Jumat, 11 April 2025

SYAWAL DAN REKONSILIASI SOSIAL: MENJAGA SILATURAHMI

 

Pendahuluan

Bulan Syawal merupakan momentum penting dalam kehidupan umat Islam, terutama setelah sebulan penuh menjalani ibadah Ramadan yang sarat dengan pendidikan spiritual, kesabaran, dan kepekaan sosial. Salah satu hikmah besar dari Syawal adalah munculnya semangat baru untuk memperbaiki dan mempererat hubungan antarsesama, baik dalam lingkup keluarga, tetangga, maupun masyarakat luas. Dalam konteks inilah, penting untuk menjadikan Syawal sebagai sarana rekonsiliasi sosial—mengakhiri konflik, menjembatani kesalahpahaman, dan mempererat silaturahmi yang mungkin sempat terputus.

Dalam tradisi masyarakat Indonesia, Syawal identik dengan kegiatan halal bi halal, yaitu sebuah budaya khas yang sarat nilai Islam dalam rangka mempererat ukhuwah dan memperbaiki hubungan sosial. Halal bi halal bukan sekadar ajang temu kangen atau saling memaafkan secara simbolik, tetapi merupakan proses sosial dan spiritual yang mengandung makna mendalam tentang pentingnya menjaga keharmonisan dan memperkuat jaringan sosial berbasis nilai keimanan.

Makna Silaturahmi dalam Islam

Silaturahmi berasal dari kata shilah yang berarti "menghubungkan", dan rahim yang berarti "kasih sayang" atau "rahim keluarga". Secara istilah, silaturahmi bermakna menjalin dan menjaga hubungan baik antaranggota keluarga, masyarakat, dan umat manusia pada umumnya. Islam sangat menekankan pentingnya silaturahmi sebagai salah satu bentuk ibadah yang memiliki keutamaan besar.

Rasulullah saw. bersabda:

حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ يَعْنِي ابْنَ خَالِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ الْمَكِّيِّ الْمُقْرِئُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُعَظِّمَ اللَّهُ رِزْقَهُ وَأَنْ يَمُدَّ فِي أَجَلِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Muslim yaitu Ibnu Kholid dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Husain Al-Makki, Al-Muqri' dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi saw berkata: "Barangsiapa berkehendak agar Allah meluaskan rizkinya dan memanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi." (Kitab Ahmad Hadist No – 12128)  

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي مُزَرِّدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّحِمُ مَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللَّهُ

Telah menceritakan kepada kami waki' Telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah bin abu Muzawwid dari Yazid bin Ruman dari Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Barangsiapa yang menyambung silaturahmi, Allah menyambungnya dan barang siapa yang memutus tali shilaturahim, Allah memutusnya." (Kitab Ahmad Hadist No – 23200)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْزَمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا إِنَّهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنْ الرِّفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَصِلَةُ الرَّحِمِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ وَيَزِيدَانِ فِي الْأَعْمَارِ

Telah menceritakan kepada kami Abdush Shamad bin Abdil Warits telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihzam dari Abdurrahman bin Al Qasim telah menceritakan kepada kami Al Qasim dari Aisyah bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepadanya: "Orang yang diberi bagian dari sifat lemah lembut, maka dia telah diberi bagian dari dunia dan akhirat yang paling baik. Sedang Silaturahmi, berakhlak dan bertetangga dengan baik, keduanya memakmurkan (surga) dan keduanya akan menambah kemakmuran." (Kitab Ahmad Hadist No – 24098)

Hadis ini menegaskan bahwa silaturahmi tidak hanya berdampak pada hubungan sosial, tetapi juga berpengaruh pada keberkahan rezeki dan kesehatan kehidupan. Dalam perspektif sosiologis, silaturahmi memperkuat modal sosial (social capital) yang menjadi fondasi penting dalam menciptakan masyarakat yang solid dan damai.

Syawal sebagai Momentum Rekonsiliasi Sosial

Rekonsiliasi sosial adalah proses memperbaiki hubungan yang rusak akibat konflik, kesalahpahaman, atau prasangka di antara individu maupun kelompok. Syawal menjadi saat yang tepat untuk merealisasikan semangat rekonsiliasi tersebut karena umat Islam baru saja melewati fase spiritual di bulan Ramadan yang mengajarkan kesabaran, empati, dan kasih sayang.

Rekonsiliasi sosial pasca-Ramadan bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti saling meminta maaf, mengunjungi kerabat yang telah lama tidak ditemui, serta membuka pintu komunikasi yang selama ini tertutup karena ego dan kesombongan. Kegiatan halal bi halal secara kultural telah menjadi ruang strategis dalam mewujudkan hal ini. Dalam acara halal bi halal, orang-orang berkumpul untuk saling menyapa, bermaafan, dan memperkuat ikatan kekeluargaan serta persaudaraan.

Menghindari Permusuhan dan Memelihara Ukhuwah

Permusuhan adalah penyakit sosial yang bisa merusak tatanan kehidupan masyarakat. Islam sangat melarang permusuhan dan menganjurkan umatnya untuk segera menyelesaikan konflik. Allah Swt. berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat: 10).

Ayat ini menjadi dasar kuat dalam membangun ukhuwah Islamiyah, yakni persaudaraan sesama umat Islam yang berdasarkan pada keimanan dan nilai-nilai kebaikan. Ukhuwah bukan sekadar hubungan emosional, tetapi komitmen sosial untuk saling membantu, saling menghargai, dan menjauhkan diri dari konflik yang merusak.

Dalam konteks kehidupan keluarga, ukhuwah yang kuat akan memperkuat ketahanan keluarga. Permusuhan dalam keluarga, seperti pertengkaran antarsaudara, warisan yang tidak selesai, atau prasangka yang tidak diklarifikasi, harus diselesaikan melalui komunikasi yang baik dan niat untuk saling memaafkan. Di sinilah nilai Syawal hadir sebagai pemantik semangat untuk memperbaiki hubungan.

