Guru, dosen, penyuluh agama, ustadz, atau kiai adalah pendidik. Seorang pendidik hendaknya memperhatikan adab-adab tertentu sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 431) sebagai berikut:
آداب العالم: لزوم العلم، والعمل بالعلم، ودوام الوقار، ومنع التكبر وترك الدعاء به، والرفق بالمتعلم، والتأنى بالمتعجرف، وإصلاح المسألة للبليد، وبرك الأنفة من قول لا أدري، وتكون همته عندالسؤال خلاصة من السائل لإخلاص السائل، وترك التكلف، واستماع الحجة والقبول لها وإن كانت من الخصم.
Artinya: “Adab
orang ahli ilmu, yakni: tidak berhenti menuntut ilmu, bertindak dengan ilmu,
senantiasa bersikap tenang, tidak takabur dalam memerintah atau memanggil
seseorang, bersikap lembut terhadap peserta didik, tidak membanggakan diri,
mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami orang yang lamban berpikirnya,
merendah dengan mengatakan, ‘Saya tidak tahu,’ bersedia menjawab secara ringkas
pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih terbatas,
menghindari sikap yang tak wajar, mendengar dan menerima argumentasi dari orang
lain meskipun ia seorang lawan.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan kesebelas adab pendidik sebagai berikut:
- Tidak berhenti menuntut ilmu. Menuntut ilmu tidak ada batas akhirnya
karena kewajiban ini dilakukan sejak dari ayunan ibu hingga liang lahat. Dalam
kaitan ini Gus Mus pernah menulis dalam akun Twitternya, “Seseorang akan selalu
pandai selagi terus belajar. Bila dia berhenti belajar karena menganggap
dirinya sudah pandai, mulailah dia bodoh.”
- Bertindak dengan ilmu. Seorang pendidik hendaknya bertindak berdasarkan ilmu
terlebih dalam hubungannya dengan ibadah. Di luar ibadah pun, suatu tindakan
juga harus sesuai dengan ilmu terkait, misalnya pengobatan atau terapi terhadap
orang sakit harus berdasarkan ilmu tertentu yang memang bisa
dipertanggungjawabkan. Dalam ibadah, amal tanpa didasari ilmu akan
tertolak.
- Senantiasa bersikap tenang. Pendidik
tentu bersikap tenang dalam menghadapi berbagai persoalan. Inilah salah satu
hal yang membedakan antara pendidik dan orang awam. Terlebih dalam menghadapi peserta
didik yang menjadi tanggung jawabnya dalam kependidikan, seorang pendidik
hendaknya bersikap sabar dan tidak emosional.
- Tidak takabur dalam memerintah
atau memanggil seseorang. Pendidik dituntut meneladani sifat-sifat Rasulullah sebanyak
mungkin.
- Bersikap lembut terhadap peserta
didik. Sangat tidak dianjurkan pendidik bersikap keras, apalagi kejam terhadap peserta
didiknya sebab hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perilaku mereka.
- Tidak membanggakan diri. Pendidik
hendaknya tidak membanggakan diri atas semua prestasi yang diraihnya sebab hal
ini bisa membawanya pada sikap ujub, yakni mengagumi diri sendiri yang
ujung-ujungnya menimbulkan kesombongan. Allah sangat tidak menyukai
hamba-hamba-Nya yang sombong, dan sebaliknya mengangkat derajat orang-orang
yang senantiasa bertawadhu’
- Mengajukan pertanyaan yang bisa
dipahami orang yang lamban berpikirnya. Tingkat kesulitan pertanyaan yang
diajukan kepada seorang peserta didik, misalnya, harus disesuaikan dengan
tingkat kemampuan berpikir atau seberapa luas pengetahuannya. Tidak bijak
memberikan pertanyaan yang sulit kepada peserta didik yang baru mulai belajar
sebab hal ini bisa menimbulkan frustrasai dan tidak percara diri .
- Merendah dengan mengatakan, “Saya
tidak tahu.” Ada kalanya pendidik tidak perlu menjawab suatu permasalahan
apabila peserta didik benar-benar tidak bermaksud bertanya tetapi hanya ingin
mengujinya. Dalam situasi seperti ini lebih baik pendidik mengatakan
ketidaktahuannya dengan tetap menunjukkan sikap tawadhu’nya, dan bukan dengan
bersikap marah-marah.
- Bersedia menjawab secara ringkas
(sederhana) pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih
terbatas. Seorang pendidik dituntut mengenali tingkat kemampuan berpikir peserta
didiknya yang beragam sehingga penjelasan yang ditujukan kepada individu
tertentu disesuaikan dengan tingkat kecerdasannya. Sistem pembelajaran
“sorogan” sangat memungkinkan pendidik mengenali potensi akademik peserta
didiknya satu per satu.
- Menghindari sikap yang tak wajar.
Seorang pendidik hendaknya selalu bersikap wajar terhadap peserta didiknya. Ia
tidak perlu bersikap terlalu keras atau sebaliknya terlalu lembut. Sikap
terlalu keras bisa membuat peserta didik tidak kreatif, dan sebaliknya sikap
terlalu lembut bisa membuat peserta didik meremehkan perintah-perintah pendidik.
Sikap terbaik adalah yang moderat, atau sesuai dengan situasi dan kondisi.
- Mendengar dan menerima
argumentasi dari orang lain meskipun ia seorang lawan. seorang pendidik
hendaknya bersikap akomodatif terhadap argumetasi dari mana pun asalnya,
termasuk dari orang yang tidak sependapat dengannya dengan cara mau mendengarkan
dan mempertimbangkan untuk mengkaji kuat tidaknya argumentasi itu. Maksudnya
seorang pendidik tidak boleh besikap apriori terhadap pendapat orang lain.
Demikianlah kesebelas adab pendidik sebagaimana dinasihatkan oleh Imam al-Ghazali. Kesebelas adab tersebut dapat diringkas bahwa seorang pendidik hendaknya senantiasa menuntut ilmu dan mengamalkannya; menjaga akhlak terpuji dengan memiliki sikap tenang, lemah lembut, tawadhu’ dan bersikap wajar; memahami karakter murid-muridnya dan tidak apriori terhadap pendapat orang lain yang berbeda.
Sedangkan dalam Kitab Bidayatul Hidayah, Imam Ghozali menyebutkan: Jika engkau seorang pendidik maka hendaklah engkau jaga adab-adab ini:
1.
Ihtimal (banyak sabar menanggung kesusahan)
2.
Lambat marah.
3.
Duduk dengan haibah atas kelakuan yang tetap serta menundukkan kepala.
4.
Meninggalkan takbur atas sekalian hamba Allah Taala kecuali terhadap
orang yang zalim kerana menegahkan daripada kezalimannya.
5.
Memilih tawadu' yakni merendahkan diri pada perhimpunan orang ramai dan
pada majlis orang ramai
6.
Meninggalkan bergurau dan bermain-main
7.
Kasih sayang dengan murid dan lemah lembut dengan yang kurang pandai.
8.
Membimbing murid yang bebal.
9.
Tidak memarahi murid yang bodoh.
10.
Tidak malu daripada berkata "aku tidak tahu" (bagi masalah
yang tidak diketahuinya).
11.
Memberikan perhatian kepada murid yang bertanya dan cuba memahami
soalannya dengan baik.
12.
Menerima hujjah atau dalil yang dihadapkan kepadanya
13.
Tunduk kepada kebenaran dengan kembali kepadanya ketika ia tersalah.
14.
Melarang murid daripada ilmu yang boleh memudaratkan.
15.
Melarang murid daripada menghendaki yang lain dari Allah dengan
ilmunya.
16.
Melarang murid daripada menuntut ilmu yang f ardhu kifayah sebelum
selesai daripada menuntut ilmu yang fardhu Ain. Dan ilmu yang fardhu ain itu ialah
yang berkenaan dengan membaikkan zahir dan batin dengan taqwa.
17.
Memperbaiki diri sendiri dengan taqwa sebelum ia menyuruh orang lain,
supaya muridnya dapat mencontohi amalannya dan mengambil manfaat daripada percakapannya
(ilmunya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar