Selasa, 11 November 2025

Epistemologi Tafsir - Sumber dan Otoritas

 


Pendahuluan

Epistemologi dalam konteks studi Al-Qur’an merupakan cabang filsafat ilmu yang membahas bagaimana pengetahuan keagamaan dihasilkan dari interaksi antara manusia dan wahyu. Dalam bidang tafsir, epistemologi berfungsi untuk menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana cara memahami Al-Qur’an secara benar? dan apa dasar otoritas pengetahuan tafsir itu sendiri? Mahasiswa perlu memahami bahwa tafsir bukan sekadar hasil bacaan linguistik terhadap teks suci, melainkan produk epistemologis yang lahir dari metode, sumber, dan otoritas tertentu.

Al-Qur’an sendiri telah menegaskan pentingnya memahami ayat-ayatnya dengan ilmu dan kebijaksanaan. Allah berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. Shad [38]: 29)

Ayat ini menjadi dasar epistemologis bahwa memahami Al-Qur’an memerlukan tadabbur -suatu proses intelektual dan spiritual untuk menyingkap makna terdalam dari firman Allah. Maka dari itu, epistemologi tafsir menuntun kita menelusuri bagaimana pengetahuan tafsir dibangun, siapa yang memiliki otoritas dalam menafsirkan, serta bagaimana perbedaan sumber-sumber penafsiran menghasilkan spektrum pemahaman dalam sejarah Islam. 

1. Sumber-Sumber Pengetahuan Tafsir

Dalam sejarah keilmuan Islam, ulama membedakan sumber pengetahuan tafsir menjadi dua kategori utama: tafsir bil-ma’tsur (tafsir berdasarkan riwayat) dan tafsir bil-ra’yi (tafsir berdasarkan penalaran). Namun sebelum dua kategori ini dijelaskan, kita harus memahami tiga sumber epistemik utama dalam proses penafsiran, yakni: tafsir Nabi, tafsir sahabat, dan tafsir mufassir klasik.

a. Tafsir Nabi saw

Nabi Muhammad saw merupakan otoritas tertinggi dalam menafsirkan Al-Qur’an karena beliau adalah penerima wahyu sekaligus penjelasnya. Allah menegaskan:

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu adz-dzikr (Al-Qur’an) agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka...” (QS. An-Nahl [16]: 44)

Ayat ini menunjukkan bahwa fungsi kerasulan tidak berhenti pada penyampaian wahyu, tetapi juga meliputi penjelasan (bayan) maknanya. Misalnya, ketika turun ayat tentang shalat dan zakat, Al-Qur’an tidak menjelaskan tata cara detailnya, tetapi Nabi-lah yang menafsirkan melalui sabda dan tindakan. Hadis Nabi:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

menjadi bentuk konkret tafsir Nabi terhadap ayat-ayat perintah shalat seperti QS. Al-Baqarah [2]:43.
Contoh lain, ketika turun ayat tentang “kezaliman” dalam QS. Al-An’am [6]:82, para sahabat kebingungan, hingga Nabi menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “kezaliman” di situ adalah syirik—bukan dosa biasa. (HR. Bukhari dan Muslim).

Melalui contoh-contoh tersebut, mahasiswa dapat memahami bahwa tafsir Nabi memiliki nilai epistemik tertinggi karena bersumber langsung dari wahyu dan dilandasi otoritas kenabian yang ma’shum (terjaga dari kesalahan). 

b. Tafsir Sahabat

Setelah Nabi wafat, sahabat menjadi generasi pertama yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pengetahuan yang mereka peroleh langsung dari Rasulullah. Mereka memahami konteks turunnya ayat (asbāb an-nuzūl), struktur bahasa Arab klasik, serta latar sosio-historis masyarakat Arab pada masa itu.

Beberapa sahabat dikenal sebagai ahli tafsir, seperti ‘Abdullah ibn ‘Abbās, ‘Abdullah ibn Mas‘ūd, Ubay ibn Ka‘b, dan ‘Ali ibn Abi Thālib. Ibn ‘Abbās, misalnya, dijuluki turjumān al-Qur’ān (penerjemah Al-Qur’an) karena keluasan ilmunya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Namun, tafsir sahabat tetap bersifat ijtihādī, yakni hasil pemikiran berdasarkan konteks pengetahuan mereka. Oleh karena itu, tidak semua pendapat sahabat memiliki status marfū‘ (bersumber dari Nabi). Mahasiswa perlu memahami bahwa tafsir sahabat menjadi jembatan epistemologis antara wahyu dan akal manusia - mereka berperan sebagai interpretator awal yang membentuk tradisi hermeneutika Islam.

