Jumat, 19 September 2025

Pendahuluan Studi al Qur’an

1.1 Definisi dan Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang memuat wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Secara etimologis, kata Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab “qara’a,” yang berarti “membaca” atau “mengumpulkan” (Junaedi, 2015). Istilah ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang dibaca, dipahami, dan mengumpulkan ajaran-ajaran yang menjadi pedoman hidup. Secara terminologis, Al-Qur’an dipahami sebagai kalam Allah yang abadi, tidak mengandung keraguan, dan berfungsi sebagai petunjuk utama umat Islam dalam menjalani kehidupan (Yusuf & Isnawati, 2023).

Di dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk, hukum, dan kisah-kisah yang mengarahkan manusia menuju kebenaran serta menjauhkan mereka dari kesesatan. Keunikannya juga tampak pada keindahan bahasa dan struktur yang teratur, yang tidak tertandingi oleh karya manusia mana pun (Isgandi, 2022). Keindahan sastra ini menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi yang terus dikaji dari perspektif teologi, hukum, sastra, dan ilmu pengetahuan. Dalam konteks sejarah, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun (610–632 M) agar ajarannya dapat dipahami dan diamalkan secara bertahap. Setiap ayat yang turun memiliki latar belakang tertentu (asbābun nuzūl), yang membantu penafsir memahami pesan-pesan wahyu secara lebih mendalam (Yusuf & Isnawati, 2023).

Al-Qur’an memiliki kemurnian teks yang terjaga sejak pertama kali diturunkan hingga kini. Tradisi hafalan (tahfiz) dan penulisan yang ketat telah memastikan tidak ada perubahan sedikit pun dalam teksnya (Isgandi, 2022). Penyusunan Al-Qur’an menjadi mushaf standar dilakukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan tetap digunakan hingga saat ini. Susunan Al-Qur’an terdiri dari 114 surah dengan jumlah ayat yang bervariasi, disusun secara tematik dan didaktik, bukan berdasarkan urutan kronologis turunnya (Junaedi, 2015). Hubungan tematik antar-surah memperlihatkan keutuhan pesan Ilahi dan menuntut pendekatan holistik dalam penafsirannya (Isgandi, 2022).

Keindahan bahasanya diakui oleh para ahli sastra, Muslim maupun non-Muslim. Bahasa Arab klasik yang digunakan menyajikan pilihan kata, struktur kalimat, ritme, dan aliran bunyi yang harmonis, menciptakan efek emosional yang mendalam (Isgandi, 2022). Karena itu, banyak ulama menyebut Al-Qur’an sebagai mukjizat sastra yang tak tertandingi (Yusuf & Isnawati, 2023). Fleksibilitas makna ayat-ayatnya memungkinkan penerapan hukum Islam dalam berbagai konteks budaya dan sosial, sehingga relevan untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hidup spiritual, tetapi juga sebagai sumber hukum, moral, dan pengetahuan yang abadi (Yusuf & Isnawati, 2023; Isgandi, 2022).

 

1.2 Urgensi Mempelajari Al-Qur’an dalam Kehidupan Umat Islam

Mempelajari Al-Qur’an merupakan kewajiban utama bagi setiap Muslim karena posisinya sebagai sumber hukum dan pedoman hidup paling fundamental. Al-Qur’an tidak hanya memuat ajaran agama, tetapi juga memberikan petunjuk praktis dalam kehidupan sehari-hari (Hasyim, 2019). Pemahaman mendalam terhadap Al-Qur’an membantu seorang Muslim hidup sesuai ajaran Islam, memperkuat keyakinan, dan menenangkan batin. Ajaran-ajarannya mencakup nilai-nilai universal yang relevan bagi etika, sosial, ekonomi, dan politik (Zamzami, 2020).

Al-Qur’an juga membentuk landasan moral umat Islam. Ajarannya memandu perilaku dalam hubungan dengan Allah maupun sesama manusia. Pemahaman konsep tauhid, akhlak, dan ibadah melalui Al-Qur’an memperkuat karakter moral yang etis dan bertanggung jawab (Nashir, 2021). Ajaran tentang kejujuran, keadilan, dan kebaikan kepada sesama menjadi pedoman sosial yang abadi (Hasyim, 2019). Selain itu, Al-Qur’an memberikan motivasi dalam menghadapi kesulitan hidup. Ia mengajarkan kesabaran, tawakal, dan semangat belajar serta meneliti alam semesta untuk memahami kebesaran Allah (Zamzami, 2020).

Urgensi mempelajari Al-Qur’an juga berkaitan dengan pembentukan masyarakat yang adil. Pemimpin dan pembuat kebijakan yang memahami Al-Qur’an dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai Islam yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan sosial (Nashir, 2021). Al-Qur’an bahkan memberi inspirasi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak ilmuwan Muslim terdorong untuk melakukan penelitian atas dasar isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an, yang kemudian melahirkan kontribusi penting bagi peradaban manusia (Hasyim, 2019).

Di era globalisasi, tantangan seperti sekularisme, materialisme, dan konflik sosial menuntut umat Islam untuk memperkuat pemahaman terhadap Al-Qur’an. Kitab suci ini mengajarkan toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan, yang relevan dalam menghadapi pluralitas budaya (Zamzami, 2020). Dengan demikian, mempelajari Al-Qur’an bukan hanya kewajiban religius, tetapi juga kebutuhan spiritual, intelektual, dan sosial bagi keberlanjutan umat Islam (Hasyim, 2019; Nashir, 2021; Zamzami, 2020).

 

1.3 Sejarah Penurunan Al-Qur’an

Sejarah penurunan Al-Qur’an merupakan bagian penting dalam studi Islam karena menyangkut aspek spiritual dan konteks historis. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun, sejak wahyu pertama pada tahun 610 M hingga wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M (Rahman, 2018). Wahyu pertama, Surah Al-‘Alaq ayat 1–5, menandai misi kenabian Nabi dan menegaskan pentingnya membaca serta menuntut ilmu (Ali, 2020).

Wahyu-wahyu Makkiyah, yang turun sebelum hijrah ke Madinah, umumnya singkat, berbahasa kuat dan emosional, menekankan tauhid, akhlak, dan hari kiamat. Ayat-ayat ini bertujuan menggugah hati masyarakat Quraisy yang menolak Islam dan memberi keteguhan kepada Nabi dan para pengikutnya (Ali, 2020). Setelah hijrah, ayat-ayat Madaniyah lebih banyak mengatur hukum, sosial, politik, dan ekonomi, memberikan panduan rinci bagi komunitas Muslim yang mandiri (Rahman, 2018).

Penurunan Al-Qur’an juga terkait erat dengan peristiwa besar dalam sejarah Islam, seperti Perang Badar, Perang Uhud, dan Perjanjian Hudaibiyah. Wahyu-wahyu yang turun pada momen-momen tersebut berfungsi sebagai arahan dan penghiburan bagi umat Islam. Misalnya, setelah kekalahan di Perang Uhud, turun ayat yang memotivasi umat agar tetap sabar dan teguh dalam perjuangan (Mustafa, 2021).

Pada masa itu, tradisi hafalan menjadi cara utama menjaga kemurnian wahyu karena kemampuan menulis belum merata. Sebagian ayat ditulis di media sederhana seperti pelepah kurma dan kulit hewan. Setelah banyak penghafal Al-Qur’an gugur, Khalifah Abu Bakar memprakarsai pengumpulan wahyu menjadi mushaf. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, mushaf ini disalin dan disebarkan sebagai standar yang kita kenal sekarang (Rahman, 2018).

Proses kodifikasi ini menegaskan pemeliharaan Allah atas keaslian wahyu-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hijr ayat 9. Sejarah penurunan dan kodifikasi Al-Qur’an bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga pelajaran tentang kebijaksanaan Ilahi dan tanggung jawab umat Islam untuk menjaga kemurnian kitab suci sepanjang zaman (Rahman, 2018; Ali, 2020; Mustafa, 2021).

Selasa, 16 September 2025

Metodologi Penelitian: Landasan Filsafat Bagi Mahasiswa PAI Muhammadiyah

 



Metodologi Penelitian: Landasan Filsafat untuk Menjelajahi Dunia Ilmu

Dalam dunia ilmiah, metodologi penelitian bukan sekadar kumpulan prosedur teknis, melainkan fondasi filosofis bagi upaya manusia memahami realitas. Secara ontologis, metodologi penelitian mengajukan pertanyaan mendasar: apa hakikat fenomena yang hendak diteliti? Bagi mahasiswa Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, realitas itu dapat berupa perilaku keagamaan, praktik pendidikan, atau dinamika sosial umat. Misalnya, mahasiswa dapat meneliti fenomena menurunnya minat remaja masjid terhadap kajian keislaman. Ontologi menuntut mereka mendefinisikan secara jelas objek penelitiannya, apakah yang dimaksud adalah minat religius, perilaku partisipasi, atau faktor lingkungan yang memengaruhi. Tanpa pemahaman ontologis ini, penelitian mudah kehilangan arah dan fokus.

Secara epistemologis, metodologi penelitian memandu cara memperoleh pengetahuan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam contoh di atas, mahasiswa PAI dapat memilih pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan remaja masjid dan tokoh Muhammadiyah setempat untuk menggali makna dan pengalaman subjektif mereka. Alternatif lain adalah pendekatan kuantitatif, seperti menyebarkan angket kepada sejumlah remaja Muhammadiyah di berbagai ranting untuk memperoleh data statistik tentang faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi. Bahkan, metode campuran (mixed methods) dapat digunakan untuk menggabungkan kedalaman kualitatif dan keluasan kuantitatif. Seperti ditegaskan oleh Fajrillah (2018), pendekatan campuran semakin populer karena memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang fenomena sosial. Dengan demikian, mahasiswa belajar bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat tunggal, tetapi dapat dijangkau melalui beragam cara yang saling melengkapi.

Secara aksiologis, metodologi penelitian mengajarkan bahwa pengetahuan tidak netral: ia memiliki nilai dan tujuan. Bagi mahasiswa PAI Muhammadiyah, penelitian bukan sekadar tugas akademik, melainkan bagian dari pengabdian pada masyarakat dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya, hasil penelitian tentang minat remaja masjid dapat digunakan untuk merancang strategi dakwah kreatif yang lebih sesuai dengan kebutuhan generasi muda, seperti pemanfaatan media sosial atau kajian tematik yang relevan dengan isu-isu kekinian. Penelitian semacam ini sejalan dengan pandangan Muhammadiyah tentang Dār al-Ahdi wa al-Syahādah, di mana umat Islam berkewajiban menjaga persatuan bangsa dan memberikan teladan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial.

Contoh lain penerapan metodologi penelitian adalah studi tindakan kelas (Classroom Action Research) bagi mahasiswa PAI yang sedang menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Ontologinya adalah hakikat masalah pembelajaran akidah-akhlak di kelas, epistemologinya adalah prosedur ilmiah untuk memperbaiki praktik pembelajaran (misalnya dengan model cooperative learning), dan aksiologinya adalah peningkatan mutu pendidikan Islam di sekolah Muhammadiyah.

Dalam konteks teknologi, mahasiswa juga dapat memanfaatkan pendekatan metodologis modern. Penelitian Mar’atullatifah (2023) tentang penggunaan augmented reality dalam pembelajaran dapat menginspirasi mahasiswa PAI untuk mengembangkan media pembelajaran interaktif berbasis teknologi. Ini bukan hanya inovasi teknis, tetapi juga perwujudan nilai aksiologis: memanfaatkan teknologi untuk mempermudah pemahaman agama bagi generasi digital.

Aspek etika tidak boleh diabaikan. Jika penelitian melibatkan santri, remaja masjid, atau masyarakat sekitar, mahasiswa harus memastikan persetujuan yang sadar (informed consent), menghormati privasi responden, dan menjaga integritas data. Ode (2022) menekankan bahwa etika penelitian adalah bagian dari tanggung jawab moral peneliti. Dalam perspektif Muhammadiyah, etika penelitian juga berkaitan dengan akhlak mulia dan tanggung jawab sosial, sehingga hasil penelitian membawa manfaat nyata bagi umat dan bangsa.

Dengan memahami metodologi penelitian dari sudut ontologi (memahami hakikat objek penelitian), epistemologi (menentukan cara memperoleh pengetahuan yang valid), dan aksiologi (menggunakan pengetahuan untuk kemaslahatan), mahasiswa PAI di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dapat menghasilkan karya ilmiah yang tidak hanya memenuhi standar akademik, tetapi juga relevan dengan misi dakwah dan pendidikan Muhammadiyah. Penguasaan metodologi penelitian akan menuntun mereka menjadi peneliti yang berintegritas, pendidik yang inovatif, dan kader persyarikatan yang mampu memberi kontribusi nyata bagi pembangunan umat dan bangsa.

Kamis, 04 September 2025

Ekoteologi dalam Keteladanan Nabi Muhammad SAW

 


Pendahuluan

Maulid Nabi Muhammad SAW bukan hanya momen historis memperingati kelahiran Rasulullah, tetapi juga momentum reflektif bagi umat Islam untuk menginternalisasi nilai-nilai keteladanan beliau dalam konteks kekinian. Salah satu tantangan besar abad ke-21 adalah krisis ekologi yang ditandai oleh kerusakan lingkungan, perubahan iklim, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali. Dalam kerangka akademik, isu ini menuntut pendekatan ekoteologi, yakni perspektif keagamaan yang menempatkan relasi manusia, Tuhan, dan alam dalam satu kesatuan kosmik yang etis dan spiritual. Ekoteologi dalam Islam dapat ditelusuri dari keteladanan Nabi Muhammad SAW, yang menampilkan gaya hidup ekologis berbasis tauhid, kesederhanaan, kasih sayang, dan tanggung jawab khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30).

 

Landasan Filosofis

Secara filosofis, ekoteologi menegaskan hubungan ontologis dan aksiologis antara manusia dengan alam. Ontologis, karena manusia dan alam sama-sama ciptaan Allah, tunduk dalam keteraturan sunnatullah, sehingga tidak boleh ada relasi dominasi eksploitatif. Aksiologis, karena manusia diberi amanah untuk merawat dan mengelola alam sebagai bagian dari ibadah. Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa tauhid tidak hanya berarti mengesakan Allah dalam ritual, tetapi juga mengesakan-Nya dalam praksis ekologis: menjaga keseimbangan (mīzān), menghindari isrāf (berlebihan), dan menumbuhkan rahmah terhadap seluruh makhluk (rahmatan lil ‘ālamīn). Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi dapat dijadikan ruang refleksi bahwa spiritualitas Islam bukan semata ibadah mahdhah, melainkan mencakup praksis ekologis yang berkelanjutan.

 

Dimensi Keteladanan Nabi Muhammad SAW

  1. Gaya Hidup Sederhana (Zuhd Ekologis): Rasulullah SAW mengajarkan hidup sederhana, tidak berlebihan dalam makan, minum, atau penggunaan sumber daya. Prinsip ini relevan dalam menghadapi budaya konsumerisme yang menjadi akar eksploitasi lingkungan.
  2. Etika Air: Nabi melarang pemborosan air meskipun dalam keadaan berwudhu di sungai yang mengalir (HR. Ahmad). Ini menegaskan etika konservasi air yang sangat relevan dengan krisis air global.
  3. Kasih Sayang terhadap Alam dan Hewan: Nabi melarang menyiksa hewan, menebang pohon tanpa alasan syar’i, dan mendorong penanaman pohon bahkan di akhir zaman (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad).
  4. Konsep Tanah dan Pertanian: Rasulullah mendukung aktivitas bercocok tanam dan mengolah tanah, sebagai bentuk kedaulatan pangan sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
  5. Prinsip Keadilan Kosmik: Nabi mengajarkan bahwa kerusakan alam (fasād) merupakan konsekuensi dari keserakahan manusia (QS. Ar-Rum: 41). Karena itu, tugas umat Islam adalah menjadi agen perbaikan (islāh) melalui sikap ramah lingkungan.

 

Dialog Ekoteologi: Islam dan Krisis Global

Dalam ranah akademik, dialog ekoteologi penting untuk menghubungkan teks normatif dengan konteks kontemporer. Krisis iklim, polusi, dan eksploitasi sumber daya bukan hanya persoalan ilmiah, tetapi juga moral dan spiritual. Dengan perspektif ekoteologi Islam, mahasiswa dapat berdialog dengan wacana global seperti eco-theology Christianity, deep ecology, atau eco-humanism. Hal ini membuka ruang interdisipliner yang mempertemukan agama dengan sains lingkungan. Sebagai mahasiswa Islam, keberanian untuk membangun dialog lintas disiplin ini menjadi bagian dari kontribusi akademik dan moral dalam menyelesaikan krisis ekologi.

 

Relevansi Akademik dan Transformasi Sosial

Materi ekoteologi dalam Maulid Nabi ini tidak berhenti pada level normatif, melainkan harus bertransformasi dalam praksis sosial. Mahasiswa Islam sebagai agen perubahan diharapkan:

  1. Mengembangkan riset-riset interdisipliner tentang Islam dan ekologi.
  2. Membangun gerakan kampus ramah lingkungan (eco-campus).
  3. Menginternalisasi etika ekologis dalam gaya hidup sehari-hari, seperti zero waste, hemat energi, dan sustainable consumption.
  4. Mendorong kebijakan publik berbasis keadilan ekologis, melalui advokasi dan kajian akademik.

 

Penutup

Peringatan Maulid Nabi 2025 dengan tema Ekoteologi dalam Keteladanan Nabi Muhammad SAW menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali visi Islam sebagai rahmatan lil ‘ālamīn dalam konteks krisis ekologi global. Keteladanan Nabi menghadirkan paradigma bahwa spiritualitas, moralitas, dan ekologis bukanlah entitas terpisah, melainkan satu kesatuan yang berakar pada tauhid. Mahasiswa Islam perlu memaknainya bukan hanya sebagai doktrin, tetapi sebagai praksis hidup yang membumikan Islam dalam era modern. Dengan begitu, Maulid Nabi tidak sekadar seremonial, tetapi menjadi inspirasi lahirnya gerakan ekologis berbasis spiritualitas Islam di kampus dan masyarakat.

 

Referensi Singkat

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Al-Bukhari & Muslim, Shahih Hadits.
  • Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man.
  • Izutsu, Toshihiko. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an.
  • Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law.
  • Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan.

 

Asbāb an-Nuzūl dan Proses Turunnya Wahyu

  A. Pendahuluan Setiap wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad saw tidak datang begitu saja tanpa makna, melainkan hadir sebagai jawaban ...