Kamis, 21 Agustus 2014

NIKAH SIRI DAN DAMPAKNYA



“NIKAH SIRI DAN DAMPAKNYA”
Oleh: Alfiatu Solikah


Pendahuluan
Dalam pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang dasar perkawinan disebutkan: ''Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)  yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa''. Dari sini mengandung esensi bahwa pernikahan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal. Kebahagiaan keluarga akan tercapai jika cara yang ditempuh sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Bagaimana dengan pernikahan yang dilaksanakan tanpa melalui peraturan yang berlaku ?

Dasar Hukum Pernikahan
Adapun dasar-dasar nikah antara lain adalah: QS An-Nur: 32 yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (laki-laki atau perempuan yang masih belum kawin) diantara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamda sahayamu yang perempuan..”
QS Al-Nisa’: 3 yang berbunyi :  “.. maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.. .”
Hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Mas’ud, ra. Nabi bersabda, “Wahai para pemuda, siapa diantara kamu yang sudah mampu memberikan nafkah lahir dan batin maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya (nikah itu) lebih dapat menutup mata dan menjaga farji. Dan sesungguhnya puasa dapat menjadi penahan keinginan untuk bersetubuh.”

Tujuan Nikah
1)        Melestarikan species manusia dengan jalan yang dibenarkan syari’at agar terhindar dari kepunahan.
2)        Menyalurkan air mani dengan jalan yang halal dan jauh dari faktor mudlorot, karena mani yang mengendap tanpa penyaluran yang benar dapat mengakibatkan pengaruh negatif pada fisik.
3)        Memenuhi kebutuhan biologis dan penyaluran nafsu sex pada jalan dan tempat yang benar.
4)        Membentuk keluarga dengan ikatan yang kuat dan sah terlepas dari freesex dan kumpul tanpa ikatan yang sah yang menimbulkan fitnah dan kerusakan tatanan sosial.
5)        Membina cinta kasih di atas pondasi agama untuk menciptakan kerukunan dan kerja sama  dalam menanggung beban hidup.
6)        Menjaga hubungan kekeluargaan (nasab dengan status yang jelas).
7)        Menjaga diri agar tidak jatuh kedalam lembah kemaksiaan.

Hukum-hukum Nikah
1.         Fardlu/Wajib. Jika yakin akan jatuh pada perzinaan bila tidak menikah. Mampu memenuhi nafkah perkawinan meliputi: mas kawin, nafkah istri (lahir dan batin) serta hak-hak istri.
2.         Haram. Jika  yakin akan membuat sengsara dan aniaya terhadap istri, sebab tidak ada kemampuan dalam memenuhi tanggung jawab perkawinan ; Tidak dapat berlaku adil kepada istri yang lain.
3.         Makruh. Jika terjadi kekhawatiran dengan kekhawatiran yang tidak sampai pada tingkat keyakinan akan jatuh pada bentuk penyelewengan dan mudlorot.
4.         Sunnah. Jika  seseorang bebas dari faktor-faktor penyebab terjadinya tiga hukum diatas.

Pengertian Nikah Siri
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan secara hakekat adalah nikah adalah aqad yang dapat menghalalkan istimta’ seorang laki-laki dengan perempuan dengan rukun dan syarat tertentu. Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrunyang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam.
Nikah siri dilakukan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya. Berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Ada karena faktor biaya, tidak mampu membiayai pesta pernikahan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya..
Nikah siri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.

Nikah Siri Menurut Hukum Negara
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 Pasal 2 disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Sedang dalam PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:
1)        Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.
2)        Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3)        Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama. Karena Undang-Undang Perkawinan itu dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, produk itu harus diikuti umat muslim.

Nikah Siri Menurut Islam
Hukum nikah siri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :
1)    Adanya calon mempelai pria dan wanita
2)    Adanya wali dari calon mempelai wanita
3)    Adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak
4)    Adanya ijab ; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
5)    Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
Jika dalam pelaksanaan nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak tercatat dalam lembaga pencatatan negara. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut syariat Islam, dalam hadits disebutkan, “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil”(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)

Dampaknya Nikah Siri
Nikah siri atau pernikahan yang dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah dianggap tidak mempunyai ketentuan hukum, hal ini disebabkan perkawinan dilakukan diluar ketentuan yang berlaku dalam hal ini ketentuan yang ada dalam pasal 2:
1.    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
2.    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dampak yang akan timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan secara yuridis formal. Pertama, perkawinan dianggap tidak sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (pasal 42 dan 43 UU Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Ini artinya anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal ini melanggar hak asasi anak. Anak-anak ini berstasus anak di luar perkawinan.
Ketiga, akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak. 
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anak.

Anjuran Walimatul ‘Ursy
Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda: “Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah :
1)    Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; 
2)    Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; 
3)    Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum. 

Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Sulaiman Rasyid, Fiqh Sunnah
Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya? (Jakarta: Visimedia, 2007).
Kemenag RI, Himpunan Peraturan seputar Kepenghuluan
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I (terjemahan) (Jakarta: Almahira, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Menghargai Setiap Tetes: Kajian Holistik tentang Penggunaan Air secara Bijaksana untuk Masa Depan Berkelanjutan."

Latar Belakang Penggunaan air yang berlebihan dalam kegiatan sehari-hari menjadi perhatian utama penulis, terutama dalam aktivitas seperti b...