Contohnya, ketika Ibn ‘Abbās menafsirkan ayat “wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri tiga quru’” (QS. Al-Baqarah [2]:228), beliau menjelaskan bahwa quru’ berarti haid, sedangkan sebagian sahabat lain memaknai quru’ sebagai suci. Perbedaan ini mencerminkan proses epistemik: teks wahyu bersifat terbuka terhadap kemungkinan makna, sedangkan tafsir adalah upaya manusia mengungkapnya. 

c. Tafsir Mufassir Klasik

Memasuki abad ke-2 Hijriah, muncul ulama tafsir klasik yang berupaya menghimpun dan menyusun metode sistematis dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tokoh-tokoh seperti Al-Ṭabarī (w. 310 H) dalam Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān, Al-Qurṭubī, Ibn Kathīr, dan Al-Zamakhsyarī menjadi tonggak penting dalam pembentukan epistemologi tafsir klasik.

Tafsir mereka menunjukkan pergeseran dari otoritas riwayat menuju kombinasi antara riwayat dan rasio. Misalnya, Al-Ṭabarī menggunakan metode tafsir bil-ma’tsur dengan menghimpun riwayat Nabi, sahabat, dan tabi’in, namun juga memberikan analisis bahasa dan konteks. Sebaliknya, Al-Zamakhsyarī melalui Al-Kasysyāf menonjolkan rasionalitas dan keindahan bahasa Arab dalam kerangka tafsir bil-ra’yi.

Mahasiswa perlu memahami bahwa pada periode klasik ini, tafsir tidak hanya berfungsi menjelaskan teks, tetapi juga menjadi medium dialog antara teks dan realitas sosial. Para mufassir memposisikan diri sebagai penafsir yang bertanggung jawab secara ilmiah, spiritual, dan moral untuk menjaga kemurnian makna Al-Qur’an.

2. Analisis Epistemologi: Tafsir bil-Ma’tsur vs bil-Ra’yi

Dalam kajian epistemologi tafsir, perbedaan antara bil-ma’tsur dan bil-ra’yi mencerminkan dua pendekatan utama terhadap sumber pengetahuan tafsir: wahyu dan rasio. Keduanya tidak selalu bertentangan, tetapi berinteraksi dalam membentuk spektrum epistemik Islam yang dinamis.

a. Tafsir bil-Ma’tsur

Tafsir bil-ma’tsur (berdasarkan riwayat) menggunakan sumber-sumber seperti Al-Qur’an, hadis Nabi, perkataan sahabat, dan tabi’in. Pendekatan ini menekankan pentingnya otentisitas sanad dan keabsahan riwayat sebagai dasar pengetahuan.

Dalil yang mendukung pendekatan ini antara lain firman Allah:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”  (QS. An-Nahl [16]: 43)

Ayat ini menjadi legitimasi epistemologis bahwa ilmu tafsir diperoleh dari otoritas ilmiah yang sahih melalui transmisi pengetahuan (riwāyah).  Contoh penerapan tafsir bil-ma’tsur dapat dilihat dalam penafsiran ayat:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ 

“Dan makanlah serta minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]:187)

Beberapa sahabat menafsirkan ayat ini secara literal dengan membawa dua benang di waktu malam, hingga Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan benang putih dan hitam adalah terang siang dan gelap malam. Ini menunjukkan fungsi tafsir bil-ma’tsur sebagai pelurus makna literal dengan bimbingan riwayat sahih.

Secara epistemologis, tafsir bil-ma’tsur berakar pada otoritas ilahi dan kenabian. Ia mengajarkan bahwa tafsir yang benar harus berakar pada wahyu dan tidak semata-mata pada rasio manusia. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan: tidak semua ayat memiliki riwayat tafsir yang lengkap, dan masyarakat modern menghadapi isu-isu baru yang tidak terjangkau oleh riwayat klasik.

b. Tafsir bil-Ra’yi

Sebaliknya, tafsir bil-ra’yi menempatkan akal, ijtihad, dan konteks sosial sebagai instrumen epistemologis dalam memahami Al-Qur’an. Pendekatan ini tidak menolak riwayat, tetapi melengkapinya dengan analisis rasional dan linguistik. Dalilnya terdapat dalam firman Allah:

“Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisā’ [4]:82)

Ayat ini menegaskan pentingnya tadabbur—aktivitas berpikir kritis dan reflektif terhadap teks wahyu. Para mufassir rasional seperti Al-Rāzī dan Al-Zamakhsyarī menekankan bahwa memahami makna Al-Qur’an harus mempertimbangkan aspek kebahasaan, logika, dan konteks historis.

Contohnya, dalam menafsirkan ayat:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ 

“Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d [13]:11)

Mufassir bil-ra’yi menafsirkan ayat ini secara filosofis sebagai prinsip perubahan sosial dan psikologis manusia—bahwa kemajuan dan kemunduran suatu bangsa bergantung pada moralitas dan usaha mereka sendiri. Penafsiran ini menegaskan relevansi Al-Qur’an sepanjang zaman.

Namun, tafsir bil-ra’yi juga memiliki batas epistemik. Jika dilakukan tanpa landasan ilmu dan adab tafsir, ia dapat menimbulkan penyimpangan makna (ta’wīl bāṭil). Karena itu, para ulama menekankan syarat bagi mufassir: menguasai bahasa Arab, ushul fiqh, asbabun nuzul, qira’at, dan ilmu kalam agar penafsiran rasional tetap dalam koridor syar‘i.

 

3. Dialektika Otoritas: Riwayat dan Rasio

Epistemologi tafsir mengajarkan bahwa kebenaran penafsiran tidak bersifat tunggal, melainkan hasil dialog antara dua otoritas: riwayat (wahyu dan tradisi) dan ra’yi (akal dan konteks). Dalam praktiknya, mufassir yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan keduanya.

Para ulama besar seperti Ibn Kathīr menjadi contoh keseimbangan epistemik. Dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, beliau menghimpun riwayat sahih (bil-ma’tsur), namun tetap memberikan penjelasan linguistik dan rasional (bil-ra’yi). Pendekatan seperti ini disebut tafsir wasathiyyah (moderatif), yang menolak ekstrem literal maupun ekstrem liberal dalam memahami teks.

Keseimbangan ini sejalan dengan prinsip Al-Qur’an sendiri:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah [2]:143)

“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang wasath (moderat).”
(QS. Al-Baqarah [2]:143)

Dengan demikian, epistemologi tafsir yang sehat adalah yang meneguhkan tradisi otoritatif sambil membuka ruang bagi refleksi kontekstual. Mahasiswa perlu belajar bahwa memahami Al-Qur’an bukan hanya soal mengetahui makna ayat, tetapi juga menginternalisasi pesan moral dan spiritualnya dalam kehidupan. 

4. Aplikasi Filosofis dan Kontekstual

Agar mahasiswa lebih mudah memahami konsep ini, mari kita lihat dua contoh aplikasi tafsir secara epistemologis:

  1. Ayat tentang Keadilan Sosial

أِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan...” (QS. An-Nahl [16]:90)
Secara bil-ma’tsur, ayat ini diartikan sebagai perintah moral universal. Namun secara bil-ra’yi, mufassir modern seperti Sayyid Qutb dan Muhammad Abduh menafsirkannya sebagai dasar etika sosial dan keadilan struktural dalam pemerintahan. Ini menunjukkan tafsir sebagai sistem berpikir dinamis yang menyesuaikan kebutuhan zaman.

  1. Ayat tentang Ilmu dan Pencarian Kebenaran 

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan"..” (QS. Thāhā [20]:114)
Secara bil-ma’tsur, ayat ini menunjukkan keutamaan menuntut ilmu agama. Namun secara bil-ra’yi, ia juga mengandung dorongan filosofis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan rasional. Dengan demikian, epistemologi tafsir melahirkan pandangan integratif antara wahyu dan sains.

 

Penutup

Epistemologi tafsir merupakan disiplin yang mengajarkan mahasiswa untuk memahami Al-Qur’an secara ilmiah, rasional, dan spiritual. Tafsir Nabi menjadi fondasi otoritatif, tafsir sahabat memperkaya konteks historis, dan tafsir mufassir klasik mengembangkan metode ilmiah. Melalui analisis bil-ma’tsur dan bil-ra’yi, kita belajar bahwa kebenaran tafsir tidak tunggal, melainkan hasil dialog antara wahyu dan akal.

Pendekatan yang ideal adalah menempatkan wahyu sebagai sumber utama kebenaran, namun mengaktifkan akal sebagai instrumen pemahaman. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan mampu membaca Al-Qur’an bukan sekadar sebagai teks suci, tetapi sebagai sumber pengetahuan hidup yang mengarahkan manusia pada hikmah, kemanusiaan, dan keadilan.

 

Referensi

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Ma‘ārif, 1992.
  3. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Beirut: Dār al-Fikr, 1998.
  4. Al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq at-Tanzīl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002.
  5. Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1967.
  6. Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm an-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Al-Markaz ats-Tsaqāfī al-‘Arabī, 1990.
  7. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an. Ciputat: Lentera Hati, 2013.
  8. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.

 

 

Epistemologi Tafsir - Sumber dan Otoritas

  Pendahuluan Epistemologi dalam konteks studi Al-Qur’an merupakan cabang filsafat ilmu yang membahas bagaimana pengetahuan keagamaan diha...