. Analisis Teks
Kata qawwām
berasal dari akar kata qāma yang bermakna berdiri, menjaga, dan
bertanggung jawab. Makna ini menunjukkan fungsi tanggung jawab dan
perlindungan, bukan dominasi atau kekuasaan absolut.
b. Analisis Konteks
Historis
Ayat ini turun dalam
masyarakat Arab yang bersifat patriarkal, di mana laki-laki umumnya menjadi
pencari nafkah dan penanggung jawab ekonomi keluarga. Frasa bimā anfaqū min
amwālihim menegaskan bahwa kepemimpinan tersebut berkaitan langsung dengan
tanggung jawab finansial dan sosial, bukan semata-mata jenis kelamin.
c. Kontekstualisasi
Kekinian
Dalam konteks
masyarakat modern, di mana perempuan juga berpendidikan, bekerja, dan
berkontribusi secara ekonomi, konsep qiwāmah perlu dipahami sebagai
pembagian peran yang adil dan proporsional, bukan superioritas gender. Prinsip
utama ayat ini adalah tanggung jawab, keadilan, dan kemitraan dalam keluarga.
d. Pesan Utama Ayat
Pesan normatif ayat
ini bukanlah peneguhan hierarki gender, melainkan penataan tanggung jawab
sosial demi terciptanya keharmonisan dan keadilan dalam keluarga.
Kasus 2: Ayat tentang
Perbedaan dan Keragaman
Allah Swt. berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ
(QS. al-Ḥujurāt [49]: 13)
Ayat ini sering
dibaca sebagai seruan normatif tentang persaudaraan, tetapi dalam praktik
sosial sering kali diabaikan ketika berhadapan dengan perbedaan suku, budaya,
bahkan agama.
a. Analisis Teks
Kata lita‘ārafū
berarti saling mengenal, saling memahami, dan membangun relasi sosial yang
positif, bukan sekadar hidup berdampingan secara pasif.
b. Analisis Konteks
Ayat ini turun untuk
merespons budaya kesukuan Arab yang kuat dan sering melahirkan konflik sosial.
Al-Qur’an hadir untuk mendekonstruksi superioritas kesukuan dan menggantinya
dengan nilai ketakwaan.
c. Kontekstualisasi
Kekinian
Dalam masyarakat
multikultural seperti Indonesia, ayat ini menjadi dasar teologis bagi moderasi
beragama, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman. Perbedaan bukan
alasan konflik, melainkan sarana membangun kerja sama sosial.
d. Pesan Utama Ayat
Kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh identitas sosial, melainkan oleh kualitas moral dan ketakwaannya.
Kasus 3: Ayat tentang
Perubahan Sosial
Allah Swt. berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
(QS. ar-Ra‘d [13]: 11)
Ayat ini sering
dipahami sebagai seruan moral individual, namun sesungguhnya memiliki dimensi
sosial yang kuat.
a. Analisis Teks
Frasa mā bi
anfusihim tidak hanya menunjuk aspek batin individual, tetapi juga pola
pikir, nilai, dan budaya kolektif suatu masyarakat.
b. Analisis Konteks
Ayat ini turun dalam
konteks pembentukan masyarakat Islam yang menuntut transformasi mental, sosial,
dan struktural.
c. Kontekstualisasi
Kekinian
Ayat ini relevan
dalam konteks perubahan sosial, pendidikan, dan pembangunan bangsa. Kemajuan
umat tidak akan tercapai tanpa perubahan paradigma, etos kerja, dan tanggung
jawab kolektif.
d. Pesan Utama Ayat
Perubahan sosial dimulai dari perubahan kesadaran dan tindakan manusia, bukan semata-mata menunggu takdir.
Refleksi untuk
Mahasiswa
Melalui contoh-contoh
di atas, dapat dipahami bahwa hermeneutika Qur’ani bekerja dengan tiga langkah
utama:
- Memahami teks Al-Qur’an secara
cermat
- Mengkaji konteks historis dan
sosial turunnya ayat
- Mengontekstualisasikan makna
ayat ke dalam realitas kehidupan masa kini
Pendekatan ini membantu mahasiswa memahami Al-Qur’an secara lebih utuh, adil, dan relevan, serta menghindarkan sikap tekstualisme kaku maupun relativisme berlebihan.
C. Kontribusi
Hermeneutika terhadap Tafsir Al-Qur’an
Khazanah ‘Ulūmul
Qur’ān sebagai metodologi penafsiran Al-Qur’an merupakan warisan keilmuan
Islam yang sangat kaya dan matang. Kekayaan tersebut terlihat dari beragamnya
karya tafsir yang lahir sepanjang sejarah, baik yang menggunakan metode tahlīlī,
maudhū‘ī, hingga tafsir yang menekankan pendekatan bahasa, hukum,
filsafat, bahkan sains. Ragam pendekatan ini menunjukkan bahwa ‘Ulūmul
Qur’ān telah berfungsi secara komprehensif dalam menjembatani hubungan
antara mufassir dengan teks Al-Qur’an, sehingga melahirkan tradisi penafsiran
yang sangat luas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika muncul pandangan
bahwa ‘Ulūmul Qur’ān klasik sebenarnya sudah cukup, tanpa perlu tambahan
metodologi baru seperti hermeneutika.
Jika ditinjau lebih
jauh, asumsi-asumsi dasar hermeneutika—yang menekankan perhatian pada teks
sekaligus konteks—sebenarnya telah memiliki padanan dalam perangkat ‘Ulūmul
Qur’ān klasik. Konsep-konsep seperti Makki-Madani, asbābun nuzūl,
dan nasikh-mansūkh dengan jelas menunjukkan kesadaran bahwa konteks
historis turut memengaruhi pemaknaan ayat. Pada titik ini, klaim bahwa ‘Ulūmul
Qur’ān masih relevan dan memadai untuk menggali makna Al-Qur’an memang
memiliki dasar yang kuat.
Berdasarkan
klasifikasi hermeneutika, dapat dikatakan bahwa ‘Ulūmul Qur’ān telah
memenuhi kriteria hermeneutika tingkat pertama, yaitu kesadaran akan pentingnya
konteks dalam memahami teks. Dari sudut pandang ini, tradisi tafsir Islam dapat
dinilai telah berjalan pada jalur yang tepat. Namun demikian, kesadaran konteks
semata ternyata belum mencukupi. Pemahaman yang hanya berhenti pada konteks
masa lalu cenderung membawa mufassir kembali ke situasi awal turunnya wahyu,
tanpa kemampuan menjawab persoalan ruang dan waktu kekinian. Dalam istilah
hermeneutika, kondisi ini hanya menghasilkan reproduksi makna lama, bukan
aktualisasi makna.
Akibatnya, penafsiran
semacam ini berpotensi melahirkan pemahaman yang tidak tepat konteks atau
bahkan bersifat ahistoris ketika diterapkan pada realitas masa kini. Memang,
dalam beberapa hal, pemaknaan klasik masih relevan. Namun dalam banyak aspek
kehidupan modern, pemahaman tersebut justru dapat kehilangan daya guna dan daya
jawabnya terhadap persoalan kontemporer.
Untuk mengatasi
keterbatasan ini, hermeneutika menawarkan variabel tambahan berupa
kontekstualisasi. Kontekstualisasi berarti kesadaran terhadap situasi kekinian,
termasuk dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang terus berkembang.
Melalui pendekatan ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana teks Al-Qur’an
yang lahir di masa lalu dapat dipahami dan diimplementasikan secara bermakna di
masa kini? Inilah upaya menjawab prinsip Al-Qur’an sebagai shalih li kulli
zamān wa makān, yakni relevan bagi setiap ruang dan waktu.
Menariknya, kesadaran
kontekstualisasi sebenarnya telah tampak dalam sejumlah karya tafsir, bahkan
sejak era pembaharu Islam. Tafsir Al-Manār karya Muhammad Abduh,
misalnya, menampilkan corak adab ijtimā‘ī yang responsif terhadap
problem sosial. Demikian pula tafsir-tafsir ilmiah seperti karya Thantawi
Jawhari yang berupaya mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan temuan sains
modern. Namun demikian, tafsir-tafsir yang sangat kontekstual ini sering kali
justru lemah dalam kesadaran historis, karena kurang memberi perhatian pada
konteks awal pewahyuan.
