“NIKAH SIRI DAN DAMPAKNYA”
Oleh: Alfiatu Solikah
Pendahuluan
Dalam pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang dasar
perkawinan disebutkan: ''Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa''. Dari sini mengandung esensi bahwa
pernikahan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal. Kebahagiaan keluarga
akan tercapai jika cara yang ditempuh sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan. Bagaimana dengan pernikahan yang dilaksanakan tanpa melalui
peraturan yang berlaku ?
Dasar Hukum Pernikahan
Adapun dasar-dasar nikah antara lain adalah: QS An-Nur:
32 yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (laki-laki atau
perempuan yang masih belum kawin) diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamda sahayamu yang
perempuan..”
QS Al-Nisa’:
3 yang berbunyi : “.. maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.. .”
Hadits riwayat Bukhori dari
Ibnu Mas’ud, ra. Nabi bersabda, “Wahai para pemuda, siapa diantara kamu yang
sudah mampu memberikan nafkah lahir dan batin maka hendaklah ia menikah, karena
sesungguhnya (nikah itu) lebih dapat menutup mata dan menjaga farji. Dan
sesungguhnya puasa dapat menjadi penahan keinginan untuk bersetubuh.”
Tujuan Nikah
1)
Melestarikan
species manusia dengan jalan yang dibenarkan syari’at agar terhindar dari
kepunahan.
2)
Menyalurkan
air mani dengan jalan yang halal dan jauh dari faktor mudlorot, karena mani
yang mengendap tanpa penyaluran yang benar dapat mengakibatkan pengaruh negatif
pada fisik.
3)
Memenuhi
kebutuhan biologis dan penyaluran nafsu sex pada jalan dan tempat yang benar.
4)
Membentuk
keluarga dengan ikatan yang kuat dan sah terlepas dari freesex dan kumpul tanpa
ikatan yang sah yang menimbulkan fitnah dan kerusakan tatanan sosial.
5)
Membina
cinta kasih di atas pondasi agama untuk menciptakan kerukunan dan kerja
sama dalam menanggung beban hidup.
6)
Menjaga
hubungan kekeluargaan (nasab dengan status yang jelas).
7)
Menjaga
diri agar tidak jatuh kedalam lembah kemaksiaan.
Hukum-hukum Nikah
1.
Fardlu/Wajib. Jika yakin
akan jatuh pada perzinaan bila tidak menikah. Mampu memenuhi nafkah
perkawinan meliputi: mas kawin, nafkah istri (lahir dan batin) serta hak-hak
istri.
2.
Haram. Jika yakin akan membuat sengsara dan aniaya
terhadap istri, sebab tidak ada kemampuan dalam memenuhi tanggung jawab
perkawinan ; Tidak dapat berlaku adil kepada istri yang lain.
3.
Makruh. Jika terjadi
kekhawatiran dengan kekhawatiran yang tidak sampai pada tingkat keyakinan akan
jatuh pada bentuk penyelewengan dan mudlorot.
4.
Sunnah.
Jika seseorang bebas dari faktor-faktor
penyebab terjadinya tiga hukum diatas.
Pengertian Nikah Siri
Nikah secara bahasa
adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan secara hakekat adalah nikah adalah
aqad yang dapat menghalalkan istimta’ seorang laki-laki dengan perempuan dengan
rukun dan syarat tertentu. Kata “siri” berasal dari bahasa Arab “sirrun”
yang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata
ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, tidak diumumkan pada
masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga
pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan
Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam.
Nikah siri dilakukan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu yang akhirnya memaksa seseorang
merahasiakannya. Berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara
terang-terangan. Ada karena faktor biaya, tidak mampu membiayai pesta
pernikahan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang
melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin
pengadilan, dan sebagainya..
Nikah siri yang tidak
dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula
diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah
yang dilakukan tidak menurut hukum negara. Nikah yang
dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai
akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.
Nikah Siri Menurut Hukum Negara
Dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 Pasal 2 disebutkan,
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Sedang dalam PP No 9
tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:
1)
Setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat
perkawinannya dilangsungkan.
2)
Pemberitahuan tersebut
dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.
3)
Pengecualian dalam jangka
tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh
Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Undang-undang itu merupakan
hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama. Karena Undang-Undang Perkawinan
itu dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, produk itu
harus diikuti umat muslim.
Nikah Siri Menurut Islam
Hukum nikah siri dalam
Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun nikah terpenuhi,
dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :
1)
Adanya calon mempelai
pria dan wanita
2)
Adanya wali dari calon
mempelai wanita
3)
Adanya dua orang saksi
dari kedua belah pihak
4)
Adanya ijab ; yaitu ucapan
penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai
pria untuk dinikahi
5) Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh
mempelai pria (jawaban dari ijab)
Jika dalam pelaksanaan
nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka pernikahan
seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak tercatat dalam
lembaga pencatatan negara. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak memenuhi
rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut syariat
Islam, dalam hadits disebutkan, “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali
dan dua saksi yang adil”(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan
Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Dampaknya Nikah Siri
Nikah siri atau pernikahan yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pemerintah dianggap tidak mempunyai ketentuan hukum, hal ini
disebabkan perkawinan dilakukan diluar ketentuan yang berlaku dalam hal ini
ketentuan yang ada dalam pasal 2:
1.
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
2.
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dampak yang akan timbul dari perkawinan yang tidak
dicatatkan secara yuridis formal. Pertama, perkawinan dianggap tidak
sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata
negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau
Kantor Catatan Sipil (KCS).
Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibu dan keluarga ibu (pasal 42 dan 43 UU Perkawinan). Sedangkan hubungan
perdata dengan ayahnya tidak ada. Ini artinya anak tidak dapat menuntut
hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan,
kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal ini
melanggar hak asasi anak. Anak-anak ini berstasus anak di luar perkawinan.
Ketiga, akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak
tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak
dicatatkan sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan,
dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan),
terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan
dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak
luar nikah yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak
mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis
tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat
untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan
perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula
bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya
merugikan perempuan dan anak-anak.
Anjuran Walimatul ‘Ursy
Pada dasarnya, Nabi saw
telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan
menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah,
walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan
(sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda: “Adakah walimah walaupun dengan
seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih
seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah :
1)
Untuk mencegah munculnya
fitnah di tengah-tengah masyarakat;
2)
Memudahkan masyarakat
untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang
menyangkut kedua mempelai;
3)
Memudahkan untuk
mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Sulaiman
Rasyid, Fiqh Sunnah
Happy
Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya? (Jakarta: Visimedia,
2007).
Kemenag
RI, Himpunan Peraturan seputar
Kepenghuluan
Wahbah
Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I (terjemahan)
(Jakarta: Almahira, 2008).