Pendahuluan
Epistemologi dalam konteks studi
Al-Qur’an merupakan cabang filsafat ilmu yang membahas bagaimana pengetahuan
keagamaan dihasilkan dari interaksi antara manusia dan wahyu. Dalam bidang
tafsir, epistemologi berfungsi untuk menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana
cara memahami Al-Qur’an secara benar? dan apa dasar otoritas pengetahuan
tafsir itu sendiri? Mahasiswa perlu memahami bahwa tafsir bukan sekadar
hasil bacaan linguistik terhadap teks suci, melainkan produk epistemologis yang
lahir dari metode, sumber, dan otoritas tertentu.
Al-Qur’an sendiri telah
menegaskan pentingnya memahami ayat-ayatnya dengan ilmu dan kebijaksanaan.
Allah berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami
turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan agar
orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. Shad [38]: 29)
Ayat ini menjadi dasar epistemologis bahwa memahami Al-Qur’an memerlukan tadabbur -suatu proses intelektual dan spiritual untuk menyingkap makna terdalam dari firman Allah. Maka dari itu, epistemologi tafsir menuntun kita menelusuri bagaimana pengetahuan tafsir dibangun, siapa yang memiliki otoritas dalam menafsirkan, serta bagaimana perbedaan sumber-sumber penafsiran menghasilkan spektrum pemahaman dalam sejarah Islam.
1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Tafsir
Dalam sejarah keilmuan Islam,
ulama membedakan sumber pengetahuan tafsir menjadi dua kategori utama: tafsir
bil-ma’tsur (tafsir berdasarkan riwayat) dan tafsir bil-ra’yi (tafsir
berdasarkan penalaran). Namun sebelum dua kategori ini dijelaskan, kita harus
memahami tiga sumber epistemik utama dalam proses penafsiran, yakni: tafsir
Nabi, tafsir sahabat, dan tafsir mufassir klasik.
a. Tafsir Nabi saw
Nabi Muhammad saw merupakan
otoritas tertinggi dalam menafsirkan Al-Qur’an karena beliau adalah penerima
wahyu sekaligus penjelasnya. Allah menegaskan:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu
adz-dzikr (Al-Qur’an) agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka...” (QS. An-Nahl [16]: 44)
Ayat ini menunjukkan bahwa fungsi
kerasulan tidak berhenti pada penyampaian wahyu, tetapi juga meliputi
penjelasan (bayan) maknanya. Misalnya, ketika turun ayat tentang shalat
dan zakat, Al-Qur’an tidak menjelaskan tata cara detailnya, tetapi
Nabi-lah yang menafsirkan melalui sabda dan tindakan. Hadis Nabi:
“Shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
menjadi bentuk konkret tafsir
Nabi terhadap ayat-ayat perintah shalat seperti QS. Al-Baqarah [2]:43.
Contoh lain, ketika turun ayat tentang “kezaliman” dalam QS. Al-An’am
[6]:82, para sahabat kebingungan, hingga Nabi menafsirkan bahwa yang dimaksud
dengan “kezaliman” di situ adalah syirik—bukan dosa biasa. (HR. Bukhari
dan Muslim).
Melalui contoh-contoh tersebut, mahasiswa dapat memahami bahwa tafsir Nabi memiliki nilai epistemik tertinggi karena bersumber langsung dari wahyu dan dilandasi otoritas kenabian yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
b. Tafsir Sahabat
Setelah Nabi wafat, sahabat
menjadi generasi pertama yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pengetahuan
yang mereka peroleh langsung dari Rasulullah. Mereka memahami konteks turunnya
ayat (asbāb an-nuzūl), struktur bahasa Arab klasik, serta latar
sosio-historis masyarakat Arab pada masa itu.
Beberapa sahabat dikenal sebagai
ahli tafsir, seperti ‘Abdullah ibn ‘Abbās, ‘Abdullah ibn Mas‘ūd, Ubay ibn Ka‘b,
dan ‘Ali ibn Abi Thālib. Ibn ‘Abbās, misalnya, dijuluki turjumān al-Qur’ān
(penerjemah Al-Qur’an) karena keluasan ilmunya dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an.
Namun, tafsir sahabat tetap
bersifat ijtihādī, yakni hasil pemikiran berdasarkan konteks pengetahuan
mereka. Oleh karena itu, tidak semua pendapat sahabat memiliki status marfū‘
(bersumber dari Nabi). Mahasiswa perlu memahami bahwa tafsir sahabat menjadi
jembatan epistemologis antara wahyu dan akal manusia - mereka berperan sebagai
interpretator awal yang membentuk tradisi hermeneutika Islam.
Contohnya, ketika Ibn ‘Abbās menafsirkan ayat “wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri tiga quru’” (QS. Al-Baqarah [2]:228), beliau menjelaskan bahwa quru’ berarti haid, sedangkan sebagian sahabat lain memaknai quru’ sebagai suci. Perbedaan ini mencerminkan proses epistemik: teks wahyu bersifat terbuka terhadap kemungkinan makna, sedangkan tafsir adalah upaya manusia mengungkapnya.
c. Tafsir Mufassir Klasik
Memasuki abad ke-2 Hijriah,
muncul ulama tafsir klasik yang berupaya menghimpun dan menyusun metode
sistematis dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tokoh-tokoh seperti Al-Ṭabarī (w. 310
H) dalam Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān, Al-Qurṭubī, Ibn Kathīr,
dan Al-Zamakhsyarī menjadi tonggak penting dalam pembentukan epistemologi
tafsir klasik.
Tafsir mereka menunjukkan
pergeseran dari otoritas riwayat menuju kombinasi antara riwayat dan rasio.
Misalnya, Al-Ṭabarī menggunakan metode tafsir bil-ma’tsur dengan
menghimpun riwayat Nabi, sahabat, dan tabi’in, namun juga memberikan analisis
bahasa dan konteks. Sebaliknya, Al-Zamakhsyarī melalui Al-Kasysyāf
menonjolkan rasionalitas dan keindahan bahasa Arab dalam kerangka tafsir
bil-ra’yi.
Mahasiswa perlu memahami bahwa
pada periode klasik ini, tafsir tidak hanya berfungsi menjelaskan teks, tetapi
juga menjadi medium dialog antara teks dan realitas sosial. Para mufassir
memposisikan diri sebagai penafsir yang bertanggung jawab secara ilmiah,
spiritual, dan moral untuk menjaga kemurnian makna Al-Qur’an.
2. Analisis Epistemologi:
Tafsir bil-Ma’tsur vs bil-Ra’yi
Dalam kajian epistemologi tafsir,
perbedaan antara bil-ma’tsur dan bil-ra’yi mencerminkan dua
pendekatan utama terhadap sumber pengetahuan tafsir: wahyu dan rasio.
Keduanya tidak selalu bertentangan, tetapi berinteraksi dalam membentuk
spektrum epistemik Islam yang dinamis.
a. Tafsir bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur (berdasarkan
riwayat) menggunakan sumber-sumber seperti Al-Qur’an, hadis Nabi, perkataan
sahabat, dan tabi’in. Pendekatan ini menekankan pentingnya otentisitas sanad
dan keabsahan riwayat sebagai dasar pengetahuan.
Dalil yang mendukung pendekatan
ini antara lain firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا
نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang
yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl [16]: 43)
Ayat ini menjadi legitimasi
epistemologis bahwa ilmu tafsir diperoleh dari otoritas ilmiah yang sahih
melalui transmisi pengetahuan (riwāyah).
Contoh penerapan tafsir bil-ma’tsur dapat dilihat dalam penafsiran ayat:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
“Dan makanlah serta minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah
[2]:187)
Beberapa sahabat menafsirkan ayat
ini secara literal dengan membawa dua benang di waktu malam, hingga Nabi
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan benang putih dan hitam adalah
terang siang dan gelap malam. Ini menunjukkan fungsi tafsir bil-ma’tsur sebagai
pelurus makna literal dengan bimbingan riwayat sahih.
Secara epistemologis, tafsir
bil-ma’tsur berakar pada otoritas ilahi dan kenabian. Ia mengajarkan
bahwa tafsir yang benar harus berakar pada wahyu dan tidak semata-mata pada
rasio manusia. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan: tidak semua ayat
memiliki riwayat tafsir yang lengkap, dan masyarakat modern menghadapi isu-isu
baru yang tidak terjangkau oleh riwayat klasik.
b. Tafsir bil-Ra’yi
Sebaliknya, tafsir bil-ra’yi
menempatkan akal, ijtihad, dan konteks sosial sebagai instrumen epistemologis
dalam memahami Al-Qur’an. Pendekatan ini tidak menolak riwayat, tetapi
melengkapinya dengan analisis rasional dan linguistik. Dalilnya terdapat dalam
firman Allah:
“Apakah mereka tidak
mentadabburi Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya
mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisā’
[4]:82)
Ayat ini menegaskan pentingnya tadabbur—aktivitas
berpikir kritis dan reflektif terhadap teks wahyu. Para mufassir rasional
seperti Al-Rāzī dan Al-Zamakhsyarī menekankan bahwa memahami
makna Al-Qur’an harus mempertimbangkan aspek kebahasaan, logika, dan konteks
historis.
Contohnya, dalam menafsirkan
ayat:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى
يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka
sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d [13]:11)
Mufassir bil-ra’yi menafsirkan
ayat ini secara filosofis sebagai prinsip perubahan sosial dan psikologis
manusia—bahwa kemajuan dan kemunduran suatu bangsa bergantung pada moralitas
dan usaha mereka sendiri. Penafsiran ini menegaskan relevansi Al-Qur’an sepanjang
zaman.
Namun, tafsir bil-ra’yi juga
memiliki batas epistemik. Jika dilakukan tanpa landasan ilmu dan adab tafsir,
ia dapat menimbulkan penyimpangan makna (ta’wīl bāṭil). Karena itu, para
ulama menekankan syarat bagi mufassir: menguasai bahasa Arab, ushul fiqh,
asbabun nuzul, qira’at, dan ilmu kalam agar penafsiran rasional tetap dalam
koridor syar‘i.
3. Dialektika Otoritas:
Riwayat dan Rasio
Epistemologi tafsir mengajarkan
bahwa kebenaran penafsiran tidak bersifat tunggal, melainkan hasil dialog
antara dua otoritas: riwayat (wahyu dan tradisi) dan ra’yi (akal
dan konteks). Dalam praktiknya, mufassir yang ideal adalah yang mampu
menyeimbangkan keduanya.
Para ulama besar seperti Ibn
Kathīr menjadi contoh keseimbangan epistemik. Dalam Tafsīr al-Qur’ān
al-‘Aẓīm, beliau menghimpun riwayat sahih (bil-ma’tsur), namun tetap
memberikan penjelasan linguistik dan rasional (bil-ra’yi). Pendekatan seperti
ini disebut tafsir wasathiyyah (moderatif), yang menolak ekstrem literal
maupun ekstrem liberal dalam memahami teks.
Keseimbangan ini sejalan dengan
prinsip Al-Qur’an sendiri:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ
Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah [2]:143)
“Dan demikianlah Kami jadikan
kamu umat yang wasath (moderat).”
(QS. Al-Baqarah [2]:143)
Dengan demikian, epistemologi tafsir yang sehat adalah yang meneguhkan tradisi otoritatif sambil membuka ruang bagi refleksi kontekstual. Mahasiswa perlu belajar bahwa memahami Al-Qur’an bukan hanya soal mengetahui makna ayat, tetapi juga menginternalisasi pesan moral dan spiritualnya dalam kehidupan.
4. Aplikasi Filosofis dan
Kontekstual
Agar mahasiswa lebih mudah
memahami konsep ini, mari kita lihat dua contoh aplikasi tafsir secara
epistemologis:
- Ayat tentang Keadilan Sosial
أِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan...” (QS. An-Nahl [16]:90)
Secara bil-ma’tsur, ayat ini diartikan sebagai perintah moral universal.
Namun secara bil-ra’yi, mufassir modern seperti Sayyid Qutb dan Muhammad
Abduh menafsirkannya sebagai dasar etika sosial dan keadilan struktural dalam
pemerintahan. Ini menunjukkan tafsir sebagai sistem berpikir dinamis yang
menyesuaikan kebutuhan zaman.
- Ayat tentang Ilmu dan Pencarian Kebenaran
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا
تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Maka Maha Tinggi
Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al
qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya
Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan"..” (QS. Thāhā
[20]:114)
Secara bil-ma’tsur, ayat ini menunjukkan keutamaan menuntut ilmu agama.
Namun secara bil-ra’yi, ia juga mengandung dorongan filosofis untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan rasional. Dengan demikian, epistemologi tafsir
melahirkan pandangan integratif antara wahyu dan sains.
Penutup
Epistemologi tafsir merupakan
disiplin yang mengajarkan mahasiswa untuk memahami Al-Qur’an secara ilmiah,
rasional, dan spiritual. Tafsir Nabi menjadi fondasi otoritatif, tafsir sahabat
memperkaya konteks historis, dan tafsir mufassir klasik mengembangkan metode
ilmiah. Melalui analisis bil-ma’tsur dan bil-ra’yi, kita belajar
bahwa kebenaran tafsir tidak tunggal, melainkan hasil dialog antara wahyu dan
akal.
Pendekatan yang ideal adalah
menempatkan wahyu sebagai sumber utama kebenaran, namun mengaktifkan akal
sebagai instrumen pemahaman. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan mampu
membaca Al-Qur’an bukan sekadar sebagai teks suci, tetapi sebagai sumber pengetahuan
hidup yang mengarahkan manusia pada hikmah, kemanusiaan, dan keadilan.
Referensi
- Al-Qur’an al-Karim.
- Al-Ṭabarī, Jāmi‘
al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Ma‘ārif, 1992.
- Ibn Kathīr, Tafsīr
al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Beirut: Dār al-Fikr, 1998.
- Al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf
‘an Haqā’iq at-Tanzīl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002.
- Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘
li Aḥkām al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1967.
- Nasr Hamid Abu Zayd,
Mafhūm an-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Al-Markaz
ats-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1990.
- M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Al-Qur’an. Ciputat: Lentera Hati, 2013.
- Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago:
University of Chicago Press, 1982.