Rabu, 15 Oktober 2025

Asbāb an-Nuzūl dan Proses Turunnya Wahyu

 

A. Pendahuluan

Setiap wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad saw tidak datang begitu saja tanpa makna, melainkan hadir sebagai jawaban terhadap kebutuhan manusia dan dinamika sosial. Al-Qur’an bukan teks statis, melainkan firman Allah yang hidup dan berdialog dengan realitas. Dalam konteks inilah, kita mengenal konsep Asbāb an-Nuzūl - sebab-sebab turunnya ayat - yang menjadi kunci penting dalam memahami makna dan konteks Al-Qur’an.

Al-Qur’an menegaskan bahwa wahyu diturunkan secara bertahap, sesuai kebutuhan dan situasi umat pada masa itu:

“Dan Al-Qur’an itu Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isrā’: 106)

Ayat ini menunjukkan bahwa proses turunnya wahyu bersifat gradual (tadarruj), bukan sekaligus, dan memiliki konteks sosial-spiritual yang mendalam. Proses ini bukan hanya menyampaikan hukum, tetapi juga mendidik kesadaran manusia tentang Tuhan, moralitas, dan kemanusiaan.

 

B. Pengertian Asbāb an-Nuzūl

Secara etimologis, asbāb berarti “sebab” atau “latar belakang”, sedangkan nuzūl berarti “turun”. Jadi, asbāb an-nuzūl berarti sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Secara terminologis, ulama seperti al-Wāhidī dalam Asbāb an-Nuzūl mendefinisikan: "Tidak mungkin memahami tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya."
(Al-Wāhidī, Asbāb an-Nuzūl, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991).

Maknanya, pemahaman Al-Qur’an akan lebih utuh bila diketahui konteks sosial, peristiwa, atau pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya ayat. Contoh klasiknya adalah turunnya QS. Al-Mujādalah ayat 1:

قَدۡ سَمِعَ اللّٰهُ قَوۡلَ الَّتِىۡ تُجَادِلُكَ فِىۡ زَوۡجِهَا وَ تَشۡتَكِىۡۤ اِلَى اللّٰهِ ۖ وَاللّٰهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ؕ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيۡعٌ ۢ بَصِيۡرٌ‏ ١

Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.(QS. Al-Mujādalah: 1)

 

Al-Hakim meriwayatkan hadis dan mensahihkannya dari Aisyah, ia berkata, “Mahatinggi Dzat yang pendengarannya-Nya mencakup segala sesuatu. Sesungguhnya aku mendengar ucapan Khaulah binti Tsa’labah dan perkataan itu tidak diketahui oleh sebagian orang. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah saw dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, suamiku telah memakan masa mudaku dan aku menyayangi anaknya sampai ketika aku sudah tua dan sudah tidak bisa lagi memiliki anak, ia pun menziharku. Ya Allah, sungguh aku mengadukan hal ini kepada-Mu.” Khaulah binti Tsa’labah terus menerus mengatakan demikian hingga Jibril turun dengan membawa ayat-ayat berikut, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya.” Suaminya adalah Aus bin Shamit.”

 

Ayat ini turun ketika Khaulah binti Tsa‘labah datang mengadu kepada Rasulullah saw tentang suaminya yang menziharnya (menyerupakannya dengan ibunya). Dari sini tampak bahwa ayat turun sebagai respons terhadap persoalan nyata masyarakat.

 

C. Pentingnya Memahami Asbāb an-Nuzūl

  1. Menjelaskan konteks hukum dan makna ayat.

Banyak ayat hukum dalam Al-Qur’an turun karena peristiwa tertentu. Misalnya, ayat tentang khamr (QS. Al-Māidah: 90–91) turun secara bertahap agar masyarakat tidak kaget meninggalkan kebiasaan lama.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَـٰمُ رِجْسٌۭ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَـٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ٩٠

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَـٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ

Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?

 

Asbabun Nuzul ayat 90–91

Ibnu ‘Abbâs ra. menuturkan, bahwa kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang menimpa dua suku (kabilah) kaum Anshar yang hidup damai. Namun, jika mereka dalam keadaan mabuk karena minuman keras, mereka saling mengganggu dan berkelahi. Ini membuat dendam kesumat antara mereka. (Hadis sahih, riwayat Nasâ’î dan Baihaqî).

 

  1. Menghindari kesalahan tafsir.

Tanpa memahami sebab turunnya, seseorang bisa salah memahami maksud ayat. Misalnya, QS. Al-Baqarah: 115 (“Milik Allah timur dan barat…”) bisa disalahpahami mendukung relativisme agama, padahal turun menjelaskan arah kiblat sementara bagi umat Islam di Madinah.

وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌۭ ١١٥

Dan milik Allah timur dan barat. Ke manapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.

 

Asbabun Nuzul ayat 115

Ibnu ‘Umar ra. berkata, “Saat dalam perjalanan dari Makkah menuju Madinah, Rasul saw. shalat sunnah di atas untanya ke mana pun arah unta itu, meskipun tidak menghadap kiblat. Lalu, turunlah ayat ini.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).

 

  1. Menumbuhkan kedekatan emosional dengan Al-Qur’an.
  2. Mahasiswa akan lebih mudah “merasakan” pesan wahyu jika memahami bahwa ayat-ayat itu turun untuk menjawab problem kemanusiaan konkret, bukan sekadar perintah normatif.

 

D. Proses Turunnya Wahyu

1. Wahyu Sebagai Komunikasi Ilahi

Dalam filsafat Islam, wahyu (al-way) adalah komunikasi transenden antara Tuhan dan manusia pilihan-Nya. Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحۡيًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآىٴِ حِجَابٍ اَوۡ يُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَيُوۡحِىَ بِاِذۡنِهٖ مَا يَشَآءُؕ اِنَّهٗ عَلِىٌّ حَكِيۡمٌ‏ ٥١

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahatinggi, Mahabijaksana (QS. Asy-Syūrā: 51)

 

Ayat ini menjelaskan tiga bentuk komunikasi wahyu:

a)   Isyarat langsung dalam hati (ilham).

b)  Melalui suara dari balik tabir (seperti pada Nabi Musa).

c)   Melalui malaikat Jibril.

Bentuk ketiga inilah yang paling sering terjadi pada Nabi Muhammad saw.

 

2. Tahapan Turunnya Wahyu

Proses trunnya wahyu berlangsung dalam tiga lapisan besar:

a.   Dari Lau al-Ma ke langit dunia.

Allah menurunkan Al-Qur’an secara keseluruhan ke langit dunia (bayt al-‘izzah) pada malam Lailatul Qadr:

Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr).” (QS. Al-Qadr: 1)

b.  Dari langit dunia ke bumi secara bertahap.

Selama ±23 tahun, wahyu turun sesuai kebutuhan dakwah Nabi:

13 tahun di Makkah (ayat-ayat makkiyyah): fokus pada tauhid, iman, dan akhlak.

10 tahun di Madinah (ayat-ayat madaniyyah): fokus pada hukum, sosial, dan pemerintahan.

c.   Melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad .

Proses ini kadang disertai getaran spiritual yang sangat kuat. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:

“Sesungguhnya wahyu yang paling berat bagi Rasulullah adalah ketika turun dalam keadaan sangat dingin, keringat beliau menetes deras.” (HR. Bukhari, no. 2)

Kondisi ini menunjukkan intensitas pengalaman transendental, bukan sekadar komunikasi biasa, melainkan perjumpaan ruhaniah yang mengguncang kesadaran manusia.

 

E. Filosofi Turunnya Wahyu Secara Bertahap

Pertanyaannya, mengapa wahyu tidak diturunkan sekaligus seperti kitab sebelumnya?
Allah menjawab langsung dalam QS. Al-Furqān: 32:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).”

Ayat ini mengandung tiga hikmah besar:

  • Meneguhkan hati Nabi dan para sahabat.: Setiap kali mereka menghadapi ujian, wahyu turun sebagai penguat iman. Contohnya, ketika perang Uhud, turun QS. Āli ‘Imrān: 139 (“Janganlah kamu bersedih dan jangan (pula) kamu berduka cita...”
  • Mendidik umat secara bertahap: Manusia tidak bisa langsung menerima seluruh hukum sekaligus. Dengan cara bertahap, wahyu melatih kesadaran moral dan spiritual.
  • Mengokohkan interaksi antara wahyu dan realitas: Al-Qur’an menjadi kitab yang “hidup” karena berdialog dengan peristiwa-peristiwa nyata.

F. Contoh-Contoh Asbāb an-Nuzūl dalam Kehidupan Sosial

  1. Ayat tentang hijab (QS. Al-Ahzāb: 59).

Turun setelah beberapa perempuan Muslimah diganggu oleh kaum munafik di Madinah. Maka Allah menurunkan perintah untuk berpakaian sopan agar mereka dikenal dan dihormati. Pesan moralnya: hijab bukan sekadar simbol, melainkan proteksi kehormatan dan identitas sosial.

 

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا ٥٩

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.


Asbabun Nuzul ayat

‘Aisyah ra. memaparkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat hijab. Suatu saat, Saudah ra., salah satu istri Rasulullah saw., keluar rumah untuk suatu urusan. ‘Umar bin Khaththâb ra. melihat Saudah ra. dan bertanya, “Mengapa kau keluar rumah?” Saudah ra. bergegas pulang. Ia menemui Rasul saw dan berkata, “Rasulullah, aku keluar rumah untuk suatu urusan. Namun, ‘Umar menegurku.” Atas hal itu, turunlah ayat ini. Lalu, Rasul saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kamu keluar rumah untuk suatu urusan.” (HR. Bukhârî).

 

  1. Ayat tentang larangan riba (QS. Al-Baqarah: 278–279).

Turun setelah umat Islam masih mempraktikkan riba pada masa transisi ekonomi Madinah. Pesan filosofisnya: keadilan ekonomi tidak boleh didasarkan pada eksploitasi.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ٢٧٨

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.

 

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ ٢٧٩

Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).

 

Asbabun Nuzul ayat 278–279

Ibnu ‘Abbâs ra. berkata, “Suatu saat, Bani Mughîrah mengadu pada Gubernur Makkah, ‘Atâb bin Usaid ra., bahwa mereka mengutangkan harta pada Bani Amr bin ‘Auf dari penduduk Tsaqif. Lalu, Bani Amr bin ‘Auf meminta penyelesaian tagihan riba mereka. Atas konflik ini, ‘Atâb mengirim surat laporan kepada Rasulullah saw. Sebagai jawaban, maka turunlah kedua ayat ini.” (HR. Abû Ya’lâ dan Ibnu Mandah. Lihat Ibnu Katsir: 1/442–443).

 

  1. Ayat tentang larangan mengolok-olok (QS. Al-Hujurāt: 11).

Turun karena sebagian sahabat mengejek orang lain dengan panggilan masa lalunya. Pesan sosialnya: Islam menegakkan martabat manusia melalui adab sosial yang mulia.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌۭ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًۭا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌۭ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًۭا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَـٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَـٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ١١

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

 

Empat penulis kitab-kitab Sunan meriwayatkan dari Abu Jubairah bin Dhahhak, ia berkata, “Dulu seseorang di antara kami ada yang memiliki dua dan tiga nama lalu ia dipanggil dengan salah satu namanya agar tidak menyukainya sehingga turunlah ayat, “dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” At-Tirmidzi berkata, “Hasan.”

Al-Hakim dan lainnya meriwayatkan hadisnya juga. Ia berkata, “Dulu pada masa jahiliyah, julukan-julukan sudah biasa sehingga Nabi saw pernah memanggil seorang lelaki dengan julukannya. Lantas seseorang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia tidak menyukai gelar itu.” Allah pun menurunkan firman-Nya, “dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”

Redaksi Ahmad darinya, ia berkata, “Ayat berikut turun kepada kami di kalangan Bani Salamah, “dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” Bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan saat itu orang-orang di antara kami memiliki dua atau tiga julukan. Jika beliau memanggil salah seorang dari mereka dengan satu julukannya maka orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia tidak menyukai gelar itu.” Lantas turunlah ayat tersebut.”

 

G. Dimensi Spiritualitas Wahyu

Turunnya wahyu tidak hanya mengandung informasi, tetapi juga transformasi batin. Nabi Muhammad saw mengalami proses tazkiyah (penyucian jiwa) melalui wahyu, sehingga menjadi model spiritual bagi umat.

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,(QS. Al-Isrā’: 9)

Dalam konteks ini, wahyu berfungsi sebagai cermin jiwa, bukan hanya bacaan ritual. Ketika mahasiswa membaca Al-Qur’an dengan kesadaran asbāb an-nuzūl, mereka belajar bahwa setiap ayat berbicara kepada manusia di zamannya masing-masing.

 H. Kesimpulan

  1. Asbāb an-Nuzūl membantu memahami konteks turunnya ayat dan mencegah kesalahan tafsir.
  2. Proses turunnya wahyu berlangsung bertahap sebagai pendidikan spiritual dan moral umat.
  3. Wahyu bersifat dialogis — ia berdialog dengan realitas dan menumbuhkan kesadaran etis manusia.
  4. Mahasiswa perlu mendekati Al-Qur’an bukan hanya sebagai teks hukum, tetapi juga sebagai pengalaman spiritual dan reflektif yang menuntun perilaku sosial dan moral.

I. Referensi

  1. Al-Wāhidī, Abū al-asan. Asbāb an-Nuzūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991.
  2. Al-Suyūī, Jalāluddīn. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Kairo: Dār al-adīth, 2008.
  3. Al-Zarqānī, Muammad ‘Abdul ‘Aīm. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1988.
  4. Nasr, Seyyed Hossein. The Study Quran: A New Translation and Commentary. HarperOne, 2015.
  5. M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
  6. Fazlur Rahman. Major Themes of the Qur’an. Chicago: University of Chicago Press, 2009.

 

 

Asbāb an-Nuzūl dan Proses Turunnya Wahyu

  A. Pendahuluan Setiap wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad saw tidak datang begitu saja tanpa makna, melainkan hadir sebagai jawaban ...