Selasa, 16 September 2025

Metodologi Penelitian: Landasan Filsafat Bagi Mahasiswa PAI Muhammadiyah

 



Metodologi Penelitian: Landasan Filsafat untuk Menjelajahi Dunia Ilmu

Dalam dunia ilmiah, metodologi penelitian bukan sekadar kumpulan prosedur teknis, melainkan fondasi filosofis bagi upaya manusia memahami realitas. Secara ontologis, metodologi penelitian mengajukan pertanyaan mendasar: apa hakikat fenomena yang hendak diteliti? Bagi mahasiswa Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, realitas itu dapat berupa perilaku keagamaan, praktik pendidikan, atau dinamika sosial umat. Misalnya, mahasiswa dapat meneliti fenomena menurunnya minat remaja masjid terhadap kajian keislaman. Ontologi menuntut mereka mendefinisikan secara jelas objek penelitiannya, apakah yang dimaksud adalah minat religius, perilaku partisipasi, atau faktor lingkungan yang memengaruhi. Tanpa pemahaman ontologis ini, penelitian mudah kehilangan arah dan fokus.

Secara epistemologis, metodologi penelitian memandu cara memperoleh pengetahuan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam contoh di atas, mahasiswa PAI dapat memilih pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan remaja masjid dan tokoh Muhammadiyah setempat untuk menggali makna dan pengalaman subjektif mereka. Alternatif lain adalah pendekatan kuantitatif, seperti menyebarkan angket kepada sejumlah remaja Muhammadiyah di berbagai ranting untuk memperoleh data statistik tentang faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi. Bahkan, metode campuran (mixed methods) dapat digunakan untuk menggabungkan kedalaman kualitatif dan keluasan kuantitatif. Seperti ditegaskan oleh Fajrillah (2018), pendekatan campuran semakin populer karena memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang fenomena sosial. Dengan demikian, mahasiswa belajar bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat tunggal, tetapi dapat dijangkau melalui beragam cara yang saling melengkapi.

Secara aksiologis, metodologi penelitian mengajarkan bahwa pengetahuan tidak netral: ia memiliki nilai dan tujuan. Bagi mahasiswa PAI Muhammadiyah, penelitian bukan sekadar tugas akademik, melainkan bagian dari pengabdian pada masyarakat dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya, hasil penelitian tentang minat remaja masjid dapat digunakan untuk merancang strategi dakwah kreatif yang lebih sesuai dengan kebutuhan generasi muda, seperti pemanfaatan media sosial atau kajian tematik yang relevan dengan isu-isu kekinian. Penelitian semacam ini sejalan dengan pandangan Muhammadiyah tentang Dār al-Ahdi wa al-Syahādah, di mana umat Islam berkewajiban menjaga persatuan bangsa dan memberikan teladan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial.

Contoh lain penerapan metodologi penelitian adalah studi tindakan kelas (Classroom Action Research) bagi mahasiswa PAI yang sedang menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Ontologinya adalah hakikat masalah pembelajaran akidah-akhlak di kelas, epistemologinya adalah prosedur ilmiah untuk memperbaiki praktik pembelajaran (misalnya dengan model cooperative learning), dan aksiologinya adalah peningkatan mutu pendidikan Islam di sekolah Muhammadiyah.

Dalam konteks teknologi, mahasiswa juga dapat memanfaatkan pendekatan metodologis modern. Penelitian Mar’atullatifah (2023) tentang penggunaan augmented reality dalam pembelajaran dapat menginspirasi mahasiswa PAI untuk mengembangkan media pembelajaran interaktif berbasis teknologi. Ini bukan hanya inovasi teknis, tetapi juga perwujudan nilai aksiologis: memanfaatkan teknologi untuk mempermudah pemahaman agama bagi generasi digital.

Aspek etika tidak boleh diabaikan. Jika penelitian melibatkan santri, remaja masjid, atau masyarakat sekitar, mahasiswa harus memastikan persetujuan yang sadar (informed consent), menghormati privasi responden, dan menjaga integritas data. Ode (2022) menekankan bahwa etika penelitian adalah bagian dari tanggung jawab moral peneliti. Dalam perspektif Muhammadiyah, etika penelitian juga berkaitan dengan akhlak mulia dan tanggung jawab sosial, sehingga hasil penelitian membawa manfaat nyata bagi umat dan bangsa.

Dengan memahami metodologi penelitian dari sudut ontologi (memahami hakikat objek penelitian), epistemologi (menentukan cara memperoleh pengetahuan yang valid), dan aksiologi (menggunakan pengetahuan untuk kemaslahatan), mahasiswa PAI di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dapat menghasilkan karya ilmiah yang tidak hanya memenuhi standar akademik, tetapi juga relevan dengan misi dakwah dan pendidikan Muhammadiyah. Penguasaan metodologi penelitian akan menuntun mereka menjadi peneliti yang berintegritas, pendidik yang inovatif, dan kader persyarikatan yang mampu memberi kontribusi nyata bagi pembangunan umat dan bangsa.

Kamis, 04 September 2025

Ekoteologi dalam Keteladanan Nabi Muhammad SAW

 


Pendahuluan

Maulid Nabi Muhammad SAW bukan hanya momen historis memperingati kelahiran Rasulullah, tetapi juga momentum reflektif bagi umat Islam untuk menginternalisasi nilai-nilai keteladanan beliau dalam konteks kekinian. Salah satu tantangan besar abad ke-21 adalah krisis ekologi yang ditandai oleh kerusakan lingkungan, perubahan iklim, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali. Dalam kerangka akademik, isu ini menuntut pendekatan ekoteologi, yakni perspektif keagamaan yang menempatkan relasi manusia, Tuhan, dan alam dalam satu kesatuan kosmik yang etis dan spiritual. Ekoteologi dalam Islam dapat ditelusuri dari keteladanan Nabi Muhammad SAW, yang menampilkan gaya hidup ekologis berbasis tauhid, kesederhanaan, kasih sayang, dan tanggung jawab khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30).

 

Landasan Filosofis

Secara filosofis, ekoteologi menegaskan hubungan ontologis dan aksiologis antara manusia dengan alam. Ontologis, karena manusia dan alam sama-sama ciptaan Allah, tunduk dalam keteraturan sunnatullah, sehingga tidak boleh ada relasi dominasi eksploitatif. Aksiologis, karena manusia diberi amanah untuk merawat dan mengelola alam sebagai bagian dari ibadah. Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa tauhid tidak hanya berarti mengesakan Allah dalam ritual, tetapi juga mengesakan-Nya dalam praksis ekologis: menjaga keseimbangan (mīzān), menghindari isrāf (berlebihan), dan menumbuhkan rahmah terhadap seluruh makhluk (rahmatan lil ‘ālamīn). Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi dapat dijadikan ruang refleksi bahwa spiritualitas Islam bukan semata ibadah mahdhah, melainkan mencakup praksis ekologis yang berkelanjutan.

 

Dimensi Keteladanan Nabi Muhammad SAW

  1. Gaya Hidup Sederhana (Zuhd Ekologis): Rasulullah SAW mengajarkan hidup sederhana, tidak berlebihan dalam makan, minum, atau penggunaan sumber daya. Prinsip ini relevan dalam menghadapi budaya konsumerisme yang menjadi akar eksploitasi lingkungan.
  2. Etika Air: Nabi melarang pemborosan air meskipun dalam keadaan berwudhu di sungai yang mengalir (HR. Ahmad). Ini menegaskan etika konservasi air yang sangat relevan dengan krisis air global.
  3. Kasih Sayang terhadap Alam dan Hewan: Nabi melarang menyiksa hewan, menebang pohon tanpa alasan syar’i, dan mendorong penanaman pohon bahkan di akhir zaman (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad).
  4. Konsep Tanah dan Pertanian: Rasulullah mendukung aktivitas bercocok tanam dan mengolah tanah, sebagai bentuk kedaulatan pangan sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
  5. Prinsip Keadilan Kosmik: Nabi mengajarkan bahwa kerusakan alam (fasād) merupakan konsekuensi dari keserakahan manusia (QS. Ar-Rum: 41). Karena itu, tugas umat Islam adalah menjadi agen perbaikan (islāh) melalui sikap ramah lingkungan.

 

Dialog Ekoteologi: Islam dan Krisis Global

Dalam ranah akademik, dialog ekoteologi penting untuk menghubungkan teks normatif dengan konteks kontemporer. Krisis iklim, polusi, dan eksploitasi sumber daya bukan hanya persoalan ilmiah, tetapi juga moral dan spiritual. Dengan perspektif ekoteologi Islam, mahasiswa dapat berdialog dengan wacana global seperti eco-theology Christianity, deep ecology, atau eco-humanism. Hal ini membuka ruang interdisipliner yang mempertemukan agama dengan sains lingkungan. Sebagai mahasiswa Islam, keberanian untuk membangun dialog lintas disiplin ini menjadi bagian dari kontribusi akademik dan moral dalam menyelesaikan krisis ekologi.

 

Relevansi Akademik dan Transformasi Sosial

Materi ekoteologi dalam Maulid Nabi ini tidak berhenti pada level normatif, melainkan harus bertransformasi dalam praksis sosial. Mahasiswa Islam sebagai agen perubahan diharapkan:

  1. Mengembangkan riset-riset interdisipliner tentang Islam dan ekologi.
  2. Membangun gerakan kampus ramah lingkungan (eco-campus).
  3. Menginternalisasi etika ekologis dalam gaya hidup sehari-hari, seperti zero waste, hemat energi, dan sustainable consumption.
  4. Mendorong kebijakan publik berbasis keadilan ekologis, melalui advokasi dan kajian akademik.

 

Penutup

Peringatan Maulid Nabi 2025 dengan tema Ekoteologi dalam Keteladanan Nabi Muhammad SAW menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali visi Islam sebagai rahmatan lil ‘ālamīn dalam konteks krisis ekologi global. Keteladanan Nabi menghadirkan paradigma bahwa spiritualitas, moralitas, dan ekologis bukanlah entitas terpisah, melainkan satu kesatuan yang berakar pada tauhid. Mahasiswa Islam perlu memaknainya bukan hanya sebagai doktrin, tetapi sebagai praksis hidup yang membumikan Islam dalam era modern. Dengan begitu, Maulid Nabi tidak sekadar seremonial, tetapi menjadi inspirasi lahirnya gerakan ekologis berbasis spiritualitas Islam di kampus dan masyarakat.

 

Referensi Singkat

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Al-Bukhari & Muslim, Shahih Hadits.
  • Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man.
  • Izutsu, Toshihiko. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an.
  • Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law.
  • Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan.

 

Minggu, 31 Agustus 2025

Lansia Bahagia, Lansia Merdeka: Menjaga Hati Tenang dan Ibadah Khusyuk di Usia Senja

 



Pendahuluan

Usia lanjut merupakan fase kehidupan yang penuh makna sekaligus ujian. Dalam pandangan Islam, hidup manusia dibagi dalam beberapa tahap sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Ar-Rum: 54) bahwa Allah menciptakan manusia dari kelemahan, kemudian memberi kekuatan, lalu mengembalikannya kepada kelemahan yang kedua. Lansia dengan demikian berada pada fase “kelemahan kedua,” yang secara fisik berkurang tenaga, daya ingat menurun, serta menghadapi keterbatasan gerak. Namun, usia senja juga merupakan masa yang sangat mulia apabila dijalani dengan penuh kesabaran, keikhlasan, dan rasa syukur.

Di tengah momentum kemerdekaan bangsa Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus, refleksi tentang “kemerdekaan” tidak hanya sebatas pembebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga perlu ditarik ke dimensi spiritual: kemerdekaan batin. Lansia dapat merasakan “kemerdekaan sejati” ketika hatinya terbebas dari belenggu kegelisahan, kekhawatiran berlebihan, dan keterikatan duniawi yang menyesakkan. Filosofi kemerdekaan batin ini selaras dengan prinsip Islam, bahwa kebahagiaan hidup tidak terletak pada banyaknya harta, panjangnya umur, ataupun kekuatan fisik, melainkan pada ketenangan hati yang diraih melalui iman, dzikir, doa, dan kedekatan dengan Allah (QS. Ar-Ra’d: 28).

 

Lansia dan Filosofi Kemerdekaan Batin

Kemerdekaan dalam arti spiritual berarti terbebas dari perbudakan hawa nafsu, keterikatan berlebihan pada dunia, serta ketakutan berlebihan terhadap kematian. Bagi lansia, kebahagiaan bukan lagi diukur dari pencapaian materi atau jabatan, melainkan dari kemampuan menerima takdir dengan ikhlas. Dalam filsafat eksistensial, kebahagiaan manusia adalah ketika ia berdamai dengan dirinya sendiri, menerima kefanaan, dan mengorientasikan hidupnya kepada yang abadi, yaitu Allah.

Ikhlas menjadi pilar utama dalam meraih kemerdekaan batin. Lansia yang ikhlas menerima kondisi fisik yang menurun akan lebih tenang menjalani hari-harinya. Demikian pula sabar, yang dalam bahasa Arab berarti menahan diri, menjadi perisai dari keluh kesah yang tidak perlu. Sementara syukur adalah kunci untuk melihat sisi positif kehidupan meski tubuh melemah. Seorang lansia yang mampu bersyukur atas kesempatan hidup, walau hanya untuk menambah satu kali dzikir, sejatinya telah meraih kebahagiaan hakiki.

Dengan demikian, lansia merdeka bukan berarti lansia yang masih kuat bekerja atau banyak harta, melainkan lansia yang memiliki hati tenang, ikhlas menghadapi ketetapan Allah, sabar dalam keterbatasan, dan syukur atas nikmat yang tersisa. Inilah bentuk spiritualitas yang menjadikan usia senja sebagai fase penuh cahaya.

 

Ketenangan Hati sebagai Puncak Kebahagiaan Lansia

Al-Qur’an menegaskan: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28). Ayat ini meneguhkan bahwa ketenangan hati adalah sumber kebahagiaan, bukan faktor eksternal. Lansia yang memiliki hati tenteram akan merasakan kemerdekaan batin. Sebaliknya, jika hatinya masih dipenuhi kecemasan akan masa lalu, ketakutan akan masa depan, dan penyesalan yang berlarut-larut, maka lansia tersebut sejatinya masih “terjajah” oleh dirinya sendiri.

Ketenangan hati dapat diraih melalui tiga hal. Pertama, kebeningan spiritual, yakni memperbanyak ibadah, dzikir, dan doa yang mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, penerimaan diri (self acceptance), yaitu menerima kelemahan dan keterbatasan fisik sebagai sunnatullah. Ketiga, kebersamaan sosial, yakni tetap menjalin silaturahmi, saling berbagi, dan tidak mengasingkan diri.