Dalam perspektif
hermeneutika filosofis ala Gadamer, pendekatan semacam ini mengandaikan teks
sebagai entitas yang otonom, sehingga pembaca memiliki keleluasaan penuh untuk
menafsirkannya sesuai dengan ideal dan kebutuhan zamannya. Masalahnya, jika
konteks awal diabaikan sepenuhnya, penafsiran berpotensi keluar dari maksud dan
spirit asli wahyu. Dari sudut pandang teologis, hal ini tentu problematis,
karena agama menuntut kesetiaan pada nilai-nilai dasar yang telah digariskan
sejak masa kenabian.
Oleh karena itu,
pendekatan yang lebih seimbang perlu ditegaskan, yakni penerapan relasi
teks–konteks–kontekstualisasi secara dialogis dan berkesinambungan. Melalui
dialog ketiganya, seorang mufassir diharapkan mampu menangkap tujuan utama dan
spirit Al-Qur’an tanpa terjebak pada ahistorisitas, sekaligus mampu
mengaplikasikan nilai-nilainya secara relevan dalam realitas sosial masa kini.
Dengan cara inilah tafsir Al-Qur’an dapat terhindar dari sikap tekstualisme
kaku maupun kontekstualisme berlebihan.
Dalam konteks ini,
dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan utama tafsir klasik terletak pada
ketidakseimbangan dialektika tersebut. Ada tafsir yang terlalu fokus pada teks
sehingga melahirkan pemahaman literal. Ada pula tafsir yang terlalu menekankan konteks
masa lalu sehingga kurang responsif terhadap problem kekinian. Sebaliknya, ada
tafsir yang sangat kontekstual, namun terputus dari misi dan tujuan awal
Al-Qur’an.
Kontribusi paling
penting hermeneutika bagi ilmu tafsir Al-Qur’an terletak pada kesadaran kritis
terhadap proses pemahaman itu sendiri. Hermeneutika filosofis dan kritis
mengajarkan bahwa setiap penafsiran selalu dipengaruhi oleh berbagai
determinasi, baik sosial, budaya, politik, maupun psikologis. Kesadaran ini
menggugurkan klaim bahwa suatu penafsiran bersifat sepenuhnya objektif, netral,
dan pasti benar. Setiap penafsiran, disadari atau tidak, selalu membawa
kepentingan tertentu.
Kepentingan tersebut
bisa berupa upaya mempertahankan status quo, merebut dominasi wacana, atau
sekadar membenarkan keyakinan pribadi. Selama kompetisi penafsiran ini
berlangsung dalam ruang publik yang sehat dan adil, serta tidak didominasi oleh
kekuasaan politik, sosial, atau budaya tertentu, perbedaan pemahaman justru
menjadi kekayaan intelektual umat.
Dari kesadaran
hermeneutika kritis inilah diharapkan tumbuh sikap inklusif dan toleran dalam
menghadapi keragaman penafsiran. Salah satu problem serius dalam kehidupan
beragama adalah truth claim, yaitu sikap mengklaim kebenaran secara
sepihak dan menafikan pandangan orang lain. Dalam dunia tafsir, sikap ini
muncul ketika seseorang meyakini bahwa hanya penafsirannya yang benar,
sementara yang lain dianggap keliru.
Hermeneutika
mengajarkan bahwa setiap penafsiran sangat dipengaruhi oleh konteks, latar
belakang, dan kepentingan penafsirnya. Oleh karena itu, bersikap apriori dalam
menyalahkan pihak lain bukanlah sikap yang bijaksana. Setiap pemahaman pasti
memiliki unsur kebenaran, namun tidak pernah sepenuhnya sempurna. Yang dituntut
dari umat beragama bukanlah klaim kebenaran absolut, melainkan kesungguhan
untuk beramal dan berkontribusi sebaik mungkin sesuai dengan keyakinannya,
serta berlomba dalam kebaikan secara adil dan bermartabat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar