Selasa, 30 Desember 2025

Hermeneutika Qur’ani

  


A.      Hermeneutika sebagai Cara Memahami Makna

Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika

Hermeneutika pada dasarnya adalah cara atau metode untuk memahami makna suatu teks [1]. Menariknya, praktik hermeneutika sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, meskipun sering dilakukan tanpa disadari. Setiap kali manusia berusaha menangkap maksud di balik kata-kata, simbol, atau tindakan orang lain, pada saat itulah proses hermeneutis berlangsung.

Contoh sederhana dapat ditemukan dalam komunikasi sehari-hari. Ketika seseorang menerima pesan WhatsApp dari temannya yang berbunyi, “Terserah kamu,” kalimat ini tidak selalu bermakna sama. Ia bisa diartikan sebagai bentuk kebebasan penuh dalam mengambil keputusan, tetapi juga bisa dimaknai sebagai ekspresi kekecewaan atau kemarahan. Untuk memahami makna yang tepat, seseorang tidak cukup hanya membaca teksnya, melainkan juga perlu mempertimbangkan siapa yang menulis pesan tersebut, dalam situasi apa pesan itu disampaikan, serta bagaimana hubungan antara pengirim dan penerima pesan. Cara memahami makna di balik teks dengan memperhatikan konteks inilah yang disebut sebagai hermeneutika. 

Aktivitas Memahami dalam Sejarah Pemikiran

Secara lebih mendasar, memahami dan menafsirkan merupakan aktivitas yang melekat pada eksistensi manusia dan menjadi salah satu ciri pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. Sejak awal sejarah pemikiran, para filsuf, teolog, dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu berupaya merumuskan cara terbaik untuk memahami realitas, baik realitas alam, sosial, maupun keagamaan. Dari upaya intelektual tersebut lahirlah berbagai teori dan pendekatan penafsiran, salah satunya adalah hermeneutika sebagai disiplin yang secara khusus mengkaji proses pemahaman makna.

Dalam perkembangannya, hermeneutika tidak hanya digunakan dalam kajian filsafat atau teologi, tetapi juga merambah berbagai bidang akademik lain seperti ilmu sosial, humaniora, dan studi keagamaan. Perkembangan ini berkaitan erat dengan perubahan paradigma berpikir manusia sepanjang sejarah. Pada fase tertentu, cara pandang manusia bersifat terpusat, seperti kosmosentris yang memusatkan perhatian pada alam, teosentris yang berpusat pada Tuhan, dan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Paradigma yang serba sentralistik ini kerap melahirkan klaim kebenaran tunggal dan menyingkirkan sudut pandang lain yang berbeda. 

Dari Modern ke Pascamodern: Kesadaran Konteks dan Perubahan

Kritik terhadap cara berpikir modern yang sentralistik kemudian melahirkan paradigma pascamodern yang bercorak anti-sentris. Paradigma ini ditopang oleh dua kesadaran utama. Pertama, kesadaran kontekstualitas, yaitu pemahaman bahwa cara berpikir dan bertindak manusia selalu dipengaruhi oleh konteks ruang, waktu, budaya, serta pengalaman hidupnya. Kedua, kesadaran progresivitas, yakni pengakuan bahwa kehidupan manusia bersifat dinamis dan terus mengalami perubahan.

Dari dua kesadaran tersebut lahir asumsi pluralitas, yaitu pandangan bahwa realitas kehidupan manusia bersifat beragam dan tidak mungkin dipahami secara utuh hanya melalui satu sudut pandang atau satu teori tunggal. Setiap pemahaman selalu memiliki keterbatasan dan membuka ruang untuk dikritisi serta disempurnakan. Dalam kerangka inilah hermeneutika menempati posisi penting, karena menegaskan bahwa proses memahami dan menafsirkan realitas selalu melibatkan konteks, perspektif, dan keberagaman pengalaman manusia. 

Relevansi Hermeneutika dalam Memahami Al-Qur’an

Prinsip hermeneutika menjadi sangat relevan ketika dikaitkan dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci yang dibaca dan dilafalkan, melainkan wahyu Ilahi yang harus dipahami dan diamalkan. Dalam praktik keagamaan sehari-hari, umat Islam memang terbiasa membaca Al-Qur’an, baik dalam salat, tadarus, maupun berbagai ritual keagamaan. Namun, membaca saja tidaklah cukup, karena tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an adalah agar pesan-pesannya dipahami dan dijadikan pedoman hidup.

Allah Swt. berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal dapat mengambil pelajaran.” (QS. Shād [38]: 29) 

Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an menuntut proses tadabbur, yaitu upaya berpikir, merenung, dan menggali makna ayat-ayatnya secara mendalam. Dengan demikian, umat Islam didorong untuk memahami pesan-pesan Ilahi dengan melibatkan akal, pengalaman, dan kesadaran terhadap kondisi zaman yang terus berkembang. 

Hermeneutika Qur’ani sebagai Jembatan Pemahaman

Bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana cara memahami Al-Qur’an secara benar dan bertanggung jawab di tengah realitas kehidupan modern yang semakin kompleks? Pertanyaan inilah yang mengantarkan pada satu konsep penting dalam studi Al-Qur’an kontemporer, yaitu hermeneutika Qur’ani. Hermeneutika Qur’ani dapat dipahami sebagai pendekatan untuk memahami Al-Qur’an secara kontekstual, kritis, dan relevan, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai dasar wahyu dan prinsip-prinsip ajaran Islam.

 

B.      Hermeneutika dan Ilmu Tafsir Al-Qur’an

Hermeneutika pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan atau metode untuk memahami makna, yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang keilmuan. Namun, jika ditelusuri dari sejarah kemunculan dan perkembangannya, hermeneutika memiliki peran yang sangat kuat dalam kajian sejarah dan kritik teks, khususnya teks-teks keagamaan. Fokus utama hermeneutika adalah bagaimana sebuah teks lama, yang lahir dalam situasi sosial dan historis tertentu, dapat dipahami secara relevan oleh pembaca yang hidup dalam konteks zaman yang sangat berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh Fahruddin Faiz, problem utama hermeneutika selalu berkaitan dengan upaya memahami teks tradisional agar tetap bermakna dan komunikatif bagi konteks kekinian.

Sebagai sebuah tawaran metodologis dalam kajian kitab suci, hermeneutika pada akhirnya juga tidak dapat dihindari dalam studi Al-Qur’an. Munculnya berbagai karya tafsir kontemporer yang memanfaatkan pendekatan hermeneutik menunjukkan besarnya daya tarik metode ini dalam upaya memahami wahyu secara lebih kontekstual. Hermeneutika tidak sekadar teori penafsiran atau teknik memahami teks, melainkan sebuah ilmu yang menjelaskan proses penerimaan wahyu secara menyeluruh, mulai dari bahasa teks hingga realitas kehidupan manusia. Dengan demikian, hermeneutika berupaya menjembatani wahyu dari ranah ilahi menuju praksis sosial dan historis umat manusia. 

Dalam tradisi keilmuan Islam sendiri, istilah yang secara khusus digunakan untuk kegiatan penafsiran Al-Qur’an adalah tafsir. Istilah ini berasal dari kata fassara atau fasara dalam bahasa Arab, dan telah digunakan secara teknis sejak abad ke-5 Hijriah hingga masa kini. Berbeda dengan istilah tafsir, istilah “hermeneutika” tidak ditemukan dalam literatur tafsir klasik Islam. Popularitas istilah hermeneutika baru menguat dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan berkembangnya pendidikan modern, teknologi informasi, serta lahirnya generasi intelektual Muslim kontemporer yang berinteraksi intensif dengan tradisi keilmuan Barat.

Meskipun istilahnya relatif baru dalam khazanah Islam, Farid Esack menegaskan bahwa praktik hermeneutik sesungguhnya telah lama dilakukan oleh umat Islam dalam interaksinya dengan Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat, pertama, dari kajian tentang asbābun nuzūl dan nasakh–mansukh yang menunjukkan kesadaran kuat akan konteks historis wahyu. Kedua, adanya pembedaan antara teks tafsir dan kaidah atau metode penafsiran yang berkembang dalam disiplin ilmu tafsir. Ketiga, munculnya berbagai klasifikasi tafsir - seperti tafsir Syiah, Mu‘tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lainnya - yang mencerminkan kesadaran akan pengaruh ideologi, latar sosial, serta periode sejarah tertentu dalam proses penafsiran.

Ketiga fenomena tersebut menunjukkan bahwa sejak awal, para ulama Muslim telah menyadari bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an bersifat historis dan kontekstual, sehingga membuka ruang bagi keragaman penafsiran. Dengan kata lain, meskipun tidak disebut secara eksplisit sebagai hermeneutika, benih-benih pemikiran hermeneutik sejatinya telah hadir dan berkembang dalam kajian ‘Ulūmul Qur’ān klasik [1].

Tokoh-tokoh Perintis Hermeneutika Al-Qur’an Modern

Dalam konteks modern, penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an mulai dirintis secara lebih sadar oleh para pembaharu Muslim. Di India, tokoh-tokoh seperti Ahmad Khan, Amir Ali, dan Ghulam Ahmad Parves berupaya melakukan penafsiran rasional terhadap konsep-konsep Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis, seperti mukjizat dan persoalan gaib. Sementara itu, di Mesir, Muhammad Abduh mengembangkan penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan sosial-kemasyarakatan. Meskipun gagasan-gagasan mereka tergolong progresif, kerangka metodologis yang digunakan masih belum tersusun secara sistematis.

Perkembangan hermeneutika Al-Qur’an yang lebih matang dan terstruktur terjadi pada dekade 1960–1970-an. Hassan Hanafi, misalnya, mengembangkan pemikiran hermeneutik melalui rekonstruksi ilmu ushul fikih, pendekatan fenomenologis terhadap agama, serta kritik terhadap hermeneutika eksistensial dalam kajian kitab suci Kristen. Mohammed Arkoun memperkenalkan pembacaan semiotik terhadap Al-Qur’an, sementara Fazlur Rahman merumuskan metode hermeneutika yang sistematis melalui konsep double movement, yaitu gerak bolak-balik antara konteks historis wahyu dan realitas kekinian umat manusia.

Seiring berjalannya waktu, kajian hermeneutika Al-Qur’an semakin berkembang, ditandai dengan munculnya kritik historis dan linguistik terhadap teks Al-Qur’an. Berbagai karya akademik lahir, baik dari kalangan sarjana Barat maupun intelektual Muslim. Di antaranya adalah kajian Jane McAuliffe tentang metode tafsir klasik, Azim Nanji mengenai teori ta’wil dalam tradisi Ismailiyah, serta Nasr Hamid Abu Zayd yang secara intensif mengkaji dimensi hermeneutik dalam tafsir klasik Islam.

Apa yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, Arkoun, dan Abu Zayd menunjukkan bagaimana Al-Qur’an dapat “diolah” melalui pendekatan hermeneutika. Secara sederhana, hermeneutika bekerja dengan menganalisis bahasa teks, memahami konteks historisnya, lalu menarik makna yang relevan dengan ruang dan waktu pembaca masa kini. Dalam kajian Al-Qur’an, persoalan utamanya bukan hanya apa yang dikatakan teks, tetapi juga bagaimana wahyu hadir dalam masyarakat, dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, serta didialogkan dengan dinamika sejarah dan sosial.

Dalam pendekatan hermeneutika modern terhadap Al-Qur’an, terdapat tiga asumsi dasar yang perlu diperhatikan. Pertama, penafsir Al-Qur’an adalah manusia. Setiap penafsir memiliki keterbatasan, latar belakang, dan pengalaman hidup yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu tertentu. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran yang sepenuhnya netral atau mutlak benar, dan sikap kritis serta keterbukaan menjadi keniscayaan.

Kedua, penafsiran tidak dapat dilepaskan dari bahasa, sejarah, dan tradisi. Setiap aktivitas menafsirkan selalu berlangsung dalam bingkai bahasa dan budaya tertentu. Upaya untuk “kembali kepada Al-Qur’an” tanpa mempertimbangkan tradisi sering kali tidak realistis, karena pemahaman manusia terhadap teks selalu dipengaruhi oleh konteks historis, baik pada masa turunnya wahyu maupun pada masa penafsirannya. Oleh sebab itu, tradisi tidak untuk ditolak secara apriori, melainkan dikritisi dan dipahami secara konstruktif.

Ketiga, tidak ada teks yang berdiri sendiri tanpa konteks. Al-Qur’an diturunkan dalam situasi sosial dan historis tertentu, yang tercermin dalam bahasa, tema, dan tujuan ayat-ayatnya. Pembedaan antara ayat Makkiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa wahyu selalu berinteraksi dengan realitas masyarakat penerimanya. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat dipahami sebagai respons ilahi terhadap kondisi konkret manusia, yang maknanya senantiasa terbuka untuk dikontekstualisasikan sepanjang zaman.

 

C.      Contoh Konkret: Hermeneutika Qur’ani dalam Memahami Ayat Al-Qur’an

Untuk memahami bagaimana hermeneutika Qur’ani bekerja secara konkret, mari kita perhatikan satu contoh ayat Al-Qur’an yang sering dipahami secara tekstual, namun memerlukan pendekatan kontekstual agar pesan utamanya dapat diterapkan secara tepat di masa kini.

Kasus 1: Ayat tentang Kepemimpinan Laki-laki

Allah Swt. berfirman:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ

(QS. an-Nisā’ [4]: 34)

Ayat ini sering dipahami secara sederhana sebagai legitimasi mutlak kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam semua aspek kehidupan. Pemahaman tekstual seperti ini kerap melahirkan praktik relasi yang timpang dan tidak adil, bahkan berujung pada pembenaran sikap otoriter dalam rumah tangga.

a. Analisis Teks

Kata qawwām berasal dari akar kata qāma yang bermakna berdiri, menjaga, dan bertanggung jawab. Makna ini menunjukkan fungsi tanggung jawab dan perlindungan, bukan dominasi atau kekuasaan absolut.

b. Analisis Konteks Historis

Ayat ini turun dalam masyarakat Arab yang bersifat patriarkal, di mana laki-laki umumnya menjadi pencari nafkah dan penanggung jawab ekonomi keluarga. Frasa bimā anfaqū min amwālihim menegaskan bahwa kepemimpinan tersebut berkaitan langsung dengan tanggung jawab finansial dan sosial, bukan semata-mata jenis kelamin.

c. Kontekstualisasi Kekinian

Dalam konteks masyarakat modern, di mana perempuan juga berpendidikan, bekerja, dan berkontribusi secara ekonomi, konsep qiwāmah perlu dipahami sebagai pembagian peran yang adil dan proporsional, bukan superioritas gender. Prinsip utama ayat ini adalah tanggung jawab, keadilan, dan kemitraan dalam keluarga.

d. Pesan Utama Ayat

Pesan normatif ayat ini bukanlah peneguhan hierarki gender, melainkan penataan tanggung jawab sosial demi terciptanya keharmonisan dan keadilan dalam keluarga.

 

Kasus 2: Ayat tentang Perbedaan dan Keragaman

Allah Swt. berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ

(QS. al-ujurāt [49]: 13)

Ayat ini sering dibaca sebagai seruan normatif tentang persaudaraan, tetapi dalam praktik sosial sering kali diabaikan ketika berhadapan dengan perbedaan suku, budaya, bahkan agama.

a. Analisis Teks

Kata lita‘ārafū berarti saling mengenal, saling memahami, dan membangun relasi sosial yang positif, bukan sekadar hidup berdampingan secara pasif.

b. Analisis Konteks

Ayat ini turun untuk merespons budaya kesukuan Arab yang kuat dan sering melahirkan konflik sosial. Al-Qur’an hadir untuk mendekonstruksi superioritas kesukuan dan menggantinya dengan nilai ketakwaan.

c. Kontekstualisasi Kekinian

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, ayat ini menjadi dasar teologis bagi moderasi beragama, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman. Perbedaan bukan alasan konflik, melainkan sarana membangun kerja sama sosial.

d. Pesan Utama Ayat

Kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh identitas sosial, melainkan oleh kualitas moral dan ketakwaannya. 


Kasus 3: Ayat tentang Perubahan Sosial

Allah Swt. berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

(QS. ar-Ra‘d [13]: 11)

Ayat ini sering dipahami sebagai seruan moral individual, namun sesungguhnya memiliki dimensi sosial yang kuat.

a. Analisis Teks

Frasa mā bi anfusihim tidak hanya menunjuk aspek batin individual, tetapi juga pola pikir, nilai, dan budaya kolektif suatu masyarakat.

b. Analisis Konteks

Ayat ini turun dalam konteks pembentukan masyarakat Islam yang menuntut transformasi mental, sosial, dan struktural.

c. Kontekstualisasi Kekinian

Ayat ini relevan dalam konteks perubahan sosial, pendidikan, dan pembangunan bangsa. Kemajuan umat tidak akan tercapai tanpa perubahan paradigma, etos kerja, dan tanggung jawab kolektif.

d. Pesan Utama Ayat

Perubahan sosial dimulai dari perubahan kesadaran dan tindakan manusia, bukan semata-mata menunggu takdir. 

Refleksi untuk Mahasiswa

Melalui contoh-contoh di atas, dapat dipahami bahwa hermeneutika Qur’ani bekerja dengan tiga langkah utama:

  1. Memahami teks Al-Qur’an secara cermat
  2. Mengkaji konteks historis dan sosial turunnya ayat
  3. Mengontekstualisasikan makna ayat ke dalam realitas kehidupan masa kini

Pendekatan ini membantu mahasiswa memahami Al-Qur’an secara lebih utuh, adil, dan relevan, serta menghindarkan sikap tekstualisme kaku maupun relativisme berlebihan. 

C. Kontribusi Hermeneutika terhadap Tafsir Al-Qur’an

Khazanah ‘Ulūmul Qur’ān sebagai metodologi penafsiran Al-Qur’an merupakan warisan keilmuan Islam yang sangat kaya dan matang. Kekayaan tersebut terlihat dari beragamnya karya tafsir yang lahir sepanjang sejarah, baik yang menggunakan metode tahlīlī, maudhū‘ī, hingga tafsir yang menekankan pendekatan bahasa, hukum, filsafat, bahkan sains. Ragam pendekatan ini menunjukkan bahwa ‘Ulūmul Qur’ān telah berfungsi secara komprehensif dalam menjembatani hubungan antara mufassir dengan teks Al-Qur’an, sehingga melahirkan tradisi penafsiran yang sangat luas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika muncul pandangan bahwa ‘Ulūmul Qur’ān klasik sebenarnya sudah cukup, tanpa perlu tambahan metodologi baru seperti hermeneutika.

Jika ditinjau lebih jauh, asumsi-asumsi dasar hermeneutika—yang menekankan perhatian pada teks sekaligus konteks—sebenarnya telah memiliki padanan dalam perangkat ‘Ulūmul Qur’ān klasik. Konsep-konsep seperti Makki-Madani, asbābun nuzūl, dan nasikh-mansūkh dengan jelas menunjukkan kesadaran bahwa konteks historis turut memengaruhi pemaknaan ayat. Pada titik ini, klaim bahwa ‘Ulūmul Qur’ān masih relevan dan memadai untuk menggali makna Al-Qur’an memang memiliki dasar yang kuat.

Berdasarkan klasifikasi hermeneutika, dapat dikatakan bahwa ‘Ulūmul Qur’ān telah memenuhi kriteria hermeneutika tingkat pertama, yaitu kesadaran akan pentingnya konteks dalam memahami teks. Dari sudut pandang ini, tradisi tafsir Islam dapat dinilai telah berjalan pada jalur yang tepat. Namun demikian, kesadaran konteks semata ternyata belum mencukupi. Pemahaman yang hanya berhenti pada konteks masa lalu cenderung membawa mufassir kembali ke situasi awal turunnya wahyu, tanpa kemampuan menjawab persoalan ruang dan waktu kekinian. Dalam istilah hermeneutika, kondisi ini hanya menghasilkan reproduksi makna lama, bukan aktualisasi makna.

Akibatnya, penafsiran semacam ini berpotensi melahirkan pemahaman yang tidak tepat konteks atau bahkan bersifat ahistoris ketika diterapkan pada realitas masa kini. Memang, dalam beberapa hal, pemaknaan klasik masih relevan. Namun dalam banyak aspek kehidupan modern, pemahaman tersebut justru dapat kehilangan daya guna dan daya jawabnya terhadap persoalan kontemporer.

Untuk mengatasi keterbatasan ini, hermeneutika menawarkan variabel tambahan berupa kontekstualisasi. Kontekstualisasi berarti kesadaran terhadap situasi kekinian, termasuk dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang terus berkembang. Melalui pendekatan ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana teks Al-Qur’an yang lahir di masa lalu dapat dipahami dan diimplementasikan secara bermakna di masa kini? Inilah upaya menjawab prinsip Al-Qur’an sebagai shalih li kulli zamān wa makān, yakni relevan bagi setiap ruang dan waktu.

Menariknya, kesadaran kontekstualisasi sebenarnya telah tampak dalam sejumlah karya tafsir, bahkan sejak era pembaharu Islam. Tafsir Al-Manār karya Muhammad Abduh, misalnya, menampilkan corak adab ijtimā‘ī yang responsif terhadap problem sosial. Demikian pula tafsir-tafsir ilmiah seperti karya Thantawi Jawhari yang berupaya mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan temuan sains modern. Namun demikian, tafsir-tafsir yang sangat kontekstual ini sering kali justru lemah dalam kesadaran historis, karena kurang memberi perhatian pada konteks awal pewahyuan.

Dalam perspektif hermeneutika filosofis ala Gadamer, pendekatan semacam ini mengandaikan teks sebagai entitas yang otonom, sehingga pembaca memiliki keleluasaan penuh untuk menafsirkannya sesuai dengan ideal dan kebutuhan zamannya. Masalahnya, jika konteks awal diabaikan sepenuhnya, penafsiran berpotensi keluar dari maksud dan spirit asli wahyu. Dari sudut pandang teologis, hal ini tentu problematis, karena agama menuntut kesetiaan pada nilai-nilai dasar yang telah digariskan sejak masa kenabian.

Oleh karena itu, pendekatan yang lebih seimbang perlu ditegaskan, yakni penerapan relasi teks–konteks–kontekstualisasi secara dialogis dan berkesinambungan. Melalui dialog ketiganya, seorang mufassir diharapkan mampu menangkap tujuan utama dan spirit Al-Qur’an tanpa terjebak pada ahistorisitas, sekaligus mampu mengaplikasikan nilai-nilainya secara relevan dalam realitas sosial masa kini. Dengan cara inilah tafsir Al-Qur’an dapat terhindar dari sikap tekstualisme kaku maupun kontekstualisme berlebihan.

Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan utama tafsir klasik terletak pada ketidakseimbangan dialektika tersebut. Ada tafsir yang terlalu fokus pada teks sehingga melahirkan pemahaman literal. Ada pula tafsir yang terlalu menekankan konteks masa lalu sehingga kurang responsif terhadap problem kekinian. Sebaliknya, ada tafsir yang sangat kontekstual, namun terputus dari misi dan tujuan awal Al-Qur’an.

Kontribusi paling penting hermeneutika bagi ilmu tafsir Al-Qur’an terletak pada kesadaran kritis terhadap proses pemahaman itu sendiri. Hermeneutika filosofis dan kritis mengajarkan bahwa setiap penafsiran selalu dipengaruhi oleh berbagai determinasi, baik sosial, budaya, politik, maupun psikologis. Kesadaran ini menggugurkan klaim bahwa suatu penafsiran bersifat sepenuhnya objektif, netral, dan pasti benar. Setiap penafsiran, disadari atau tidak, selalu membawa kepentingan tertentu.

Kepentingan tersebut bisa berupa upaya mempertahankan status quo, merebut dominasi wacana, atau sekadar membenarkan keyakinan pribadi. Selama kompetisi penafsiran ini berlangsung dalam ruang publik yang sehat dan adil, serta tidak didominasi oleh kekuasaan politik, sosial, atau budaya tertentu, perbedaan pemahaman justru menjadi kekayaan intelektual umat.

Dari kesadaran hermeneutika kritis inilah diharapkan tumbuh sikap inklusif dan toleran dalam menghadapi keragaman penafsiran. Salah satu problem serius dalam kehidupan beragama adalah truth claim, yaitu sikap mengklaim kebenaran secara sepihak dan menafikan pandangan orang lain. Dalam dunia tafsir, sikap ini muncul ketika seseorang meyakini bahwa hanya penafsirannya yang benar, sementara yang lain dianggap keliru.

Hermeneutika mengajarkan bahwa setiap penafsiran sangat dipengaruhi oleh konteks, latar belakang, dan kepentingan penafsirnya. Oleh karena itu, bersikap apriori dalam menyalahkan pihak lain bukanlah sikap yang bijaksana. Setiap pemahaman pasti memiliki unsur kebenaran, namun tidak pernah sepenuhnya sempurna. Yang dituntut dari umat beragama bukanlah klaim kebenaran absolut, melainkan kesungguhan untuk beramal dan berkontribusi sebaik mungkin sesuai dengan keyakinannya, serta berlomba dalam kebaikan secara adil dan bermartabat.



[1] Esack, Farid, Qur’an Pluralism and Liberation, Oxford: One World, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hermeneutika Qur’ani

    A.       Hermeneutika sebagai Cara Memahami Makna Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika Hermeneutika pada dasarnya adalah cara...