Filsafat kebahagiaan Islam menekankan bahwa jiwa yang tenang (nafs al-muthma’innah) adalah jiwa yang dijanjikan Allah untuk kembali kepada-Nya dengan penuh keridhaan (QS. Al-Fajr: 27-30). Jiwa semacam ini tidak lagi terikat oleh dunia, melainkan merdeka secara batiniah. Oleh karena itu, lansia perlu membangun sikap batin yang lapang, sehingga kehidupannya tidak hanya menjadi beban, melainkan menjadi ladang pahala.

 

Dimensi Ikhlas, Sabar, dan Syukur pada Lansia

Tiga nilai utama yang harus ditanamkan pada lansia adalah ikhlas, sabar, dan syukur.

  1. Ikhlas
    Ikhlas berarti melakukan segala sesuatu semata-mata karena Allah, tanpa berharap balasan dari manusia. Lansia seringkali menghadapi situasi di mana jasa mereka tidak lagi diingat, atau keberadaan mereka dianggap merepotkan. Dengan ikhlas, lansia tidak lagi merasa sedih jika dilupakan, karena yang terpenting adalah nilai amal di sisi Allah.
  2. Sabar
    Sabar adalah kemampuan menahan diri dalam menghadapi ujian. Lansia sering menghadapi sakit, keterbatasan fisik, atau kehilangan pasangan hidup. Kesabaran membuat jiwa tetap teguh. Dalam hadis, sabar disebut sebagai “cahaya” (dhiyā’), yang menerangi jalan hidup di tengah kegelapan ujian.
  3. Syukur
    Syukur adalah sikap menerima nikmat Allah dengan hati gembira dan memanfaatkannya untuk kebaikan. Lansia yang bersyukur tidak fokus pada kelemahan tubuhnya, tetapi tetap menghargai nikmat sehat, keluarga, atau bahkan kesempatan untuk beribadah meski terbatas. Syukur mengajarkan bahwa usia senja bukanlah akhir segalanya, melainkan kesempatan berharga untuk semakin dekat dengan Allah.

 

Ibadah Ringan Namun Bermakna bagi Lansia

Meski fisik terbatas, lansia tetap memiliki kesempatan luas untuk beribadah. Islam adalah agama yang penuh rahmat, sehingga memberi kelonggaran bagi orang yang sudah tua atau sakit dalam menjalankan ibadah.

Beberapa bentuk ibadah ringan namun bermakna antara lain:

  1. Dzikir Harian

Dzikir adalah ibadah hati dan lisan yang tidak memerlukan tenaga besar. Dzikir seperti subhānallāh, alhamdulillāh, allāhu akbar bisa dilakukan kapan saja, bahkan sambil duduk atau berbaring. Dzikir ini menghidupkan hati, menenangkan jiwa, dan memperbanyak pahala.

  1. Shalawat atas Nabi Muhammad SAW

Shalawat adalah bentuk cinta kepada Rasulullah yang memiliki keutamaan besar. Membaca shalawat juga menenangkan batin serta mendekatkan diri kepada rahmat Allah.

  1. Doa-doa Ringan

Lansia dapat membiasakan doa pendek seperti Rabbighfir lī, warhamnī, wajburnī, wahdinī, wa‘āfinī, warzuqnī yang diajarkan Nabi. Doa ini mencakup permohonan ampun, rahmat, hidayah, kesehatan, dan rezeki.

  1. Membaca Al-Qur’an

Walau terbatas penglihatan atau daya ingat, lansia bisa membaca sedikit ayat atau mendengarkan tilawah. Membaca satu huruf Al-Qur’an dinilai sepuluh kebaikan, sehingga walau sedikit tetap bernilai besar.

  1. Shalat Sunnah Ringan

Jika tidak mampu berdiri, shalat boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring. Rasulullah menegaskan bahwa shalat duduk tetap mendapat separuh pahala, dan shalat berbaring mendapat pahala sesuai kemampuan (HR. Bukhari).

Dengan ibadah sederhana ini, lansia tidak merasa terbebani oleh fisik yang lemah, namun tetap dekat dengan Allah.

 

Peran Sosial Lansia: Membangun Lingkungan yang Damai

Kebahagiaan lansia tidak hanya ditentukan oleh kondisi batin pribadi, tetapi juga oleh keterlibatan sosial. Islam mengajarkan ukhuwah, silaturahmi, dan saling peduli. Lansia yang tetap berperan dalam lingkungannya, meski dengan nasihat sederhana atau doa bersama, telah ikut membangun masyarakat yang harmonis.

Pada momen 17 Agustus, keterlibatan lansia dalam doa bersama untuk bangsa, memberi nasihat kepada anak cucu tentang arti kemerdekaan, atau sekadar hadir dalam kegiatan sosial, merupakan bentuk pengabdian yang luar biasa. Lansia dapat menjadi teladan spiritual, yang mengingatkan masyarakat bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya milik generasi muda, tetapi juga tanggung jawab bersama untuk dijaga.

 

Penutup

“Lansia Bahagia, Lansia Merdeka” bukanlah jargon kosong, melainkan sebuah refleksi filosofis bahwa kebahagiaan di usia senja adalah kebahagiaan batin yang lahir dari ikhlas, sabar, dan syukur. Kemerdekaan yang hakiki adalah kemerdekaan jiwa dari belenggu kegelisahan, keterikatan duniawi, dan ketakutan akan kematian. Dengan ketenangan hati, lansia dapat menikmati masa senja sebagai ladang pahala yang penuh cahaya.

Ibadah ringan seperti dzikir, shalawat, doa, dan membaca Al-Qur’an adalah jalan sederhana namun bermakna yang bisa dilakukan oleh setiap lansia. Keterlibatan sosial dan peran doa bagi bangsa juga memberi makna bahwa usia senja tetap memiliki kontribusi besar.

Di momen 17 Agustus, para lansia diajak untuk meneladani semangat para pejuang yang meraih kemerdekaan dengan pengorbanan. Kini, kemerdekaan itu dapat diwujudkan dalam bentuk kemerdekaan batin, menjaga hati tetap tenang, dan mengisi sisa usia dengan ibadah khusyuk.

Dengan demikian, lansia tidak hanya berbahagia secara pribadi, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda. Lansia yang tenang, ikhlas, sabar, dan bersyukur adalah lansia yang benar-benar merdeka.

Sabtu, 30 Agustus 2025

Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak: Peran Mahasiswa Muslim dalam Revolusi Mental Bangsa


 

Pendahuluan

Mahasiswa perempuan Muslim adalah garda terdepan dalam membangun peradaban bangsa melalui ilmu dan akhlak. Di tengah dinamika globalisasi dan transformasi digital, konsep “Merdeka Belajar” yang digagas pemerintah sejalan dengan semangat Islam yang mendorong kebebasan berpikir, kreativitas, dan inovasi. Namun, kebebasan belajar tidak dapat dipisahkan dari dimensi akhlak. Tanpa akhlak, kebebasan akan kehilangan arah, bahkan dapat menjadi destruktif. Oleh karena itu, gagasan “Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak” menjadi penting sebagai paradigma baru mahasiswa Muslim dalam mengaktualisasikan revolusi mental bangsa.

Revolusi mental yang dicanangkan pemerintah bertujuan membentuk masyarakat Indonesia yang berintegritas, etos kerja tinggi, dan gotong royong. Namun, revolusi mental tidak dapat berhasil hanya dengan regulasi formal, melainkan harus dihidupi oleh generasi muda, khususnya mahasiswa Muslim. Dengan bekal iman, ilmu, dan akhlak, mahasiswa perempuan memiliki kapasitas besar untuk melahirkan perubahan mentalitas bangsa, mulai dari lingkup kampus hingga masyarakat luas.

Dalam perspektif filsafat, gagasan ini dapat dianalisis melalui tiga kerangka: ontologi (hakikat merdeka belajar dan berakhlak), epistemologi (sumber pengetahuan dan cara mencapai kebebasan belajar yang berakhlak), dan aksiologi (nilai dan manfaat implementasi bagi mahasiswa Muslim serta bangsa). Dengan alur berpikir ini, mahasiswa perempuan diharapkan memahami secara mendalam dan mampu mengimplementasikan peran strategisnya dalam revolusi mental bangsa.

 

Ontologi: Hakikat Merdeka Belajar dan Merdeka Berakhlak

Ontologi menanyakan hakikat sesuatu. Apa hakikat merdeka belajar? Dalam konteks filsafat pendidikan, merdeka belajar adalah kebebasan akademik yang memungkinkan mahasiswa mencari, mengembangkan, dan mengaplikasikan ilmu sesuai potensi tanpa belenggu birokrasi kaku. Hakikatnya adalah ruang otonomi untuk mengaktualisasi potensi manusia seutuhnya. Namun, kebebasan ini bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Dalam perspektif Islam, belajar adalah kewajiban sepanjang hayat (thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin). Belajar berarti ibadah, sehingga kebebasan belajar tidak boleh tercerabut dari nilai akhlak. Inilah hakikat merdeka berakhlak, yakni kemampuan menjaga kebebasan intelektual dengan bimbingan iman dan moralitas. Tanpa akhlak, merdeka belajar hanya akan melahirkan intelektual yang cerdas tetapi kehilangan arah moral.

Hakikat revolusi mental, bila ditinjau secara ontologis, adalah transformasi mendasar dalam cara berpikir, merasa, dan bertindak bangsa. Mahasiswa Muslim sebagai agen perubahan memiliki eksistensi ganda: sebagai hamba Allah dan warga bangsa. Eksistensi ini melahirkan tanggung jawab ganda pula: menjaga iman sekaligus membangun peradaban bangsa. Dengan demikian, ontologi “Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak” menekankan keseimbangan antara kebebasan intelektual dan kedisiplinan moral.

 

Epistemologi: Sumber Pengetahuan dan Jalan Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak

Epistemologi menyoal bagaimana pengetahuan diperoleh dan divalidasi. Dalam konteks ini, merdeka belajar dan merdeka berakhlak memiliki fondasi epistemologis yang bersumber dari tiga hal: wahyu, akal, dan pengalaman sejarah.

Pertama, wahyu. Al-Qur’an berulang kali mendorong umat Islam untuk belajar, menalar, dan mengembangkan ilmu. QS. Al-‘Alaq [96]:1-5 menegaskan pentingnya membaca dan menulis sebagai pintu ilmu. QS. Luqman [31]:17-19 menekankan pentingnya akhlak dalam menegakkan kebenaran. Wahyu menjadi sumber primer yang menyeimbangkan kebebasan belajar dengan akhlak.

Kedua, akal. Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap akal. Rasionalitas mendorong mahasiswa untuk kritis, kreatif, dan inovatif. Namun, akal tidak berdiri sendiri. Akal harus dituntun iman agar tidak tersesat dalam hedonisme intelektual. Epistemologi Islam menegaskan bahwa kebenaran diperoleh melalui integrasi antara wahyu dan akal.

Ketiga, pengalaman sejarah. Sejarah peradaban Islam menunjukkan betapa kebebasan belajar yang diiringi akhlak menghasilkan kemajuan besar. Peradaban Baghdad, Kairo, dan Andalusia menjadi saksi lahirnya ilmuwan Muslim yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak. Di Indonesia, sejarah pergerakan nasional membuktikan bahwa mahasiswa Muslim berperan besar dalam perjuangan bangsa, dari Sumpah Pemuda 1928, pendirian organisasi Islam, hingga perjuangan kemerdekaan.

Epistemologi modern pun menguatkan paradigma merdeka belajar. Kurikulum Kampus Merdeka memberikan keleluasaan mahasiswa untuk belajar lintas disiplin dan terjun langsung ke masyarakat. Bagi mahasiswa Muslim, kesempatan ini harus ditopang akhlak, agar pengalaman belajar tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memperkuat nilai iman dan kepedulian sosial.

 

Aksiologi: Implementasi Merdeka Belajar, Merdeka Berakhlak dalam Revolusi Mental

Aksiologi membicarakan nilai, tujuan, dan manfaat pengetahuan. Pertanyaannya: untuk apa mahasiswa Muslim belajar dengan merdeka dan berakhlak? Jawabannya adalah untuk merealisasikan revolusi mental bangsa yang bermartabat. Implementasi aksiologi ini dapat dilihat dari tiga ranah utama: pribadi, akademik, dan sosial.

1. Ranah Pribadi

Merdeka belajar memberi ruang bagi mahasiswa perempuan untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi dirinya. Namun, hal ini harus sejalan dengan merdeka berakhlak, yaitu menjaga identitas sebagai Muslimah. Implementasi pribadi meliputi: menjaga kesalehan individu, konsistensi ibadah, kedisiplinan belajar, serta integritas moral. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya pintar, tetapi juga berkarakter.

2. Ranah Akademik

Mahasiswa Muslim dituntut menghasilkan karya ilmiah, inovasi, dan solusi bagi masalah bangsa. Merdeka belajar membuka akses ke berbagai sumber ilmu, baik melalui riset, program pertukaran, maupun pengabdian masyarakat. Namun, semua itu harus dilandasi etika akademik: jujur, kritis, dan bermanfaat. Seorang mahasiswa yang merdeka berakhlak tidak akan melakukan plagiarisme, tidak menempuh jalan pintas, dan selalu mengedepankan integritas.

3. Ranah Sosial

Revolusi mental bangsa tidak akan berhasil tanpa peran sosial mahasiswa. Mahasiswa Muslim harus hadir di tengah masyarakat sebagai agen perubahan, pendidik, dan advokat moral. Implementasi nyata bisa berupa: program literasi, pemberdayaan perempuan, advokasi lingkungan, hingga gerakan sosial berbasis nilai Islam. Akhlak menjadi fondasi utama agar kontribusi ini tidak sekadar formalitas, tetapi benar-benar membawa maslahat bagi umat dan bangsa.

Dalam konteks gender, merdeka belajar dan berakhlak memberi peluang besar bagi mahasiswa perempuan untuk membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pelengkap, tetapi motor penggerak revolusi mental bangsa. Mahasiswi Muslim dapat tampil sebagai pemimpin organisasi, peneliti unggul, pendidik masyarakat, sekaligus penjaga moralitas bangsa.

 

Implikasi Bimbingan Penyuluhan

Penyuluhan dengan tema ini memiliki implikasi penting:

  1. Implikasi Personal

Mahasiswa perempuan Muslim akan memiliki kesadaran diri bahwa belajar adalah ibadah dan akhlak adalah kompas hidup.

  1. Implikasi Akademik

Mahasiswa terdorong untuk belajar lintas disiplin, kreatif, dan berinovasi, sekaligus menjaga etika akademik yang kuat.

  1. Implikasi Sosial

Mahasiswa Muslim menjadi agen revolusi mental melalui kegiatan sosial yang membangun kesadaran kebangsaan, toleransi, dan keadilan.

  1. Implikasi Kebangsaan

Konsep merdeka belajar, merdeka berakhlak akan memperkuat visi revolusi mental Indonesia: membangun bangsa yang berintegritas, beretos kerja, dan bergotong royong.

Metode penyuluhan yang tepat adalah partisipatif: diskusi kelompok, simulasi, studi kasus, dan refleksi filosofis. Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga menginternalisasi nilai dan menerjemahkannya dalam tindakan.

 

Kesimpulan

Merdeka belajar dan merdeka berakhlak adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Merdeka belajar menekankan kebebasan intelektual, sementara merdeka berakhlak menekankan integritas moral. Dalam perspektif filsafat, ontologi menegaskan hakikat kebebasan yang bertanggung jawab; epistemologi menjelaskan bahwa pengetahuan bersumber dari wahyu, akal, dan sejarah; aksiologi menunjukkan nilai dan manfaat implementasi untuk pribadi, akademik, sosial, dan bangsa.

Mahasiswa Muslim, khususnya perempuan, memiliki peran strategis dalam merealisasikan revolusi mental bangsa. Dengan iman, ilmu, dan akhlak, mereka dapat menjadi agen perubahan yang melahirkan peradaban berkemajuan. Revolusi mental sejati bukanlah perubahan superfisial, melainkan transformasi mendasar dalam pola pikir, sikap, dan tindakan yang berlandaskan iman dan akhlak.

Pesan utama:

Merdeka belajar akan kehilangan arah tanpa merdeka berakhlak. Revolusi mental bangsa hanya akan berhasil jika mahasiswa Muslim hadir sebagai pelaku utama, dengan iman sebagai fondasi, ilmu sebagai jalan, dan akhlak sebagai tujuan.

 

Referensi

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Hadis Nabi Muhammad
  • Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
  • Madjid, Nurcholish. (1992). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
  • Azra, Azyumardi. (2013). Indonesia, Islam, and Democracy. Jakarta: Equinox.
  • Nashir, Haedar. (2015). Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Mizan.
  • Tilaar, H.A.R. (2015). Revolusi Mental dan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Kompas.
  • Zuhdi, Muhammad Harfin. (2019). “Nasionalisme dalam Perspektif Islam.” Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, 11(2).

 

Cinta Tanah Air Bagian dari Iman - Perspektif Islam tentang Nasionalisme

Pendahuluan

Mahasiswa perempuan sebagai bagian dari generasi intelektual bangsa memiliki tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial dalam menjaga keberlangsungan nilai-nilai keislaman serta kebangsaan. Dalam konteks keindonesiaan, kesadaran cinta tanah air menjadi fondasi penting yang menopang nasionalisme sekaligus membentuk karakter religius yang berintegritas. Nasionalisme dalam Islam bukanlah sekadar ideologi politik, melainkan bagian dari nilai iman yang menuntun umat untuk menjaga keamanan, persatuan, dan martabat bangsa. Ungkapan “Hubbul Wathan minal Iman” atau “cinta tanah air sebagian dari iman” telah menjadi spirit yang menghubungkan dimensi religiusitas dengan tanggung jawab kebangsaan.

Untuk memperdalam pemahaman mahasiswa perempuan mengenai tema ini, diperlukan kajian dengan pendekatan filsafat yang sistematis. Pendekatan ontologi membantu kita memahami hakikat cinta tanah air dalam perspektif Islam; epistemologi menguraikan sumber pengetahuan yang melandasi nasionalisme Islami; sedangkan aksiologi menuntun pada implementasi nyata cinta tanah air dalam kehidupan sosial, akademik, dan keperempuanan. Dengan alur ini, mahasiswa perempuan diharapkan mampu menginternalisasi nilai-nilai nasionalisme Islami yang kokoh, bukan hanya dalam tataran wacana, tetapi juga dalam tindakan nyata.

 

Hakikat Cinta Tanah Air dalam Islam

Ontologi membicarakan tentang hakikat suatu konsep. Dalam konteks ini, hakikat cinta tanah air adalah kesadaran akan keterikatan eksistensial manusia dengan lingkungan, budaya, bangsa, dan negara tempat ia dilahirkan. Dalam pandangan Islam, manusia adalah khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]:30), yang berarti memiliki tanggung jawab menjaga dan memakmurkan bumi, termasuk wilayah tempat tinggalnya. Tanah air bukan sekadar ruang geografis, melainkan amanah Tuhan yang wajib dipelihara.

Hakikat cinta tanah air dalam Islam dapat dipahami melalui tiga dimensi. Pertama, dimensi spiritual, yaitu kesadaran bahwa tanah air adalah karunia Allah yang harus disyukuri. Nabi Muhammad menunjukkan rasa cinta kepada Makkah dengan berkata, “Engkau adalah negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaummu tidak mengusirku darimu, aku tidak akan meninggalkanmu” (HR. Tirmidzi). Kedua, dimensi sosial, yaitu tanah air menjadi wadah interaksi manusia yang membentuk identitas kolektif, kebudayaan, dan solidaritas. Ketiga, dimensi politik, yaitu tanah air merupakan arena kedaulatan umat yang harus dijaga dari segala bentuk penjajahan dan perpecahan.

Dalam perspektif ontologi feminis, cinta tanah air juga terkait dengan posisi perempuan sebagai penjaga kehidupan. Perempuan bukan hanya berperan domestik, tetapi juga sebagai agen kebudayaan, pendidik generasi, dan penggerak kebangsaan. Di Indonesia, tokoh perempuan seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan RA Kartini menjadi bukti historis bahwa cinta tanah air telah menjadi energi perjuangan perempuan. Dengan demikian, hakikat cinta tanah air dalam Islam bukanlah konsep abstrak, tetapi realitas yang menyatu dengan iman, sejarah, dan peran sosial perempuan.

 

Sumber Pengetahuan Nasionalisme Islami

Epistemologi membicarakan asal-usul, sumber, dan validitas pengetahuan. Pemahaman tentang cinta tanah air dalam perspektif Islam bersumber dari tiga landasan utama: wahyu, akal, dan pengalaman sejarah.

Pertama, wahyu. Al-Qur’an dan hadis memberikan fondasi teologis tentang kewajiban menjaga negeri. QS. An-Nisa [4]:59 menegaskan pentingnya taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri (pemimpin). Prinsip ini menjadi dasar bahwa ketaatan kepada pemerintah yang sah adalah bagian dari ibadah, selama tidak bertentangan dengan syariat. Hadis Nabi juga menegaskan pentingnya membela tanah air: “Barangsiapa mati dalam mempertahankan hartanya, maka ia syahid; barangsiapa mati dalam mempertahankan keluarganya, maka ia syahid; barangsiapa mati dalam mempertahankan agamanya, maka ia syahid; dan barangsiapa mati dalam mempertahankan darahnya, maka ia syahid” (HR. Abu Daud). Dalil ini menunjukkan legitimasi Islam terhadap perjuangan menjaga kedaulatan bangsa.

Kedua, akal. Nasionalisme Islami dapat dipahami melalui analisis rasional bahwa tanpa tanah air yang aman dan damai, ibadah dan kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik. Kaidah fiqh menyebutkan, “Ad-dharuriyat muqaddam ‘ala al-hajiyat” (kepentingan yang mendesak lebih didahulukan daripada kebutuhan). Dalam hal ini, menjaga tanah air merupakan dharuriyat (primer) karena menyangkut keselamatan jiwa dan agama.

Ketiga, pengalaman sejarah. Sejarah Islam mencatat perjuangan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah yang membangun negara berbasis kesepakatan bersama berbagai komunitas, menunjukkan bahwa nasionalisme Islami bersifat inklusif. Di Indonesia, perjuangan ulama dan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Sarekat Islam menjadi bukti bahwa nasionalisme berakar kuat dalam iman. Pidato KH. Hasyim Asy’ari tentang Resolusi Jihad (1945) yang menyerukan kewajiban mempertahankan tanah air dari penjajah menjadi epistemologi praktis bahwa nasionalisme dalam Islam bersifat jihad fi sabilillah.

Bagi mahasiswa perempuan, epistemologi ini harus diinternalisasi dalam paradigma berpikir kritis. Mereka harus mampu menyatukan nalar keislaman dengan realitas kebangsaan sehingga nasionalisme tidak hanya menjadi jargon, tetapi menjadi kerangka berpikir yang memandu perilaku sosial, akademik, dan spiritual.

 

Implementasi Cinta Tanah Air dalam Kehidupan Mahasiswa Perempuan

Aksiologi menekankan aspek nilai dan manfaat suatu pengetahuan. Dalam konteks bimbingan penyuluhan, penting bagi mahasiswa perempuan untuk memahami bagaimana cinta tanah air diwujudkan dalam tindakan nyata. Ada tiga ranah utama implementasi: spiritual, intelektual, dan sosial.

  1. Ranah Spiritual

Mahasiswa perempuan dapat mengekspresikan cinta tanah air dengan meningkatkan doa dan syukur kepada Allah atas karunia negeri yang aman. Bentuk spiritualitas cinta tanah air juga tercermin melalui pengamalan ibadah yang konsisten, menjaga akhlak, serta menjauhi perbuatan yang merusak kehormatan bangsa.

  1. Ranah Intelektual

Mahasiswa perempuan harus mengisi kecintaan pada tanah air dengan prestasi akademik. Belajar dengan sungguh-sungguh, menghasilkan karya ilmiah, dan berkontribusi dalam penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat adalah wujud nasionalisme intelektual. Dalam standar KKNI Level 9, mahasiswa perempuan tidak hanya dituntut memahami teori, tetapi juga mampu mengembangkan gagasan orisinal yang relevan dengan kebutuhan bangsa.

  1. Ranah Sosial

Nasionalisme Islami menuntut kepedulian sosial. Mahasiswa perempuan dapat terlibat aktif dalam kegiatan sosial seperti pemberdayaan masyarakat, literasi kesehatan, advokasi perempuan, hingga gerakan lingkungan. Aksi kecil seperti menjaga kebersihan kampus, mendukung produk lokal, dan menghormati keberagaman adalah wujud praktis cinta tanah air.

Dalam aksiologi feminis, cinta tanah air juga diwujudkan dalam pemberdayaan perempuan. Mahasiswa perempuan tidak boleh terjebak pada stereotip bahwa perannya hanya domestik. Justru, melalui pendidikan tinggi, mereka memiliki tanggung jawab melahirkan gagasan baru, kepemimpinan moral, dan kontribusi nyata untuk bangsa. Dengan demikian, nasionalisme Islami menjadi landasan aksiologi yang memadukan iman, ilmu, dan amal.

 

Implikasi Penyuluhan

Penyuluhan bagi mahasiswa perempuan dengan tema cinta tanah air bagian dari iman memiliki beberapa implikasi strategis. Pertama, implikasi personal, yaitu membentuk karakter mahasiswa perempuan yang religius, kritis, dan nasionalis. Kedua, implikasi akademik, yaitu menumbuhkan tradisi keilmuan yang berorientasi pada pembangunan bangsa. Ketiga, implikasi sosial, yaitu memperkuat peran mahasiswa perempuan sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

Metode penyuluhan dapat dilakukan melalui pendekatan dialogis, studi kasus, dan refleksi filosofis. Mahasiswa diajak untuk berdiskusi mengenai isu-isu aktual seperti intoleransi, radikalisme, ketidakadilan gender, dan degradasi lingkungan, lalu merelevansikannya dengan nilai cinta tanah air. Dengan demikian, penyuluhan tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga transformatif.

 

Kesimpulan

Cinta tanah air sebagai bagian dari iman adalah prinsip fundamental dalam Islam yang memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ontologinya menegaskan bahwa tanah air adalah amanah Allah yang harus dijaga; epistemologinya menyatakan bahwa nasionalisme Islami bersumber dari wahyu, akal, dan sejarah; aksiologinya mengarahkan pada implementasi nyata melalui spiritualitas, intelektualitas, dan kepedulian sosial.

Bagi mahasiswa perempuan, cinta tanah air bukan hanya kesadaran pasif, tetapi komitmen aktif yang diwujudkan dalam belajar, berkarya, dan mengabdi untuk masyarakat. Melalui pendekatan filsafat, mereka dapat memahami secara mendalam dan holistik bagaimana nasionalisme Islami menjadi bagian dari iman sekaligus energi kebangsaan. Dengan begitu, penyuluhan ini diharapkan melahirkan generasi perempuan muslimah yang beriman, cerdas, berdaya, dan nasionalis.

 

Referensi

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Hadis Nabi Muhammad (HR. Tirmidzi, HR. Abu Daud)
  • Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
  • Madjid, Nurcholish. (1992). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
  • Azra, Azyumardi. (2013). Indonesia, Islam, and Democracy. Jakarta: Equinox.
  • Hasyim, Syafiq. (2015). Islam, Politik, dan Kebangsaan. Jakarta: Pustaka Alvabet.
  • Nashir, Haedar. (2015). Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Mizan.
  • Zuhdi, Muhammad Harfin. (2019). “Nasionalisme dalam Perspektif Islam.” Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, 11(2).

 


Kamis, 07 Agustus 2025

Perempuan, Kemerdekaan, dan Perjuangan: Refleksi Peran Muslimah dalam Sejarah dan Masa Kini

 


Pendahuluan

Perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bukanlah sekadar pelengkap narasi heroisme kaum laki-laki. Dalam berbagai fase perjalanan bangsa, perempuan—khususnya perempuan Muslimah—telah menunjukkan ketangguhan, kecerdasan, dan integritas dalam menghadapi berbagai tantangan sosial, politik, dan spiritual. Di tengah era kemerdekaan yang telah dicapai, pemaknaan ulang terhadap peran perempuan, terutama dalam konteks keislaman dan kebangsaan, menjadi penting. Bimbingan ini bertujuan mengajak mahasiswa perempuan untuk merefleksikan peran mereka melalui kerangka berpikir filsafat, yakni ontologi (hakikat), epistemologi (pengetahuan), dan aksiologi (nilai dan tindakan).

 

I. ONTOLOGI: HAKIKAT PEREMPUAN DALAM KEMERDEKAAN DAN PERJUANGAN

1. Hakikat Perempuan Muslimah: Antara Citra dan Realitas

Dalam pandangan Islam, perempuan adalah makhluk mulia yang memiliki potensi intelektual, spiritual, dan sosial yang setara dengan laki-laki. Al-Qur'an menegaskan bahwa keutamaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh ketakwaan (QS. Al-Hujurat: 13). Namun, dalam sejarah yang patriarkal, perempuan sering kali direduksi perannya dalam ruang privat. Ontologi perempuan Muslimah dalam sejarah Indonesia membuktikan bahwa mereka adalah aktor aktif perjuangan bangsa.

2. Perempuan dalam Sejarah Kemerdekaan: Realitas Historis yang Terlupakan

Figur seperti Cut Nyak Dien, Rasuna Said, dan Siti Walidah Dahlan merepresentasikan hakikat perempuan yang tidak hanya berperan di domestik, tetapi juga di medan tempur, pendidikan, dan politik. Mereka tidak berjuang sebagai ‘istri dari’, melainkan sebagai pribadi yang independen secara moral dan politik. Pemahaman hakikat ini mendesak kita untuk menolak narasi subordinatif yang masih mengikat perempuan hari ini.

3. Makna Kemerdekaan bagi Perempuan

Kemerdekaan bagi perempuan bukan hanya soal pembebasan dari kolonialisme, tetapi juga pembebasan dari struktur budaya yang menindas. Dalam konteks Islam, kemerdekaan dimaknai sebagai tahrir al-insan—pembebasan manusia dari kebodohan, penindasan, dan kezaliman. Dengan demikian, perempuan Muslimah dipanggil untuk menjadi subjek perubahan, bukan objek kebijakan.

 

II. EPISTEMOLOGI: SUMBER PENGETAHUAN TENTANG PEREMPUAN, KEMERDEKAAN, DAN ISLAM

1. Sumber Historis: Menyibak Lembar Perempuan dalam Narasi Kemerdekaan

Pengetahuan tentang peran perempuan dalam sejarah seringkali terabaikan dalam buku teks utama. Mahasiswa perempuan perlu didorong untuk menggali sumber sejarah alternatif—biografi, arsip surat kabar, dokumen organisasi perempuan, dan narasi lokal. Dari sumber-sumber ini kita mengetahui bahwa Rasuna Said, tokoh dari Minangkabau, adalah anggota parlemen pertama yang menyuarakan pendidikan untuk perempuan dan perlawanan terhadap kolonialisme melalui pena dan pidato.

2. Sumber Keislaman: Al-Qur’an, Hadis, dan Tafsir Emansipatoris

Pengetahuan tentang perempuan dalam Islam perlu didalami secara kritis. Banyak ayat Al-Qur’an yang memberikan ruang partisipasi perempuan dalam ruang publik: Ummu Waraqah memimpin shalat di kalangannya, Aisyah menjadi perawi hadis, dan para sahabiyah ikut dalam medan perang. Epistemologi Islam tidak monolitik—ada tafsir yang membebaskan dan ada pula yang membatasi. Mahasiswa perlu mengembangkan kecakapan literasi keislaman dengan pendekatan tafsir yang kontekstual dan progresif.

3. Pendidikan sebagai Media Kritis dan Transformasi

Siti Walidah Dahlan, pendiri Aisyiyah, menyadari pentingnya pendidikan sebagai cara membebaskan perempuan dari belenggu kebodohan dan penindasan budaya. Epistemologi pendidikan perempuan harus mengarah pada pembentukan kesadaran kritis (critical consciousness) agar mampu membaca realitas sosial, mengidentifikasi ketimpangan, dan berperan aktif dalam transformasi masyarakat.

 

III. AKSIOLOGI: IMPLEMENTASI NILAI PERJUANGAN DAN KEMERDEKAAN DALAM PERAN SOSIAL PEREMPUAN MASA KINI

1. Perempuan sebagai Penjaga Nilai Kebangsaan dan Moralitas

Di era pascakolonial, tantangan perempuan berubah wujud menjadi moralitas publik yang terdegradasi, objektifikasi perempuan di media, dan marginalisasi dalam pengambilan kebijakan publik. Aksiologi perempuan Muslimah hari ini harus diarahkan pada penguatan nilai-nilai kebangsaan—nasionalisme yang beradab, toleransi, dan etika sosial. Mahasiswa perempuan adalah agen yang berperan dalam merawat ruang publik dari praktik yang merusak moral bangsa.

2. Strategi Peran Muslimah di Era Kontemporer

Perempuan Muslimah masa kini dapat mengimplementasikan nilai perjuangan melalui beberapa cara:

  • Aktif di organisasi sosial-keagamaan seperti Aisyiyah, IPPNU, Fatayat, atau komunitas independen perempuan.
  • Menjadi intelektual kritis yang terlibat dalam diskusi publik dan penulisan.
  • Berperan dalam kebijakan publik, baik sebagai politisi, birokrat, atau aktivis.
  • Menjadi teladan dalam keluarga dan komunitas, menanamkan nilai-nilai kebangsaan sejak dini.

3. Refleksi Tokoh Inspiratif

  • Rasuna Said: pejuang pena dan pidato, menunjukkan bahwa keberanian intelektual adalah bentuk jihad.
  • Cut Nyak Dien: komandan perempuan yang melawan Belanda sampai akhir hayat.
  • Siti Walidah: mendobrak tradisi lewat pendidikan dan pencerahan perempuan.
    Mereka adalah model aksiologi perjuangan perempuan: berani, cerdas, dan bermoral.

4. Penerapan Nilai-nilai Kemerdekaan dalam Kehidupan Mahasiswa

Kemerdekaan sejati bagi mahasiswa perempuan adalah mampu berpikir merdeka, berpendirian, dan bertindak berdasarkan nilai luhur. Implementasi nilai kemerdekaan bisa dilakukan dengan:

  • Melawan budaya instan dan hedonistik.
  • Menghidupkan budaya baca dan diskusi.
  • Mengembangkan literasi digital yang sehat.
  • Menjadi motor perubahan di kampus dan masyarakat.

 

Penutup: Menghidupkan Kembali Spirit Perjuangan dalam Diri Muslimah Muda

Dalam narasi sejarah, kita menemukan bahwa perempuan Muslimah tidak pernah menjadi pihak yang pasif. Mereka adalah penjaga moral bangsa, penggerak pendidikan, dan penentu arah peradaban. Hari ini, mahasiswa perempuan dihadapkan pada medan perjuangan baru: degradasi moral, intoleransi, dan ketimpangan sosial. Melalui pendekatan filsafat—ontologi, epistemologi, dan aksiologi—kita diajak untuk tidak hanya memahami hakikat dan sumber pengetahuan tentang perempuan dan kemerdekaan, tetapi juga untuk mengimplementasikannya dalam aksi nyata.

Mahasiswa perempuan bukan hanya penonton sejarah, tetapi pencipta sejarah baru. Perjuangan belum selesai, karena kemerdekaan bukan hanya warisan, melainkan amanah yang harus diperjuangkan kembali dalam konteks zaman.

 

Referensi

  1. Azra, Azyumardi. (2013). Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
  2. Rachman, Budiman. (2008). Rasuna Said: Pejuang Politik dan Pendidikan. Jakarta: Balai Pustaka.
  3. Suryanegara, Ahmad Mansur. (2010). Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri. Bandung: Salamadani.
  4. Dahlan, Ahmad. (2020). Siti Walidah: Jejak Emansipasi Muslimah Awal Abad 20. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
  5. Quraish Shihab. (2005). Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunah. Jakarta: Lentera Hati.
  6. Mufidah, Chusnul. (2019). “Perempuan dalam Perspektif Islam dan Tantangan Kekinian.” Jurnal Pemikiran Islam, 15(2): 129-146.

Kamis, 31 Juli 2025

Hijrah Merdeka: Menjadi Mahasiswa Muslim yang Bebas dari Dosa, Malas, dan Overthinking


Pendahuluan

Di tengah gegap gempita peringatan kemerdekaan bangsa, kita sering kali terjebak pada seremoni, tanpa melakukan kontemplasi. Padahal, hakikat kemerdekaan bukan hanya tentang terbebas dari penjajahan eksternal, melainkan juga pembebasan dari penindasan internal: hawa nafsu, kebodohan, kemalasan, dan berbagai belenggu jiwa. Dalam konteks ini, mahasiswa Muslim memerlukan sebuah perenungan baru: apa makna merdeka dalam kacamata spiritual dan keilmuan? Bagaimana kemerdekaan nasional dapat menjadi momentum untuk hijrah pribadi?

 

Spirit Kemerdekaan sebagai Momen Hijrah Pribadi

Kemerdekaan adalah peristiwa politik dan sejarah, tetapi ia juga memiliki makna psikologis dan teologis. Sejarah Islam mencatat bahwa hijrah Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah bukan hanya mobilitas fisik, tetapi transformasi nilai dan visi. Dalam konteks mahasiswa, hijrah bisa dimaknai sebagai transisi dari zona nyaman menuju zona tanggung jawab dan pertumbuhan.

Secara dialektik, kita dapat bertanya: Apakah kemerdekaan hari ini mencerminkan kebebasan sejati, atau hanya kebebasan semu? Seorang mahasiswa yang merdeka secara formal bisa jadi belum bebas secara eksistensial—masih terjebak dalam kemalasan ibadah, ketakutan sosial (insecure), dan overthinking. Maka, spirit kemerdekaan harus diletakkan sebagai panggilan untuk hijrah, dari kondisi stagnan menuju kondisi progresif secara spiritual dan intelektual.

Sejalan dengan itu, Al-Qur’an menyatakan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ 

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra’d: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa transformasi sosial, termasuk dalam dunia kemahasiswaan, harus diawali dari dalam diri: spiritual self-liberation.

 

Melawan Belenggu Diri: Malas Ibadah, Insecure, dan Kecanduan Media Sosial

Dalam psikologi Islam, kemalasan bukan sekadar sikap pasif, melainkan penyakit ruhani yang dapat melumpuhkan semangat amal. Rasulullah saw bahkan berlindung dari rasa malas dalam doanya:


اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ،


 وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ،


 وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ،

 وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ  غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan sedih, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, serta aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan manusia. (HR. Bukhari & Muslim).

Kemalasan ibadah di kalangan mahasiswa biasanya berawal dari gaya hidup akademik yang tidak teratur. Ketika waktu tidur kacau, kuliah diikuti setengah hati, dan aktivitas dominan hanya scrolling media sosial, maka siklus kemalasan menjadi sistemik. Kemerdekaan justru berarti pengendalian waktu dan prioritas, bukan sekadar kebebasan untuk mengabaikan tanggung jawab.

Insecure, atau perasaan tidak percaya diri, juga menjadi beban mental besar di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa Muslimah, misalnya, merasa ragu untuk tampil Islami karena takut dianggap konservatif. Mahasiswa Muslim juga sering merasa tidak mampu bersaing karena tekanan sosial dan akademik. Padahal, Islam mengajarkan bahwa setiap individu adalah ciptaan Allah yang unik dan berpotensi:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4)

Kecanduan media sosial adalah bentuk lain dari penjajahan digital. Mahasiswa yang menghabiskan 4–6 jam per hari untuk konten hiburan, tanpa kontrol diri, sedang mengalami bentuk perbudakan baru. Dalam konteks ini, kemerdekaan digital adalah bentuk hijrah modern—mampu menjadikan teknologi sebagai alat dakwah dan pencapaian akademik, bukan sekadar konsumsi pasif.

 

Islam dan Strategi Pembebasan dari Hawa Nafsu dan Kebodohan

Islam adalah agama yang menghadirkan misi pembebasan, bukan hanya dalam konteks sosial-politik, tetapi terutama dalam ranah spiritual dan intelektual. Di awal turunnya wahyu, pesan utama yang disampaikan adalah perintah membaca (Iqra’!), yang secara simbolik menunjukkan bahwa kebodohan adalah belenggu pertama yang harus dirobohkan.

اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَۚ‏ ١

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." (QS. Al-‘Alaq: 1)

Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, hawa nafsu adalah musuh utama dalam perjalanan menuju Allah. Nafsu tidak selalu tampak jahat, tetapi sering membelokkan niat dan melemahkan komitmen. Mahasiswa yang tampak sibuk organisasi, tetapi motivasinya hanya pencitraan, sejatinya masih diperbudak oleh nafsu riya’. Maka, pembebasan dalam Islam selalu bermula dari tazkiyah an-nafs—penyucian jiwa.

Ada tiga jalan utama dalam Islam untuk membebaskan diri dari belenggu:

  1. Ilmu – sebagai cahaya yang mengusir kebodohan
  2. Ibadah – sebagai penguat ruhani melawan hawa nafsu
  3. Komunitas shalih – sebagai ruang sosial yang menjaga arah hijrah

Dengan ilmu, mahasiswa mengenali masalah dan akar belenggu dirinya. Dengan ibadah, mahasiswa menguatkan kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya tentang "aku", tapi tentang "amanah". Dan dengan komunitas, mahasiswa tidak merasa sendiri dalam proses hijrahnya.

 


Kemerdekaan Jiwa Menurut Al-Qur’an dan Teladan Nabi

Kemerdekaan dalam Islam tidak identik dengan kebebasan mutlak (absolute freedom), tetapi lebih pada kebebasan yang bertanggung jawab (responsible freedom). Dalam kerangka ini, kemerdekaan sejati adalah ketika jiwa manusia tunduk secara sadar kepada Allah, bukan kepada nafsunya.

Al-Qur’an menyatakan:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ 

وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً 

فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Ayat ini menggambarkan bahwa seseorang bisa saja hidup di negara merdeka, namun tetap menjadi budak hawa nafsunya. Sebaliknya, Rasulullah menunjukkan bahwa meski beliau menghadapi tekanan fisik dan politik selama di Mekkah, jiwanya tetap merdeka karena hatinya penuh dengan tauhid dan keyakinan pada kebenaran.

Konsep ini disebut kemerdekaan tauhidi: bebas dari ketergantungan pada selain Allah, dan hanya bergantung kepada-Nya. Inilah inti dari kemerdekaan jiwa.


Penutup: Menuju Mahasiswa Muslim yang Merdeka Seutuhnya

Maka, hijrah merdeka bukanlah slogan kosong. Ia adalah ajakan reflektif bagi mahasiswa Muslim untuk membebaskan diri dari:

  • Belenggu dosa yang menggelapkan hati
  • Belenggu malas yang melumpuhkan potensi
  • Belenggu overthinking yang membatasi langkah
  • Belenggu gadget yang mencuri waktu dan energi
  • Belenggu insecure yang mengaburkan kepercayaan diri

Kemerdekaan sejati dimulai dari jiwa. Ia tidak bisa diberikan, tapi harus diperjuangkan. Mahasiswa Muslim tidak cukup hanya cerdas akademik, tetapi juga harus cerdas ruhani. Tidak cukup hanya aktif organisasi, tetapi juga aktif memperbaiki diri.

Di bulan kemerdekaan ini, marilah kita hijrah menuju diri yang merdeka: merdeka dari keluh, merdeka dari lalai, dan merdeka dari dunia yang fana.

Sebagaimana pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib:

“Jadilah kamu manusia merdeka, karena Allah menciptakanmu sebagai orang merdeka.”

 



Metodologi Penelitian: Landasan Filsafat Bagi Mahasiswa PAI Muhammadiyah

  Metodologi Penelitian: Landasan Filsafat untuk Menjelajahi Dunia Ilmu Dalam dunia ilmiah, metodologi penelitian bukan sekadar kumpulan...