Halal Bi Halal: Tradisi Lokal yang Sarat Nilai Islam

Halal bi halal kini berkembang luas dan dilaksanakan dalam berbagai konteks, mulai dari keluarga, instansi pemerintah, lembaga pendidikan, hingga organisasi sosial. Kegiatan ini menjadi sarana rekonsiliasi, penguatan ukhuwah, serta penciptaan suasana damai dan harmonis dalam masyarakat.

Nilai-nilai yang terkandung dalam halal bi halal antara lain:

  1. Ikhlas dan kejujuran dalam meminta dan memberi maaf.
  2. Kesediaan untuk memperbaiki kesalahan dan memperbaiki hubungan.
  3. Mengakui kekhilafan sebagai manusia biasa.
  4. Menumbuhkan empati dan kasih sayang.

Membangun Ketahanan Sosial Melalui Silaturahmi

Silaturahmi tidak hanya mempererat hubungan personal, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan sosial masyarakat. Dalam masyarakat yang saling terhubung melalui silaturahmi, potensi konflik dapat diminimalisir, dan kerja sama dalam membangun lingkungan yang sehat dan produktif menjadi lebih mudah dilakukan.

Ketika individu dan keluarga saling terhubung dengan baik, maka terbentuklah jaringan sosial yang kuat. Jaringan inilah yang kemudian menjadi modal dalam menyelesaikan persoalan bersama, seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, hingga krisis moral. Silaturahmi menciptakan rasa memiliki (sense of belonging), yang pada akhirnya memperkuat semangat gotong royong dan solidaritas sosial.

Peran Keluarga dalam Menanamkan Nilai Silaturahmi

Keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam pendidikan nilai-nilai Islam, termasuk silaturahmi. Orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan kesadaran untuk menjaga hubungan baik dengan kerabat, tetangga, dan sesama umat manusia. Anak-anak harus diajarkan sejak dini pentingnya sopan santun, memaafkan, dan menjalin hubungan harmonis dengan orang lain.

Melalui momen Syawal, orang tua bisa memberi teladan dengan mengajak anak mengunjungi kakek-nenek, paman-bibi, dan sahabat lama. Aktivitas ini bukan hanya mempererat hubungan, tetapi juga memperkuat identitas sosial dan kebanggaan terhadap nilai-nilai Islam yang penuh kasih sayang.

Strategi Dakwah dalam Menguatkan Rekonsiliasi Sosial

Para dai, penyuluh, dan tokoh masyarakat memiliki peran strategis dalam menyebarkan pesan damai dan rekonsiliasi sosial. Berikut beberapa strategi dakwah yang bisa dilakukan:

  1. Mengangkat tema ukhuwah dan silaturahmi dalam ceramah dan khutbah.
  2. Mendorong masyarakat untuk mengadakan halal bi halal dengan makna yang mendalam, bukan sekadar seremoni.
  3. Membentuk forum komunikasi lintas keluarga atau RT/RW untuk menguatkan solidaritas warga.
  4. Memberikan contoh pribadi dalam menyambung silaturahmi dengan semua kalangan.
  5. Menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan damai dan kisah inspiratif silaturahmi.

Penutup: Menghidupkan Semangat Syawal Sepanjang Tahun

Syawal bukan hanya tentang perayaan Idulfitri dan berbagai tradisi sosial, tetapi lebih dari itu, ia adalah perwujudan dari semangat memperbaiki hubungan manusia setelah ditempa dalam madrasah Ramadan. Menjaga silaturahmi dan menguatkan ukhuwah adalah bagian dari komitmen keimanan yang harus dihidupkan sepanjang tahun, bukan hanya di bulan Syawal.

Dengan menjadikan silaturahmi sebagai gaya hidup dan rekonsiliasi sosial sebagai kebiasaan, maka masyarakat akan tumbuh menjadi komunitas yang kuat, damai, dan saling mendukung. Inilah cita-cita Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang menebar rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Hadis Shahih Bukhari dan Muslim.
  • Natsir, Mohammad. Ukhuwah Islamiyah. Jakarta: Media Dakwah, 1991.
  • Madjid, Nurcholish. Kehidupan Keagamaan dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Paramadina, 1992.
  • Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2007.
  • Wahid, Abdurrahman. Pribumisasi Islam. Yogyakarta: LKiS, 2001.
  • Zuhairi Misrawi. Fiqih Toleransi: Membumikan Islam Rahmatan Lil Alamin. Jakarta: Kompas, 2012.

 


Rabu, 09 April 2025

Puasa Syawal: Spirit Kesalehan yang Berkelanjutan

 


download: https://www.academia.edu/128730442/Puasa_Syawal_Spirit_Kesalehan_yang_Berkelanjutan

Pendahuluan

Puasa Syawal merupakan salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam, khususnya setelah umat Muslim menyelesaikan ibadah puasa Ramadan. Momentum Syawal menjadi kelanjutan spiritual dari bulan Ramadan, di mana nilai-nilai kesalehan pribadi dan sosial yang dibangun selama sebulan penuh tidak seharusnya berhenti seiring berakhirnya Ramadan. Sebaliknya, bulan Syawal menjadi ajang pembuktian konsistensi ketakwaan dan bentuk nyata dari keberlanjutan spiritual yang mencerminkan kesungguhan dalam menempuh jalan Allah.

Dalam konteks ini, puasa enam hari di bulan Syawal menjadi sarana yang sangat strategis untuk merawat semangat ibadah yang telah terbentuk selama Ramadan. Ibadah ini tidak hanya mengandung dimensi individual dalam peningkatan spiritual, tetapi juga menjadi refleksi dari kesungguhan seseorang dalam menjaga hubungan vertikal dengan Allah dan memperkuat komitmen dalam menjalani kehidupan yang diridhai-Nya. Hal ini sejalan dengan misi dakwah Islam yang menginginkan umatnya menjadi pribadi yang selalu berada dalam orbit kebaikan secara kontinyu, bukan musiman.

Melalui bimbingan ini, masyarakat diajak untuk memahami keutamaan puasa Syawal, khususnya yang bersumber dari hadis Nabi saw, serta mendorong mereka untuk meniatkan dan merencanakan pelaksanaan puasa ini secara sadar, tulus, dan konsisten. Penyuluhan ini juga dimaksudkan untuk membangun kesadaran kolektif bahwa ibadah bukanlah kegiatan seremonial, tetapi merupakan proses transformasi diri menuju insan yang muttaqin.

Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal: Perspektif Hadis Shahih

Salah satu dasar paling kuat yang menunjukkan keutamaan puasa enam hari di bulan Syawal adalah hadis Nabi Muhammad saw:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Sa'd bin Sa'id dari Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa berpuasa ramadlan kemudian mengikutinya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka itu senilai puasa satu tahun. " (Kitab Ibnumajah Hadist No – 1706)

Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang melaksanakan puasa Ramadan dengan sempurna, lalu melanjutkannya dengan enam hari puasa di bulan Syawal, akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa setahun penuh. Ulama memberikan penjelasan bahwa hal ini didasarkan pada prinsip pahala dalam Islam, yaitu satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Puasa Ramadan selama 30 hari setara dengan 300 hari, ditambah puasa enam hari di Syawal (6 x 10 = 60), maka totalnya 360 hari, yang secara simbolis sama dengan jumlah hari dalam setahun.

Pahala puasa setahun ini merupakan karunia Allah yang menunjukkan kasih sayang-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Para ulama sepakat bahwa meskipun puasa ini hukumnya sunnah, namun memiliki nilai keutamaan yang sangat besar dalam pembentukan karakter spiritual seorang Muslim.

Lebih dari sekadar jumlah pahala, makna terdalam dari puasa Syawal adalah kelanjutan dari proses tarbiyah ruhiyah (pembinaan spiritual) yang telah ditempa selama Ramadan. Ramadan adalah madrasah ruhiyah, dan Syawal adalah medan implementasi dari hasil pendidikan tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang melanjutkan dengan puasa Syawal berarti menunjukkan kemantapan niat dalam menjaga kestabilan iman dan konsistensi amal.

Spirit Kesalehan yang Berkelanjutan

Ramadan bukan hanya bulan peningkatan ibadah ritual, tetapi juga merupakan ajang pembentukan kepribadian Muslim yang ideal: sabar, ikhlas, dermawan, dan bertakwa. Namun, tantangan sesungguhnya adalah bagaimana agar nilai-nilai tersebut tetap hidup dan berdaya guna setelah Ramadan berakhir. Dalam hal ini, puasa Syawal menjadi instrumen yang sangat strategis dalam menjaga kesinambungan kesalehan.

Kesalehan yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk ibadah individual seperti salat dan puasa, tetapi juga mencakup dimensi sosial, seperti kejujuran, tanggung jawab, serta sikap empati terhadap sesama. Kesalehan spiritual yang bertahan harus diwujudkan dalam praktik hidup sehari-hari, baik dalam rumah tangga, pekerjaan, maupun interaksi sosial. Spirit Ramadan yang dilanjutkan melalui puasa Syawal berperan penting dalam membentuk pribadi Muslim yang senantiasa menjadikan Allah sebagai pusat orientasi hidup.

Keberhasilan seorang hamba dalam ibadah bukan terletak pada banyaknya amal, tetapi pada konsistensi dan kontinuitasnya (al-istiqamah). Dalam konteks ini, puasa Syawal menunjukkan sikap istiqamah dalam beribadah, yaitu melanjutkan kebiasaan baik yang telah dimulai sejak Ramadan. Ibarat seorang pelari maraton, Ramadan adalah lintasan pelatihan intensif, dan Syawal adalah tahap awal pembuktian hasil latihan tersebut dalam kehidupan nyata.

Karena itu, puasa Syawal tidak hanya sekadar memenuhi anjuran Rasulullah saw, tetapi juga merupakan bentuk penguatan terhadap komitmen pribadi dalam menjaga stabilitas iman. Ia menjadi indikator bahwa ibadah kita selama Ramadan benar-benar berbekas, bukan hanya rutinitas musiman yang habis ditelan waktu. Dalam perspektif tarbiyah Islam, puasa Syawal berfungsi sebagai muraja‘ah atau penguatan atas hasil tarbiyah Ramadan, sehingga kesalehan yang terbentuk tidak luntur oleh waktu dan situasi.

Mengajak Umat untuk Berniat dan Merencanakan Puasa Syawal

Salah satu tantangan dalam pelaksanaan puasa Syawal adalah kurangnya kesadaran umat dalam meniatkan dan merencanakan ibadah ini. Banyak yang belum memahami urgensinya, sehingga terlewatkan begitu saja. Padahal, seperti disebut dalam hadis shahih, pahala dan keutamaannya sangat besar. Oleh karena itu, penyuluhan agama Islam perlu menekankan pentingnya niat yang tulus dan perencanaan yang matang dalam menjalankan puasa Syawal.

Dalam konteks ini, pendekatan edukatif menjadi sangat penting. Penyuluh agama dapat menyampaikan materi tentang puasa Syawal secara komunikatif, dengan menyertakan dalil, kisah inspiratif, dan ajakan moral. Materi penyuluhan hendaknya tidak bersifat dogmatis semata, tetapi memberikan motivasi rasional dan emosional agar masyarakat dapat menerima dan menjalankannya dengan kesadaran penuh. Penekanan bahwa puasa ini dapat dilakukan tidak harus berurutan dan masih bisa dilaksanakan sepanjang bulan Syawal adalah informasi yang perlu diperluas, agar umat tidak merasa berat atau tertinggal.

Dari sisi niat, penting bagi umat untuk memahami bahwa niat merupakan ruh ibadah. Sebagaimana sabda Nabi saw, “Innamal a‘mālu binniyāt” – semua amal tergantung niatnya. Oleh karena itu, niat untuk berpuasa Syawal hendaknya dilakukan secara ikhlas karena Allah semata, bukan karena tekanan sosial atau motivasi duniawi. Pelaksanaan puasa Syawal, dapat memilih hari Senin dan Kamis, atau melakukannya secara bertahap selama bulan Syawal agar tidak memberatkan.

Perencanaan puasa juga dapat menjadi momentum untuk menanamkan disiplin dan tanggung jawab spiritual dalam keluarga. Para orang tua sebaiknya mendorong anak-anak remajanya untuk ikut berpuasa Syawal, sebagai kelanjutan pendidikan karakter sejak dini. Dalam hal ini, rumah tangga menjadi madrasah pertama yang menanamkan kesalehan berkelanjutan, termasuk dalam hal ibadah sunnah seperti puasa.

Kesimpulan

Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan bentuk kesinambungan spiritual dari ibadah Ramadan. Ibadah sunnah ini memiliki nilai keutamaan yang sangat besar sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad saw, yakni mendapatkan pahala seperti puasa selama setahun penuh. Lebih dari sekadar pahala, puasa Syawal adalah bentuk nyata dari upaya seorang Muslim untuk menjaga kesalehan secara berkelanjutan, menjadikan Ramadan sebagai titik awal pembaruan spiritual yang terus berlangsung.

 

Metode Dakwah

 

A.      Metode Dakwah dalam QS. An-Nahl: 125: Sebuah Pendekatan Integral dalam Misi Kenabian

Dakwah merupakan tugas kenabian yang sangat mulia dan memerlukan pendekatan yang bijaksana, fleksibel, dan sesuai dengan karakteristik objek dakwah. Dalam konteks ini, QS. An-Nahl: 125 menjadi salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur’an yang menetapkan tiga pendekatan utama dalam berdakwah: hikmah (kebijaksanaan), mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujādalah (perdebatan) dengan cara yang terbaik. Ayat ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memberikan panduan praktis yang dapat diterapkan oleh setiap dai, penyuluh agama, maupun pendidik Islam dalam menyampaikan risalah kebenaran kepada umat manusia.

Allah SWT berfirman:

اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah Islam pada masa awal, sebelum diizinkan adanya konfrontasi fisik terhadap penentang dakwah. Ia menjadi rujukan permanen yang menekankan bahwa dakwah harus senantiasa dibingkai dalam nilai-nilai dialogis, argumentatif, dan penuh kebijaksanaan. 

Hikmah: Pendekatan Dakwah yang Tepat Sasaran dan Penuh Kebijaksanaan

Kata hikmah dalam bahasa Arab mengandung makna mendalam yang mencakup kecermatan dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya, ketepatan strategi, serta kedalaman ilmu dan pengalaman. Dalam tafsir Jalalain, hikmah diartikan sebagai ajakan melalui Al-Qur’an, yakni dengan hujjah-hujjah rasional dan tekstual yang kuat. Sementara Quraish Shihab memperluas maknanya sebagai pendekatan rasional yang diperuntukkan bagi kaum intelektual dan mereka yang memiliki daya pikir kritis. Dakwah dengan hikmah mensyaratkan pemahaman mendalam terhadap kondisi sosial dan psikologis mad‘u, serta kesiapan ilmu dan akhlak dari pihak pendakwah.

Hikmah juga mencakup kemampuan memilih waktu, tempat, dan gaya komunikasi yang sesuai. Hikmah adalah "ilmu yang bermanfaat dan amal yang sesuai," artinya metode ini menggabungkan antara pemahaman dan implementasi. Dalam konteks modern, hikmah menjadi dasar utama bagi dakwah yang berbasis data, analisis konteks, dan pemahaman lintas budaya. Dakwah dengan hikmah adalah dakwah yang cerdas, empatik, dan bertujuan untuk menyadarkan bukan sekadar membenarkan.

 

Mau‘izhah Hasanah: Dakwah Melalui Nasihat yang Lembut dan Menyentuh Hati

Pendekatan kedua adalah mau‘izhah hasanah, yang secara harfiah berarti nasihat atau peringatan yang baik. Nasihat yang dimaksud bukan semata-mata petuah moral, tetapi menyampaikan pesan kebenaran dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dan menggunakan kata-kata yang mudah dicerna dan menyentuh hati. Dalam tafsir Quraish Shihab, pendekatan ini diperuntukkan bagi kalangan awam atau masyarakat umum yang cenderung menerima kebenaran melalui pesan emosional dan sentuhan hati, bukan perdebatan logika yang kompleks.

Dalam dimensi praktis, mau‘izhah hasanah dapat dilakukan melalui cerita hikmah (qashash), kisah para nabi, analogi, maupun motivasi spiritual. Termasuk pula dalam metode ini adalah penggunaan targhib (dorongan dengan menyebut pahala dan balasan baik) dan tarhib (peringatan dengan menyebut ancaman dan siksa), yang harus disampaikan secara seimbang dan tidak berlebihan. Para dai dan penyuluh agama perlu menguasai kemampuan komunikasi empatik dan storytelling dalam menyampaikan pesan ini agar mampu menyentuh relung batin umat.

 

Mujādalah bi al-latī hiya Ahsan: Dialog dan Perdebatan dengan Cara Terbaik

Metode ketiga yang disampaikan dalam ayat ini adalah mujādalah bi al-latī hiya ahsan, yaitu berdialog atau berdebat dengan cara terbaik. Pendekatan ini biasanya digunakan terhadap mereka yang memiliki argumentasi kuat, keyakinan berbeda, atau bahkan secara aktif menolak ajakan dakwah. Dalam hal ini, Al-Qur’an mengajarkan agar dialog dilakukan dengan santun, rasional, dan menghindari kekerasan verbal. Tujuannya bukan untuk memenangkan debat, tetapi untuk menunjukkan kebenaran secara terang dan menggugah kesadaran.

Quraish Shihab menekankan bahwa perdebatan dengan Ahlul Kitab harus dilakukan dengan logika yang halus, retorika yang indah, dan bebas dari cacian. Diskusi seperti ini dapat berlangsung dalam suasana saling menghargai dan penuh keilmuan. Pendekatan ini menunjukkan kematangan spiritual dan intelektual pendakwah, serta penghormatan terhadap kebebasan berpikir. Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berdebat dengan cara kasar, bahkan terhadap orang-orang yang keras menentang beliau, seperti utusan Najran.

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al Anfaal ayat 61)

Di era digital saat ini, debat publik menjadi salah satu sarana dakwah yang tidak terhindarkan. Namun sayangnya, banyak perdebatan berakhir dengan konflik dan polarisasi. QS. An-Nahl: 125 mengajarkan bahwa debat harus diarahkan pada klarifikasi, edukasi, dan pembebasan dari kesalahpahaman, bukan untuk mempermalukan atau memojokkan pihak lain. Pendakwah perlu menguasai logika, literasi agama, serta etika berdiskusi agar mujadalah yang dilakukan tetap berada dalam koridor hikmah. 

Tingkat Respons Mad‘u dan Diferensiasi Metode

Para ulama tafsir seperti Ibnul Qayyim dan al-Razi sepakat bahwa pemilihan metode dakwah sangat dipengaruhi oleh karakteristik mad‘u. Ibnul Qayyim membagi mad‘u menjadi tiga kategori:

  1. Orang yang menerima dan terbuka terhadap kebenaran: kepada mereka digunakan metode hikmah, karena cukup dengan logika dan argumen ilmiah, mereka mampu memahami dan menerima kebenaran.
  2. Orang yang cenderung lalai, menunda-nunda, atau lemah komitmen: mereka lebih tepat didakwahi dengan mau‘izhah hasanah, karena membutuhkan sentuhan emosional, motivasi, dan penguatan ruhiyah.
  3. Orang yang menentang dan menolak kebenaran secara aktif: metode mujādalah menjadi pilihan, namun tetap dengan adab, hujjah, dan pendekatan yang menghindari konflik personal.

Pembagian ini penting dalam strategi dakwah modern, terutama dalam konteks masyarakat plural dan era keterbukaan informasi. Seorang dai harus memiliki kepekaan sosial, kecerdasan emosional, dan fleksibilitas metodologis. Tidak semua orang bisa ditangani dengan cara yang sama; pendekatan yang tepat sasaran justru menjadi kunci keberhasilan dakwah.

al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahulLâh ulama bermazab Hanbali yang hidup pada abad ke-13 menyinggung masalah hati. Beliau pernah berkata, “Ketahuilah bahwa keringnya mata dari tangisan adalah karena keras (mati)-nya hati. Hati yang keras adalah hati yang paling jauh dari Allah.” (Ibn al-Qayyim, Badâ’i’ al-Fawâ’id, III/743). Ibnu al-Qayyim rahimahullah membagi hati menjadi tiga jenis.

Pertama: Qalbun mayyit (Hati yang Mati). Itulah hati yang kosong dari semua jenis kebaikan. Sebabnya, setan telah ‘merampas’ hatinya sebagai tempat tinggalnya, berkuasa penuh atasnya dan bebas berbuat apa saja di dalamnya. Hati tipe ini adalah hati orang-orang yang kafir kepada Allah.

Kedua: Qalbun maridh (hati yang sakit). Qalbun maridh adalah hati yang telah disinari cahaya keimanan. Namun, cahayanya kurang terang sehingga ada sisi hatinya yang masih gelap, dipenuhi oleh kegelapan syahwat dan badai hawa nafsu. Karena itu setan masih leluasa keluar-masuk ke dalam jenis hati seperti ini. Orang yang memiliki hati yang sakit, selain tak merasakan lezatnya ketaatan kepada Allah SWT, juga sering terjerumus ke dalam kemaksiatan dan dosa, baik besar ataupun kecil. Hati yang seperti ini masih bisa terobati dengan resep-resep (nasihat-nasihat) yang bisa menyehatkan hatinya. Namun, jika tak pernah diobati, penyakitnya bisa bertambah parah, yang pada akhirnya bisa berujung pada ‘kematian hati’.

Ketiga: Qalbun salim (hati yang sehat). Qalbun salim adalah hati yang dipenuhi oleh keimanan; telah hilang darinya badai-badai syahwat dan kegelapan-kegelapan maksiat. Cahaya keimanan itu terang-benderang di dalam hatinya. Orang yang memiliki hati semacam ini akan selalu merasakan nikmatnya beribadah (berzikir, membaca al-Quran, shalat malam, dll); merasakan lezatnya berdakwah; merasakan enaknya melakukan amar makruf nahi mungkar; bahkan merasakan nikmatnya berperang di jalan Allah SWT.

Di antara sedikit tanda orang yang memiliki hati yang sehat adalah mereka yang Allah SWT gambarkan dalam firman-Nya:

 

اِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيٰتُ الرَّحْمٰنِ خَرُّوْا سُجَّدًا وَّبُكِيًّا

Jika dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, mereka tersungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS: Maryam: 58).

Inilah juga gambaran hati para salafush-shalih dan generasi orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Jika kita memiliki hati yang sehat seperti ini, bersyukur dan bergembiralah. Itulah tanda bahwa hati kita sehat (qalbun salim). Hanya hati jenis inilah yang akan diterima Allah SWT saat kita menghadap kepada-Nya.

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Artinya: “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”  (QS: asy-Syura: 88-89).

Namun, jika hati kita termasuk hati yang sakit, segeralah obati dengan tobat, jaga diri dari maksiat dan perbanyaklah taqarrub kepada Allah SWT dengan selalu taat. Jangan biarkan hati kita makin parah sakitnya karena bisa berujung pada kematian mati.

 

Penutup: Keunggulan Strategi Dakwah Qur’ani dalam Misi Profetik

QS. An-Nahl: 125 bukan sekadar ayat yang menjelaskan metode dakwah, tetapi juga menjadi rujukan strategis bagi seluruh misi profetik sepanjang sejarah. Ayat ini mengajarkan bahwa dakwah adalah seni menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar, dalam konteks yang tepat, kepada orang yang tepat. Islam tidak pernah memaksakan kebenaran, tetapi mempersuasi dengan cara-cara yang bijaksana, menyentuh hati, dan mendidik akal.

Dalam konteks kekinian, pendekatan hikmah, mau‘izhah hasanah, dan mujadalah harus dipadukan dengan teknologi, media, dan inovasi dakwah digital. Namun substansi utamanya tetap sama: dakwah adalah panggilan kasih sayang, bukan paksaan; ajakan menuju kebajikan, bukan konfrontasi. Para penyuluh agama, dai, dan akademisi Islam dituntut untuk terus menggali, mengembangkan, dan menerapkan prinsip-prinsip dakwah Qur’ani ini dalam berbagai lini kehidupan umat.

 

B.      Metode Dakwah Rasulullah saw: Personal, Pendidikan, Penawaran, Misi, Korespondensi, Diskusi.

Dakwah merupakan inti dari misi kenabian Rasulullah SAW dan menjadi fondasi utama dalam membangun peradaban Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 125), dakwah bukan hanya sekadar menyampaikan ajaran, tetapi juga melibatkan metode dan strategi yang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan psikologis mad'u (objek dakwah). Rasulullah SAW sebagai utusan terakhir Allah menunjukkan keteladanan luar biasa dalam berdakwah, yang sarat dengan kearifan, kesabaran, serta pendekatan yang fleksibel dan manusiawi.

Dalam konteks historis, Rasulullah menghadapi masyarakat yang sangat plural: dari masyarakat Mekkah yang jahiliyah, penduduk Madinah yang majemuk, hingga para raja dan bangsa di luar jazirah Arab. Untuk itu, beliau tidak menerapkan pendekatan tunggal dalam berdakwah, tetapi menggunakan berbagai metode sesuai kebutuhan, karakter sasaran dakwah, dan situasi yang dihadapi. Di antara metode dakwah yang menonjol adalah pendekatan personal (individu), pendidikan (ta’lim), penawaran (al-‘ardh), pengutusan misi (ba‘tsah), korespondensi (rasmi), serta diskusi atau dialog (mujādalah).

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan metode dakwah Rasulullah SAW tersebut dalam pendekatan akademik, dengan menggali dalil-dalil syar‘i, contoh konkret dalam sirah nabawiyah, serta relevansinya dengan praktik dakwah kontemporer.


1. Metode Personal: Pendekatan Hati ke Hati

Metode personal adalah pendekatan dakwah yang dilakukan secara langsung kepada individu dengan membangun relasi emosional, menyentuh hati, dan mempertimbangkan kondisi personal mad‘u. Rasulullah SAW dikenal sangat mahir dalam pendekatan ini, sebagaimana tampak dalam interaksi beliau dengan para sahabat sebelum dan sesudah kenabian.

Contoh yang sangat masyhur adalah ketika Rasulullah mengajak Abu Bakar ash-Shiddiq masuk Islam secara langsung. Abu Bakar tidak hanya menerima dakwah itu, tetapi kemudian menjadi pendakwah aktif yang berhasil mengislamkan tokoh-tokoh besar seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Sa‘id bin Zaid. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa pendekatan personal yang dilakukan Rasulullah tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga strategis dalam menggerakkan perubahan sosial.

Metode ini relevan dalam konteks dakwah modern, terutama dalam membina individu secara berkesinambungan (tarbiyah fardiyah). Seorang dai atau penyuluh agama harus memahami latar belakang, potensi, dan problematika individu yang menjadi objek dakwah, serta menjalin hubungan yang akrab namun tetap menjaga etika Islam. Dakwah personal bukan sekadar komunikasi verbal, tetapi menyentuh dimensi psikologis dan moral, yang sering kali lebih efektif dibandingkan pendekatan massal.


2. Metode Pendidikan: Dakwah Melalui Ilmu dan Keteladanan

Rasulullah SAW menjadikan pendidikan sebagai metode utama dalam dakwah, terutama setelah hijrah ke Madinah. Beliau membangun masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan umat. Dalam masjid, Rasulullah mengajarkan Al-Qur’an, hadis, fikih, akhlak, dan nilai-nilai kemasyarakatan. Salah satu lembaga pendidikan pertama yang didirikan adalah Shuffah, yakni tempat tinggal dan belajar bagi para sahabat yang fakir dan ingin mendalami Islam.

Metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah tidak bersifat monologis, tetapi interaktif dan aplikatif. Rasulullah sering menggunakan tanya jawab, perumpamaan, cerita (qashash), demonstrasi, bahkan humor ringan dalam mendidik sahabat. Dalam banyak hadis disebutkan bagaimana Rasulullah mengulangi pelajaran tiga kali, memberi jeda agar sahabat memahami, serta menyesuaikan cara penyampaian dengan tingkat kecerdasan pendengarnya.

Dakwah melalui pendidikan adalah metode jangka panjang yang membangun pemahaman dan kesadaran umat secara berkelanjutan. Dalam konteks kekinian, metode ini menjadi fondasi penting dalam penyuluhan agama, pendidikan formal keagamaan, dan pelatihan dai. Dengan sistematisasi kurikulum dan metode andragogi (pendidikan orang dewasa), dakwah pendidikan menjadi solusi strategis menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.


3. Metode Penawaran: Dakwah Tanpa Paksaan

Rasulullah SAW menggunakan metode penawaran atau al-‘ardh dalam menyampaikan Islam, terutama pada fase Makkah. Beliau menawarkan ajaran Islam secara terbuka kepada berbagai kabilah, terutama saat musim haji atau ketika rombongan dagang tiba di Makkah. Hal ini dilakukan tanpa tekanan atau paksaan, sejalan dengan prinsip Qur’ani: “Tidak ada paksaan dalam agama…” (QS. Al-Baqarah: 256).

Contoh nyata adalah ketika Rasulullah menawarkan Islam kepada Bani Syaiban bin Tsa‘labah. Dalam dialog tersebut, Rasulullah menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam secara santun dan rasional. Meskipun mereka tidak menerima Islam saat itu, mereka mengapresiasi Rasulullah dan menjanjikan akan mempertimbangkannya.

Metode ini menunjukkan bahwa dakwah harus menghargai kebebasan berpikir dan beragama, serta menggunakan pendekatan persuasif. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, metode penawaran sangat relevan untuk membangun harmoni antar umat beragama. Penyuluh agama dapat menggunakan pendekatan ini dalam kegiatan lintas iman, penyuluhan keluarga, atau komunitas marjinal yang baru tersentuh dakwah.


4. Metode Misi: Pengutusan Dai atau Delegasi

Rasulullah SAW mengutus para sahabat untuk berdakwah ke daerah-daerah yang belum tersentuh Islam. Pengutusan ini disebut ba‘tsah atau misi dakwah. Salah satu yang terkenal adalah pengutusan Mus‘ab bin Umair ke Yatsrib (Madinah) sebelum hijrah. Dalam waktu singkat, Mus‘ab berhasil mengislamkan dua tokoh utama-Sa‘ad bin Mu‘adz dan Usaid bin Hudhair-yang kemudian membawa mayoritas penduduk Madinah masuk Islam.

Pengutusan dai juga dilakukan ke wilayah lain, seperti Mu‘adz bin Jabal ke Yaman, Amr bin al-‘Ash ke Oman, dan Ali bin Abi Thalib ke Najran. Misi ini tidak hanya menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga membina umat, memimpin shalat, menyelesaikan perselisihan, dan membentuk komunitas Muslim yang beradab.

Metode ini menekankan pentingnya kesiapan ilmu, akhlak, dan strategi komunikasi bagi seorang dai. Dalam konteks modern, pengutusan penyuluh agama ke daerah terpencil, lembaga pemasyarakatan, kawasan rawan konflik, dan komunitas digital adalah bentuk implementasi metode ba‘tsah. Para dai modern harus dibekali dengan kompetensi multidisipliner agar mampu menjawab tantangan zaman dan membimbing umat secara komprehensif.


5. Metode Korespondensi: Dakwah Melalui Surat dan Media

Pada fase dakwah internasional, Rasulullah SAW menggunakan metode korespondensi atau dakwah bil kitabah (tertulis). Beliau mengirim surat resmi kepada para raja dan pemimpin dunia, seperti Kaisar Romawi (Heraklius), Kisra Persia, Raja Najasyi, dan penguasa Mesir (Muqauqis). Surat-surat itu ditulis dengan bahasa diplomatik yang santun, mencantumkan basmalah, seruan keimanan, dan tawaran damai.

Metode ini menunjukkan bahwa dakwah juga bisa dilakukan melalui tulisan dan media, dengan memperhatikan budaya komunikasi target dakwah. Rasulullah bahkan menggunakan stempel khusus bertuliskan “Muhammad Rasul Allah” sebagai identitas korespondensinya. Sebagian surat beliau disampaikan dengan hadiah, seperti pakaian atau benda khas Arab.

Dalam dunia modern, metode ini dapat diterapkan melalui media cetak, surat terbuka, media sosial, artikel dakwah, dan komunikasi digital yang mengedepankan etika, kejelasan pesan, dan estetika penyampaian. Penyuluh agama di era digital dapat memanfaatkan platform daring untuk menjangkau lebih banyak mad’u, termasuk generasi muda yang lebih aktif di ruang maya.

6. Metode Diskusi: Dialog, Debat, dan Pembuktian Rasional

Rasulullah SAW sering berdialog dengan orang-orang yang menentang Islam. Diskusi ini dilakukan dalam kerangka ilmiah dan etis, tanpa mencaci atau menghina lawan bicara. Contoh yang populer adalah dialog beliau dengan tokoh-tokoh Quraisy yang menolak keras Islam, seperti Abu Sufyan, Walid bin Mughirah, dan lainnya. Dalam dialog tersebut, Rasulullah menjawab argumen mereka dengan hujjah Qur’ani, logika, dan ketenangan jiwa.

Ketika delegasi Nasrani Najran datang ke Madinah, Rasulullah menerima mereka di masjid dan mengajak berdiskusi mengenai konsep ketuhanan. Meski tidak sepakat, dialog berlangsung damai. Rasulullah tetap menjaga akhlak, menunjukkan toleransi, dan tidak memaksakan kehendak.

Metode diskusi mengajarkan bahwa dakwah tidak harus berakhir dengan kemenangan argumen, tetapi bisa menghasilkan pemahaman, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan. Dalam konteks kekinian, metode ini sangat relevan dalam forum interfaith dialogue, diskusi publik, podcast keislaman, hingga debat terbuka. Dai dan penyuluh agama harus terlatih dalam logika, retorika, dan literasi keagamaan agar mampu berdialog dengan bijak dan solutif.



Kesimpulan

Metode dakwah Rasulullah SAW adalah refleksi dari kebijaksanaan kenabian dalam menyampaikan kebenaran secara beragam, sesuai dengan konteks, kondisi mad’u, dan dinamika sosial yang dihadapi. Dari pendekatan personal yang menyentuh hati, pendidikan yang mencerahkan akal, penawaran yang menghargai kebebasan, misi yang menyentuh pelosok, korespondensi yang berbudaya, hingga diskusi yang mencerdaskan, semuanya menjadi model ideal dakwah sepanjang zaman.

Dalam dunia modern, metode-metode ini sangat relevan untuk dijadikan rujukan penyuluh agama, dai, dan pendidik. Dakwah yang efektif bukan hanya mengandalkan retorika, tetapi juga strategi, empati, keilmuan, dan adaptasi teknologi. Dengan meneladani metode dakwah Rasulullah, umat Islam dapat membangun peradaban yang cerdas, beradab, dan rahmatan lil ‘alamin.


download ppt lengkap di https://www.academia.edu/128729326/Metode_Dakwah 

 

Hadits Tentang Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

 


 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي سَعْدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتِ بْنِ الْحَارِثِ الْخَزْرَجِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ أَخُو يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ ثَابِتٍ أَخْبَرَنَا أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِمِثْلِهِ و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id dan Ali bin Hujr semuanya dari Isma'il - Ibnu Ayyub berkata- Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far telah mengabarkan kepadaku Sa'd bin Sa'id bin Qais dari Umar bin Tsabit bin Harits Al Khazraji dari Abu Ayyub Al Anshari ra, bahwa ia telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda: "Siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Sa'd Sa'id saudaranya Yahya bin Sa'id, telah mengabarkan kepada kami Umar bin Tsabit telah mengabarkan kepada kami Ayyub Al Anshari radliallahu 'anhu, ia berkata; Saya mendengar Rasulullah saw bersabda. Yakni dengan hadits semisalnya. Dan Telah menceritakannya kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mubarak dari Sa'd bin Sa'id ia berkata, saya mendengar Umar bin Tsabit ia berkata, saya mendengar Abu Ayyub ra. Berkata; Rasulullah saw bersabda: yakni dengan hadits yang serupa. (Kitab Muslim Hadits No– 1984)

حَدَّثَنَا النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ وَسَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ

Telah menceritakan kepada kami An Nufaili, Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Shafwan bin Sulaim serta Sa'd bin Sa'id, dari Umar bin Tsabit Al Anshari, dari Abu Ayyub sahabat nabi saw, dari Nabi saw, beliau berkata: "Barangsiapa yang melakukan puasa pada Bulan Ramadhan kemudian ia ikutkan dengan puasa enam hari pada Bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa satu tahun."            (Kitab Abu Daud Hadits No – 2078)

 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَثَوْبَانَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ صِيَامَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ هُوَ حَسَنٌ هُوَ مِثْلُ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ وَيُرْوَى فِي بَعْضِ الْحَدِيثِ وَيُلْحَقُ هَذَا الصِّيَامُ بِرَمَضَانَ وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُبَارَكِ أَنْ تَكُونَ سِتَّةَ أَيَّامٍ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ إِنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُتَفَرِّقًا فَهُوَ جَائِزٌ قَالَ وَقَدْ رَوَى عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ وَسَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا وَرَوَى شُعْبَةُ عَنْ وَرْقَاءَ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ هَذَا الْحَدِيثَ وَسَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ هُوَ أَخُو يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ حَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ إِسْرَائِيلَ أَبِي مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ قَالَ كَانَ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ صِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ فَيَقُولُ وَاللَّهِ لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ بِصِيَامِ هَذَا الشَّهْرِ عَنْ السَّنَةِ كُلِّهَا

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Sa'd bin Sa'id dari Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub dia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang berpuasa Ramadlan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka hal itu sama dengan puasa setahun penuh." Dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Jabir, Abu Hurairah dan Tsauban. Abu 'Isa berkata, hadits Abu Ayyub adalah hadits hasan shahih. Sebagian ulama menyukai untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal berdasarkan hadits ini. Ibnu Al Mubarak berkata, pendapat itu baik seperti halnya berpuasa tiga hari di pertengahan tiap bulan, Ibnu Al Mubarak melanjutkan, telah diriwayatkan di sebagian hadits, bahwa puasa ini lanjutan dari puasa Ramadlan, Ibnu Mubarak memilih dan lebih menyukai berpuasa enam hari di awal bulan berturut-turut namun tidak mengapa jika ingin berpuasa enam hari tidak berurutan. (perawi) berkata, 'Abdul Aziz bin Muhammad telah meriwayatkan hadits ini dari Shafwan bin Sulaim, sedangkan Sa'ad bin Sa'id meriwayatkannya dari Umar bin Tsabit dari Abu 'Ayyub dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam. Begitu juga Syu'bah meriwayatkan hadits ini dari Warqa' bin Umar dari Sa'ad bin Sa'id dan Sa'ad bin Sa'id ialah saudaranya Yahya bin Sa'id Al Anshari, para ahlul hadits mencela Sa'ad bin Sa'id dari segi hafalannya. Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al Ju'fi dari Isra'il Abu Musa dari Hasan Al Bashri beliau berkata, jika disebutkan padanya puasa enam hari di bulan Syawwal dia berkata, demi Allah, sungguh Allah telah ridla kepada puasa enam hari di bulan Syawwal sebanding dengan puasa setahun penuh. (Kitab Tirmidzi Hadits No – 690)

           

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ الْحَارِثِ الذَّمَارِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أَسْمَاءَ الرَّحَبِيَّ عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah berkata, telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya Ibnul Harits Adz Dzimari berkata; aku mendengar Abu Asma Ar Rahabi dari Tsauban pelayan Rasulullah saw, dari Rasulullah saw, Bahwasanya beliau bersabda: "Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seakan ia berpuasa setahun secara sempurna. Dan barangsiapa berbuat satu kebaikan maka ia akan mendapat sepuluh pahala yang semisal. " Kitab Ibnumajah Hadits No - 1705

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ 

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Sa'd bin Sa'id dari Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa berpuasa ramadlan kemudian mengikutinya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka itu senilai puasa satu tahun. " Kitab Ibnumajah Hadist No - 1706

 

حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ الْحَارِثِ الذِّمَارِيِّ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ الرَّحَبِيِّ عَنْ ثَوْبَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ

Telah menceritakan kepada kami Al Hakam bin Nafi' telah bercerita kepada kami Ibnu 'Ayyasy dari Yahya bin Al Harits Adz Dzimari dari Abu Asma` Ar Rahabi dari Tsauban dari Nabi saw bersabda; "Barangsiapa puasa Ramadhan maka itu sebulan dikali sepuluh bulan, dan puasa enam hari setelah romadhon itulah penggenap puasa setahun." Kitab Ahmad Hadist No - 21378   

 

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ أَخُو يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ ثَابِتٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي الْحَارِثِ أَخْبَرَنِي أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذَاكَ صِيَامُ الدَّهْرِ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami Sa'ad bin Sa'id Al Anshari saudara Yahya bin Sa'id, telah mengabarkan kepadaku Umar bin Tsabit -seorang dari bani Al Harits- telah mengabarkan kepadaku Abu Ayyub Al Anshari, dia berkata; saya telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "barang siapa yang berpuasa ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan syawal, maka itulah puasa setahun penuh". Kitab Ahmad Hadist No - 22459

 

 

SYAWAL DAN REKONSILIASI SOSIAL: MENJAGA SILATURAHMI

  Pendahuluan Bulan Syawal merupakan momentum penting dalam kehidupan umat Islam, terutama setelah sebulan penuh menjalani ibadah Ramadan ...