Minggu, 18 April 2021

ِِADAB BEKERJA

 

 


Bekerja merupakan ibadah dan kewajiban seorang hamba kepada Allah swt. Karena bekerja adalah ibadah, maka ada aturan syariat yang menaunginya. Bekerja bukan asal bekerja. Bekerja bukan sekedar mendapatkan dunia saja tapi bagaimana agar pahala juga diperoleh.

Allah Ta’ala memerintahkan bekerja kepada setiap hamba-hambaNya (QS. Attaubah: 105)

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Manfaat Bekerja

Pertama, orang yang ikhlas bekerja akan mendapatkan ampunan dosa dari Allah Ta’ala.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan :

رواه الطبراني. مَنْ أَمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ أَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ

“Siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang telah dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh Allah Ta’ala.” (HR. Thabrani).

Kedua, akan diampuninya suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat, puasa, zakat, haji dan umrah

Dalam sebuah riwayat dikatakan

إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ لَذُنُوْبًا، لاَ تُكَفِّرُهَا الصَّلاةُ وَلاَ الصِّياَمُ وَلاَ الْحَجُ وَلاَ الْعُمْرَةُ، قَالَ وَمَا تُكَفِّرُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ الْهُمُوْمُ فِيْ طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ (رواه الطبراني

Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, terdapat satu dosa yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa, haji dan umrah.’ Sahabat bertanya, ‘Apa yang dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Semangat dalam mencari rizki.’ (HR. Thabrani).

Ketiga, mendapatkan cinta Allah Ta’la.

Dalam sebuah riwayat digambarkan : 

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ (رواه الطبراني

“Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu’min yang giat bekerja.” (HR. Thabrani).

Keempat, terhindar dari azab neraka.

Dalam sebuah riwayat dikemukakan, “Pada suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad saw baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, ‘Kenapa tanganmu?’ Saad menjawab, ‘Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku.” Kemudian Rasulullah saw mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, ‘Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka.'” (HR. Tabrani).

 

Bekerja yang Berbuah Surga

Jika pekerjaan seorang muslim itu benar (tidak menyalahi syariat), dilakukan dengan benar (tidak menipu dan hal buruk lainnya), maka surga kelak di akhirat akan menjadi buah dari kerjanya selama di dunia ini. Pertanyaannya, kerja yang dikerjakan seperti apakah yang mampu membuahkan surga? Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan seorang muslim agar kerja-kerjanya berbuah surga antara lain sebagai berikut.

Pertama, Niat Ikhlas Karena Allah SWT

Ketika bekerja, niatan utamanya adalah karena Allah SWT sebagai kewajiban dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap hamba. Dan konsekwensinya adalah ia selalu memulai aktivitas pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah. Ketika berangkat dari rumah, lisannya basah dengan do’a bismillahi tawakkaltu alallah.. la haula wala quwwata illa billah.. Dan ketika pulang ke rumah pun, kalimat tahmid menggema dalam dirinya yang keluar melalui lisannya.

Kedua, Sungguh-sungguh dan profesional dalam bekerja

Syarat kedua agar pekerjaan dijadikan sarana mendapatkan surga dari Allah SWT adalah profesional, sungguh-sungguh dan tekun dalam bekerja. Di antara bentuknya adalah, tuntas melaksanakan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya, memiliki keahlian di bidangnya dsb.

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. Tabrani).

Ketiga, Bersikap Jujur dan Amanah

Karena pada hakekatnya pekerjaan yang dilakukannya tersebut merupakan amanah, baik secara duniawi dari atasannya atau pemilik usaha, maupun secara duniawi dari Allah yang akan dimintai pertanggung jawaban atas pekerjaan yang dilakukannya. Implementasi jujur dan amanah dalam bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Seorang pebisnis yang jujur lagi dapat dipercaya, (kelak akan dikumpulkan) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada”. (HR. Turmudzi).

Keempat, Menjaga Etika Sebagai Seorang Muslim

Bekerja juga harus memperhatikan adab dan etika sebagai seroang muslim, seperti etika dalam berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum, berhadapan dengan pelanggan, rapat, dan sebagainya. Bahkan akhlak atau etika ini merupakan ciri kesempurnaan iman seorang mu’min. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:

Sesempurna-sempurnanya keimanan seorang mu’min adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Turmudzi)

Kelima, Tidak Melanggar Prinsip-Prinsip Syariah

Aspek lain dari etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang dilaku-kannya. Tidak melanggar prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi beberapa hal: Pertama, dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti memproduksi tidak boleh barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi), mengandung unsur riba, maysir, gharar dan sebagainya; Kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti risywah, membuat fitnah dalam persaingan, tidak menutup aurat, ikhtilat antara laki-laki dengan perempuan, dan sebagaianya. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Qs. Muhammad: 33).

Keenam, Menghindari Syubhat

Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau sesuatu yang meragukan dan samar antara kehalalan dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan tertentu. Atau seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzliman atau pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari internal maupun eksternal. Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, “Halal itu jelas dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Maka barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada yang diharamkan…” (HR. Muslim).

Ketujuh, Menjaga Ukhuwah Islamiyah

Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja atau berusaha melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin. Rasulullah saw mengemukakan tentang hal yang bersifat prefentif agar tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin. Nabi saw mengemukakan, “Dan janganlah kalian membeli barang yang sudah dibeli saudara kalian” karena jika terjadi kontradiktif dari hadits di atas, tentu akan merenggangkan juga ukhuwah Islamiyah di antara mereka; saling curiga dan sebagainya. Agar kerja kita benilai pahala surga, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses panjang yang harus dilakukan seperti dijelaskan dalam tahapan-tahapan di atas.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk bekerja bukan sekedar bekerja, tapi bagaimana setiap pekerjaan bisa bernilai pahala dan berbuah surge kelak, wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Menghargai Setiap Tetes: Kajian Holistik tentang Penggunaan Air secara Bijaksana untuk Masa Depan Berkelanjutan."

Latar Belakang Penggunaan air yang berlebihan dalam kegiatan sehari-hari menjadi perhatian utama penulis, terutama dalam aktivitas seperti b...