FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME
oleh : Alfiatu Solikah
A.
LATAR BELAKANG
Masalah pendidikan, adalah merupakan masalah hidup dan
kehidupan manusia. Masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan
dengan menggunakan metode ilmiah semata. Diantara masalah pendidikan adalah masalah
filosofis, yang harus dipecahkan dengan menggunakan pendekatan filosofis.
Analisa filsafat terhadap masalah pendidikan tersebut dengan berbagai cara
pendekatannya akan dapat menghasilkan pandangan tertentu mengenai
masalah-masalah pendidikan tersebut, dan atas dasar itu bisa disusun secara
sistematis teori pendidikan.
Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan
tersebut, secara lebih rinci dapat diuraikan :
1. Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah
merupakan salah satu cara pendekatan yang digunakan oleh para ahli
pendidikan dalam memecahkan problematika
pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikannya, disamping menggunakan metode
ilmiah lainnya.
2. Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar
teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan
dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu memiliki relevansi dengan
kehidupan nyata.
3. Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan,
juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan
teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik.[1]
Dalam dunia
pendidikan, begitu kompleks permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan
dengan maksud agar tercapainya tujuan pendidikan. Karenanya, hal tersebut
memunculkan timbulnya aliran-aliran dalam filsafat
pendidikan, yakni :
1. Aliran idealisme
2. Aliran realisme
3. Aliran materialisme
4. Aliran pragmatisme
5. Aliran eksistensialisme
6. Aliran esensialisme
7. Aliran perenialisme
8. Aliran rekonstruksionisme
Pada kesempatan ini akan kita bahas aliran filsafat pendidikan eksistensialisme.
B. FILSAFAT EKSISTENSIALISME
Filsafat
eksistensialisme memfokuskan pembahasan pada pengalaman-pengalaman individu.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal
pada eksistensi. Sedangkan eksistensi itu sendiri ialah cara manusia berada di
dunia. Untuk lebih
memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya
dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi
adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral.[2]
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan
bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dalam
dunia; ia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,
batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai
arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang
sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.[3]
Eksistensialisme menjadi salah satu ciri pemikiran filsafat
abad XX yang sangat mendambakan adanya otonomi dan kebebasan manusia yang sangat besar untuk
mengaktualisasikan dirinya. Dari perspektif eksistensialisme, pendidikan
sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang
mengungkungnya sehingga terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang lebih
humanis dan beradab.
Keunikan filsafat eksistensialisme yaitu memfokuskan pembahasan
pada masalah-masalah individu. Dimana, eksistensialisme memberi individu suatu
jalan berpikir mengenai kehidupan, apa maknanya bagi saya, apa yang benar untuk
saya. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas
pengalaman manusia dan
tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk
hakikat manusia atau realitas.
Beberapa pemikiran eksistensialisme dapat
menjadi landasan atau semacam bahan renungan bagi para pendidik agar proses
pendidikan yang dilakukan semakin mengarah pada keautentikan dan pembebasan manusia yang sesungguhnya. Untuk itu, marilah kita pelajari bagaimana
pendapat para tokoh filsafat
eksistensialisme :
1.
Soren Kierkegaard
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah
sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari
kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat
ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan. Ide-ide
pokok Soren Kierkegaard adalah sebagai berikut :
Ø Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri
seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang
segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan
ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di
Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filosof-filosof
eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber. Alur
pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya
menjadi seorang Kristiani ? Dengan tidak memperlihatkan "wujud"
secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan
agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh
bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat
itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau
Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada
kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat
kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati
agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa
artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan
utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit,
karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard
manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai
"aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke
dalam sesuatu yang lain.[4]
·
Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang
eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini ; bagi manusia, yang terpenting dan
utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia
bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak
dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang
mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki
kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu
sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu
muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani
mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita
tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak
bereksistensi dalam arti sebenarnya.[5] Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu :
1)
Eksistensi estetis, menyangkut kesenian, keindahan.
Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang
dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis
hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman
emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya
keyakinan akan iman yang menentukan.
2)
Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati
fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan
hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus
memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai
contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur
perkawinan (etis).
3)
Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi
membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari
manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut
Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk
religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.[6]
Ø
Pandangan tentang Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara
pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan
manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas
akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati
makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa
dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu
loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.[7]
Jadi inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme menurut Kierkegaard adalah :
1)
Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya
manusialah yang bereksistensi, manusialah sebagai pusat perhatian, sehingga
bersifat humanistis.
2)
Bereksistensi tidak statis tetapi dinamis,
yang berarti menciptakan dirinya secara aktif, merencanakan, berbuat dan
menjadi.
3)
Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi
belum selesai dan terbuka serta realistis. Namun demikian manusia terikat
dengan dunia sekitarnya terutama sesama manusia.[8]
2. Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai
kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi
diri sendiri.Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut :
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk
membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu
mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang
jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan
keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Menurutnya,
manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya
manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban
tanggung jawab.[9]
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya
Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia
mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang
memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih
kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak
manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang
manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia
konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke
dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri
manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung
jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan
eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia.
Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung
keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
3.
Friedrich Nietzsche
Menurutnya, manusia yang berkesistensi
adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan
untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai
mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan
penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan
menemukan dirinya sendiri. pemikiran filsafat Nietzsche terarah pada upaya
melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan
filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”. Jawabannya
adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.
4.
Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan
manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran
yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan
obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus
pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
5.
Martin Haidegger
Menurut Martin Haidegger bahwa Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia
diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu
dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia
baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda
yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan
mereka.[10]
Bicara adalah asas yang eksistensial bagi
kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi bagi manusia. Secara apriori
manusia telah memiliki daya untuk berbicara, sambil berbicara ia mengungkapkan
diri, pengungkapannya adalah sebuah dalam rangka rencana yang telah diarahkan
ke arah tertentu.
Terdapat dua
aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat theistic
(bertuhan), yang lainnya atheistic (tidak bertuhan). Kebanyakan
dari pandangan-pandangan itu masuk kedalam aliran pemikiran pertama dengan
menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum Eksistensialisme Kristen dan
menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan akan suatu wujud sempurna,
Tuhan. Melalui kerinduan ini tidak membuktikan keberadaan Tuhan, orang-orang
dapat secara bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada
Tuhan.
Eksistensialisme
atheistic memiliki pemikiran bahwa pendirian tersebut (theistik)
merendahakan kondisi manusia. Dikatakan bahwa kita harus memiliki suatu fantasi
agar dapat tinggal dalam kehidupan tanggungjawab moral. Pendirian
semacam itu membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk berhubungan dengan
kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki kita semua. Pendirian itu juga
menyebabkan mereka menghindari fakta yang ”didapat itu terlepas”, “kita
sendirian, dengan tidak ada maaf”, dan “kita terhukum agar bebas”.
Pendidikan
adalah masalah khas manusia. Hanya makhluk manusia saja yang eksistensi kehidupannya
mempunyai persoalan pendidikan. Lahir dalam keadaan labil adalah fakta kodrati
diri manusia. Kodrat labil manusia itu berposes secara terus menerus. Sejak
lahir, seorang manusia harus dirawat dan diasuh sampai bisa mandiri dan mencari
kehidupan sendiri. Setelah dewasa dan berkeluarga, manusia harus merawat dan
mengasuh anak keturunannya secara berbeda dengan perawatan dan sistem
pengasuhan sebelumnya.
1.
Eksistensialisme Sebagai Filsafat Pendidikan Religius Theistik
Manusia lahir dalam keadaan labil dan kemudian terus menerus
melakukan perubahan dan perkembangan sehingga berproses secara terus menerus
adalah fakta kodrati diri manusia. Sementara di balik fakta itu manusia lahir
dengan membawa potensi kodrat lainnya berupa tri potensi kejiwaan, yaitu cipta,
rasa, dan karsa.[11] Dengan kedua potensi kodrati inilah manusia justru terdorong untuk
harus selalu melakukan segala macam perubahan guna mempertahankan dan mengembangkan
kehidupannya. Untuk itu, manusia perlu mendidik dirinya. Pendidikan yang
dilakukan oleh dan untuk dirinya sendiri dengan sasaran mengembangkan
pengetahuan serta menyusun teori-teori keilmuan dan sistem teknologi dapat
menjadi jalan untuk membuat perubahan menuju perkembangan hidup. Pada titik
inilah manusia mewujudkan dirinya sebagai makhluk pendidikan.[12]
Secara eksistensial, dengan ketiga potensinya tersebut manusia
menjadi berbeda dengan makhluk lainnya. Cipta adalah kemampuan spiritual yang
secara khusus mempersoalkan nilai kebenaran. Rasa adalah kemampuan spiritual
yang secara khusus mempersoalkan nilai keindahan. Sedang karsa adalah kemampuan
spiritual yang secara khusus mempersoalkan nilai kebaikan.
Dengan ketiga potensinya itu, manusia selalu terdorong untuk ingin
tahu dan bahkan mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang
terkandung di dalam segala sesuatu yang ada (realitas). Ketiga jenis nilai itu
dibingkai dalam satu ikatan sistem, selanjutnya dijadikan landasan dasar untuk
mendirikan filsafat hidup, menentukan pedoman hidup, dan mengatur sikap dan
perilaku hidup agar senantiasa terarah ke pencapaian tujuan hidup.
Eksistensialisme menempatkan asal mula kehidupan ini adalah Tuhan
sebagai causa prima dan bertujuan untuk kembali kepada-Nya. Tetapi fakta
menunjukkan bahwa perilaku negatif banyak dan selalu mewarnai kehidupan manusia
sehari-hari. Padahal seharusnya tidak boleh ada kesenjangan antara pengetahuan
dan perilaku manusia sepanjang eksisetensinya. Melalui pendidikan, manusia
berusaha mendidik dirinya dengan mencari keselarasan antara pengetahuan dengan
perilakunya meskipun mungkin belum sepenuhnya berhasil. Sebab, dalam pandangan
eksistensialisme terdapat hubungan erat menurut asas sebab akibat antara
asal-mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan. Karena diyakini Tuhan sebagai
asal-mula, kembali kepada Tuhan adalah mutlak sebagai tujuan kehidupan, dan
tidak ada jenis, bentuk dan sifat perilaku apa pun kecuali perilaku ketuhanan
yang dapat mengantar ke tujuan kehidupan.
Dalam konteks ini, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyebutkan pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pe-ngendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang di-perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Sedang
dalam Pasal 3 disebutkan pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta per-adaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, ber-tujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandi-ri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Meskipun pengertian tersebut dimaksudkan untuk pendidikan secara
umum, namun jika dicermati tampak ada keidentikan dengan hakikat pendidikan
Islam, setidaknya ada nuansa islaminya. Dikatakan, hakikat pendidikan Islam
adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan
membimbing partumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik
melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.[13] Apa yang menjadi tujuan fungsional
pendidikan Islam adalah membidik esensi fitrah sebagai potensi dinamis dalam
setiap diri manusia yang terletak pada keimanan atau keyakinan, ilmu
pengetahuan, akhlak (moralitas) dan pengamalannya.[14] Dengan
begitu pendidikan di Indonesia, terutama Islam, dapat dipandang sebagai
pendidikan religius dengan tidak mendikotomi antara yang profan dan yang
sakral, antara dunia dan akhirat.
Terkait dengan corak pendidikan seperti di atas, eksistensialisme
dapat dikatakan sebagai satu aliran filsafat yang menaruh perhatian terhadap
aspek keagamaan sehingga dapat dikategorikan filsafat pendidikan religius
theistik. Secara tidak langsung filsafat ini sebagai reaksi terhadap pendidikan
bersifat perenialis. Jika pendidikan perenialis berusaha meletakkan dasar-dasar
atau asas-asas pendidikan
yang serba mutlak dan serba pasti dengan memberi tekanan pada esensi kehidupan
agama,[15] maka eksistensialisme menempatkan
eksistensi kehidupan agama lebih penting daripada esensi kehidupan agama.
Kenyataannya dapat disaksikan selalu ada jarak antara yang esensi dengan yang
intensial. Sejelek-jelek rumah lebih baik daripada tidak ada rumah, begitu pula
sejelek-jelek beragama lebih baik daripada tidak beragama. Betapa pun kurang
sempurnanya cara-cara beragama seorang individu, harus diterima sebagai lebih
baik daripada tidak beragama.
Dalam konteks ini, Tuhan dan agama merupakan hal yang abstrak, dan
oleh karenanya dapat menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam respons,
baik dalam pemikiran
maupun dalam wujud perilaku. Sebagai konsep, maka ketika menerima, merespons,
memahami persoalan Tuhan dan agama, manusia memerlukan kerja kejiwaan yang
sering disebut direct experience, pengalaman langsung yang merupakan
tema sentral eksistensialisme berwujud bentuk-bentuk seperti: kematian, situasi
batas kehidupan, dunia nasib, dan lain sebagainya. Saat berkutat dengan
pengalaman langsung inilah manusia tidak bisa melepaskan diri dari keterlibatan
unsur atau dimensi lain yang menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya
sendiri yang bersifat psikhis, seperti: perasaan (feeling), emosi (emotion),
dan sebagainya. Unsur subyektivisme masing-masing tidak dapat terhindari
sehingga sangat terbuka bagi adanya pilihan (choise) terhadap
kemungkinan-kemungkinan baru yang beragam.
Gejala timbulnya jarak harapan dan kenyataan eksistensi ini tidak
bisa ditimpakan kepada agama atau aliran agama, tetapi lebih banyak ditentukan
oleh kenyataan psikologis dan sosiologis yang menentukan perkembangan individu
dan masyarakatnya. Kenyataan psikologis memberikan gambaran bahwa tidak ada dua
kembar pun yang identik, apalagi bila mereka hidup berkembang dalam kondisi
sosiologis berbeda. Dengan begitu, kenyataan yang tidak menyenangkan dan di
luar kemampuan kita, selalu terdapat selisih antara apa yang merupakan das
sollen dengan das sein, antara yang esensial perennial dengan
eksistensial fenomenologis, dalam setiap aspek segi kehidupan manusia, termasuk
kehidupan agama mereka.[16]
Seseorang dikatakan pemeluk agama teguh atau individu yang beragama
secara sempurna jika memenuhi kriteria jiwa roh keagamaan yang terdiri amal
ibadah keagamaan, sikap terhadap lembaga keagamaan dan keyakinan atau iman
terhadap Tuhan YME. Tetapi kenyataan yang tidak dapat dielakkan adalah tidak
semua ketiga variabel kriteria itu dikembangkan atau berkembang secara sama
kuat dalam setiap pribadi religius, sehingga yang eksistensial tidak selalu
sejalan dengan yang esensial. Padahal eksistensialisme lebih menekankan
eksistensi daripada esensi.
Jika filsafat pendidikan esensial perennial berusaha
merumuskan apa yang disebut dengan “ideal possibilities”, maka kaum
eksistensialis selalu bertanya apakah yang esensial itu “bereksistensi” dalam
diri setiap individu yang religius. Jika hanya salah satu atau dua kriteria
saja yang berkembang, maka apakah individu itu dapat disebut seorang yang
religius. Filsafat pendidikan eksistensialisme tetap menjawab positif terhadap
hal itu, sedang kaum esensialis perennial menjawab negatif. Apa artinya yang esensial jika tidak diamalkan atau tidak dalam
eksistensi.
Karena bersifat religius
theistik, maka eksistensialisme menggariskan pendidikan supaya tidak
hanya consern pada pentingnya agama bagi penyiapan anak didik dalam upaya
penyelesaian krisis-krisis yang dihadapi manusia ke depan serta mengakui
pluralitas dan kekonkretan keberagamaan masing-masing tetapi juga lebih
menekankan pada praktik dan implementasi ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari.
2.
Eksistensialisme Sebagai Filsafat Pendidikan Humanis
Filsafat pendidikan eksistensialisme merupakan filsafat yang
humanis. Sebagai filsafat terapan asas-asas berpikir filsafat dalam
menyelesaikan dasar pendidikan, salah satu tugasnya adalah mempersiapkan anak
manusia untuk hidup dan sekaligus mati. Hidup dan mati, arti dan nilainya,
sangat berbeda dan cepat sekali mengalami perubahan. Perubahan yang cepat ini
merupakan akibat dari perkembangan yang cepat pula dari tenaga pengembang
sosial manusia, seperti perkembangan pemikiran tentang demokrasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan revolusi industri. Sebagai akibat perkembangan
itu adalah manusia diharapkan pada kenyataan-kenyataan timbulnya bermacam-macam
kejutan dan peletusan dalam keempat aspek tenaga sosial tersebut. Di lain
pihak, manusia dihadapkan pada kenyataan pilihan-pilihan kritis, seperti
kemakmuran hidup dan kesejahteraan hidup, antara kepapaan dengan kekayaan,
antara destruksi dengan rekonstruksi, atau tegasnya antara hidup dan mati.
Mata rantai perkembangan di atas dan akibatnya dialami manusia
sebagai krisis hidup atau krisis kebudayaan, atau lebih sempit krisis sosial
yang pada akhirnya menjadi krisis batin yang dalam.[17] Beberapa cara telah dikembangkan manusia untuk
menghadapi krisis hidup dan batin, konflik antara persiapan untuk hidup dan
mati, antara lain seperti: skeptisisme, eklektisisme, konservatisme,
regresivisme, progresivisme, gradualisme, rekonstruksionisme atau
eksistensialisme humanis.
Eksistensialisme humanis menyuarakan nada optimisme. Aliran ini
percaya manusia sebagai makhluk pengarah evolusi, manusia adalah pemilik
kekuatan bersama, dan pada diri manusia terdapat kekuatan intelegensi. Walau
begitu eksistensialisme humanis masih melihat kekurangan dan kelemahan
kemampuan serta kekuasaan manusia, dan karena itu manusia harus selalu memohon
bimbingan dan pengarahan kepada Tuhan dalam menyelesaikan problem misteri hidup
dan mati.
Terhadap interpretasi fenomena krisis, eksistensialisme humanis
memiliki analisis tersendiri berupa prognosa menyeluruh dan cermat terhadap hal
itu. Krisis mengandung konotasi dislokasi di segala aspek kehidupan yang
fundamental. Oleh karenanya aliran ini menganggap perlu diadakan reorientasi
sistem nilai, mengganti yang telah usang dan meremajakan yang kurang sesuai
dengan tuntutan zaman. Dalam masalah agama, eksistensialisme humanis tetap
menjunjung nilai dan amal iba-dah agama asal jangan sampai mengalami dislokasi
beragama.
Radikalisme sebagai ciri yang lain berarti untuk menghindari agar
perubahan yang maha cepat tidak salah arah dan menimbulkan efek samping
sehingga menimbulkan krisis baru yang lebih parah dan dapat diserasikannya
antara perubahan jangka panjang dan pendek. Untuk itu eksistensialisme humanis
menekankan perlunya diadakan perencanaan sosial terarah dan efektif.
Mengenai metode pendidikan dan pengajaran, eksistensialisme humanis
mendasarkan asas-asas filsafat metodologinya pada kepercayaan atas kebebasan
manusia dan penghormatan atas martabat individu.[18]
Dalam sejarah metodologi pendidikan dan pengajaran umumnya dan pada
moral karakter khususnya, dikenal tiga jenis tingkatan, yaitu: pengajaran (instruction)
sebagai proses penyampaian informasi pengetahuan tentang sesuatu yang baik dan
benar, apresiasi (appreciation) sebagai suatu proses pengembangan
perasaan cinta pada nilai dan tingkah laku yang baik dan benar, pembentukan
kebiasaan (habituation) sebagai pembentukan kebiasaan dalam berbuat baik
dan benar. Tangga-tangga proses metodologi itu dalam batas-batas tertentu masih
dapat dipertahankan selama dunia dan kehidupan manusia stabil dan bertahan,
tetapi kurang memiliki arti penting bila diterapkan pada masyarakat dinamis
yang diselingi dengan krisis-krisis sebagai dislokasi nilai dan tingkah laku
yang cepat.
Pendapat yang sedikit berbeda menyatakan terdapat dua kategori
kelompok metodologi pendidikan, yaitu: metode indoktrinasi dan metode problem
solving eksperimental. Metode di atas dimasukkan ke dalam metode indoktrinasi,
sedang eksistensialisme sebagai aliran humanis menerapkan dirinya pada kelompok
metodologi problem solving.
Bagi aliran ini, pengertian proses pendidikan adalah suatu proses
perubahan tingkah laku dalam rangka penyesuaian diri, adjustment in
contingent or uncertain and precarious future, yang selalu dalam keadaan
krisis dan dislokasi di segala segi kehidupan. Agar setiap individu siap dan
cakap mengadakan penyesuaian, maka kepada mereka harus diberi kesempatan atau
disediakan medan untuk dapat mengadakan eksplorasi dan eksperimentasi terhadap
dunia dan masyarakat sekitarnya yang selalu dan cepat mengalamai perubahan,
sehingga tidak mengalami krisis batin.
Pendapat eksistensialisme diperkuat dengan kenyataan dan kesadaran
atas postulat satu-satunya jalan untuk belajar secara fair adalah bermain fair.
Asas ini merupakan reaksi atau untuk peniadaan gejala dualisme dalam pendidikan
dan pengajaran, antara pengajaran intelek dan pendidikan moral, antara
pengertian konsep moral dan etika, antara alim dan salih. Atau postulat untuk
mempelajari kebaikan-kebaikan abstrak tanpa harus menjadi baik dulu dalam
urusan hidup. Diperdekat jarak antara manusia ahli dan terlatih. Kaum
eksistensialis tidak mau terperangkap fallasisokratis, pengetahuan adalah
kebaikan-kebaikan, pengertian sudah menjamin perbuatan.
3.
Eksistensialisme Sebagai Filsafat Pendidikan Scientific Humanis
Jika eksistensialisme sebagai filsafat sosial pendidikan disebut
eksistensialisme humanis, maka dalam filsafat metodologi disamakan dengan scientific
humanism (humanisme ilmiah) atau aliran progresivisme mazhab John Dewey.[19]
Atas dasar itu, Brameld mengajukan asas kreativitas sebagai satu
syarat science of education yang baik, yaitu suatu kapasitas untuk
menciptakan alternatif tingkah laku dan nilai norma yang sesuai dengan tuntutan
situasi yang cepat berubah. Kreativitas sebagai kemampuan akan berkembang
dengan baik dalam kondisi atau iklim kejujuran keotentikan pernyataan
kebenaran, memberikan kesempatan untuk berimajinasi inovatif, dan pencerahan
pengertian (insight). Kejujuran dan keotentikan pernyataan kebenaran
sebagai sikap akan berkembang subur bila guru jujur pada dirinya, orang lain
(murid) dan kepada kebenaran itu sendiri. Guru harus mendorong anak agar secara
bebas mengatakan yang sebenarnya, mengekspresikan dengan caranya sendiri.
Relasi sikap guru-murid demikian akan menunjang perkembangan kapasitas
imajinasi inovatif sebagai kriteria kedua kreativitas. Untuk itu guru harus
memberi-an ruang gerak bagi murid dalam belajar mengadakan deviasi, untuk
menciptakan sesuatu yang sedikit berbeda dengan standar yang berlaku. Doronglah
mereka untuk melakukan kegiatan ke arah tercapainya sifat dan sikap yang
demikian.
Metode problem solving eksperimental dalam rangka pengembangan
kreativitas yang demikian akan menunjang ke arah penemuan pencerahan atau
pengertian (in-sight). Anak dapat melihat atau mengaitkan obyek yang
tidak relevan (benda, peristiwa, pribadi, dan relasi) menjadi relevan terhadap
situasi, mampu menjembatani jarak antara situasi seperti apa adanya dengan
tujuan yang akan dicapai. Jarak dihubungkan dengan cara melihat situasi sebagai
pola jaringan yang dapat disusun begitu rupa se-hingga dapat dicapai tujuan
yang diantisipasikan. Insight berarti kemampuan membaca situasi dalam
rangka penyelesaian problema.
Relasi guru-murid sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan
dan pengajaran. Karena itu humanisme ilmiah atau eksistensialisme humanis
menghendaki agar iklim sosial sekolah harus dibangun dan dikembangkan di atas
asas-asas sebagai berikut :
1.
Kenyataan perubahan adalah kenyataan yang abadi dan tetap, sehingga
harus dipandang sebagai yang menguntungkan dan bukan perbuatan dosa.
2.
Anak didik harus diperlakukan sebagai tujuan dan bukan hanya
sebagai alat, kare-na itu kebebasan dan individualitas harus dihormati.
3.
Guru harus memiliki keberanian moral dalam menghadapi anak dalam
mencari kebenaran dan kenyataan, karena guru bukan satu-satunya sumber
kebenaran.
4.
Relasi guru-murid harus didasarkan atas saling menghormati dan
saling percaya, cinta kasih dan pengorbanan.
5.
Guru harus menyadarkan anak jika pendidikan adalah persiapan hidup
yang baik, dan selanjutnya hidup yang baik adalah persiapan maut yang tidak
disangka dan diduga takdirnya, mengerikan, kesepian dan kejam bagi mereka yang
tidak ber-Tuhan.[20]
D. KONSEP DASAR FILSAFAT EKSISTENSIALISME
1.
Realitas
Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan
realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada
diluar kondisi manusia. Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik,
dunia yang berada diluar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan
apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna karena manusia.[21]
2.
Pengetahuan
Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas
dan tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pelajaran di
sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu
disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk pada isi pelajaran
tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan
kebenaran-kebenaran dalam kebenaran. [22]
3.
Nilai
Pemahaman eksistensialisme pada nilai, menekankan kebebasan dalam
tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar.
Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat
tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap
akibat akan menghasilkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.
E. IMPLIKASI ALIRAN FILSAFAT
EKSISTENSIALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Eksistensialisme
sebagai filsafat sangat menekankan individulitas dan pemenuhan diri secara
pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula
ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan,
eksistensialisme berhubungan sangat erat dengan pendidikan karena keduanya
bersinggungan satu sama lain pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia,
hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan
(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Berikut impilkasi aliran
filsafat eksistensialisme dalam dunia pendidikan.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya,
sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan
ditentukan berlaku secara umum.
2. Kurikulum
Kaum eksistensialis
menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian
individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang
disebut Greene “Kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang
memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka
sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri. Menurut
pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih
penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu
akan dapat menemui dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang
dapat memenuhi tuntutan diatas adalah mata pelajaran IPA, Sejarah, Sastra,
Filsafat, dan Seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk
menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa
Sejarah, Filsafat, Sastra, dan lain sebagainya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar pada
humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat
mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan
keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
3. Proses Belajar Mengajar
Menurut Buber, kebanyakan pendidikan merupakan paksaaan. Anak
dipaksa menyerah pada kemauan guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel,
dimana guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya, Buber mengemukakan, hendaknya
guru jangan disamakan dengan seorang instruktur, karena ia hanya akan merupakan
perantara yang sederhana antara subjek mater dengan siswa. Kalau guru dianggap
sebagai instruktur, ia akan turun martabatnya, hanya sekedar alat untuk
mentransfer ilmu pengetahuan, dan murid akan menjadi hasil dari transfer itu.
Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan
produk dari pengetahuan itu.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan,
melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan guru dengan murid sebagai suatu
dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada murid, harus menjadi bagian
dari pengalaman
pribadinya, sehingga guru akan berjumpa dengan anak sebagai pribadi dengan
pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru, tidak lagi merupakan sesuatu yang
diberikan kepada murid, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi
miliknya sendiri.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga
siswa mampu berpikir relatif melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru
tidak mengarahkan dan tidak memberi instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan
wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran.
Diskusi ialah metode utama dalam pandangana eksistensialisme. Siswa memiliki
hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah ialah suatu
forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru
membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Guru hendaknya memberi semangat kepada murid untuk memikirkan
dirinya didalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki
murid, dan mengajukan ide-ide lain, dan membimbingnya untuk memilih alternatif.
Maka siswa akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi kepada manusia melainkan
dipilih oleh mereka sendiri. Lebih dari itu, siswa harus menjadi actor dalam
suatu drama belajar, bukan penonton.
F.
KESIMPULAN
Pembahasan eksistensialisme sebagai aliran filsafat pendidikan
memberikan pemahaman bahwa eksistensi manusia di dunia ini berbeda-beda tetapi
tujuan sama dan di hadapan Tuhan sama pula derajatnya. Perbedaan antara manusia
yang satu dengan lainnya dalam cara dan tingkat eksistensinya di dunia, dalam
hidup ini.
Cara bagaimana manusia bereksistensi di hadapan Tuhan dipersulit
kenyataan bahwa hidup sosial manusia dan kebudayaan sangat cepat berubah
sehingga menyebabkan krisis-krisis, baik krisis sosial kultural maupun
individual batiniah, sehingga eksistensi manusia sangat ditentukan oleh
bagaimana menyelesaikan krisis tersebut.
Eksistensialisme sebagai filsafat pendidikan keagamaan menempatkan
eksistensi kehidupan agama lebih penting daripada esensi kehidupan agama karena
dalam realita selalu terdapat jarak antara yang esensi dengan intensial. Pada
sisi lain eksistensialisme juga merupakan filsafat yang humanis. Filsafat
pendidikan eksistensialisme sebagai terapan asas-asas berpikir filsafat dalam
menyelesaikan problema pokok pendidikan, salah satu tugasnya adalah
mempersiapkan anak manusia untuk hidup dan sekaligus mati, karena manusia
dihadapkan pada kenyataan pilihan-pilihan kritis seperti antara kepapaan hidup
dan kesejahteraan hidup, antara miskin dan kaya, antara destruksi dan
rekonstruksi, atau tegasnya antara hidup dan mati.
Di samping itu filsafat pendidikan eksistensialisme juga sebagai
filsafat humanisme ilmiah yang mendasarkan asas-asas filsafat metodologinya
pada kepercayaan atas kebebasan manusia dan penghormatan atas martabat
individu. Eksistensialisme sebagai aliran humanis menerapkan dirinya pada
kelompok metodologi problem solving, bukan metodologi indoktrinasi. Proses
pendidikan berarti proses perubahan tingkah laku guna penyesuaian diri dalam
kesatuan, ketidakpastian dan masa depan berbahaya, yang selalu dalam keadaan
krisis dan dislokasi di segala bidang. Agar individu siap dan cakap mengadakan
penyesuaian, mereka harus diberi kesempatan atau disediakan medan untuk dapat
melakukan eksplorasi dan eksperimentasi terhadap dunia dan masyarakat sekitar
yang selalu dan cepat mengalami perubahan sehing-ga tidak mengalami krisis
batin.
Adapun implikasi filsafat eksistensialisme
terhadap pendidikan adalah tujuan pendidikan harus didesain untuk memberi bekal
pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan kepada
siswa. Kurikulum yang diutamakan adalah kurikulum liberal akan tetapi diimbangi
dengan materi pendidiakan sosial, untuk
mengajar respek (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Guru berperan
melindungi dan memelihara kebebasan akademik, serta metode yang dipakai harus
merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan.
[1] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta
: Bumi Aksara, 1995), 16-17.
[2] Fuad Hasan, Kita dan Kami , (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), 80.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James,
(Bandung : PT. Remaja RosdaKarya, 1992), 192.
[4] Ibid., 195.
[5] M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990),
50-51.
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yogyakarta : Kanisius, 1980), 125.
[7] M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme,
(Jakarta : Rineka Cipta. 1990), 6.
[8] TIM Pengajar UNIMED, Filsafat Pendidikan, (2011), 7.
[9] M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme,96
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 128.
[11] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), 78.
[12] Ibid., 79.
[13] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),
32.
[14] Fadlil
al-Jamaly, Nahwa Tarbiyyah Mukminah (Tunis : al-Syirkah
al-Tunisyah li al-Tauzi’, 1977), 85.
[15] Filsafat
pendidikan perennialis adalah aliran yang berusaha memecahkan dan menjelaskan
persoalan dewasa ini dengan terjun ke alam intelektual yang kesempurnaannya
tidak terikat waktu. Aliran ini menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa
yang menguasai Abad Pertengahan, karena jiwa pada abad itu telah menuntun
manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan
secara rasional. Abad Pertengahan dengan jiwanya itu telah dapat menemukan
adanya prinsip-prinsip pertama yang mempunyai peranan sebagai dasar pegangan
intelektual manusia dan yang dapat menjadi sarana untuk menemukan
evidensi-evidensi diri sendiri. Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan; Sistem
& Metode (Yogyakarta: Andi, 1997), 25.
[16] Ali
Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Pengantar Filsafat Pendidikan
(Surabaya: Usaha Nasional, 1403 H), 159.
[17] Theodore
Brameld, Education as Power (New York: Fawcett Publication, 1965), 145.
[18] Ibid., 164.
[19] John S
Brubacher, 175.
[20] Ali
Saefullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, 167.
[21] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta :
Kanisius, 1980)
[22] Usiono, Pengantar Filsafat pendidikan, (Jakarta : Hijri Pustaka,2006),
137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar